Thursday, June 23, 2011

Sekolah Terbaik : Memoar Rinto Harahap

TIDAK SEMUA orang beruntung memperoleh pendidikan formal sampai sarjana. Keberuntungan memperoleh pendidikan setinggi mungkin itu ada pada semua lapisan sosial ekonomi. Tidak mesti kaya, banyak anak-anak rakyat di lapisan bawah yang mencapai jenjang pendidikan tertinggi, bahkan professor! Sebaliknya, banyak pula anak-anak dari keluarga menengah ke atas yang hanya tamat SMA atau lebih rendah.

Memang kemampuan ekonomi tidak menjadi faktor terpenting dalam mencapai pendidikan tinggi. Ada kemampuan IQ, ada kecerdasan emosi, konsistensi dan kegigihan. Semua ini faktor bawaan, given, ada pada manusia dalam perbedaan tingkatnya. Yang lain pelengkap. Tak usah diperdebatkan bahwa semua faktor bawaan ini adalah pemberian dari Sang Maha Pencipta.

Di manapun, dan dari lapisan mana pun Anda berasal tidak menjadi faktor bahwa Anda tidak menjadi manusia berguna. Dengan apa yang Anda punyai, atau gelombang kehidupan yang Anda lalui, itu adalah modal untuk ‘menjadi orang’. Karena kehidupan itu sendiri, dengan berbagai terpaan badai atau keteduhannya, adalah sekolah terbaik bagi Anda!

Ini barangkali yang menjadi catatan saya, pada Sabtu petang akhir Mei 2011 di Gramedia Grand Indonesia, ketika menghadiri peluncuran memoir Rinto Harahap yang tidak asing lagi bagi dunia musik pop di tanah air, terutama di sejak era 1970-an sampai akhir abad yang lalu. Penulisnya juga beken: Izharry Agusjaya Moenzir dengan karya terbarunya Gelas Gelas Kaca: Tribute to Rinto Harahap.

Izharry, senior saya di Harian Waspada Medan, juga penulis Bukan Testimoni Susno Duaji, memoir Gesang sang pencipta lagu “Bengawan Solo” dan sejumlah bestseller lainnya. Gramedia. Dia dulu senior saya di Harian Waspada Medan.

Petang itu telah hadir Bang Rinto sendiri, isterinya Lily dan puteri paling bungsu Achi yang dokter gigi. Di samping Izharry sang penulis, telah disiapkan panel untuk bedah-buku memoir itu, tidak lain dari wartawan musik top Bens Leo dan Bang Rinto sendiri.

Beberapa teman-teman dekat Rinto juga hadir, seperti Jajang Pamuncak, Jelly Tobing, Erwin Harahap, Fadyl Usman, etnomusikolog Rizaldi Siagian dan sejumlah anak Medan lainnya.

Erwin Harahap yang kalem dengan gitarnya di Mercys tidak lain abang kandung Rinto sendiri yang menjadi pemimpin grup band yang melahirkan Rinto, Charles Hutagalung, Reynold Panggabean dan Albert Sumlang dalam blantika musik pop nasional selama lebih dari 3 dekade, mulai awal 1970-an juga hadir sore itu.

Endorser

LEBIH DARI sekadar pengagum Bang Rinto, saya hadir dalam acara peluncuran memoar itu atas undangan Gramedia sebagai salah satu endorsers memoar itu. Suatu hari Bang Izharry bercerita sedang menyelesaikan memoar Rinto Harahap. Buku ini sudah digarap selama 12 tahun, dan dia ingin segera menuntaskannya.

“Mantap itu, Bang”, ujar saya. Saya memang penggemar Mercys, seperti lazimnya generasi saya yang kini berusia 50-70 tahun.

Siapa yang tidak kenal dengan Rinto Harahap, pencipta lagu yang merajai musik pop Indonesia pada era 1970-1990an?

Melalui Lolypop Group, kelompok binaan Rinto di luar Mercys, lahir sejumlah nama-nama puncak seperti Diana Nasution, Christine Panjaitan, Betharia Sonata, Iis Sugianto, Eddy Silitonga, Nur Afni Octavia, Nia Daniati, Hetty Koes Endang, Broery Pesulima, Rita Butar Butar, Viktor Hutabarat, dan banyak lagi.

Sebagai endorser, saya juga didaulat berbicara. Jujur saya berkata meskipun belum pernah menyaksikan langsung konser Mercys atau Lolypop atau bertemu dengan Rinto Harahap, tetapi saya dan jutaan lainnya adalah pengagum berat.

