Sunday, September 26, 2010

MENYONGSONG PEMBENTUKAN KOMUNITAS ASEAN 2015

RATIFIKASI Piagam ASEAN (Charter ) oleh keseluruhan 10 negara-anggotanya pada akhir tahun 2009 menjadi tahapan terpenting dalam sejarah 42 tahun usia organisasi sub-regional di Asia Tenggara itu.

Keputusan politik terpenting yang diambil oleh seluruh kepala negara/pemerintah dalam pertemuan di Singapura dalam kerangka-waktu singkat 6-tahun adalah pembentukan komunitas ASEAN pada tahun 2015. Setelah KTT, maka, seluruh negara-anggota, terutama Indonesia, dalam waktu singkat perlu bekerja keras untuk menyelesaikan pekerjaan rumah untuk pembentukan 3 pilar komunitas yakni (1) politik dan keamanan, (2) ekonomi, dan (3) sosial budaya.

Pekerjaan yang paling besar adalah pembentukan komunitas ekonomi, bahwa pada tahun 2015 wilayah Asia Tenggara akan menjadi kesatuan ekonomi: menjadi one single market and production base, ketika arus barang, jasa, modal, termasuk ketenagakerjaan mengalir lancar tanpa hambatan.

Menilik pengalaman Eropa dalam integrasinya, pembentukan komunitas ekonomi (European Community) memerlukan waktu yang panjang, 42 tahun. Eropa menjadi satu kesatuan ekonomi baru dicapai pada tahun 1993, sejak terbentuknya The European Coal and Steel Community pada tahun 1951. Bersamaan di tahun 1993, para pemimpin Eropa juga menandatangani Maastricht Treaty.

ASEAN Charter kurang lebih berfungsi sama seperti Maastricht Treaty, menjadi landasan hukum untuk pembentukan komunitas di kawasan masing-masing.

Pembentukan komunitas politik dan keamanan, tentu tidak bisa dipandang enteng karena menjadi bagian penting, landasan politis untuk integrasi 10 negara kawasan Asteng itu. Pemikiran ke arah penyatuan komunitas politik sebenarnya telah berlangsung jauh sejak berakhirnya Perang Dunia II.

Demikian pula pembentukan komunitas sosial budaya, ASEAN menyadari pentingnya solidaritas dan identitas yang sama bagi rakyat-rakyat di kawasan, serta komitmen bersama untuk menatap masa depan di dunia yang kian ketat mengalami kompetisi di era globalisasi.

Tulisan di bawah ini merupakan sari dari ceramah yang disampaikan oleh penulis pada saat melakukan sosialisasi Komunitas ASEAN 2015 di Surabaya dan Solo pada bulan Mei dan Juni 2010.


Mengapa Penting Komunitas ASEAN?

PROSES pembentukan organisasi regional dan subregional marak ketika berakhirnya Perang Dunia II. Di Eropa, para pemimpin menyadari kepentingan integrasi wilayah untuk menghindari terulangnya perang-dunia yang telah menghancurkan wilayah, ekonomi dan kemanusiaan. Pada saat gagasan dilontarkan di Eropa pada akhir PD II, harapan untuk integrasi Eropa dipandang utopia.

Tujuan pembentukan integrasi wilayah Eropa diawali dengan kepentingan politis guna menghindari perselisihan yang muncul dari imbalances of power equation, ketika negara kuat mengintimidasi yang lemah, bilamana konflik wilayah, etnis, dan bahkan agama menjadi sumber perang.

Keberadaan European Coal and Steel Community sejak tahun 1951 membuktikan kerjasama Prancis dan Jerman berjalan baik. Baja memang menjadi sumber industry, termasuk militer. Jika pasar yang menentukan suplai dan demand, maka pertimbangan ekonomi menjadi lebih menonjol, ketimbang perang.

Sehingga, pada kondisi yang kian membaik itu tujuan-tujuan stabilitas keamanan dan perdamaian menjadi berkembang pesat.

Kini Uni Eropa tidak saja menjadi entitas yang kokoh secara politis, tetapi juga menjadi aktor ekonomi global yang telah memiliki identitas dan nilai-nilai yang modern.

Misi UE sekarang adalah menciptakan perdamaian, kemakmuran dan stabilitas bagi rakyat Eropa. Tadinya persoalan batas-wilayah menjadi sumber konflik, maka dengan penyatuan seluruh Negara anggota dalam kesatuan wilayah, Uni Eropa kini beranjak dari zona kesatuan ekonomi yang berambisi dalam peran politik global. UE juga mengupayakan pertumbuhan ekonomi dan sosial yang seimbang bagi rakyat di 27 negara-anggota. Para pemimpin Eropa menyadai kondisi yang dibentuk secara sadar dengan susah-payah seperti ini diperlukan untuk kesatuan Eropa menghadapi kompetisi di era globalisasi.

Pengalaman Uni Eropa juga dicermati oleh kelompok Negara di berbagai belahan dunia, misalnya Afrika (Uni Afrika), Amerika Latin (Mercosur), Timur Tengah (GCC), termasuk ASEAN di Asia Tenggara.

Dari keseluruhan ratusan organisasi regional atau sub-regional, boleh dikatakan hanya 2 organisasi yang memiliki success story, yakni Uni Eropa dan ASEAN.

