Tuesday, October 12, 2010

IN THE AFTERMATH

BANYAK terjadi kesalah-tafsiran atau mispersepsi mengapa kunjungan Presiden SBY ke Belanda dibatalkan dalam situasi yang sangat tidak menyenangkan. Ketika pesawat kepresidenen Garuda telah siap lepas landas, delegasi dan staf pendukung sudah on board, mendadak Presiden SBY setelah peringatan HUT TNI 5 Oktober dengan wajah tegang menyampaikan pengumuman penundaan kunjungan.

Berbagai argumen telah disampaikan oleh para pakar bukan baik pro maupun kontra. Jarang sekali saya membaca analisis atau tanggapan yang tepat.

Sebagaimana diberitakan, Presiden SBY mendadak membatalkan kunjungan kenegaraan ke Belanda karena pengadilan setempat menggelar pengadilan pelanggaran HAM di Maluku dan Papua, dengan tuntutan agar kekebalan diplomatik Presiden SBY dicabut sehingga dapat ditangkap dengan tuduhan pelanggaran HAM.

Akhirnya, kunjungan kenegaraan yang direncanakan berlangsung pada 5-9 Oktober 2010 dengan muatan substansi yang sangat berbobot terpaksa ditunda.

"Ini menyangkut harga diri dan kehormatan bangsa," ujar Presiden dalam jumpa pers di ruang VIP landasan udara Halim Perdanakusumah, Jakarta, Selasa (5/10).

Pada saat keputusan tragis itu diambil, saya tersentak, tidak percaya dengan apa yang saya baca. Namun, segera terbayang diplomasi kita sedang menghadapi krisis baru.

Saya fikir tidak terlalu mudah bagi Presiden Indonesia untuk mengambil keputusan dramatis pada menit-menit yang menentukan. Apalagi untuk kunjungan sepenting ke negeri Belanda.

Pernyataan Presiden SBY “Ini menyangkut harga diri dan kehormatan bangsa" tidak segera dipahami oleh publik. Kemudian, Presiden dalam dua kali kesempatan memberi penjelasan yang lebih jelas apa yang dimaksud beliau dengan ‘harga diri’ dan ‘kehormatan bangsa’. Memahami nuansa ini maka kita menangkap substansi dan reasoning dalam pernyataan Presiden SBY.

Pernyataan Presiden SBY konsisten. Meskipun demikian, muncul berbagai kalkulasi untung-rugi dan spekulasi.

Seberapa pentingkah ‘harga diri’ dan kehormatan bangsa’ di dalam penyelenggaraan hubungan diplomatik, apalagi dengan Belanda.

Ini yang menjadi pokok persoalan, atau yang menjadi bones of contention!


Bones of Contention


PADA saat Presiden menyampaikan keputusannya, saya mencoba berulang-ulang mencermati (reading between lines) pertimbangan Presiden RI, seperti saya tuliskan dalam komentar saya di Twitter pada hari naas itu. Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia diplomasi selama 30 tahun, saya terpanggil untuk berbagi perspektif melalui akun Twitter yang saya lakukan dari siang hari sampai tengah malam.

Reaksi awal saya (dan ternyata memang benar) isu pokok bukanlah soal RMS, bukan pula soal imunitas atau masalah keamanan Presiden yang terancam. Tetapi adalah perkara harga diri (dignity) dan kehormatan Republik yang dipertaruhkan ketika kondisi sudah dinilai tidak favorable atau kondusif untuk melanjutkan muhibbah itu. Setidaknya untuk sementara ini.

Menurut saya, peradilan Belanda sebagai institusi negara (Presiden SBY: sebagai state system) gagal menghormati aspek kemuliaan (gloriousness) yang menjadi muatan dalam kunjungan kenegaraan Presiden Republik Indonesia. Mahal, karena kunjungan ini bisa terlaksana setelah vakum 40 tahun, dan Presiden Indonesia dengan berbagai atribut kenegaraan Republik Indonesia akan menjadi tamu kehormatan Ratu Beatrix dari Kerajaan Belanda.

Sebagai warganegara, menjadikan Presiden atau lembaga-lembaga kenegaraan kita sebagai subyek dalam peradilan di luar negeri –apalagi oleh Negeri Belanda yang pernah menjajah Bumi Pertiwi dan sampai sekarang belum mengakui secara formal kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945—bagi saya ‘unacceptable, atau’ sedikitnya ‘pelecehan’ kalau bukan penghinaan secara substantif.

Penerimaan gugatan RMS dan kemudian keputusan pengadilan untuk memenuhi penjadwalan persidangan, meskipun dengan alasan procedural yang cukup (sesuai KUHPerdata Belanda) dan apalagi dengan percepatan proceeding sehingga bersamaan dengan jadwal waktu kunjungan kenegaraan jelas walaupun bukan keputusan politis tetapi tidak terlepas dari nuansa politis.

Melalui perspektif hukum tatanegara dengan gampang kita membantah argumen bahwa “pemerintah Belanda tidak campur tangan soal-soal peradilan, karena institusi ini bebas (independen) dari pengaruh pemerintah”.

Apa bedanya dengan di Indonesia? Setidaknya secara konstitusional lembaga peradilan kita terletak di bawah Mahkamah Agung, jelas berdiri sendiri dan tidak berada di ranah eksekutif.

Kita juga sangat paham, bahwa meskipun peradilan bukan bagian pemerintah tetapi kekuasaan yudikatif merupakan pemegang saham di dalam kedudukan sebagai ‘institusi negara’ dalam konteks trias politika. Oleh karena itu, peradilan merupakan bagian dari system governance dalam kehidupan kenegaraan.

Maka, kegagalan peradilan Den Haag mempertimbangkan bahwa kunjungan kenegaraan yang sudah ditunggu sekian lama itu memiliki bobot politis yang sangat tinggi –apalagi dilatarbelakangi nuansa kesejarahan yang sangat sensitif— menjadi kelalaian yang memang patut disesalkan.

Saya fikir, peradilan Den Haag kurang mempertimbangkan kepentingan dan kehormatan Ratu Beatrix yang telah mempertaruhkan jabatan dan kehormatannya. Pengiriman undangan kepada Presiden SBY untuk kunjungan kenegaraan menjadi salah satu event utama di Kerajaan Belanda. Apalagi telah disepakati untuk peningkatan hubungan kemitraan kedua bangsa sampai pada tingkat strategis.