“Generasi saya dan bahkan yang lebih tua dibesarkan oleh lagu-lagu Bang Rinto. Kami mengingat lagu-lagu itu karena ada kaitannya dengan kenangan di masa lalu, masa remaja”, kata saya mengawali komentar.

“Jutaan orang-orang seperti saya dan sanak keluarga akan memilih Bang Rinto sebagai presiden jika pada zaman itu kita telah reformasi dan Bang Rinto maju mencalonkan diri menjadi presiden”, ujar saya yang mendapat tepuk tangan pengunjung.

Bang Rinto tidak saja berjasa ‘membesarkan’ kita. Beliau juga menciptakan kehidupan dengan keterlibatan para pekerja industri musik, ratusan ribu orang-orang yang terlibat dalam sektor produksi, pemasaran dan pertunjukan karya-karyanya. Dampak ekonomi itu muncul berkat karya-karya adiluhung Bang Rinto, kata saya bak seorang caleg di Pilkada.

Selama hampir 20 tahun saya tinggal di luar negeri, karya-karya Bang Rinto menjadi pengobat rindu ke tanah air nan jauh. Begitu berartinya lagu-lagu popular Indonesia, termasuk ciptaan Rinto Harahap, bagi masyarakat kita di luar negeri.

Dengan hasil karya berjumlah 518 lagu selama 3 dekade dimulai tahun 1970-an Rinto Harahap memerintah kerajaan musik pop modern Indonesia. Teruji, merekam zaman yang cukup panjang dan mengabadikannya ke dalam karya-karya indah.

Karya cipta Rinto Harahap juga diabadikan dalam album The Masterpiece of Rinto Harahap, bersisikan 14 lagu yang didaur-ulang sesuai konsep musik masa kini dan dinyanyikan oleh penyanyi-penyanyi anyar sekarang. Karya-karya itu abadi.

Jalan Tom Jones atau Rinto?

SAYA lantas mengutip wawancara penyanyi top di tahun 1960-an, Tom Jones, yang merasa menyesal mengapa pada puncak-puncak kehebatan suaranya malah dia menghabiskan waktu untuk show di Las Vegas dan berbagai kota di dunia. Menurutnya, pada puncak prima kehebatan pita suaranya seharusnya digunakan untuk rekaman. Meskipun Tom Jones sekarang ini masih melakukan konser dan full-house di mana-mana, tak-pelak pita suara itu tidak seprima seperti pada era kejayaannya.

Tom Jones menyesal, rekaman suara itu akan menjadi harta karun modal yang akan menjamin hari tuanya.

Saya katakan, Bang Rinto pada puncak-puncak kreativitasnya menghabiskan waktu untuk mencipta lagu dan merekam di studio. Tidaklah mengherankan jika dalam kurun waktu itu Rinto menghasilkan 518 lagu ciptaannya. Bang Rinto lebih beruntung ketimbang Tom Jones.

Saya lantas ingat, ketika Duta Besar Rusia Vladimir Plotnikov mengajak saya untuk sama-sama menyanyikan Benci Tapi Rindu pada acara dinner di tahun 2006. Dubes Rusia yang fasih berbahasa Indonesia ini sangat menyukai karya-karya Bang Rinto. Saya sadar karya-karya Rinto Harahap telah menembus batas-batas kultural antar-negara. Tom Jones juga begitu.

Sore itu, saya pun menyanyikan Benci Tapi Rindu, bersama sang penciptanya, Bang Rinto, diikuti hadirin.

Ingin Kembali Mencipta

PETANG itu Bang Rinto tampak segar. Ketika berbicara, Bang Rinto masih belum lugas. Beliau terserang stroke beberapa tahun yang lalu.

“Saya akan menulis lagu lagi, terutama jika jemari kanan sdh pulih, agar bisa main gitar”, katanya. Doakan kawan-kawan, katanya lagi yang disambut oleh para hadirin yang memenuhi tokobuku Gramedia: Amin!

Penerima Anugerah Seni 1982 dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen P dan K, sebagai pencipta lagu sekaligus penyanyi yang berprestasi itu tak-pelak menjadi a legend. Dia turut meletakkan dasar-dasar lagu populer di Nusantara (termasuk Malaysia, Brunei, Singapura).

Wajar, nama besar Rinto Harahap akan diabadikan dalam sanubari rakyat berbahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara.

