Wednesday, April 1, 2009

MATINYA 'SANG BIDADARI'

Pelan tapi pasti, Indonesia sejak era reformasi 1998 telah menjadi bagian dari masyarakat bangsa-bangsa. Indonesia juga menonjol perannya di kawasan Asia Tenggara, bahkan Asia Pasifik. Sejumlah gagasan untuk memajukan kawasan ini berasal dari Indonesia. Gagasan cemerlang terakhir adalah pembentukan pusat demokrasi kawasan Asia Pasifik yang bermarkas di Bali, The Bali Democracy Forum. Di ASEAN, Indonesia dikenal sebagai the political powerhouse. Meskipun ekonomi Indonesia terbesar di Asia Tenggara, tetapi negeri kita belum menjadi economic power house terpenting.

1998 adalah tahun Indonesia menjadi graduate dan masuk ke dalam college of democracies. Indonesia, negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia, kini menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Negeri kita telah menjadi contoh terkemuka, di mana Islam dan democracy bergandengan tangan mesra, kata Menlu Hillary Clinton.

Pekan ini, Indonesia kembali menjadi berita dunia. Bukan hiruk-pikuknya caleg sedang berbusa dan bermejeng-ria. Di London, sedang berlangsung pertemuan G-20: duapuluh entitas yang ditugasi membenahi ekonomi dunia pasca economic downturn. Indonesia sejak tahun lalu di Washington masuk menjadi segelintir negara yang bertanggungjawab merumuskan langkah-langkah untuk mengeluarkan dunia dari krisis keuangan. Tidak ada proses pemilu yang menobatkan Indonesia masuk dalam kelompok elit dunia ini. Good or bad news? Tergantung di mana Anda berdiri. Tetapi saya bangga, penilaian status itu bukan hasil rekayasa. Ini destiny, ujar seorang teman pengamat masalah internasional. Saya tidak mampu menangkap tone, apakah dia happy atau sedih.

Bayangkan, dari lebih 200 negara, hanya 20 yang dijadikan aktor ekonomi utama dunia. Brazil, Rusia, India, Indonesia dan China (BRIIC) bersama South Africa, Saudi Arabia, Argentina, kini duduk bersama negara-negara maju di kelompok G-7 (AS, Kanada, Jerman, Inggeris, Prancis, Italia, dan Jepang), Korea, dan UE (mewakili negara Eropa yang bukan termasuk G-20). Memang nyatanya masalah ekonomi sedang mendominasi perhatian para pemimpin dunia. Indonesia, satu-satunya wakil dari Negara-negara ASEAN di G-20, ingin berbagi pengalaman bagaimana mengatasi krisis moneter tahun 1997 dulu akan menawarkan sejumlah usulan mengenai paket stimulus.

Tantangan yang dihadapi sekarang bukanlah persoalan hiruk-pikuk pemilu pada pekan depan. Tidak akan terjadi perobahan spektakuler di tanah air: kita sudah berjalan pada rel yang benar. Semua tahu, resesi ekonomi dunia merupakan kesibukan utama dari pemimpin dunia. Di mana-mana, pemerintah berhadapan dengan langkah darurat bagaimana menekan inflasi supaya rakyat tidak semakin miskin, menjaga nilai tukar mata uang agar terjadi keseimbangan arus ekspor-impor, memelihara pertumbuhan ekonomi agar upaya peningkatan kesejahteraan dan perang terhadap kemiskinan tetap berlanjut.

”Tetapi resesi sudah menjadi masalah dunia, menjadi a good excuse bagi para politisi bila kebijakan di dalam negeri gagal”, ujar teman baik saya di email.

Tulisan saya bukan mengulas film berjudul sama karya Wahyu Sihombing yang dibintangi maestro bulutangkis Rudi Hartono dan Poppy Dharsono di awal tahun 1970-an. Saya ingin mengajak semua kita para demokrat sejati mencegah gejala global: matinya dunia pers dan media. Pers menjadi ‘bidadari’ penting bagi pertumbuhan demokrasi kita. Virus yang telah muncul di Amerika dikhawatirkan menjalar ke berbagai pojok dunia, termasuk menimpa media pers di tanah air. Saya berharap nanti tidak akan menuliskan obituary pada suatu bidang profesi yang pernah menghidupi saya: wartawan.

