Tuesday, February 23, 2010

PERKAMPUNGAN MUSLIM DI SINGAPURA



TUJUAN kami keluar dari Bandara Changi Singapura dalam transit beberapa jam, selain bertemu dengan Yayan Mulyana, sahabat lama dulu di New York, ialah berziarah ke perkampungan Melayu dan Muslim yang kini dipelihara sebagai wilayah wisata. Di antara berbagai kawasan modern nan asri dan hijau atau pusat-pusat perbelanjaan di Singapura, bagi kami Kampong Glam [sering dibaca: Gelam] teramat istimewa.

Disebut Kampong Glam, karena di kawasan ini –sebelum reklamasi besar-besaran– merupakan kawasan pantai laut yang banyak tumbuh pohon kayu putih. Orang Melayu menyebut pohon yang menghasilkan minyak berkhasiat nan harum itu pohon gelam. Kawasan ini dulu berada di pinggir pantai. Strategis bagi para pedagang di Asia Tenggara, termasuk bagi para pelaut Bugis.

Karena rajin berdagang dengan orang-orang Arab dan Gujarat, maka di Kampong Glam berdiri pemukiman dan transit bagi bangsa-bangsa yang membawa Islam ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Mereka bangsa pedagang, maka di tempat itu mulai subur menjadi pusat perdagangan. Dan, nama-nama jalan pun turut menyesuaikan: Arab Street, Busorrah Street, Baghdad Street, Muscat Street. Di negara kota ini sampai sekarang tetap terpelihara Kampung Jawa, Kampung Bugis dsb.


Berdasarkan sejarah, pada tahun 1822 Raffles membuat rencana kota Singapura yang dibagi berdasarkan etnis: Eropa, dan China di kawasan tersendiri. Sedangkan orang Melayu (dari Semenanjung, Sumatera dan Riau), Bugis dan Arab ditempatkan di Kampong Glam. Belakangan orang China maupun India, karena berdagang, tertarik tinggal di sana.

Gubernur Jenderal Stamford Raffles membangun kawasan ini untuk menjadi pusat perdagangan bagi kepentingan the British East India Company, dan sebagai hasil perjanjian dengan Sultan Hussein maka didirikanlah Kampong Glam sebagai pemukiman kaum Muslim Melayu. Sultan Hussein sendiri mendirikan istananya di sana pada tahun 1819, yang kini disebut Istana Kampong Glam. Istana ini, setelah dipugar berkali-kali, sekarang menjadi Pusat Warisan Budaya Melayu, atau Malay Heritage Centre.

Kami sempat berkunjung ke kompleks yang terpelihara sebagaimana aslinya. Namun sayang, hari sudah petang Museum sudah tutup.


The Sultan Mosque
Kami menyempatkan shalat zuhur dan Asyar di Mesjid dengan arsitektur unik di Kampong Glam ini. Bagaimana sejarah berdirinya mesjid tua itu?
Alkisah, Sultan Hussein berhasil membujuk Raffles dan penguasa Inggeris ini rela membuka kocek $3000 Spanish dollar untuk membangun sejak awal mesjid ini. Karena idenya dari Sultan, maka orang Singapura menyebutnya mesjid tua itu Sultan Mosque. Maka, Denis Santry dan perusahaan Swan & MacLaren dari Inggeris ditugasi membuat rencana bangunan.

Pada saat dibangun mesjid itu cuma satu lantai. Pada tahun 1920an, masyarakat Muslim Singapura, seperti orang Jawa, Melayu, Bugis dan Arab, mengumpulkan dana untuk menjadikannya mesjid terbesar, sehingga kini mampu menampung jamaah sebanyak 5000 orang. Pembangunan mesjid itu berlangsung sampai tahun 1928.

Mesjid dan berbagai kelengkapan bangunannya bukan bergaya Melayu, karena didasarkan pada tradisi arsitektur India dan Timur Tengah.

Setiap liburan sekolah maupun akhir-pekan selalu ada kegiatan umat di sana. Apalagi pada bulan Ramadhan. Jika Anda berada di sana, akan terasa suasana keramahtamahan Melayu dan persaudaraan Muslim. Kami merasa nyaman di sini. Seakan-akan kita bukan di Singapura.

Bussorah Street adalah jalan utama menuju Mesjid. Di sekitarnya Anda akan mendengar orang-orang Singapura berbahasa Melayu. Banyak juga menjual souvenir, dan bahkan restoran Padang juga ada di sana.

Demi citra dan pariwisata, maka sejak tahun 1980 an kawasan Kampong Glam itu diproklamirkan sebagai National Heritage dan dilindungi, termasuk the Sultan Mosque, dan Istana Kampong Glam.

Singapura, 11 Februari 2010

Monday, February 22, 2010

BERZIARAH KE MESJID NIUJIE BEIJING



TIDAK banyak diketahui orang di Indonesia bahwa umat Islam di China berjumlah hampir 22 juta umat Islam, atau 1,6% dari jumlah penduduk 1,3 milyar jiwa. Bahkan ada yang mengklaim jumlahnya lebih dari 60 juta.

Umat Islam China tersebar di berbagai daerah, yang terbesar di propinsi Xinjian, Gansu, Qinghai dan Ningxia (the Quran Belt), serta di Yunnan dan Henan. Kelompok terbesar, Hui berjumlah hampir 10 juta, Uyghur 8,5 juta, Kazakh 1,3 juta, dan berbagai etnis dari Dongxiang, Kyrgyz, Salar, Tajik, Uzbek, Bonan dan Tatar.

Maka mesjid turut memainkan peranan di dalam pengembangan Islam sejak dahulu kala di China, di awal-awal masuknya Islam ke China pada abad ke-7. Menurut catatan, di seluruh China terdapat sekitar 3500 mesjid, dan terus bertambah seiring era keterbukaan.