Kejujuran Modal Utama

DALAM memoar Gelas-Gelas Kaca, Rinto Harahap jujur bertutur kisah dirinya. Tiada kebetulan, dan manusia bisa menjadikan kehidupan nyata yang dialaminya – di mana pun, apapun status sosialnya-- sebagai sekolah terbaik bagi kehidupan.

Memoar ini sarat dengan pesan. Sekolah kehidupan, lebih dari sekadar sekolah formal, mengajarkan wisdom dan mendorong manusia untuk menggali potensi yang ada pada diri sendiri.

Pada awalnya, potensi sebagai pencipta lagu tidak tampak pada Rinto. Hanya karena terpaan berbagai peristiwa berat Rinto terdorong untuk setia dan jujur menjadi seniman. Berada lingkungan orang-orang yang dicintainya, keluarganya, dan teman-teman dia bekerja keras. Hasil kerja keras itulah yang menghantarkan Rinto menjadi legend, pencipta lagu yang sangat kreatif.

Dia bertutur tentang kampung halamannya di Sipirok dan di masa kecil di Sibolga, tentang ayah dan ibu yang dicintainya. Bertubi-tubi cobaan menimpa keluarga dan dirinya, dan Rinto yang berhati lembut ternyata juga berlatar-belakang dunia keras, preman, di Medan. Ternyata dia mantan Rambo!

Rinto menjadi 'introvert' ternyata pernah mengalami tahanan, namun suka menulis puisi. Puisi-puisi itu kelak akan menjadi tema lagu-lagu ciptaannya.

Rinto Harahap menjadi pribadi yang jujur, seakan-akan terombang-ambing dalam jatuh-bangun kehidupan keluarga ayahnya, mencoba setia dengan anjuran ayahnya untuk menjadi pegawai dengan kehidupan serba teratur. Pada akhirnya, dia terdampar di dunia seni, dan sukses!

Hubungannya dengan kolega Charles Hutagalung yang lebih dahulu ngetop dan memang berbakat diakuinya jujur. Bahkan, Charles yang menjadi sumber inspirasi dan guru baginya. Pada kejayaan karir mereka, sempat kedua teman akrab menjadi seteru. Namun, di masa senja pertemanan itu bertaut kembali.

Zia dan Tasya, teman remaja Rinto digambarkan begitu inspiratif, lebih sebagai teman karena keduanya memahami perasaan Rinto yang halus.

Kisah tentang Tasya, teman remajanya itu diungkap Rinto dalam lagu Katakan Sejujurnya yang menjadi salah satu hit Christine Panjaitan.

“Apa mungkin kita bersatu?”, tanya Rinto yang masih dalam taraf pencarian diri, kemudian merantau meninggalkan kota Medan.

Izharry Agusjaya sang penulis hebat selama 4 dekade adalah orang yang tepat merekam dengan baik dan halus buku memoar itu. Wajar, Izharry sangat memahami degup-jantung anak-anak Medan dengan berbagai perjuangan mereka di ibukota.

Kisah perjuangan dan suka-duka anak manusia yang mirip dengan cerita Laskar Pelangi ini sangat inspiratif dan layak difilmkan.

Jakarta, 24 Juni 2011

Monday, June 13, 2011

BERTETANGGA YAHUDI

KAMI tinggal 4 tahun di New York. Kota ini sempat dijuluki “Jew York” karena di kota ini konsentrasi terbesar masyarakat Yahudi di luar Israel, hampir 2 juta orang, dari total kurang lebih 7 juta jiwa di seluruh AS.

Mayoritas komunitas Yahudi berasal dari kelompok Ashkenazi yang berjumlah hampir 1 juta jiwa. Selebihnya adalah kelompok Hasidic Chabad-Lubavitch, Bobover, Satmar yang menjadi cabang-cabang dari sub-etnis Hasidism, kelompok ultra-Orthodox Judaisme.

Keberadaan mereka di New York City dimulai pada abad ke-17, datang dari Brazil mencari kebebasan beragama. Mereka tergolong Sephardi (Yahudi yang berasal dari Negara non-Eropa) seperti Suriah. Imigrasi besar-besaran terjadi pada akhir abad ke-19 ketika anti-Semit merebak di Eropa Tengah dan Timur, kemudian setelah PD I.

Di era glasnost dan perestroika di Uni Soviet pada dekade 1980-1990, komunitas Yahudi Ashkenazi, Bukhari, dan Georgia , membanjiri New York. Queens, South Brooklyn, Bronx, Manhattan, dan Riverdale. Umumnya orang-orang Yahudi tinggal di kawasan-menengah seperti Brooklyn, Queens, Forest Hills, atau di Fresh Meadows dan Flushing, di mana kami sekeluarga tinggal. Sebagian menetap di di Upper State, Long Islands, atau di New Jersey di enklaf kelas menengah ke atas.