Pembentukan Komunitas ASEAN kurang lebih mengalami proses serupa. Apakah tingkat integritasnya nanti pada akhirnya dapat berwujud pada entitas Uni Eropa tergantung pada perkembangan ke depan. Sesuatu yang sulit disepakati pada masa sekarang, seperti pengalaman Uni Eropa dengan impiannya, terbukti berjalan melebihi targetnya.

Maka, bolehlah kita bermimpi di suatu saat integritas ASEAN semakin menguat: akan terbentuk satu wilayah ekonomi dan moneter yang didukung oleh mata uang tunggal, diikuti dengan pembentukan parlemen, angkatan bersenjata, dan bahkan kebijakan luar negeri yang sama, bahkan untuk suatu entitas pemerintahan yang tunggal pula!


Stabilitas Perdamaian dan Keamanan untuk Apa?

KEAMANAN (security) adalah kondisi yang tercipta karena tercapainya stabilitas dan perdamaian. Kondisi ini bermanfaat untuk membangun manusia dan lingkungan yang diinginkan (ideal). Keamanan baru dirasakan penting ketika terancam, atau hilang. Manusia akan kembali ke naluri untuk mempertahankan diri: dalam unit yang lebih besar pada tingkat masyarakat bahkan rakyat di suatu negara.

Sama seperti udara yang gratis dan murah, keamanan selalu dianggap komoditas yang terjamin ada. Padahal, untuk membina keamanan manusia menumpahkan berbagai upaya dan energy. Mahal!

Aman (secure) dirasakan penting untuk pembangunan, terutama dengan hadirnya stabilitas dan perdamaian. Stabilitas yang tercipta dalam jangka-panjang menghadirkan prediktabilitas situasi.

Maka security hadir by design, dibentuk, dijaga dan ditingkatkan oleh manusia untuk memperoleh situasi kehidupan yang harmonis. Sama seperti kehidupan di kampung, desa, rakyat memelihara harmoni dengan semangat hidup bertetangga baik.

Indonesia pasca perang kemerdekaan merasakan keperluan itu. Sebagai negara dan memiliki kawasan terbesar maka diperlukan situasi yang damai di kawasan. Sebagai de facto pemimpin di kawasan, kontribusi Indonesia sangat diperlukan.

Praktis, bila berbicara tentang ASEAN maka berarti hampir separuh atribut yang melekat adalah unsur Indonesia. Dari 590 juta penduduk ASEAN, 40% atau 234 juga tinggal di Indonesia. 42% wilayah daratan Asia Tenggara yang seluas 4,4 juta km2 berada di NKRI, dan 40% dari GDP ASEAN yang telah mencapai USD 1500 milyar berasal dari Indonesia.

Kondisi Asia Tenggara pasca Perang Dunia II, seperti umumnya di kawasan Asia Pasifik, 50 tahun yang lalu sangat labil dan penuh dengan potensi konflik. Dengan pengecualian di beberapa negara, kolonialisme tidak menyelesaikan tugasnya menyiapkan rakyat-rakyat di Asia Tenggara untuk berpemerintahan sendiri. Samudera Pasifik, yang dulu diterjemahkan sebagai Lautan Teduh (Pasif) memang hanya tenang di permukaannya. Dia menyimpan sejuta energi yang siap meletus, seperti Gunung Krakatau di tahun 1883 dulu.

Di sana tersimpan animositi, konflik wilayah, etnis, bahkan militer antar-negara. Di dalam negeri juga demikian. Seperti misalnya di Indonesia, sejak perang kemerdekaan kita mengalami beruntun konflik di dalam negeri: perjuangan proklamasi, pemberontakan, Trikora utnuk pengembalian Irian Barat, Dwikora dalam konfrontasi terhadap Malaysia, dan G30S/PKI yang meruntuhkan Orde Lama mengakhiri kekuasaan Presiden Soekarno. Berbagai maneuver politik mercusuar pasca kemerdekaan dipandang hanya proses yang memiskinkan bangsa.

Persoalan di kawasan tidak terbatas hanya di bidang politik semata. Dalam kecemasan internasional pada perubahan iklim, telah muncul kesadaran untuk penanganan perlindungan lingkungan dan bahkan soal-soal praktis seperti keselamatan pelayaran.

Mencuatnya isu-isu non politis itu berkaitan dengan menonjolnya soal-soal ekonomi pula. Kawasan Asia Pasifik pada umumnya, termasuk Asia Tenggara, telah menjadi economic powerhouse, di mana negara-negara di kawasan sekitarnya memerlukan sumber-sumber hayati dan non-hayati untuk keperluan pembangunan ekonomi mereka.

Isu penting berkaitan dengan menguatnya integrasi ASEAN melalui Charter ialah berkaitan dengan upaya pembentukan arsitektur regional (regional architecture). Mengingat satu-satunya organisasi menonjol di Asia Pasifik, ASEAN telah pula menjadi motor atau driving force dalam diskursus yang sebenarnya mulai mencuat pada awal tahun 1990-an.

ASEAN memang memiliki posisi unik, ketiadaan rival organisasi serupa di Asia Pasifik mendorongnya untuk berperan aktif dan menjadi harapan dalam pembentukan struktur di Asia Pasifik melalui proses East Asia Summit (EAS). Dukungan negara-negara-negara terpenting anggota EAS dari AS, Rusia, India, Jepang, Korea dan Australia, di samping Indonesia tentunya, akan menjadi milestone baru dalam proses integrasi kawasan Asia Pasifik.