Pada tahun 610 M Khalifah Usman mengirim utusan untuk penyebaran dakwah ke China, seorang duta besar Islam pertama di China, yang tidak lain paman Rasulullah saw sendiri Sa’ad Ibn Abi Waqqas. Selanjutnya, umat Islam memegang peranan penting di berbagai pemerintahan dan penggerak ekonomi, filosof bahkan militer. Muslim selalu dipercaya memegang jabatan tertinggi di kementerian perdagangan. Beberapa jenderal termashur di kerajaan China juga Muslim, seperti Admiral Cheng Ho (1371-1435) yang mampir di Semarang. Memang Islam tidak terlepas dari sejarah modern China.

Masa suram Islam di China terjadi pada masa Dinasti Manchu, bahkan genocide dan politik adu-dumba antar-etnis terjadi pada zaman itu. Baru setelah pemerintahan Sun Yat Sen yang mendirikan Republik China pada tahun 1912, pengakuan sama diberikan kepada semua etnis: Han, Man (Manchu), Meng (Mongol), Hui (Muslim), dan Tsang (Tibet).

Pada masa gila-gilaan pada Revolusi Kebudayaan, institusi Islam dan penduduk Muslim juga diuber-uber. Tetapi tidak separah terhadap penganut agama lainnya. Islam, karena sejarah, menjadi native di China. Karena itu, terutama sekarang, Muslim memperoleh kelonggaran.




Ketika transit di Beijing, saya dan isteri berkunjung ke rumah Mayerfas, teman yang tinggal di sana. Salah satu tujuan penting adalah berziarah ke Mesjid Niujie. Ditemani staf protokol Yulianto kami menyempatkan berziarah ke tempat bersejarah ini.

Mesjid Raya Niujie

Mesjid Niujie ini dibangun orang-orang Arab pada tahun 996, pada zaman Dinasti Liao (916-1125), namun mengalami renovasi berkali-kali yang diawali oleh Dinasti Ming pada tahun 1442 menjadi bentuk sekarang ini. Renovasi terbesar terjadi pada masa Maharaja Kangxi, pada dinasti Qing (1622-1722) dan pada abad ke-20 setelah kemerdekaan China 1949, yakni tahun 1955, 1979 dan 1996.

Menduduki area 6000 m, Mesjid Niujie terdiri dari bangunan kayu bergaya arsitektur dan gabungan seni China dan Arab.

Mesjid itu terletak di daerah pemukiman Muslim China di Cow Street. Tidak heran, di sana banyak restoran Muslim. Kami pun menikmati makan siang di salah satu restoran itu. Menurut catatan di kawasan Muslim itu terdapat sekitar 10 ribu penduduk Muslim, dari sekitar 200 ribu di seluruh Beijing.

Pada masa Revolusi Kebudayaan, mesjid dan umat Islam tidak luput menjadi sasaran Pengawal Merah, seperti dialami oleh semua agama di China. Naik haji juga dilarang. Baru setelah 1978 kelonggaran beribadah diberikan kepada umat Islam. Kini, tercatat sekitar 10 ribu jemaah dari China melaksanakan ibadah haji setiap tahun. Mesjid itu kurang lebih mampu bertahan pada Revolusi Kebudayaan yang hancur-hancuran.

Ketika kami masuk dari dari pintu gerbang Cow Street, rumah Allah ini tidak terlihat. Namun, setelah berjalan sekitar 40 meter barulah mesjid unik berbentuk simetris ini terlihat. Tadinya saya kira bangunan itu kelenteng, karena memang mirip. Di tembok menuju ke mesjid tergambar beberapa relief yang melukiskan kebahagiaan dan keberuntungan. Tentu relief tidak melukiskan hewan atau patung manusia, karena Islam melarangnya.

Di depan bangunan mesjid –dipisahkan oleh pelataran yang cukup luas— terdapat 6 menara setinggi 10 m yang disebut Menara Pemantau Bulan, karena fungsinya demikian untuk memastikan waktu berbuka puasa di bulan Ramadhan.

Salah satu bukti sejarah mesjid, maka di bagian belakang terdapat kuburan 2 imam berasal dari Persia (Iran) yang mengembangkan Islam pada abad ke-13 di China.
Di bagian luar mesjid terdapat prasasti yang menceritakan sejarah mesjid, dan tentang umat di China. Islam tidak terpisahkan dari sejarah China itu sendiri. Maka, tidak heran jika Nujie Mosque penting menjadi tujuan bagi pengunjung China.



Kami tiba menjelang maghrib. Tak lama kemudian beberapa belas jamaah mengambil wudhu dan bilal mengumandangkan azan di pelataran, di luar mesjid. Jamaah kebanyakan berpakaian jubah dan berjanggut. Mereka warga China asli. Seusai shalat, saya melihat para jemaah mendengarkan penjelasan seorang ulama atau kuliah tentang keislaman. Mereka ramah menyapa kami. Sayang, perbedaan bahasa tidak menolong untuk berdialog dengan mereka.

Interior mesjid indah, penuh dengan kaligrafi kutipan ayat-ayat Quran, diukir dalam seni lukis China yang kaya dengan warna dasar merah, putih, biru, dan hitam.
Tempat shalat wanita berada terpisah, tidak jauh dari bangunan utama. Interiornya juga sama indahnya. Seusai shalat, isteri saya Ade, mencoba untuk berkomunikasi dengan jemaah wanita, namun terhalang bahasa. Tidak urung, keramah-tamahan dan kenikmatan bersilaturahmi dengan saudara Muslim dari Indonesia memancarkan ekspresi yang hangat di wajah Muslimah China.

Beijing, 12 Februari 2010