Omni Present

YAHUDI itu tidak monolit. Tentu, tidak semua mereka kaya dan berkecukupan. Ada pula yang kurang beruntung dan menjadi tukang cukur, atau binatu, atau hanya pelayan restoran. Mereka juga tidak semua beragama Yahudi, agama mayoritas. Bahkan tidak kurang yang atheis alias tidak beragama.

Menurut Google, hanya ¼ komunitas Yahudi di Amerika yang menjalankan ibadah agama tradisional mereka. Mungkin ini yang menjelaskan mengapa secara tradisional komunitas Yahudi Amerika menjadi pendukung Partai Demokrat (liberal), daripada Partai Republik (konservatif).

Ada yang puritan, ada pula yang kosmopolitan. Banyak yang menjadi selebriti, artis terkenal, sutradara film, professor, penulis hebat atau pemilik media. Meskipun jumlahnya sekitar 2 juta, orang-orang Yahudi itu ada di mana-mana, omni present.

Karena cukup lama, hampir 4 tahun kami tinggal di Fresh Meadows bertetangga dengan masyarakat Yahudi saya pun terbiasa dengan pemandangan sehari-hari hidup dengan mereka.

Pada hari Sabtu yang adalah hari Sabbath, hari suci bagi umat Yahudi seperti Jumat bagi Muslim, mereka beribadah ke Sinagog, berjalan berbondong-bondong. Pada hari Sabtu orang yahudi dilarang berkendaraan. Sinagog merupakan pemandangan biasa di New York, terutama di kawasan konsentrasi masyarakat mereka.

Tahun baru Yahudi yang disebut Rosh Hashanah tidak begitu kentara dirayakan di Amerika, berbeda halnya dengan Yom Kippur yang merupakan hari tersuci bagi mereka atau Hanukah, festival 8-hari dengan menyalakan lampu bercabang-8.

Agama yahudi juga memiliki hari-hari besar lainnya, namun yang kentara dirayakan meriah adalah Yom Kippur dan Hanukah.

Puasa juga menjadi bagian dari ritual agama Yahudi, di samping tirakat sambil membaca kitab suci Taurat sampai menjelang subuh. Di pemukiman kami tinggal itu, pada waktu tertentu lamat-lamat saya mendengar mereka mengaji di malam hening entah sampai jam berapa.

Mereka juga memasang tenda di samping rumah, dan bersama keluarga ‘tadarus’ membaca Taurat.

Karena itu, kami bertetangga baik dengan orang-orang Yahudi, peacefull coexistence, hidup berdampingan dengan damai. Di kawasan ini pula kami lebih mengenal mendalam tentang kebiasaan dan hidup sehari-hari mereka. Tidak hanya itu, landlord (pemilik rumah), dokter, agen asuransi, bankers, dan guru-guru sekolah anak-anak kami, dan beberapa profesor hebat yang saya kenal baik ketika belajar di University of Washington (Seattle) juga orang Yahudi.

Tentu tidak semua beruntung. Di antara yang masih belum beruntung adalah tetangga kami. Aleksandr atau Sasha, begitu dia dipanggil isterinya, beserta 2 anak remaja baru saja beremigrasi dari Azerbaidjan. Dia belum lancar berbahasa Inggeris. Saya dan keluarganya selalu berbahasa Rusia bila berpapasan atau pada weekend sedang berberes rumah.

Menurutnya, kehidupan di negara bekas Uni Soviet itu tidak menarik lagi setelah bubarnya negeri itu di awal tahun 1990. Pasca bubarnya Uni Soviet, masyarakat etnis terutama di Asia Tengah kembali ke tradisi semula yang Islam.

Dalam gejolak sosial di negara-negara transisi itu selalu muncul masalah-masalah sosial dan bahkan xenophobia (benci orang asing) meskipun mereka lahir dan besar di negeri itu. Itu yang membuat Sasha merasa tidak aman.

Sasha menjual semua harta-bendanya dan berkat koneksi dan persaudaraan Yahudi mendapat sponsor untuk beremigrasi ke AS. Dia harus mandiri setelah tiba di Amerika. Dia hanyalah seorang pemilik mobil sedan merangkap supir untuk tamu-tamu VIP, begitu penjelasannya.

