Tuesday, April 19, 2011

ADAKAH RUANG DIPLOMASI KITA DI TIMUR TENGAH?

TUNTUTAN umat Islam di tanah air agar Indonesia memainkan peranan aktif dalam mendorong proses damai reformasi di beberapa Negara Timur Tengah dan Afrika Utara mencuat akhir-akhir ini.

Berturut-turut, mulai akhir 2010 demonstrasi merebak di Tunisia kemudian menjalar ke Mesir, Libya, Aljeria, Bahrain, Djibouti, Iraq, Yordania, Syria, Oman dan Yaman, diikuti pula euphoria demokrasi di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Marokko, Arab Saudi, Sudan dan di Sahara Barat yang semuanya dikenal sebagai negara-negara Muslim.

Beberapa pengamat mencoba memahami situasi dan dinamika yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara itu kurang lebih setara dengan tingkat dan dimensi perubahan di Eropa Timur di awal tahun 1990-an yang telah menjungkirbalikkan komunisme dan mengakhiri Perang Dingin. Peta Eropa berubah, maka peta geopolitik pun berubah.

Dan, pergolakan atau lebih tepatnya revolusi yang berlangsung di sana belum akan berakhir dalam waktu dekat. It’s only the beginning, hemat saya.

Akankah ‘wind of change’ menyapu Dunia Islam? Seberapa besar tantangan demokrasi di Dunia Islam dan apakah pengalaman Indonesia atau Turki relevan bagi Negara-negara yang sedang bergejolak tersebut.

Adakah opsi-opsi yang terbuka bagi Indonesia untuk turut menyumbangkan peran dan pengalamannya dalam meredam gejolak agar tidak merugikan perjuangan Dunia Islam? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mudah dijawab tentunya.

Mengapa Kita Peduli?

HARAPAN masyarakat di tanah air agar Indonesia melalui diplomasi untuk memainkan peranan untuk tercapainya transisi damai di Negara-negara Muslim itu beralasan.

Pertama, Indonesia merupakan Negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Pergolakan di dunia Islam menjadi keprihatinan kaum Muslim di Indonesia. Indonesia pasca reformasi telah memiliki kesempatan untuk menggunakan diplomasi yang tidak sekadar alat perjuangan mencapai kepentingan nasional yang tangible.

Pembukaan UUD 1945 telah memandatkan tanggung-jawab internasional Indonesia apalagi didukung dengan kinerja ekonomi yang menakjubkan dunia dan telah menjadi anggota G-20, kelompok negara dengan ekonomi terbesar dunia.

Solidaritas karena kedekatan agama atau mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina telah menjadi klasik. Konstituten di dalam negeri telah mendorong agar Indonesia lebih berkiprah tidak hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi.

Kedua, di sana banyak terdapat penduduk Indonesia yang sedang bekerja atau menunaikan ibadah umrah, berwisata, maupun mahasiswa. Di dalam era merebaknya medium untuk media social, perkembangan situasi yang memburuk di Timur Tengah menjadi kecemasan dari rumah ke rumah.

Ketiga, Indonesia juga pernah mengalami proses reformasi dan berhasil mengatasi gejolak di masyarakat dengan baik. Indonesia juga telah muncul menjadi salah satu kekuatan demokrasi di dunia, bahkan melalui Bali Democracy Forum menyumbang bagi proses penguatan demokrasi di kawasan Asia Pasifik. Jelas kita bisa menyumbangkan pengalaman kita dengan negara-negara yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi.

Konstituen kita di dalam negeri juga terbelah. Ada yang mendukung runtuhnya rejim Gaddafi, namun kemarahan terhadap pengeboman oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO juga tidak kurang.

Sering pula Pemerintah didorong agar bersikap proaktif, adakalanya melampaui kapasitas atau kemampuan kita sendiri.

Reaksi Dunia Islam

MEMANG dirasakan aneh, Organisasi Konperensi Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara di Dunia Islam, termasuk Indonesia, sejak awal tidak mengambil langkah-langkah penting di tengah keadaan yang memburuk di Tunisia, Mesir dan Libya.

OKI baru bersuara ketika angin reformasi melanda Libya dan menjatuhkan korban warga sipil. Melalui sekjen Ekmeleddin Ihsanoglu, OKI mengeluarkan seruan agar semua pihak yang ambil-bagian dalam operasi militer menahan diri untuk tidak menjatuhkan korban di kalangan sipil serta meminta semua Negara menghormati kesatuan bangsa dan keutuhan wilayah Libya.

Pernyataan ini sangat terlambat, karena pernyataan ini keluar baru pada tanggal 23 Maret 2011, sesaat setelah keluarnya resolusi DK-PBB No. 1973. Padahal, pergolakan dahsyat telah dimulai di Mesir sejak akhir Januari 2011.

Bagaimana dengan Gulf Cooperation Council (GCC)? Dalam pergolakan di Libya, 6 negara yang tergabung dalam GCC (Gulf Cooperation Coucil) secara terang-terangan menyerang Muammar Gaddafi dan memihak kepada oposisi. Turut sertanya Qatar mengirimkan pesawat tempur menyerang kekuatan militer Gaddafi menggambarkan komplikasi yang tidak gampang bagi Indonesia untuk mendukung kepada salah satu pihak.

GCC mempunyai alasan jelas bahwa penembakan dengan senjata berat penduduk sipil dengan menugaskan tentara bayaran asing adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional.