Dalam kegalauan yang saya ekspresikan pada Twitter, saya menilai sebagai institusi negara lembaga peradilan wajib menjaga etiket dalam hubungan antar-negara, dengan sendirinya menghindar jangan sampai menyentuh pride kita sebagai bangsa berdaulat. Presiden SBY menyebut poin ‘etika’ dalam penjelasan beliau di Istana Negara.

Sebagian pengamat mengaitkan ‘arogansi peradilan Den Haag’ dalam konteks ‘mentalitas kolonial’, atau kurang siapnya mereka memperlakukan Indonesia dalam kedudukan setara di dalam pergaulan antar bangsa. Mereka lupa mempertimbangkan aspek kesejarahan kedua bangsa yang asimetris dan sangat pahit masih berbekas kuat di sanubari rakyat Indonesia.

Perdebatan legal juga terjadi dalam soal imunitas. Ini saya anggap penting karena menyangkut ‘substansi’ yang akan diputus oleh peradilan Den Haag. Bagi saya, apapun keputusan substantif peradilan –menerima gugatan RMS untuk pencabutan kekebalan diplomatik Presiden RI, atau menolak—tetap unacceptable. Alasannya sama, bahwa ini sangat menyentuh secara intrusif dignity yang melekat dengan institusi kepresidenan kita.

Saya katakan di Twitter, it goes without saying bahwa presiden dari negara manapun dalam perjalanan ke luar negeri memiliki imunitas yang melekat secara hukum internasional. Ini norma umum dan berhak dimiliki oleh presiden negeri Indonesia yang dipahami dunia sebagai negara demokratis yang tidak lebih rendah kedudukannya (standing) dibandingkan Belanda. Kita tidak mengemis memohon belas kasihan agar Kepala Negara kita diberikan oleh Belanda kekebalan diplomatik.

Secara hukum internasional, ‘kekebalan diplomatik Presiden RI’ adalah given, inherent dalam jabatan kepresidenan Indonesia. Jadi, bukan diperoleh Presiden RI karena jaminan (granted) dari Pemerintah Belanda.

Saya menilai kedua isu legal utama tadi yang menjadi bones of contention yang gagal dipahami oleh sebagian kita. Justru di sinilah persoalannya yang menimbulkan 'kemarahan' Presiden SBY.

Aspek prosedural yang mengganjal adalah keputusan pengadilan mengabulkan pengajuan tanggal persidangan bersamaan dengan jadwal kunjungan Presiden RI. Dari segi substansi, keputusan hakim bersalah atau tidak-bersalahnya Presiden RI tidak menguntungkan Indonesia di mata dunia secara politis, artinya menempatkan Kepala Negara sebagai pesakitan di dalam sistem peradilan asing. Siapa pun tidak dapat menerima ini.

Keputusan prosedural pemajuan tanggal persidangan adalah keputusan majelis hakim. Kita tidak mencampuri pertimbangan mereka dalam menerima tuntutan RMS. Yang mengganjal bagi kita adalah bahwa meskipun peradilan tidak berada di bawah pemerintah, tetapi peradilan adalah institusi negara. Aspek kenegaraan dan kelembagaannya diwakili oleh Ratu Beatrix yang justru mengundang tamu terhormat, Presiden RI.

Karena itu kita berhak berharap bahwa peradilan Belanda sebagai institusi Negara juga wajib menjaga etiket bernegara dan dlm berhubungan dengan nilai-nilai kebangsaan dari suatu bangsa yang berdaulat. Keputusan pengadilan Den Haag yang menyetujui pemajuan tanggal persidangan bersamaan dengan jadwal acara kunjungan Presiden RI tidak mencerminkan rasa hormat dengan harga diri bangsa. Maka keputusan pengunduran kunjungan ke Belanda langsung oleh Presiden SBY merupakan reaksi yang harus dipertimbangkan sebelumnya oleh Belanda.

Kegagalan memahami sensitivitas permasalahan itu di pihak Belanda tidak harus dipikulkan kepada Indonesia, yang berarti mempermalukan Ratu sendiri. Sikap pers Belanda yang membela Ratu dan mencela Presiden RI juga tidak menolong. Bagi kaum nasionalis sah untuk berpendapat bahwa di pihak politiisi Belanda, termasuk media dan penyelenggara Negara masih terdapat cultural imperialism yang memaksakan kita untuk mengikuti keinginan mereka dan menerima kesalahan yang dipikulkan kepada sebuah bangsa yang berdaulat.

Hak bagi tuan rumah untuk menyatakan mereka tidak dapat mencampuri atau mengaitkan proses peradilan dengan kunjungan. Kita pun berhak menyatakan bahwa kehormatan, harkat, dan kedudukan terhormat RI dalam acara yang telah lama dipersiapkan mutlak tidak boleh digadaikan (trade off). Sebagai Negara besar di dunia, Indonesia berhak atas kehormatan yang bukan diperoleh dari belas kasihan dari Negara yang paling powerful sekalipun.

Juga, adalah hak bagi Indonesia untuk menyampaikan penilaian (assessment) bahwa situasi kunjungan sudah tidak kondusif. Pada saat semangat kedua Negara untuk peningkatan hubungan ke tahap strategis, terdapat unsur-unsur di Belanda yang mengandung ketidakpastian (uncertain), berkaitan dengan tuntutan untuk menggiring Presiden RI ke pengadilan, memertanggungjawabkan terjadinya pelanggaran HAM di Ambon maupun Papua. Kita berdaulat, termasuk menentukan sikap.

Bagaimana mungkin alam bawah sadar kita sebagai bangsa berdaulat yang memperjuangkan kemerdekaannya dengan darah dan airmata dapat menerima lambing kenegaraan kita dijadikan subyek di negeri yang pernah tidak rela melepaskan tanah air kita dari cengkeramannya?


Kalkulasi Pragmatis

FRASA hubungan yang saling-menguntungkan memang harus dikualifikasi. Hubungan dan kerjasama yang kita lakukan harus pula nyaman bagi kita.

Memang patut disesalkan banyak substansi baru dan baik sekali yang kita harapkan tercapai dalam kunjungan kenegaraan Presiden RI. Tetapi bilamana menyentuh ‘pride’ atau ‘dignity’ bangsa maka hasil-hasil substantive itu tidak harus diperoleh at all cost, dan tidak dapat di trade-off. Ada threshold yang perlu kita perhatikan, kapan kita toleran terhadap suatu intoleransi. Ada yang tidak bisa kita ukur dari konteks pragmatis.