Jakarta 27 September 2010

Wednesday, September 22, 2010

SENI TEATER KUNO GAMBUH DI EROPA


SELAMA hampir 3 minggu pada bulan Juni 2009 yang lalu (6-25 Juni), 31 seniman drama tradisional Bali ”Gambuh Desa Batuan” mengguncang Polandia, tepatnya di kota Wroclaw, Polandia baratdaya. Di kota ini, mereka diundang dalam rangka acara ”2009 Grotowski Year 2009” khusus untuk mempertontonkan seni pertunjukan kuno Bali –induk dari berbagai seni musik dan tari Bali—yang dikemas secara professional untuk suatu tontonan yang menarik. Mereka bangga mewakili Indonesia di pentas dunia.

Seni pertunjukan Gambuh sangat memukau, pencinta teater tradisional dari Polandia dan berbagai negara Eropa berbondong-bondong ke Wroclaw.

Group Gambuh Desa Batuan tiba di Polandia 6 Juni dan berpartisipasi dalam latihan bersama dengan para aktor dari Odin Theatre (Denmark) dan berbagai artis dari seluruh dunia untuk persiapan pertunjukan opera “Ur-Hamlet” – yang merupakan penafsiran orisinal dari kisah yang dikenal dalam drama ciptaan William Shakespeare.

Selama berada di Polandia, Gambuh Desa Batuan yang dipimpin oleh I Made Suamba tidak hanya tampil dengan lakon-lakon khas Bali tetapi juga berkolaborasi dengan artis-artis dari berbagai negara. Mereka menjadi artis terbanyak dalam pertunjukan drama “Ur Hamlet” yang kolosal 150 artis multinasional dari Jepang, Prancis, Taiwan, Brazil, Denmark, Polandia, Italia, Argentina, Mexico, Yunani, Spanyol, India, Ceko,Turki, Inggeris, Macedonia, Cyprus, USA, Belanda, dan Swiss. „Ur Hamlet” menjadi pertunjukan utama dalam festival sekarang di Wroclaw.
Pertunjukan monumental “Ur Hamlet” ini melibatkan sekitar 150 artis dan di bawah arahan sutradaranya Eugenio Barba.

Selain itu, para musisi dan penari tradisional Bali tampil untuk pertunjukan sendiri pada tanggal 19 Juni di Teater Puppet Wroclaw, dengan menampilkan berbagai legenda yang berasal dari kisah-kisah tentang Pangeran Panji, yang menjadi dasar dari berbagai bentuk teater dan wayang Jawa maupun Bali.

Lakon Pangeran Panji inilah yang menjadi dasar dari berbagai bentuk teater dan wayang Jawa maupun Bali.
Dalam pertunjukan berikutnya, Gambuh Desa Batuan menampilkan teater topeng tradisional yang didasarkan pada cerita yang ditulis oleh kerajaan-kerajaan Bali dan lakon “Bali Jewels” di Rynek (Old Town), yang menjadi penampilan terakhir di pusat keramaian para wisatawan di Wroclaw.



Semua penampilan mendapat sambutan meriah dan antusiasme dari para pengunjung yang merupakan upaya promosi hebat budaya dari Pulau Seribu Candi di Polandia.

Pengenalan saya dengan Gambuh terjadi kebetulan karena saya sendiri hanya sebatas menjadi penikmat seni. Kebetulan Dawid Martin, pemain dan pelatih the Warsaw Gamelan Group, menginformasikan acara ini setelah melihat publikasinya di salah satu sudut kota Warsawa. Dawid juga berhasil berbicara via telpon dengan salah satu rombongan.

Berdasarkan penjelasan Dawid, para seniman Gambuh Bali khusus diundang ke Polandia untuk menyemarakkan kegiatan UNESCO di Wroclaw memperingati 10 tahun wafatnya Jerzy Grotowski (1933 – 1999), seorang sutradara, pendidik dan ahli teater Polandia. Dalam acara peringatan yang bertajuk “The World as a Place of Truth”, panitia juga menyelenggarakan konperensi, seminar, penerbitan buku, pemutaran film, konser, pertunjukan dan pameran tentang Grotowski.

Budaya Bali mempesona orang-orang Eropa sejak pertama kalinya para pelautnya mendarat di pulau ini. Bagi kebanyakan artis Barat, Bali menjadi sumber inspirasi. Salah satu di antaranya adalah Jerzy Grotowski (1933 – 1999) seorang sutradara, pendidik dan ahli teater Polandia. Tahun ini merupakan peringatan 10 tahun wafatnya Grotowski dan ultah ke-50 ”Teater of 13 Rows” yang didirikannya.

Bersamaan, tahun 2009 dinyatakan oleh UNESCO sebagai The Grotowski Year. Sebagai bagian dari peringatan, Institut Grotowski di Wroclaw menyelenggarakan festival bertajuk “The World as a Place of Truth” dengan partisipasi Gambuh Desa Batuan Ensemble dari Bali.