Anaknya yang laki-laki bekerja sebagai montir, sedangkan puteri remajanya bekerja sebagai kasir di supermarket yang tidak jauh dari rumah saya. Kedua anak mereka ini juga sedang menempuh studi di perguruan tinggi.

Menurut Sasha, selama hidup di zaman Komunis Uni Soviet mereka diwajibkan mengikis identitas etnis dan bahkan agama! Kehidupan cenderung sekuler. Banyak pula yang menjadi atheis, seperti Sasha dan keluarganya. Maka, beremigrasi ke Amerika dan tinggal bersama komunitas Yahudi menjadi kesempatan untuk kembali ke tradisi dan agama mereka.

“Saya dulu tidak tahu bahwa daging babi itu haram”, katanya. Memang Sasha dan keluarganya telah menjadi ‘born-again’ Jewish. Dia kini tidak mengkonsumsi daging babi, dan bahkan berusaha secara ketat mematuhi diet Yahudi dengan makanan kosher (halal).

Belajar Mendidik Anak a la Yahudi

TINGGAL bersama komunitas dengan mayoritas Yahudi menjadi biasa. Kami juga memerhatikan bagaimana mereka hidup sehari-hari. Bangsa yang diuber-uber selama ribuan tahun ini memang luar biasa ketahanan nasionalnya.

Meskipun ibu-ibu rumahtangga Yahudi itu memiliki pendidikan tinggi, bahkan sampai doktor, tetapi mereka tetap setia pada profesi tradisional: sebagai penjaga tradisi, pendidik di rumah serta mengurus pekerjaan rumah-tangga (house chores).

Bangsa Yahudi berbudaya paternalistik. Lelaki berjuang untuk keluarga, mencari kehidupan. Wanita dipersiapkan untuk menjadi ibu rumah-tangga. Ini profesi tradisional yang bersandar pada budaya Yahudi. Para ibu rumah tangga menjadi ‘the back bone’ bagi penjaminan agar tradisi, agama, dan budaya terwariskan dengan baik.

Yang menjadi kunci daya tahan mereka adalah bersumber pada 2 hal: tradisi dan agama. Dari ajaran teologis ini mereka memiliki 2 kunci hidup: bagaimana menjadi kaya dan berpengaruh melalui pemilikan harta-benda dan pendidikan.

Kami juga ingin mencuri ‘resep’ bagaimana mereka mendidik anak-anak di rumah. Kebetulan anak-anak kami masih usia sekolah SD dan SMP negeri (public school) yang para guru-guru serta orang-tua murid dengan sendirinya mayoritas adalah orang-orang Yahudi.

Pada tahun awal kami tinggal di Amerika anak-anak mengalami kesulitan berbahasa Inggeris. Sekalipun Sandra, anak kami yang paling besar, sudah bisa berbahasa Inggeris secara terbatas tetapi aksen Prancisnya sangat kental. Sebelumnya, kami tinggal di Eropa dan anak-anak bersekolah di sekolah Prancis (L’Ecole Francais Victor Hugo).

Saya dan isteri mencoba ‘bridging the gap’ dengan rajin berkonsultasi dengan guru-guru bagaimana kami bisa membantu anak-anak mengatasi kesulitan bahasa Inggeris. Kami juga selalu aktif ikut dalam rapat-rapat Parent-Teacher Association (PTA) untuk mengenal orang-tua teman-teman anak-anak kami.

Adalah kebijakan sekolah yang mewajibkan anak-anak asing untuk tidak hanya belajar di ruang kelas bersama-sama anak-anak Amerika lainnya. Mereka juga harus mengikuti kelas English as Second Language (ESL). Alhamdulillah, berkat upaya keras dan nasehat dari para guru dan orang-tua murid maka dalam kurang setahun anak-anak kami sudah mulai lancar berbahasa Inggeris. Bahkan yang paling kecil, Rizaldy, mampu menyelesaikan ESL dalam waktu 6 bulan!

Karena pekerjaan banyak tinggal di luar negeri, saya mengikuti tradisi internasional dalam memberi 3 nama (name, middle name, surname) bagi tiap anak kami. Saya selalau menyisipkan nama tengah bagi anak laki-laki dengan panggilan leluhur. Maka, anak kedua Edwin memiliki nama tengah JAKOB. Itu nama kakek saya.

”Jakob?”, kata gurunya yang Yahudi, keheranan bagaimana orang Indonesia Muslim mengambil nama orang yang paling dihormati, kakek-moyang orang Yahudi.