Orang mengatakan: you need two to tango, alias timbal-balik, maka kepentingan peningkatan hubungan bilateral juga untuk kepentingan kedua pihak.

Sah saja jika Pemerintah Kerajaan Belanda berkeinginan untuk pembentukan era baru hubungan bilateral RI – Belanda, menuju ke tingkat kemitraan strategis. Keinginan itu tinggal keinginan bila suasana tidak kondusif.

Alih-alih mempermalukan RI, peradilan Den Haag telah ‘mencederai' reputasi Ratu Beatrix di mata rakyat Indonesia.

Pelajaran yang ditarik dari peristiwa ini ialah bahwa meskipun pelaksanaan politik luar negeri merupakan domain pemerintah (eksekutif), tetapi apabila menyangkut hubungan antar-negara maka tanggungjawab berada di semua lembaga negara, termasuk parlemen maupun insitusi yang terdapat di dalamnya.


In the Aftermath

MASALAH perlakuan mantan negara penjajah kepada bekas Negara jajahannya bukan eksklusif terjadi dalam konteks hubungan Indonesia dan Belanda. Jepang, dalam pengalaman di masa lalu sangat berhati-hati menyikapi perkembangan di China, Korea, Indonesia yang pernah menjadi jajahannya. Seperti juga antara Jerman dan Polandia, atau Rusia dan Polandia, hubungan di masa lalu yang buruk menimbulkan kompleks tersendiri bagi negara yang pernah diduduki atau bekas jajahan.

Tidak tertutup kemungkinan mentalitas superiority complex yang berasal dari kejayaan penjajah di masa lalu ingin direfleksikan kembali oleh segelintir warganegara yang berada dalam kedudukan pembuat keputusan, Sayangnya, segelintir pejabat negara tidak menyadari pada era sekarang hubungan kesetaraan menjadi doktrin dalam pergaulan antar-bangsa.

Oleh karena itu, pembatalan atau pengunduran kunjungan kenegaraan sampai waktu dan kondisi memungkinkan serta kondusif adalah sikap bijaksana Presiden RI. Tindakan itu sudah tepat.

Situasi yang dihadapi Presiden RI adalah unfortunate, sedangkan keputusan penundaan berfungsi sebagai ‘damage control’, sebagai sesuatu yang unavoidable.

Berapapun ongkos bagi penegakan martabat bangsa harus rela kita bayar, apalagi sekadar logistik yang telah dipersiapkan untuk perhelatan besar bagi kedua bangsa yang memiliki sejarah kelam dulu yang asimetris di zaman penjajahan. Kita juga sudah banyak keluar biaya.

The bottom line adalah kita tidak akan membiarkan lambang-lambang kenegaraan kita menjadi sandera di dalam suatu perseteruan politik internal di Belanda. Sampai kapan? Sampai situasinya menjadi kondusif.

Jakarta, 12 Oktober 2010

Friday, October 8, 2010

IMPLIKASI TERBENTUKNYA ASEAN KOMUNITAS 2015

DALAM artikel sebelumnya “Menyongsong Pembentukan Komunitas ASEAN 2015” saya menyambut baik ratifikasi oleh keseluruhan 10 negara-anggota terhadap Piagam ASEAN (Charter ) yang telah menjadi another milestone terpenting dalam perkembangan ASEAN sebagai organisasi sub-regional di Asia Tenggara yang kini telah berusia 43 tahun.

Sejarah ASEAN adalah bagian dari pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif. Wilayah Asia Tenggara menjadi lingkaran paling strategis bagi Indonesia: kita mencegah Asteng menjadi staging ground untuk menggerogoti Indonesia, sekaligus menjadikannya sebagai platform untuk memperluas pelaksanaan politik luar negeri di lingkaran terdekat. Ini saya tulis dalam artikel kedua: Indonesia dan ASEAN.

Indonesia adalah pemimpin natural ASEAN. Tentu saja, setiap perkembangan dan kemajuan ASEAN perlu direlevankan dengan kemajuan di tanah air. Keberadaan ASEAN yang bermanfaat akan didukung oleh rakyat Indonesia.

Pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia dan negara-anggota ASEAN lainnya pada akhirnya akan memperkuat ketahanan nasional. Terciptanya ketahanan nasional yang kuat di masing-masing Negara pada gilirannya akan memperkuat ketahanan regional. Pemerkuatan struktur politik dan peranan regional ASEAN akan mendukung upaya kita dalam rangka memperkuat NKRI.

Karena itu, setiap kemajuan yang dicapai ASEAN harus disinkronkan untuk menjadi nilai-tambah bagi pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Pembentukan Komunitas ASEAN pada tahun ASEAN 2015 diharapkan akan bermanfaat bagi peningkatan kapasitas Indonesia di dalamnya.

Tulisan di bawah ini juga menjadi bagian (terakhir) dari sari ceramah yang disampaikan oleh penulis pada saat melakukan sosialisasi Komunitas ASEAN 2015 di Surabaya dan Solo pada bulan Mei dan Juni 2010.


ASEAN Unite!

Bersatu kita teguh, bercerai kita rubuh! Itu kata pepatah (wisdom) orang tua kita. Dalam perspektif kita ASEAN adalah Indonesia dan Indonesia adalah ASEAN, maka kata ‘kita’ di atas adalah keduanya: Indonesia dan ASEAN.

Sesuai visi para pemimpin ASEAN pada tahun 2015 wilayah Asia Tenggara akan menjadi kesatuan ekonomi: menjadi one single market and production base, ketika arus barang, jasa, modal, termasuk ketenagakerjaan. Intinya: kita menghapuskan ‘border’ di sektor-sektor ekonomi yang telah disepakati sehingga kita menjadi suatu kesatuan besar dalam berurusan dengan dunia luar.

Tahapan berlakunya (entry into force) Piagam ASEAN, menyerupai proses Eropa pada tahun 1993 yang setelah melampaui proses selama 42 tahun, dengan terbentuknya The European Coal and Steel Community (1951) dan penandatanganan Maastricht Treaty.

Wilayah Asia Tenggara yang menjadi satu kesatuan dengan ekonomi kawasan Asia Pasifik telah tumbuh menjadi kawasan yang paling dinamis di dunia. Kawasan ini telah menjadi economic powerhouse yang terkemuka.

Apabila negara-negara anggota ASEAN tidak mempersiapkan diri secara bersama dalam menghadapi kompetisi global, melalui pengintegrasian seluruh potensi yang dimilikinya maka kita akan kalah. Sebaliknya, tercapainya integrasi kawasan di dalam satu komunitas tunggal dengan derap langkah yang sama akan memperkokoh leverage kita di antara kekuatan ekonomi Asia Pasifik dan pada gilirannya secara bersama-sama bersaing dengan kelompok regional/sub regional lainnya.