Luar Biasa

KETIKA saya dan isteri tiba di Wroclaw, setelah menempuh 6 jam perjalanan darat, Gedung Teater Wayang telah dipenuhi penonton. Direktur Teater setelah berpidato meminta saya menyampaikan sepatah kata. Tidak banyak yang dapat saya jelaskan, hanya pernyataan betapa pentingnya seni budaya bagi bangsa Indonesia, dan Bali memang menjadi salah satu the jewel budaya yang pantas diangkat ke pentas dunia. Jika diminta berpidato setelah menyaksikan Gambuh tentu saya akan lebih pede.

Karena, selama satu setengah jam kemudian, saya dan seluruh penonton tersihir menikmati seni drama kuno Bali yang dikemas secara professional. Yang unik bagi saya adalah lantunan nada sendu 5 seruling bambu yang terbesar pernah saya lihat. Tentu dilengkapi dengan perangkat gamelan sederhana, diperkuat sekitar 10 pemain.

Malam itu mereka menampilkan lakon “Tebek Jaran”, cerita klassik mengenai seorang pangeran bernama Panji, dibarengi dengan lelucon dan kesedihan, kegembiraan yang menghanyutkan perasaan. Semua asli dalam bahasa Bali. Sejumlah gadis-gadis Bali menari dan berdialog, diiringi musik yang disebut Gambuh itu. Semuanya, 31 artis tampil di panggung, bergantian, menari berdialog. Pertunjukan tanpa jeda ini diakhiri dengan grand finale disambut tepukan hadirin meriah.

Setelah pertunjukan, saya mengundang para artis dan rombongan untuk makan malam di restoran Thai yang terletak di bilangan Old Town yang kuno dan indah. Udara malam itu juga mendukung, cerah dan hangat. Kami berbincang-bincang panjang lebar sambil mengisi perut. Maklum waktu sudah hampir jam 9 malam. Saya memuaskan keinginan tahu saya tentang Gambuh. Perjalanan seni tradisional yang menjadi induk dari budaya panggung Bali sejak 1000 tahun yang lalu ternyata cukup panjang. Pernah hampir hilang, tetapi hidup kembali menjadi perkasa, berkat jasa Cristina Wistari Formaggia, seorang WN Italia.

“Anda seharusnya melihat acara primadona kami”, kata Pino Confessa jurubicara kelompok itu mendampingi pimpinan artis I Made Suamba. Dia merujuk pada lakon “Ur Hamlet”. Menurut Pino, selama 3 malam berturut-turut Gambuh tampil dalam acara kolaborasi bersama lebih dari 100 artis lain berbagai bangsa, dalam penampilan “Ur Hamlet”, yang merupakan penafsiran orisinal dari kisah drama ciptaan William Shakespeare. Pada penampilan ini, Gambuh Bali menyumbang artis terbanyak, dan memang ternyata menjadi sokoguru pertunjukan kolosal itu.

Menurutnya lagi, tidak pernah Hamlet ditampilkan sedemikian kolosal, dan untuk menyiapkan pertunjukan itu sutradara Eugenio Barba perlu melakukan riset dari berbagai musik Timur dan Barat sejak tahun 1960, selanjutnya mengadakan berbagai latihan sejak tahun 2003 di Denmark, tahun 2004 di Seville, Spanyol, lalu di Bali dan akhirnya pada tahun lalu di Ravenna, Italia. Semua aktor menggunakan kostum aslinya, untuk menekankan karakter budaya yang berbeda. Musuh Hamlet yang diduga berasal dari luar ternyata berada di tubuh sendiri, yakni pada lapisan gelap di masyarakat yang tadinya dipandang teratur. Ketika dunia runtuh, Hamlet pun mengambil alih, mendeklarasikan Orde Baru.

Sejarah kebangkitan kembali Gambuh yang sebelumnya terancam punah cukup panjang dan tidak mudah, ujar Pino yang juga menjadi Konsul Kehormatan Italia di Bali. Dia sendiri sejak 8 tahun yang lalu menjadi WNI, dan telah tinggal puluhan tahun di sana. Dia sudah menjadi orang Bali.


Apa itu Seni Gambuh?



GAMBUH adalah seni pertunjukan kuno Bali, mirip dengan teater No (Jepang) atau Khatakali (India), yang menggabungkan elemen tari, nyanyian, dialog dan musik orkestra gamelan yang mengandalkan suling gambuh. Musik ini menggunakan 4 suling kuno yang terbuat dari bambu berukuran besar, yang dimainkan dengan iringan gendang, gong dan lonceng.

Jenis teater upacara adat kuno ini hampir punah di abad ke-20, namun berkat jasa seorang koreografer dan penari asal Italia -- Cristina Wistari Fromaggia— Gambuh berhasil diselamatkan dan kini ditampilkan hanya di beberapa pura, salah satu di antaranya terdapat di Pura Desa Batuan, yang menjadi asal para artis yang tampil di Polandia.

Group Gambuh Desa Batuan Ensemble terbentuk pada tahun 1993 atas inisiatif Cristina, yang bertekad menyelamatkan seni gambuh yang hampir punah denga membuat proyek. Seniman hebat ini meninggal pada tahun 2008 yang lalu.