Saya sangat mencintai dunia media dan pers, dunia yang juga erat kaitannya dengan profesi saya sekarang. Harapan saya, jurnalisme tidak akan mati: “old reporters never die, they only lose .… their laptops”. Sekarang ini wartawan tidak dijuluki ‘kuli tinta’, tetapi ‘kuli laptop’.


It’s economy, stupid!

Jika saya mengajak Anda berdiskusi mengenai ancaman kematian dunia pers dan impaknya kepada demokrasi, Anda mungkin menyatakan : Who cares?

Di tengah-tengah kegalauan ekonomi ini, negeri kita juga sedang berhelat pesta demokrasi. Logikanya, demokrasi dan paket stimulus ekonomi berjalan pada rel berbeda. Oleh karena itu mari kita berbicara tentang nasib demokrasi, toh Presiden SBY, Menlu Hassan Wirajuda dan Menteri Keuangan Sri Mulyani sudah cukup kapabel mewakili negeri kita dalam pertemuan di London. Rakyat sih ingin nimbrung bicara ekonomi, saya juga. Tetapi, kita yang awam tidak mampu mengikuti diskusi dan debat yang berlangsung di London. Mungkin nanti jadi bingung sendiri. It’s economy, stupid!

Di dunia internasional, bicara demokrasi tidak hanya terbatas pada pemilu. Isu-isu mengenai partisipasi dalam pengambilan keputusan, akuntabilitas dan transparansi, balance of power, kontrol politisi terhadap tentara, rule of law dan berbagai masalah domestik juga menjadi bahagiannya. Yang terlupa mungkin bahwa salah satu unsur terpenting dalam demokrasi ialah kontrol oleh masyarakat. Di dalamnya ada peranan pers.

Untuk pertama kali masalah resesi dunia diawali di negara super kapitalis, tetapi kini menjadi masalah dunia. Padahal, penyakit ini berasal dari negara-negara maju. Lucu, jika Obama dan pemimpin dunia kapitalis meminta negara-berkembang turut bertanggungjawab. Excuse me?

Dalam forum G-20, Indonesia tidak diminta mengucurkan dana stimulus berjumlah puluhan milyar dollar. Tetapi, semua negara, khususnya G-20 diminta melakukan concerted actions mencegah proteksionisme berlebihan, self-help yang akan menyebabkan perang dagang. Diharapkan, di sana akan muncul ide-ide brilyan, atau setidaknya sharing and exchange of ideas berdasarkan lessons learned di negara masing-masing, mencegah agar resesi ekonomi tidak memburuk.

Karena ini masalah global, maka pemecahannya juga harus pada tingkat global. Kebersamaan negara maju dan berkembang menjadi kata kunci. Ingat: perang dunia pertama dan kedua, diawali oleh resesi ekonomi.

Masalahnya, pers dunia kini menghadapi masalah serius. Media dunia seperti International Herald Tribune, TIME, CNN, Economist kini dilanda ancaman masuk gawat darurat. Jika masyarakat kita tidak perduli berapa dari 50 partai yang akan lolos dalam pemilu nanti (menurut teman saya, banyak pendatang baru dan yang lama akan bernasib ‘kembang semaput’), mengapa pula kita harus concerned terhadap matinya sejumlah pers dunia.

Jika media dunia yang sudah berusia ratusan tahun bisa keimbas oleh economic downturn, bagaimana pula media kita? Jangan lupa, media merupakan unsur yang sangat crucial menjaga agar demokrasi, hak masyarakat berpendapat dan menentukan proses politik, dapat berfungsi. Ini penting bagi negara demokrasi baru seperti kita, dan kita hidup di dunia yang kian mengglobal. Sooner than later, gejala ini akan berdampak pada pers dan media nasional kita.