ASEAN Charter : Satu Kesatuan Politis, Ekonomi, dan Sosial Budaya

LAHIRNYA Piagam ASEAN merupakan langkah strategis besar di dalam integrasi 10 negara kawasan untuk menjadikan Asia Tenggara satu kesatuan ekonomi, politis dan sosial budaya.

ASEAN Charter menjadi dasar hukum untuk integrasi sub-kawasan sebagai kesatuan yang dilandaskan dengan 3 pilarnya, yaitu (1) Komunitas Politik dan Keamanan, atau SPC, (2) Komunitas Ekonomi , atau EC, dan (3) Komunitas Sosial Budaya, atau SCC, guna menjamin tercapainya integrasi pada tahun 2015.

Pembentukan ketiga pilar yang berfungsi sebagai threshold menjadi prasyarat pembentukan komunitas untuk mengintegrasikan 10 negara ASEAN menjadi satu kesatuan politik, ekonomi dan sosial budaya.

Pembentukan komunitas politik dan keamanan, tentu tidak bisa dipandang enteng karena menjadi bagian penting dengan implikasi politis yang strategis, seperti perkembangan Uni Eropa sekarang ini. Komunitas politis dan keamanan berfungsi menjadi perekat utama bagi integrasi 10 negara kawasan Asteng itu.

Pemikiran ke arah penyatuan komunitas politik di Asia Tenggara sebenarnya telah berlangsung jauh sejak berakhirnya Perang Dunia II, meskipun latar belakang Perang Dingin menjadi faktor yang malah memisahkan kawasan ke dalam 2 kubu yang bertolak-belakang.

Demikian pula pembentukan komunitas sosial budaya, ASEAN menyadari pentingnya solidaritas dan identitas yang sama bagi rakyat-rakyat di kawasan, serta komitmen bersama untuk menatap masa depan di dunia yang kian ketat mengalami kompetisi di era globalisasi. Ini penting untuk tecapainya satu identitas kita yang unik, agar gampang diingat dan membedakan kita dengan entitas lainnya di dalam pergaulan antar-bangsa dan kawasan.

Terbentuknya komunitas ASEAN melalui Asian Charter telah pula menggiring pendekatan baru ASEAN yang semula berfungsi sebagai forum wacana dan negosiasi antar-pemerintah, kini berubah menjadi wadah organisasi yang menggerakkan proses integrasinya. ASEAN pada tahapan kini harus dapat dirasakan langsung oleh 590 juta rakyat . ASEAN harus bermanfaat langsung, demikian retorika para pemimpin kita.

Proses ini sama dengan ketika negara-negara di Eropa menyepakati Maastricht Treaty (1993), dan ASEAN telah menjadi badan hukum, entitas yang dilandaskan aturan main yang berdasarkan hukum yang meletakkan kedudukan sama bagi semua anggotanya (equal footing). Kedudukan sebagai badan hukum telah menjadikan kedudukan ASEAN seperti European Community atau PBB.

Kawasan Asia Tenggara khususnya dan Asia Pasifik umumnya kaya dengan potensi konflik, sebagai warisan dari Perang Dunia II. Bahkan jika diteliti konflik-konflik atau anomisiti ini berasal dari sejarah ribuan tahun yang lalu. Oleh karena itu, bilamana kita berbicara untuk pembentukan satu kesatuan komunitas yang kokoh maka diperlukan adanya suatu mekanisme untuk penyelesaian sengketa (dispute) itu.

Syukurlah, ASEAN Charter telah mengatur kaidah umum untuk penyelesaiannya melalui mediasi, negosiasi, atau cara-cara damai sebagaimana dianut oleh Piagam PBB. Tentu saja, pengaturan teknis akan diperlukan supaya tercipta suatu mekanisme yang menjamin diperolehnya system yang terpercaya (credible) adil (just) , terbuka (open) dan efektif.

Bobot Charter juga terdapat dalam menegaskan nilai-nilai demokrasi, HAM, sustainable development, good governance, dan poverty eradication, nilai-nilai yang dianut dunia kini ke dalam code of conduct kita.

ASEAN mempunyai tradisi pendekatan komprehensif, yang tidak hanya menekankan perlunya pembentukan pasar tunggal dari segi ekonomi semata, tetapi perlu juga memperhatikan penyatuan aspek sosial budaya, agar masyarakat memiliki ownership terhadap proses ASEAN itu sendiri. Oleh karena itu, adalah menjadi kepentingan kita bersama agar semua proses dan penahapan dalam pembentukan 3 pilar berjalan seiring dan pada akhirnya pada tahun 2015 Komunitas ASEAN dapat terwujud.

Untuk penguatan nilai-nilai sosial budaya, ASEAN menekankan pentingnya pemajuan HAM, demokrasi, good governance, lingkungan hidup, penanganan bencana manusia dan alam, pelintas-batas, dan penanggulangan kejahatan terorganisir. Di samping itu, dirasakan penting akses untuk human development, penyusunan strategi untuk pembangunan berkelanjutan, program pengentasan kemiskinan, kerjasama pendidikan, pemberdayaan wanita dan anak dalam kerangka memperkecil jurang pembangunan yang masih cukup besar di antara negara-negara anggota ASEAN.


ASEAN 2015: Perspektif Ekonomi

PENYATUAN seluruh Negara kawasan menjadi suatu komunitas ekonomi merupakan tema yang paling sering dibahas. Hal ini wajar karena tanpa keberhasilan membangun kekuatan ekonominya maka ASEAN akan kehilangan relevansi dan manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh rakyat-rakyat di Asia Tenggara.

Menjadikan kawasan Asia Tenggara sebagai kesatuan pasar dan basis produksi berarti menjamin lancarnya arus barang, modal dan tenaga kerja menjadi tujuan utama penyatuan ekonomi ASEAN. Ini yang menjadi isu utama dan perhatian bagi rakyat terutama kalangan usahawan. Ini merupakan pekerjaan rumah (PR) bagi semua Negara dan Sekretariat ASEAN sebagai focal point.