“Rejim Gaddafi telah kehilangan legitimasinya” kata Perdana Menteri merangkat Menlu Qatar Hamad bin Jasem bin Jaber Al Thani.

Bagaimana dengan peran Arab League? Organisasi bangsa Arab yang beranggotakan 22 negara ini berbeda pendapat dengan GCC yang dimotori oleh Arab Saudi, sebaliknya menyesalkan serangan bom AS dan Negara-negara Eropa yang telah menjatuhkan korban di kalangan sipil serta tidak menghantarkan ke arah membaiknya situasi bahkan perang saudara terbuka.

Sekjen Arab League Amr Moussa menyatakan persetujuan mereka untuk resolusi DK-PBB yang memberlakukan no-fly zone dimaksudkan untuk mencegah Gaddafi menggunakan kekuatan udara menyerang penduduk sipil dan bukan untuk menggempur kota Tripoli serta pasukan Libya.

Resolusi DK-PBB seperti cek-kosong yang digunakan AS dan sekutunya untuk menggempur Libya habis-habisan tanpa memperdulikan kepentingan perlindungan bagi warga sipil.

Uni Afrika pun tidak mampu berbuat apa-apa. Sikap Negara-negara anggota organisasi regional ini pun terbelah-belah. Gaddafi banyak memberikan sumbangan kepada Uni Afrika.

Indonesia tidak dapat berbicara di GCC maupun Arab League, atau Uni Afrika semata-mata kita tidak menjadi anggota di 3 organisasi ini, maka satu-satunya forum yang mungkin digunakan adalah melalui OKI.

Namun, sampai saat ini OKI belum mampu memainkan peranan substantif dan signifikan dalam mendorong proses perubahan damai tanpa gejolak di Timur Tengah dan Afrika Utara. Alasannya jelas, tidak ada konsensus dan bahkan sikap negara-negara anggotanya terpecah.

Bilamana organisasi regional atau sub-regional sendiri kurang mampu berperan maka sulit bagi Indonesia, yang bukan negara kawasan, untuk menawarkan perannya.

Keterbatasan Diplomasi RI

Alhasil, satu-satunya leeway (koridor) tersisa bagi kita untuk turut berbicara mengenai situasi yang menimpa saudara-saudara kita di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah secara nasional, seperti yang disuarakan oleh Presiden RI maupun delegasi RI di PBB. Di sinipun kita memiliki keterbatasan.

Meningkatnya gengsi berkat peran menonjol di berbagai fora internasional tidak serta-merta menjadi currency yang dapat dimainkan dalam pertarungan diplomasi. Ada keterbatasan bagi Indonesia untuk memainkan peranan di dalam mengatasi situasi di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Pertama, tatanan internasional pada pasca Perang Dingin memberikan ruang-gerak bagi peranan organisasi regional yang lebih besar. Dalam hal ini, organisasi yang relevan untuk membahas pergolakan yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah GCC, Arab League, atau Uni Afrika.

Tuntutan agar ASEAN menyuarakan pernyataan mengecam pemboman Libya juga tidak memungkinkan karena isu Timur Tengah ini hanya menjadi perhatian 3 dari 10 negara anggota, yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Sekiranya ASEAN juga mengeluarkan pernyataan sifatnya umum-umum saja.

Kedua, meskipun secara nominal telah menjadi negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia Indonesia baru berambisi untuk menjadi ‘inspirasi’ dan belum mau menjadi kampiun yang memaksakan format demokrasi di mana-mana. Konsolidasi praktik-praktik demokrasi masih berlangsung di tanah air yang di sana-sini masih memerlukan penyempurnaan. Artinya, kondisi demokrasi kita belum mencapai taraf paripurna.

Ketiga, meskipun secara nominal disebut telah menjadi negeri berpenduduk terbesar Muslim se dunia, namun masih banyak pekerjaan rumah kita untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi bagi kalangan masyarakat. Indonesia juga sedang membangun kapasitas intelektualitas dan pemikir keislamannya untuk bisa menjadi center of excellence yang diakui di Dunia Muslim. Untuk menjadi pusat peradaban Islam se dunia, misalnya, masih banyak pekerjaan rumah bagi Indonesia, perolehan Nobel dan karya-karya pemikiran Islam berkelas dunia salah satunya di mana Indonesia masih absen.

Keempat, untuk memainkan peranan penting dalam percaturan politik internasional atau memainkan kartu diplomasi maka Indonesia memerlukan means dengan currency yang berlaku.

Dalam percaturan diplomasi kekuatan ekonomi, militer yang memadai dan dapat diproyeksikan secara global menjadi keniscayaan bagi pelaksanaan diplomasi kita. Meskipun telah diakui sebagai pemain baru potensial dalam perekonomian dunia negeri kita juga masih belum dalam posisi yang consolidated, seperti misalnya China.

Dengan kondisi kemampuan keuangan terbatas, peningkatan kapasitas pertahanan nasional yang didukung dengan peralatan canggih belum menjadi prioritas bagi kita. Jangankan untuk penggunaan kekuatan militer dalam mendukung diplomasi RI di timur Tengah, untuk di kawasan Asia Tenggara sekalipun kita belum mampu memproyeksikan kekuatan militer dengan hardware yang handal.

Kinerja diplomasi akan meningkat bilamana Indonesia berhasil meningkatkan kapasitas dan kemampuan proyeksinya di bidang ekonomi dan pertahanan di dalam pergaulan bangsa-bangsa.

Jakarta, 20 April 2011