Menurut Sidarta Wijaya yang menulis “Gambuh: Ancestor of Balinese Dances (2007)”, Gambuh, merupakan tarian drama klasik yang menjadi asal-muasal tari Bali. Menurutnya Gambuh berasal dari sekitar tahun 1007 pada saat Raja Udayana Warmadewa menikahi putrid Jawa dari Daha (Jawa Timur) yang bernama Cri Gunapriya Dharmapatni. Ketika permaisuri tiba di Bali, dia juga menyertakan sejumlah penari yang ternyata tarian mereka sangat disukai sang Raja.

Gambuh menggunakan seruling besar, rebab (biola), gendang, kempur, gangsi, klenang, kucicak, gumanak, gentorak, dan lukita, yang mengiringi dendang juru tandak (reciter).

Alm. Cristina benar. Dengan menyelamatkan Gambuh seperti dalam bentuk sekarang berarti menghidupkan kembali tari Bali yang hebat. Dari semua tari dan drama Bali, kini Gambuh menjadi musik yang paling lengkap dokumentasinya.


Siapa Cristina Wistari Formaggia

CRISTINA adalah WN Italia yang sebelumnya telah melanglangbuana di dunia, terutama di India, sebelum berlabuh di Bali. Di desa Batuan, dia mendedikasikan seluruh hidupnya, sampai akhir hayat untuk menghidupkan seni tari dan drama Gambuh yang kian sekarat hampir hilang. Dia membenahi aspek-aspek artistik, dia sendiri mahir menari Bali klassik.

Ketika Cristina meninggal, Jakarta Post menurunkan tulisan Rucina Ballinger 31 Juli 2008 bertajuk “Balinese 'gambuh' loses its guardian mother”. Gambuh yang baru saja bangkit bersemangat terancam kembali ke tidur lama yang cukup panjang. Tetapi Cristina memiliki teman-teman yang bergairah meneruskan pekerjaan besar ini. Mereka adalah Pino Confessa dan Antonella de Sanctics, dan Gabriella Medici, seorang Denmark.

Namun teman-teman Alm. Cristina itu bersikap merendah. Menurut mereka, yang menjadi obor kebangkitan Gambuh adalah orang-orang Desa Batuan sendiri. Katanya, justru jiwa kebangkitan Gambuh ada pada anak-anak didik Cristina, yakni orang-orang Desa Batuan memiliki bakat dan dedikasi yang tinggi. Mereka sendiri yang bangkit, dan kami menjadi fasilitator saja, kata Pino.



Tetapi Pino dan teman-temannya bukanlah fasilitator biasa. Mereka memahami, seniman biasanya lemah dalam organisasi maupun manajemen. Sedangkan, mengangkat Gambuh ke pentas internasional memerlukan dana. Masalah pendanaan selalu menjadi persoalan klasik dalam mengunduh seni, apalagi untuk karya-karya seni non-komersial seperti Gambuh.

Semangat orang-orang Desa Batuan juga cukup tinggi. Mereka, tanpa Cristina, terus berlatih dan tampil, meskipun hanya ditonton 2 orang. Mereka berlatih tiap minggu. Dulu, semasa Cristina hidup para warga Desa Batuan setiap latihan diberi nasi boks seharga Rp. 10 ribu. Jika penjualan tiket kurang Cristina akan memberikan uangnya sendiri Rp 20 ribu perorang untuk 32 pemain dan pemusik. Tradisi ini tetap dipertahankan oleh teman-teman Cristina.

Setelah Cristina tiada, dengan semangat dan determinasi tinggi mereka harus berdiri dengan kekuatan sendiri. Dari mulai komunikasi e-mail, peran pengganti Cristina yang selama ini memerankan Panji, pakaian panggung harus dipecahkan sendiri. Termasuk untuk pertunjukan “Hamlet” yang memerlukan naskah dan rekaman dialog, khususnya pada bagian yang dimainkan oleh para seniman alam Bali dari Desa Batuan itu.



Orang-orang Bali itu memiliki naluri dan bakat seni yang tinggi. Mereka menghapal partitur dan adegan drama.

Tidak saja berlatih, Cristina Wistari Formaggia juga menulis buku dalam 2 jilid “Gambuh : Drama tari Bali.,Tinjauan Seni, Makna Emosional dan Mistik, Kata-Kata dan Teks, Musik Gambuh Desa Batuan dan Desa Pedungan, terbitan Yayasan Lontar (2000). Untuk artikel lainnya tentang Gambuh, bisa dilihat pada Juga Jurnal Asian Music, Volume 36, Number 2, Summer/Fall 2005 yang memuat karya tulis Marc Perlman, Music of the Gambuh Theater: Bali's Ancient Dance Drama (review). Asian Music - Volume 36, Number 2, Summer/Fall 2005, terbitan University of Texas Pess.

23 September 2010

Wednesday, September 15, 2010

STUDI BANDING: SISI POSITIF

AKHIR-akhir ini banyak kritik masyarakat tentang studi banding anggota DPR RI ke luar negeri. Terkesan mengolok-olok, masyarakat mengambil studi banding ke Afrika Selatan yang dikatakan “mempelajari pramuka di sana dalam rangka legislasi pembuatan UU Pramuka”.

Saya dapat memahami, di era demokrasi kita masyarakat sangat aktif menyoroti penyelenggaraan negara yang belum berjalan seperti diharapkan. Ketersediaan berbagai sarana atau medium, seperti blog, facebook atau twitter, untuk mencurahkan pendapat juga mendukung gejala ini.