Obituary

Albert Hunt dalam op-ed nya “A Vibrant Democracy Needs Newspapers” (IHT, 23 Maret) dan sebelumnya Nicholas D Kristof “The Daily Me” (IHT, 20 Maret) menggambarkan perspektif betapa seriusnya masalah yang dihadapi pers dunia.

Perusahaan lahir, hidup dan mati, selalu berganti. Perusahaan pers juga begitu. Tetapi, sulit dimengerti mengapa nasib Bank of America dan AIG yang sekarat harus dipaksa menjadi tanggungjawab dunia? Jawabannya: di sini terdapat kepentingan global. Mempertahankan 2 institusi keuangan terpenting Amerika itu menjadi solusi untuk mengatasi global financial crisis, kata Obama. Sedangkan, jika perusahaan pers mati -–banyak kawan-kawan yang hidup di dunia ini—mengapa mesti menjadi concern saya?, kata seorang teman yang lain.

Biar saja, wartawan khan suka heboh, mencari-cari kesalahan, suka mengekspos dan mencemooh para pembuat undang-undang. Pers juga menebang hutan untuk diambil kertasnya. Mendingan kita cari berita di internet, website, blog, bahkan TV juga sudah ada online di internet. Trend dunia sekarang yang keren adalah paperless, ujar seorang teman mengomentari status FB saya.

Bagi middle class barangkali tidak apa-apa, mereka bisa mencari informasi di web, dan internet telah menghasilkan ratusan ribu berita setiap harinya. Tetapi, bagaimana kita mampu menyortir berita yang begitu banyak, menyederhanakan dan mencernanya. Ini satu persoalan. Tanpa berita eksklusif , semua media akan seragam, seperti dunia Orwellian. Persoalan lainnya, tanpa media tradisional yang didukung dengan perusahaan dan sumber dana, maka pemberitaan pun menjadi datar. Akses ke informasi tertentu dan vital sering tidak gratis. Tidak ada web di internet yang mampu membiayai berita-berita investigative, tanpa menjadi bagian dari media tradisional.

Alkisah, karena kelesuan ekonomi maka pemasangan iklan jauh menurut. Ini sumber pemasukan utama perusahaan pers. Langganan? Ternyata hanya membiayai sebagian kecil ongkos operasional perusahaan. Tribune Co yang merupakan pemilik dari The LA Times dan The Chicago Tribune bankrut. Seperti Philadelphia Inquirer, dan Seattle Post-Intelligencer hanya mampu bertahan di dunia maya, alias di website.

Gejala ini terjadi di perusahaan pers besar yang selama ratusan tahun terbit. Semua pihak di era resesi perlu kencangkan ikat-pinggang. Maka, demi masa The Star Ledge Newark, Koran terbesar di New Jersey mengurangi 50 persen stafnya. Koran-koran di Miami, Colorado dan North Carolina kini sedang melancarkan pengurangan staf editorial; peliputan politik terpenting di DC dan di luar negeri ditutup, seperti dialami oleh The Baltimore Sun dan Boston Globe. Downsizing is good news?

Maka, kolumnis Nicholas D Kristof menyatakan obituari bukan lagi berita mengenai kematian tokoh-tokoh penting atau selebritis yang dimuat di koran, tetapi mengenai nasib koran itu sendiri! Jika benar terjadi, maka para penipu berkedok selebritis atau politisi akan senang, jika pers mati maka mereka tidak lagi dikejar-kejar wartawan infotainment (entertaining bagi masyarakat, mereka jadi bahan tertawaan). Kontrol masyarakat akan absen, maka leluasanya pejabat yang sering manyun menghadapi pertanyaan kritis dari wartawan.

Seberapa penting sih arti pers bagi masyarakat? Sekarang ini sudah banyak media alternatif website, bloggers. Akan tetapi, Nicholas D Kristof bertanya lebih mendasar apakah kita memang tidak memerlukan ‘good information? Katanya, di era IT sekarang masyarakat cenderung membaca media yang seideologi dengannya, untuk membenarkan pendapatnya. Mereka cenderung tidak mencoba mendengarkan pendapat pakar yang netral sekalipun. Masyarakat yang tersegmentasi tidak suka mendengar pendapat yang menohok ulu hatinya. Yang dicari adalah informasi yang cocok dengan prejudice nya. Ini jelas berbahaya. Maka, good information itu penting!