Tidak perlu ada kekhawatiran untuk tercapainya komunitas ekonomi ASEAN tahun 2015 pada saat Asia Tenggara menjadi wilayah ekonomi terbuka yang terintegrasi erat dengan ekonomi dunia sebenarnya bukan mengubah kebijakan nasional. Indonesia telah menjadi anggota WTO yang juga terikat dengan berbagai peraturan multilateral di bidang perdangangan, jasa, dan investasi seperti dianut oleh WTO. Semua peraturan ekonomi ASEAN juga mengacu pada WTO.

Secara nasional, kita berkewajiban untuk mendukung keterbukaan ekonomi ASEAN, melalui pertumbuhan ekonomi yang seimbang, dalam rangka mengejar ketertinggalan (development gap) agar menjadi kawasan yang memiliki daya-saing di percaturan ekonomi global.

ASEAN telah menyepakati 12 bidang prioritas yakni, agro industry, otomotif, elektronik, perikanan, karet, tekstil, kayu, air travel, ICT, kesehatan, pariwisata dan jasa logistics (pergudangan).

Indonesia memiliki berbagai keunggulan komparatif maupun kompetitif di dalam berbagai sektor kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, keterbukaan Negara-negara ASEAN di bidang-bidang yang telah disepakati perlu dimanfaatkan dengan baik. Pada saat bersamaan, berbagai tantangan yang ada di dalam negeri perlu diatasi. Tanpa kemauan politik dari semua pemangku kepentingan: Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat sulit bagi kita untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian.

Masing-masing negara-anggota ASEAN memiliki pekerjaan rumah, yakni mengimplementasikan action plan di semua lini yang telah disepakati untuk diselaraskan dengan cetak biru pembangunan nasional di masing-masing negara.

Oleh karena itu, sosialisasi untuk pemahaman bagi masyarakat umum juga perlu dibarengi dengan sosialisasi bagi para pelaku ekonomi, untuk ambil-bagian dalam proses dan menyampaikan usulan-usulan yang akan dipertimbangkan oleh Pemerintah Indonesia di dalam proses pengambilan keputusan yang akan berlaku bagi semua negara anggota ASEAN.


Penutup

Melalui pengesahan ASEAN Charter, maka kedudukan Ibukota RI Jakarta meningkat menjadi ibukota ASEAN, seperti kota metropolitan New York atau Geneva sebagai ibukota PBB, maupun Brussels sebagai ibukota UE dan NATO.

Keputusan politis ini membanggakan bagi rakyat Indonesia. Namun, di pihak lain masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan dalam menjadikan Jakarta sebagai kota internasional dan showcase bagi kita untuk menunjukkan potensi nasional yang dimiliki.

Rakyat ASEAN ingin hidup esok menjadi lebih baik, dengan motto: one vision, one identity, one community, insya Allah dapat diwujudkan dalam 2015!

Jakarta, 8 Oktober 2010

Wednesday, October 6, 2010

ANATOMI KUNJUNGAN PRESIDEN RI KE LUAR NEGERI

SEORANG teman di Twitter mencoba merasakan kekecewaan KBRI dan masyarakat, seperti saya alami ketika bertugas di Warsawa, bilamana kunjungan Presiden RI yang sudah dipersiapkan lama tiba-tiba dibatalkan. Pada bulan Desember 2009 yang lalu Presiden SBY menunda kunjungan kenegaraan ke Polandia karena Presiden Lech Kaczynski (alm) menderita sakit berkepanjangan.

Dia menulis pesan itu, menyikapi pembatalan sekaligus untuk penjadwalan kembali kunjungan Presiden RI ke Belanda, seperti dinyatakan langsung oleh Presiden menjelang detik-detik keberangkatan di Bandara Halim Perdanakusumah, 5 Oktober yang lalu.

Memang, kunjungan Presiden RI di suatu Negara akreditasi merupakan peristiwa yang luar biasa. Jarang-jarang terjadi, seperti di Belanda kunjungan kenegaraan Presiden RI terakhir 40 tahun yang lalu. Dubes dari Negara mana pun di dunia tetap berikhtiar untuk kunjungan kepala negaranya. Jarang-jarang berhasil.


Kunjungan Presiden: The Crown

SETELAH kunjungan Presiden Soeharto pada tahun 1970, artinya dalam kurun waktu 40 tahun atau kl 10-12 dubes RI yang bertugas Presiden belum berkunjung. Dan, bagi Belanda 25 tahun kemudian kunjungan Presiden Soeharto itu dibalas oleh Ratu Beatrix dalam kunjungannya ke Indonesia di bulan Agustus 1995.

Dulu pada tahun 2000 Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga melakukan kunjungan ke Belanda. Tetapi kunjungan ini tidak dikategorikan sebagai state visit, mungkin official atau working visit.

Presiden SBY, setelah menerima undangan Ratu Beatrix 4 tahun yang lalu baru kali ini bermaksud memenuhinya, sebagai balasan terhadap kunjungan Ratu Beatrix, 15 tahun yang silam itu.

Jika Presiden SBY jadi melaksanakan kunjungan itu, maka ada rentang waktu 15 tahun terlampaui. Betapa langkanya dan mahalnya kunjungan Kepala Negara di suatu negara. Wajar jika dianggap “a crown of the mandate” oleh para duta besar dari negara mana pun dia berasal.

Kenapa? Kunjungan presiden menjadi indikator pentingnya negara akreditasi sang dubes dalam perspektif politik luar negeri negaranya. Artinya, atribut itu juga melekat pada gengsi sang dubes. Juga, kunjungan kenegaraan bukan saja menandakan tahapan baru hubungan diplomatik tetapi memang selalu banyak terobosan positif yang dibuat, untuk kepentingan kedua negara tentunya.

Bisa dibayangkan, di dunia ini terdapat 192 negara (statistic anggota PBB), maka kunjungan pada tingkat presiden dilakukan dengan sangat selektif.

Pada tingkat menlu sekalipun, atau Ketua DPR, kunjungan juga dilakukan sangat selektif. Bisa 10-20 tahun Menlu atau Ketua DPR tidak melakukan kunjungan bilateral, apalagi di negara-negara yang dipandang kurang strategis dan penting.

Dalam kedudukan dubes selalu berada di sisi presiden, sering kesempatan itu memungkinkan bagi presiden mengenal lebih dekat orang yang mewakilinya di negara akreditasi. Artinya, ada kans untuk promosi jabatan, walaupun ada juga cerita negatif jika dubes ternyata konyol.

Pak Fanny Habibie hampir beruntung memperoleh “the crown”. Tetapi, at the last minutes, keputusan pembatalan kunjungan ke Belanda disampaikan oleh Presiden SBY.