Saya juga menyadari, akhir-akhir ini DPR menghadapi kritik tajam beruntun, seperti masalah Bank Century, rumah aspirasi, penyogokan travel cek untuk pemilihan deputi senior gubernur BI yang menyeret puluhan anggota DPR bahkan termasuk politisi senior, absenteeism, pembangunan gedung DPR, legislasi yang masih menumpuk padahal tahun hampir berakhir, macet, dagang sapi (adakalanya menjadi ‘dagang babi’, maaf) dalam soal paraliamentary threshold dan berbagai deal politik lainnya: beruntun!

Sebagai warganegara yang pernah terlibat di dalam perencanaan berbagai program kunjungan DPR ke luar negeri, maupun memfalisitasi pelaksanaannya di luar negeri, saya ingin share, berbagi pengalaman yang tentunya faktual dan proporsional, jauh dari insinuasi atau fantasia atau tuduhan-tuduhan yang emosional.


Urgensi Kunjungan Delegasi DPR RI


DALAM perspektif hubungan antar-negara, kunjungan resmi DPR atau kunjungan antar-parlemen memainkan peranan terpenting kedua setelah kunjungan kepala negara (presiden, raja). Oleh karena itu, kunjungan resmi (official visit, atau muhibbah) selalu dilengkapi dengan acara-acara protokoler, seperti courtesy call kepada presiden/raja dan perdana menteri, jamuan malam resmi, ziarah ke makam pahlawan dsb.

Yang paling pokok adalah substansi tentunya. Kunjungan resmi di suatu negara mencerminkan tingkat hubungan antar-negara, yang memberikan kesempatan untuk memperbarui (to renew) hubungan bersahabat dan komitmen negara, bertukar-fikiran terhadap perkembangan dan isu-isu global yang menjadi perhatian bersama, perkembangan di kawasan masing-masing, termasuk dukungan untuk peningkatan kerjasama bilateral di berbagai bidang. Ini menjadi praktik lazim di seluruh negara di dunia, termasuk dari kelompok negara otoriter/totaliter sekalipun.

Pada tingkat lebih rendah daripada kunjungan resmi adalah kunjungan kerja (working visit), yang melibatkan berbagai jenis delegasi dan keperluan, seperti misalnya kunjungan ke Afrika Selatan dan berbagai jenis delegasi parlemen ke luar negeri.

Kunjungan delegasi kerjasama antar-parlemen atau persahabatan yang merupakan komite tetap, anggotanya dari antar fraksi dan komisi, adalah elemen penting dalam hubungan bilateral. Jenis kunjungan ini merupakan organ untuk menindaklanjuti hasil-hasil kunjungan resmi. Di setiap Negara terdapat organ yang menangani hubungan bilateral. Di DPR RI disebut sebagai Grup Kerjasama Bilateral (GKSB) dengan nomenklatur khusus (resmi) yang dikaitkan dengan negara tertentu, misalnya GKSB RI – Rusia, RI – India, RI – AS, RI – China dsb.

Selanjutnya yang tidak kurang penting adalah kunjungan Komisi Luar Negeri (Komisi I di DPR RI), yang tentu saja dari satu komisi namun anggotanya dari berbagai fraksi/partai. Kunjungan ini dilaksanakan pada negara-negara strategis, besar, atau memiliki intensitas hubungan yang tinggi dengan Indonesia.

Masih ada berbagai jenis kunjungan parlementer lainnya yang spesifik, misalnya kunjungan delegasi badan legislasi yang tujuannya untuk memperoleh perspektif bagaimana parlemen di negara sahabat itu menyusun dan mengawasi UU tertentu. DPR RI selalu memilih negara-negara yang berpengalaman atau mengalami transisi menjadi Negara demokrasi sebagai negara tujuan dalam fungsi legislasi ini.

Jenis kunjungan yang penting lainnya adalah delegasi panitia khusus (pansus) yang diberi tugas spesifik. Tentu saja kunjungan dilaksanakan pada Negara-negara yang dipandang memiliki pengalaman penting dan intensif di bidang tersebut serta cocok dengan kondisi Negara kita. Mungkin, kunjungan DPR ke Afrika Selatan masuk dalam kategori ini.

Kedua jenis terakhir ini juga sifatnya antar fraksi.

Semua kunjungan delegasi parlemen itu sifatnya timbal-balik, bergantian. DPR RI kita juga menerima berbagai kunjungan delegasi parlemen dari seluruh dunia.


Diplomasi Parlementer


ADALAH suatu kenyataan, di manapun parlemen yang merupakan lembaga tinggi Negara turut memainkan diplomasi dan memajukan kepentingan nasional. Bahkan di tingkat global dikenal asosiasi parlemen dunia yang disebut dengan IPU yang lebih concern dengan masalah-masalah global dan memiliki hubungan asosiasi dengan PBB.

Di kalangan negara-negara Islam, dikenal the Parliamentary Union of the OIC member states (PUOICM) yang membahas masalah-masalah dunia dan situasi spesifik di negara anggota.

Di tingkat regional ada yang dikenal sebagai Asia Pacific Parliamentary Forum (APPF), di ASEAN sebagai AIPO (ASEAN inter-parliamentary organization) dan kini menjadi AIPA, berbentuk asosiasi yang lebih permanen.