Pakar media dari MIT Nicholas Negroponte berpendapat kita mungkin percaya secara intelektual terhadap pentingnya clash of opinions, perlu perdebatan sehat yang inspiring untuk membantu kita mengatasi gejala di era IT ‘the plenty of paradox’. Ratusan ribu berita di-upload setiap harinya ke dunia virtual. Naturally, kita memilih berita yang kita perlukan, atau sukai. Maka, ujung-ujungnya kita cenderung mencari rasa nyaman, berarti pilihan untuk berada di wilayah rahasia ego kita sendiri. Kita akan membaca blog yang cocok dengan selera kita. Kita menghindari sakit perut atau kehilangan nafsu makan gara-gara membaca blog yang kita tahu dari sono nya nyelekit!

Juga, parpol menerima hasil polling bila yang mengokohkan posisinya. Mereka tersinggung jika polling memelorotkan posisinya. Muncullah ide, agar polling diatur dengan UU. Pening ah! Mereka maunya, seperti di Amerika, berita-berita ABS yang cocok dengan ego dan megalomania, hanya untuk mengukuhkan pre-existing views mereka. Ingat Presiden Bush, ketika ultah perang Irak berfoto menyeringai dilatarbelakangi spanduk “Mission Accomplished”, padahal perang Irak tetap berlanjut sampai sekarang, dan Amerika masih mencari exit strategy-nya seperti apa.

Tanpa 'good information' yang selama ini disuplai oleh traditional media dengan keberagaman check and recheck nya, seperti dikatakan Negroponte kita akan mengalami “guilty of selective truth-seeking in the web”. Namun perlu diwaspadai bahaya segregasi di masyarakat, terpecah-pecah menjadi sel-sel kecil dalam club, atau kelompok kepentingan. Hasilnya adalah polarisasi dan intoleransi yang meningkat di masyarakat. Anti-demokrasi.

Oleh karena itu, katanya kita harus mencegah menurunnya peranan traditional news di media. Selective news akan berbeda dengan realitas. Dunia ditampilkan black and white. Padahal, mainstream media beroperasi di wilayah gray, balanced. Di sini kami berbakti, kata media tradisional.


Paradox of Plenty

Meskipun berbagai pemberitaan membanjir di internet, apakah informasi cukup bagi masyarakat? Jangan lupa, menurut pakar 85 % berita di media adalah hasil pekerjaan atau bersumber dari media cetak tradisional. Maka, dengan bangkrutnya perusahaan pers tradisional akan berakibat pula pada pengurangan jumlah berita yang diterbitkan di internet. Dunia pun datar, kembali ke era Orwellian.

Jika koran-koran mainstream tradisional collapsed, siapa yang membiayai liputan yang kian mahal, khususnya untuk berita-berita khusus? Impact your world, kata CNN dan mereka juga membuka rubrik i-reporter, masyarakat menyumbang informasi secara gratis. Apakah berita-berita seperti ini reliable dari segi kontinutitas atau kredibel? Jelas tidak.

Liputan media mengenai apa sesungguhnya terjadi pada masa Perang Vietnam, Watergate, bahkan Perang Irak, dan situasi di Afghanistan telah mengubah kebijakan dan perkembangan dunia ke arah kebaikan. Pers AS juga membuka borok di Guantanamo, Sudan, Cambodia, Bosnia dan terakhir di Gaza Strip. Di Palestina, Israel berupaya menutup masuknya pers mainstream dunia, dengan alasan adanya ancaman akan disandera oleh Taliban dan berbagai organisasi teroris di sana. Sesungguhnya, pemerintah Israel bermaksud untuk mem-block arus keluar pemberitaan negatif mengenai perilaku tentara Israel: pelanggaran HAM dan hukum perang yang berpotensi menyeret pejabat dan tentaranya untuk mempertanggungjawabkan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan di depan International Criminal Court atau ICJ. Di tanah air, pers kita juga berjasa membongkar skandal korupsi, meskipun sering kalah cepat dengan KPK.