Meskipun gagal kunjungan Presiden SBY karena Presiden Kaczynski sakit, tetapi saya masih beruntung. Karena, keputusan untuk melaksanakan kunjungan ke Polandia diputuskan langsung oleh Presiden, dan sudah memiliki nilai plus tersendiri.

Memang, kesibukan KBRI dalam mempersiapkan kunjungan itu luar biasa. Semua dilibatkan, termasuk masyarakat. Komunikasi dengan Jakarta menjadi intensif, baik hal-hal keprotokolan maupun substansi. Ada kegairahan di sana.

Selama bekerja di Kemlu dan di Pewakilan RI, saya sudah belasan kali menangani atau bertugas untuk persiapan kunjungan kenegaraan. Karena kunjungan presiden adalah ‘crown’ maka ilmu yang diperoleh dalam pengalaman ini juga bernilai emas.


Perspektif Diplomasi

Kunjungan kenegaraan menjadi peristiwa terpenting dalam hubungan bilateral. Karena itu, muatan substansi, pengaturan keprotokolan dan sekuriti, sangat sensitif. Dia menjadi bagian terpenting dari keseluruhan kerangka hubungan dan kerjasama bilateral.

Diplomasi membuka jalan baru, memelihara dan bahkan meningkatkan spirit kerjasama, atau juga meredam jika diperkirakan akan terjadi gejolak. Maka, pembatalan suatu kunjungan perlu dilakukan sedemikian rupa agar tidak counter-productive.

Hubungan khusus kita dengan negara sahabat, misalnya karena bertetangga atau memiliki sejarah unik berpotensi untuk menimbulkan krisis karena itu mendapat perhatian ekstra.

Masalah yang terjadi antara Indonesia dengan beberapa negara mencuat akhir-akhir ini dan sering out of control. Contohnya, peristiwa penahanan 3 pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan baru-baru ini dekat Riau.

Penundaan kunjungan di saat delegasi sudah berada di bandara memang tidak pernah terjadi dalam sejarah diplomasi RI. Situasi itu menjadi istimewa (extra ordinary), karena tidak ada preseden, dan sensitif karena menyangkut sejarah di masa lalu yang sarat politis.

Presiden sebagai Kepala Negara menilai jika iklim belum kondusif, berkaitan dengan persidangan di pengadilan Den Haag yang menempatkan Presiden RI sebagai terdakwa, sebaiknya menunda kunjungan itu. Ramai di mana-mana, karena keputusan penundaan menjadi politically sensitive.

Sebelumnya, beberapa masalah hubungan bilateral yang sensitif juga terjadi dengan Singapura, Australia, atau dengan Vanuatu yang terletak di tengah Samudera Pasifik Selatan dan bahkan dengan Amerika Serikat. Memang tugas diplomasi untuk merapikan kembali jalinan hubungan yang indah sebelumnya.


Praktik Diplomasi

KUJUNGAN bilateral merupakan means dalam diplomasi. Diplomasi sekarang tidak hanya melibatkan pemerintah, institusi kenegaraan seperti DPR, MPR, DPD, BPK, KPK, MK dan sebagainya juga turut memainkan peran diplomasi. Kecenderungan ini menguat pada era reformasi di tanah air.

Pada tingkat pemerintah selain presiden, terdapat kunjungan pada tingkat menteri luar negeri, menteri-menteri teknis dan pejabat yang lebih rendah di bawahnya.
Kunjungan adalah salah satu cara untuk tingkatkan hubungan dan kerjasama bilateral.

Pada dasarnya kunjungan bilateral dibagi atas 3 tingkatan, yakni: (1) state visit, atau kunjungan kenegaraan, (2) official visit, atau kunjungan resmi, dan (3) working visit, atau kunjungan kerja. Ketiga jenis kunjungan ini menjadi praktik internasional dan dipahami sama oleh semua negara-negara di dunia.

Kunjungan Presiden SBY ke Belanda yang tertunda merupakan state visit, atau kunjungan kenegaraan. Hanya presiden yang menyandang hak dan status kunjungan jenis ini.

State visit merupakan tingkat tertinggi dari semua jenis, karena itu wajar jika kunjungan tersebut dikaitkan dengan pertemuan bilateral yang disebut summit meeting, atau pertemuan puncak, atau KTT.

Karena tertinggi, maka state visit dilengkapi dengan berbagai acara keprotokolan seperti courtesy calls, pidato di parlemen, jamuan malam resmi (state banquette), peletakan karangan bunga di makam pahlawan, dilengkapi pula dengan elemen kebesaran, seperti penyambutan dengan tembakan meriam 21 kali, defile parade tamu kehormatan (kadang-kadang dengan kereta kuda tradisional) dan sebagainya. Ini juga menjadi praktik di dunia internasional.

Tentu saja persiapan substansi menjadi lebih penting. Untuk persiapan substansi ini ada kalanya menyita waktu bertahun-tahun, terutama apabila banyak persetujuan baru yang perlu dirundingkan, agar dapat ditandatangani pada saat kunjungan. Untuk persiapan kunjungan Presiden SBY ke Belanda saya kira sejak Ratu Beatrix mengirimkan undangannya kepada Presiden SBY maka Kemlu dan KBRI telah memulai bekerja untuk persiapan substansi, yakni sejak 4 tahun yang lalu.

Maka, penundaan kunjungan pada detik-detik keberangkatan tidak menjadi biasa. Pasti ada hal-hal yang sangat luar biasa dan menjadi crucial bagi Presiden SBY yang akhirnya dengan berat hati memutuskan tidak berangkat.

Kerugian logistik, waktu dan energi pada kedua pihak sudah pasti. Kerugian politis lebih mahal harganya karena menyangkut hubungan kedua negara. Kerugian politis lainnya, antara lain, tertundanya penandatanganan dokumen dan berbagai kesepakatan strategis baru, atau kesempatan untuk membuat komitmen-komitmen kerjasama baru yang positif bagi kedua pihak.

Kenapa? Karena dalam salah satu program perundingan bilateral kedua pemimpin bangsa akan mengambil keputusan politis, mengenai perkara-perkara besar.

Mekanisme ini lazim di dunia. Seperti dulu di zaman Perang Dingin, dalam summit AS – Rusia selalu diharapkan muncul breakthrough, setelah para perunding tingkat menteri mentok, untuk member kesempatan bagi para pemimpin membuat keputusan atau kesepakatan baru, misalnya mengenai jumlah hulu ledak nuklir, atau tentang senjata strategis yang diatur secara parity (seimbang).