Badan parlemen di atas bersifat multilateral dan mengeluarkan berbagai resolusi yang bersifat dukungan atau bahkan kecaman terhadap suatu masalah atau negara tertentu. Sudah bisa dibayangkan, PUOICM sangat rajin mengeluarkan statement mengecam Israel.

Diplomasi parlementer, atau hubungan luar negeri yang dilaksanakan oleh parlemen termasuk jenis kegiatan internasional DPR RI, baik di dalam negeri ketika menerima kunjungan bilateral atau dubes negara sahabat maupun dalam konteks kunjungan di atas.

Saya berpendapat, betapapun pelaksanaan berbagai kunjungan delegasi DPR belum lah maksimal seperti yang diharapkan masyarakat kita, namun konsekuensi dari piihan demokrasi mengharuskan kita menaruh respek, setidaknya pada kelembagaan. Bagaimana pun juga, para anggota DPR telah terpiih secara demokratis dan mepertanggungjawabkan kinerjanya kepada rakyat atau setidaknya pada konstituten mereka. Mereka, suka atau tidak suka, adalah putera terbaik yang merepresentasikan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Saya percaya, dan sesuai pengalaman, over-time akan terjadi peningkatan kualitatif anggota DPR dan institusi itu sendiri. Tetapi, kita harus memulai dengan memberikan kesempatan untuk belajar, learning process, untuk menemukan best practices, lessons learned. Pengalaman nyata di lapangan akan sangat berbeda hasilnya dibanding studi melalui internet yang belum tentu jelas pertanggungjawabannya.

Membangun tradisi dan membentuk kelembagaan demokrasi jauh lebih sulit daripada memproklamirkan diri menjadi negara demokratis, seperti pengalaman kita sejak 1999. Yang terpenting di sini tentu membangun manusianya dengan kultur demokratis yang berbeda dengan zaman otoriter di masa lalu.

UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri telah mengakui peranan parlemen, beserta LSM, masyarakat, pengusaha di dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri. Berbeda dengan politik luar negeri yang masih menjadi domain pemerintah (seperti di seluruh negara di mana pun), hubungan luar negeri menjadi domain semua pemangku kepentingan.

Dalam pengamatan saya, kunjungan-kunjungan delegasi DPR RI sangat membantu di dalam memajukan diplomasi dan mendorong polugri bebas aktif, serta untuk peningkatan kerjasama bilateral/kepentingan nasional yang saling-menguntungkan.



Tidak Asal-Asalan

DALAM bentuk apapun atau misi apapun, kunjungan delegasi DPR RI selalu diawali dengan persiapan. DPR RI selalu mengkomunisasikan rencana dan program (tentative) kunjungan dan selanjutnya mengundang pejabat Kemlu untuk membahas rencana kunjungan dan tujuan yang ingin dicapai.

Kesempatan itu digunakan oleh Kemlu untuk menyampaikan tanggapan, masukan, serta situasi hubungan bilateral, termasuk kerangka kerjasama antarparlemen. Tuan-rumah pertemuan biasanya organisasi/badan yang membuat rencana kunjungan.

DPR RI sebelumnya telah mempersiapkan sejumlah pertanyaan yang relevan (selalu tertulis) dengan maksud kunjungan. Kami menjelaskan dan menyampaikan jawaban tertulis dan selalu diserta penjelasan verbal dalam pertemuan di gedung DPR RI. Diskusi di sini merupakan kesempatan untuk pendalaman substansi.

Bila muncul pertanyaan yang memerlukan informasi dari perwakilan, maka pejabat Kemlu terkait akan mengoordinasikan terlebih dahulu dengan KBRI. Maka, adakalanya pertemuan di gedung DPR itu berlangsung s/d 3 kali, sampai dipandang memadai/matang.

Hasil-hasil rapat/pertemuan itu merupakan bahan-bahan untuk penyusunan position paper delegasi. Kemlu via KBRI juga membantu di dalam mengoordinasikan program yang disepakati dengan DPR Negara sahabat.

Tidak jarang, meskipun program dan substansi kunjungan sudah matang acara kunjungan mengalami penundaan berkali-kali bahkan sampai akhir tahun anggaran tidak terlaksana. Hal ini disebabkan karena para anggota yang terdiri dari berbagai fraksi/komisi memiliki jadwal dadakan atau karena ada perkembangan lain.

Apabila persiapan telah berjalan lancar tanpa halangan atau hambatan maka delegasi DPR RI berangkat ke Negara tujuan dan disambut oleh Dubes RI beserta staf KBRI. Biasanya kami langsung mengundang delegasi untuk rapat gabungan.

Rapat gabungan ini bermanfaat untuk mengoordinasikan program atau menjelaskan secara lebih detil dan untuk pendalaman position paper. Kesempatan ini digunakan oleh Dubes untuk menyampaikan perkembangan hubungan bilateral, masalah-masalah menonjol/pending matters termasuk situasi menyangkut WNI/TKI. Dubes juga menggunakan kesempatan untuk menitip pertanyaan atau meminta mengangkat permasalahan tertentu pada saat delegasi bertemu dengan mitra/tuan rumah di negara tujuan.