Alex S Jones dalam bukunya “Losing the News” mengatakan sulit mengukur dampak kerusakan yang menimpa masyarakat tanpa laporan peristiwa secara utuh. Inilah perlunya good information. Ini alasannya, mengapa harian New York Times mau menghabiskan dana jutaan dolar untuk liputan di Irak, serta membiayai wartawan, fotografer, staf di Afghanistan.

Dalam abad informatika kita mengalami “the paradox of plenty”, terlalu banyak berita dan opini yang memusingkan masyarakat. Kita membutuhkan pers yang mewakili kita untuk melakukan investigative reporting: ada apa dibalik peristiwa itu? Jelas banyak biaya yang dibutuhkan untuk itu.

Website dan blog yang menyediakan informasi gratis jelas tidak reliable dan credible. Bloggers menerbitkan informasi sebatas hobby, dan kurang memiliki mekanisme untuk pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada masyarakat. Suka suka aku lah.

Mengingat mahalnya biaya operasi pers cetak tradisional, ada pemikiran untuk membebankan biaya (charging) kepada masyarakat pembaca di internet. Berarti internet mungkin tidak gratis lagi, dan dalam situasi ekonomi sulit daya beli masyarakat juga turun. Non-starter! Wall Street Journal (WSJ) sejak 13 tahun terakhir telah memungut biaya langgaran, namun berita-beritanya hanya berkaitan dengan perkembangan ekonomi dan keuangan. WSJ pada saat dibeli Ruppert Murdoch bernilai USD 5,2 milyar, sebelum economic free-fall meningkat menjadi USD. 7 milyar. Sekarang? Nilainya tinggal 20% saja. Kerugian 80% ditanggung sang spekulan. Bagi Murdoch yang pengusaha, pers seperti perusahaan, adalah alat untuk cari duit. Idealisme? Kayaknya terlalu jauh. Orang-orang seperti ini lah yang menggiring perusahaan media ke kuburannya.

Ada pula ide ‘cemerlang’ berkembang di Prancis. Intinya agar tidak bangkrut dan tetap memberikan pelayanan informasi kepada publik maka pers perlu dibantu oleh pemerintah. Ini sih, mengingatkan saya pada zaman Orde Baru. Retorika berbeda dengan realitas. Lagipula, aneh juga jika pers mendapat BLT, suplai sembako. Ini bukan saja merendahkan tetapi menghina integritas sekaligus intelektualitas para wartawan.

Bagaimana jika mencari dana dari yayasan? Lihat saja, sejumlah yayasan di Amerika yang hidup atas belas kasihan dari ’dermawan’ seperti Bernie Madoff. Tetapi orang-orang seperti ini lebih tertarik menggunakan kedok sumbangan ke yayasan untuk pencucian uang, atau pengurangan pajak atas nama idealisme ala kapitalisme.

Memang tidak semua yayasan berkedok sosial yang bermuatan terselubung. Ada yang benar-benar memiliki idealisme, mungkin bersumber dari keyakinan ketuhanan. Namun kesulitan dana juga menimpa koran The Christian Science Monitor serta The St Petersburg Times, adalah contoh koran yang memperoleh support dana dari yayasan agama. Koran yang sudah berusia ratusan tahun itupun tidak luput dari serangan jantung, dan akhirnya menghentikan edisi cetakan, dan akhirnya hanya mampu mengudara di dunia maya.

Matinya dunia pers merupakan ancaman terhadap kelangsungan ‘democracy’. Demokrasi yang sehat, memerlukan media bebas. Media bebas membantu mengartikulasikan suatu informasi atau opini, sehingga masyarakat dapat memberikan penilaiannya. Pers membentuk opini, menilai apa merit suatu diskursus yang sedang berlangsung di masyarakat. Sulit membayangkan demokrasi akan bertumbuh sehat tanpa adanya pers dan informasi yang benar.

Warsawa, 1 April 2009