Disebut juga summit, karena memang puncak dari berbagai perundingan pada tingkat lebih rendah secara bilateral, yang mungkin puluhan bahkan ratusan kali, adalah pertemuan puncak antara kedua kepala negara/pemerintah.

Perencanaan kunjungan presiden –terutama state visit-- pengaturan dilakukan dalam hitungan detik. Begitu ketat pengaturan protokol dan sekuriti pada kunjungan kenegaraan presiden, tidak demikian halnya pada tingkat kunjungan yang lebih rendah, official atau working visits. Pengaturan program dan keprotokolan diatur lebih praktis dan fungsional saja.

Presiden sebagai Head of State sekarang ini sering menggunakan kedua jenis kunjungan ini, apalagi di Eropa yang memiliki berbagai macam pertemuan di tingkat tertinggi. Official atau working visits digunakan karena tidak ada persyaratan protokol dengan asas resiprositas (timbal-balik), artinya siapa saja berkepentingan dan punya waktu dapat berinisiatif untuk melakukan kunjungan ke negara sahabat.

Pejabat pada tingkat dirjen hanya diperkenankan menggunakan mekanisme kunjungan kerja saja yang lebih teknis, jauh dari politis.


Muatan Substansi

Dalam persiapan kunjungan, dilakukan pembicaraan sampai ke tingkat teknis mengenai berbagai aspek kunjungan itu: keprotokolan dan sekuriti, logistik, akomodasi maupun substansi. Tentu substansi menjadi core terpenting secara politis.

Setelah persiapan diselesaikan biasanya kedua Nngara memilih waktu tertentu untuk mengumumkan secara resmi ke public dan dunia internasional. Jubir Istana, Dr. Teuku Faizasyah telah mengumumkan resmi rencana kunjungan Presiden SBY pada pekan lalu. Tim aju (advance) baik keprotokolan, sekuriti, maupun substansi masing-masing bekerja memenuhi deadline, sehari sebelum Hari-H (D-Day).

Dalam kaitan kunjungan Presiden SBY ke Belanda, telah disepakati substansinya a.l. kesepakatan untuk pengakuan kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan tahun 1949 seperti tertera dalam dokumen Kerajaan Belanda, dokumen Joint Communique tentang Kemitraan Komprehensif, persetujuan teknis bilateral di berbagai bidang, seminar business, termasuk proyeksi kebijakan Pemerintah RI melalui pidato-pidato Presiden RI berbagai forum akademis dan parlemen.

Presiden RI juga akan dianugerahi tanda kehormatan "Order of The Dutch Lion", dan penghargaan "Willem Van Orange" dari Universitas Leiden.

Semua kegiatan dan capaian substantif yang menandakan peningkatan hubungan dan kerjasama bilateral, termasuk berbagai isu-isu terpenting regional dan global dituangkan di dalam Press Statement di akhir kunjungan, untuk konsumsi dan rujukan publik.


Pelaksanaan

APABILA telah diasumsikan semua persiapan telah tuntas, maka delegasi pun bersiap-siap. Data delegasi, program acara, waktu keberangkatan, route dan detil penerbangan juga dikomunikasikan kepada negara sahabat.

Bahkan, Selasa siang itu (5/10) Presiden dan Ibu Negara telah berada di bandara Halim Perdanakusuma, sementara semua delegasi telah on board.

Pada saat yang krusial menjelang keberangkatan, Presiden RI mengumumkan langsung sendiri pembatalan kunjungannya. Saya tidak ulangi lagi isinya karena telah dipublikasi meluas. Presiden juga telah mengirim surat kepada mitranya, baik Ratu Beatrix yang mengirimkan undangan, maupun kepada Perdana Menteri.

Memang tidak biasa, hanya karena situasi yang extra ordinary (luar biasa) dilakukan pembatalan kunjungan di tempat beberapa menit sebelum berangkat. Biasanya dilakukan dalam hitungan beberapa hari, dan hanya karena alasan yang legitimate. Presiden Obama memutuskan penundaan kunjungannya ke Indonesia sekitar 1-2 hari sebelum Hari H, ketika badai Katrina melanda AS.

Lazimnya persiapan kunjungan dilakukan lebih awal. Memang penjadwalan kunjungan adalah yang paling sulit, karena menyangkut agenda VVIP. Sering tertunda-tunda tetapi publik tidak mengetahui adanya penundaan karena belum disiarkan secara resmi. Berbagai pertimbangan pembatalan, atau tepatnya dalam istilah diplomasi ‘penundaan’ adalah krisis politik di dalam negeri atau di negara tujuan, ancaman keamanan, atau seperti kasus penundaan kunjungan ke Polandia karena tuan-rumah sakit parah.

Dalam peristiwa kemarin, pengumuman sudah disampaikan oleh pengambil keputusan di Jakarta yang aware adanya dinamika internal di Belanda berkaitan tuntutan menghadirkan Presiden RI sebagai terdakwa pada pengadilan Den Haag berkaitan dengan pelanggaran dan kejahatan HAM di Ambon dan Papua.

Sebelumnya media juga menyiarkan kemungkinan pembatalan kunjungan Presiden RI pada saat Dubes Fannie Habibie mengecam Geert Wilders, seorang politisi ekstrim kanan anti-Islam dari Party for Freedom (PVV).

Dalam tulisan berikutnya saya akan mengulas repercussions (gelombang reaksi) dari keputusan politis penundaan kunjungan Presiden SBY.


Jakarta, 7 Oktober 2010

Sunday, October 3, 2010

INDONESIA DAN ASEAN

SEJARAH organisasi sub regional ASEAN adalah bagian dari pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif. Wilayah Asia Tenggara menjadi lingkaran paling strategis bagi Indonesia: kita mencegah Asteng menjadi staging ground untuk menggerogoti Indonesia, sekaligus menjadi kannya sebagai platform untuk memperluas pelaksanaan politik luar negeri di lingkaran terdekat.

If you can not win the battle against your enemies, join them! Mungkin statement ini berlebihan, karena pasti bertentangan dengan prinsip dasar polugri bebas dan aktif. Kalimat ini menjadi lain, jika if you can not defeat them, win their hearts and minds! Inilah diplomasi.

Indonesia dalam sejarah perjuangannya adalah bangsa yang tidak mau menyerah. Meskipun dengan peralatan sederhana, para pejuang kita dengan semangat yang tinggi mampu memenangkan peperangan sehingga menjadikan kita bangsa merdeka. Dengan pendidikan dan pengalaman sederhana, dulu para diplomat kita mampu bertarung melawan kolonialisme ketika debat di DK-PBB tahun 1948-1949.