Selama berada di negara tujuan, di samping hal-hal protokoler, telah diacarakan pada program kunjungan, al. pertemuan bilateral antar parlemen, courtesy call kpd ketua parlemen dan menlu, jamuan kehormatan untuk delegasi, pertemuan dengan menteri-menteri terkait (perdagangan, industry, pertahanan, hukum dsb) kunjungan ke industri-industri relevan, pertemuan dengan Kadin dan pengusaha, dan ramah tamah dengan masyarakat Indonesia yang berada di negara akreditasi.


Substansi

KEMAJUAN dalam hubungan bilateral merupakan pokok substantive yang ingin diperoleh dalam kunjungan.

Tentu saja, dalam pertemuan resmi kedua pihak menegaskan-ulang hubungan bersahabat dan komitmen untuk peningkatan kerjasama bilateral di segala bidang. Kedua delegasi juga menyampaikan briefing tentang situasi umum dan menonjol di kawasan dan di dalam negeri. masing-masing. Berbeda dalam kunjungan tingkat resmi Ketua DPR RI, pada kunjungan yang lebih rendah masalah-masalah global tidak dibahas terlalu mendalam, biasanya lebih diutamakan membicarakan hal-hal terkait dengan fungsi parlemen, seperti legislasi, budget, pengawasan eksekutif, UU pemilu, otonomi daerah, parliamentary threshold, pencegahan money politics, ethics dan sebagainya.

Dalam kunjungan pansus, waktu untuk pertemuan lebih banyak digunakan untuk pendalaman materi dengan komisi-komisi dan pejabat pemerintahan terkait dengan substansi.

Dubes dan staf KBRI selalu turut menghadiri pertemuan-pertemuan, khususnya berkaitan dengan perkembangan dan pembahasan kerjasama bilateral, termasuk dukungan bagi pencalonan wakil atau negara Indonesia pada jabatan-jabatan di organisasi internasional.

Pembahasan kerjasama bilateral merupakan substansi yang menarik dan konkrit dibicarakan. Dalam substansi kerjasama ekonomi kedua pihak berupaya mencarikan jalan keluar untuk memajukan kerjasama bilateral di bidang perdagangan, investasi, keuangan, tourism. Pada substansi kerjasama bidang sosial budaya dibahas langkah-langkah lanjutan untuk mendorong partisipasi di berbagai event budaya, kerjasama iptek dan pendidikan.

Pertemuan dengan masyarakat Indonesia, baik yang berada di lingkungan KBRI maupun masyarakat biasa, merupakan kesempatan bagi para wakil rakyat untuk bertemu dan mendengarkan keluhan mereka. Selalu, para anggota DPR RI menawarkan bantuan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi WNI dalam kaitan humaniter maupun soal-soal status anak atau kewarganegaraan. Saya sering mendapat apresiasi dari WNI pada saat masalah yang mereka hadapi diselesaikan, tentu berkat dorongan dan akses yang dimiliki oleh anggota-anggota DPR yang berkunjung.

Kami juga mengambil manfaat tambahan berkat kunjungan delegasi DPR RI dalam menyangkut gagasan dan usulan, pemecahan masalah yang dihadapi oleh KBRI, misalnya program kerja strategis, akses ke departemen sektoral yang berkaitan dengan kerjasama G to G, anggaran, penyediaan sarana gedung kantor dsb.


Rekapitulasi

KBRI mencatat keseluruhan pertemuan dan hasil-hasil yang dicapai untuk disampaikan dalam bentuk laporan resmi kepada Menlu dan unit-unit terkait di Kemlu, serta mengirimkan copy laporan kepada Pimpinan DPR RI. Di lain pihak DPR juga membuat laporan internal, khususnya berkaitan dengan aspek kerjasama antar-parlemen dengan negara sahabat.

Intensitas kunjungan pada delegasi DPR dari berbagai bentuk mencerminkan tingkat hubungan bilateral antara Indonesia dengan negara tujuan. Lebih dari sekadar protokol, kunjungan itu sangat bermanfaat untuk mendorong peningkatan kerjasama bilateral.

Memang, pengalaman DPR RI dalam kunjungan ke berbagai Negara tentu tidak sama, bervariasi, sesuai dengan bobot dan peranan global/regional Negara sahabat tersebut serta tingkat dan dinamika kerjasama bilateralnya dengan Indonesia.

Mungkin berbeda dengan dugaan publik bahwa delegasi DPR yang melakukan kunjungan menghabiskan waktu belanja atau piknik, dalam pengalaman saya seluruh delegasi meskipun menyatakan puas dengan hasil-hasil dicapai mereka juga komplain tidak terjadwalnya waktu bebas untuk istirahat sejenak kecuali kesempatan untuk mengunjungi kota-tua dan makan malam di restoran tradisional di sana.

Pada tahun 2009, kami menerima tidak kurang dari 8 delegasi kunjungan parlemen, yang terdiri dari kunjungan resmi, komisi, badan, DPD, termasuk dari provinsi. Semuanya dengan kesimpulan sama.

Membangun institusi kenegaraan, termasuk DPR dan demokrasi memerlukan waktu, tenaga, dan kontribusi kita semua, dengan demikian menjadi tanggung jawab bersama.


Jakarta, 16 September 2010

Penulis adalah Dubes RI untuk Republik Polandia, Desember 2006 - April 2010