Maka, mempelajari sejarah ASEAN yang kini telah berusia 43 tahun juga belajar sejarah Indonesia. Pada saat negara porak-poranda secara ekonomi di akhir Orde Lama, gagasan dan ide memainkan peranan dalam pembentukan organisasi sub-regional itu.


Quid Pro Quo

PADA saat ASEAN didirikan, lebih tepat kita ingin ‘menjinakkan’ lingkungan di negara-negara tetangga agar tidak bersikap bermusuhan dengan kita. Di kala ekonomi susah, tidak mungkin mengajak rakyat berperang lagi. Berakhirlah politik konfrontasi.

Sama dengan negara-negara tetangga kita yang bosan atau kerepotan berkonflik dengan Indonesia, maka persuasi kita diterima. Lebih baik berteman daripada berkonfrontasi dengan Indonesia yang memiliki persoalan segudang.

Gagasan baru Indonesia untuk membentuk organisasi sub-regional Asia Tenggara dilatarbelakangi oleh memuncaknya suasana pertentangan ideologis komunis vs liberalism di era Perang Dingin, pasca lahirnya Orde Baru di tahun 1966.

Presiden Soeharto dengan cermat membaca situasi global yang tidak kondusif. Dia memutuskan mengakhiri konflik dengan Malaysia dan urgensi untuk terciptanya keamanan di Asia Tenggara. Observasinya kemudian melahirkan ASEAN, 8 Agustus 1967.

Para pemimpin Indonesia ketika itu menyadari pentingnya pendekatan yang tepat, mengambil pengalaman gagalnya gagasan pembentukan organisasi regional, seperti Maphilindo atau SEATO yang sarat dengan kepentingan politis atau keamanan.

Presiden Soeharto juga menyadari, gagasannya bisa dipandang kontroversial di tengah-tengah maraknya Perang Vietnam, persaingan pengaruh Uni Soviet lawan Amerika Serikat, sengketa antara Rusia – Jepang, Jepang dan Korea, China, atau antara Vietnam dan China maupun dengan Thailand.

Bahkan di antara sesama Negara Asia Tenggara masih membekas trauma konflik di masa lalu atau masih berlangsung sengketa, misalnya antara Indonesia – Malaysia, sementara Malaysia juga masih sengketa dengan Singapura, dan situasi di Filipina masih membara pemberontakan komunis dan gejolak di Selatan.

Melalui pendekatan diplomatis, Soeharto mengajak Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura untuk merumuskan ASEAN. Buah upaya itu melahirkan Deklarasi Bangkok, ditandatangani oleh para menteri luar negeri 5 negara, yakni Adam Malik (RI), Rajaratnam (Singapura) Tun Abdulrazak (Malaysia), Thanatkhoman (Thailand) dan Ramos (Filipina).

Hasilnya adalah win-win, quid pro quo.

Setelah ASEAN berusia 43 tahun, para negarawan dari 10 anggota ASEAN sekarang bisa mendeklarasikan “We are all the winners”, mungkin.


10 Negara ASEAN: Unity

SEMBOYAN di ASEAN adalah berkembang atas kesepakatan bersama, dan dengan laju yang nyaman bagi semua pihak (at pace comfortable to all). Para pemimpin ASEAN menyadari perlu kesabaran dan bijaksana menyikapi berbagai perkembangan. Perlu kondisi psikologis dan proses confidence building untuk menciptakan kepercayaan (trust) di antara bangsa-bangsa Asia Tenggara.

Dimulai keanggotaan 5 negara, ASEAN kemudian berkembang perlahan, mulai dengan masuknya Brunei Darussalam (1984), disusul Laos, Myanmar, Vietnam (1997), dan akhirnya Cambodia (1999) sehingga menjadi genap menjadi 10 negara.

Dalam perjalanan selama 43 tahun, ASEAN telah memberikan kontribusi besar untuk tercipatnya perdamaian dan stabilitas kawasan, baik melalui pembentukan norma, kelembagaan maupun hukum.

Sebagai debut pertama, lahirnya konsep Asia Tenggara sebagai ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) 1971, kemudian deklarasi Bali Concord I (1976), Treaty of Amity and Cooperation (TAC 1976) yang menjadi code of conduct bagi Negara-negara kawasan maupun di sekitarnya.

ASEAN semakin percaya diri, terutama sejak mencuatnya kembali peranan leadership Indonesia pasca reformasi, yang melahirkan ASEAN Vision 2020, Bali Concord II ( 2003) dan akhirnya ASEAN Charter (2009).


What’s Next?

TELAH disepakati, Indonesia akan menjadi tuan rumah ASEAN di tahun 2011, atau dalam bahasa Uni Eropa kita memegang presidency ASEAN. Kedudukan ini strategis bagi kita, karena ASEAN telah memasuki era Charter.

Sebagai salah satu pendiri ASEAN, Indonesia menduduki tempat strategis, karena menjadi yang terbesar, dan karenanya de facto menjadi pemimpin.

US-ASEAN Summit di New York pekan lalu menjadi kurang bergaram. Ketidakhadiran Presiden SBY menjadi faktor, begitu kata media. ASEAN memerlukan leadership Indonesia, bahkan kehadiran Presiden RI atau tidak selalu memiliki arti simbolis, dan wajar menjadi pengamatan para diplomat. Meskipun kita tahu, agenda Presiden SBY cukup padat di tanah air.

Sejak awal tahun 2010 Indonesia telah mempersiapkan diri untuk kepresidenan ASEAN. Tidak sekadar mengatur ribuan pertemuan dari berbagai tingkat dalam kerangka ASEAN, tetapi Indonesia diharapkan mampu memimpin ASEAN secara strategis untuk kepentingan jangka-panjang. Untuk itu, Indonesia perlu muncul dengan berbagai gagasan-gagasan baru.

Dalam setahun jabatan keketuaan ini, Indonesia akan diuji, dinilai seberapa jauh capaian diperoleh dalam mendorong kemajuan ASEAN, dan tentu untuk kepentingan nasional kita. Perjuangan kepentingan nasional tidak mesti mengorbankankepentingan regional, bahkan global. Menjadi kewajiban kita semua untuk menyelaraskannya secara harmonis.

Dalam menakhodai ASEAN di tahun 2011, Indonesia sekaligus menjadi pemimpin de facto maupun de jure.

Jakarta, 4 Oktober 2010