”Ya, Edwin Jakob Pohan”, ujar saya. Saya jelaskan Jakob itu nama kakek saya, dan juga menjadi nama nabi bagi kaum Muslim.

”Good. I did not know that”, ujar sang guru, kagum dan senang.

Di lain kesempatan, pada bulan Ramadhan kami bertemu dengan guru-kelas yang juga orang Yahudi. Dia menyatakan kekaguman bahwa anak-anak menjalankan ibadah puasa secara disiplin. Pada saat istirahat makan-siang anak-anak Muslim diperbolehkan berada di ruang perpustakaan, bermain atau belajar silahkan saja.

“Saya kagum sekali, bagaimana anak-anak Asia dalam usia dini telah mampu berdisiplin dengan patuh tanpa complain menjalankan ibadah puasa yang tentu berat bagi mereka”, ukarnya.

Kami menjelaskan bahwa sebenarnya kami memperbolehkan anak-anak tidak berpuasa sekiranya akan menyebabkan mereka terlihat ‘aneh’ di antara anak-anak lainnya. Tetapi anak-anak itu hanya melanjutkan tradisi di tanah air, menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

Anak-anak juga belajar di Saturday School Mesjid Al Hikmah untuk belajar Al Quran dan hal-hal keislaman, bersama anak-anak Indonesia Muslim dan beberapa di antaranya anak ekspat dari Asia Selatan dan Eropa.

“Sekiranya anak-anak Amerika juga memiliki disiplin yang tinggi dan keyakinan keagamaan yang kental saya yakin kami akan maju”, tambah sang guru.

Disiplin memang menjadi kunci. Dan dengan disiplin tinggi pula anak-anak Yahudi dipersiapkan oleh orang-tuanya. Kami ‘mencuri’ ilmu yang sederhana tetapi manjur.
“Anak-anak kami tidak mengenal TV dan hiburan lainnya pada hari-hari sekolah”, kata seorang ibu Yahudi kepada isteri saya.

“Mondays to Fridays no TV or PlayStation at all”, katanya. Anak-anak diperbolehkan melakukan kegiatan luar-sekolah hanya pada akhir-pekan.

Maka, anak-anak kami juga terbiasa untuk mengembalikan semua permainan kesayangan mereka pada Minggu petang. Mereka segera mempersiapkan diri untuk pelajaran hari Senin dan seterusnya. PlayStation ini akan mereka ambil dari kamar kami pada Jumat sore, setelah kembali dari sekolah. Dan mereka juga terbiasa tanpa menonton acara TV apapun selama hari-hari sekolah!

Pada jam 800 malam anak-anak harus masuk ke kamar masing-masing, dan pada jam 900 lampu di kamar mereka kami matikan karena jam tidur.

Pada masa liburan musim panas yang cukup panjang, seperti anak-anak Yahudi mereka pun tidak lepas dari kegiatan berbau sekolah. Tentu saja, masa liburan juga kami gunakan bersama anak-anak bepergian ke kota-kota lainnya. Namun, kebanyakan waktu digunakan untuk membaca buku. Isteri saya rajin meminjam buku untuk anak-anak dari perpustakaan. Belasan buku setiap minggu.

Maka, dalam liburan panjang mereka menghabiskan puluhan buku. Buku apa saja, dan tidak mesli buku pelajaran. Yang penting adalah buku yang mereka sukai. Apapun.
Tidak hanya dalam pelajaran. Anak-anak juga sejak kecil terbiasa dengan pekerjaan rumah-tangga (house chores). Tentu yang ringan-ringan saja, seperti membersihkan tempat tidur, kamar dan mengatur pakaian dan buku-buku dengan rapi. Ini juga menjadi kebiasaan anak-anak Yahudi.

Dengan disiplin dan kebiasaan baik yang ditanamkan hasil-hasil sekolah pun meningkat. Anak perempuan kami dengan nilai yang baik diterima di sekolah pilihannya SMA Cordozo.

Bahkan, anak ke-3 Rizaldy menjadi juara bahasa Inggeris di sekolahnya. Masih kelas V, Rizaldy telah menjadi wakil sekolahnya untuk mengikuti kompetisi bahasa Inggeris pada tingkat regional.

Ini juga berkat iklim belajar-mengajar yang kondusif. Pada sekolah-sekolah negeri Amerika para guru diwajibkan mengikis prejudice. Anak-anak kamipun tanpa disadari mereka mengalami transformasi menjadi orang Amerika.

”Yes, I am American”, kata putera saya. Padahal pada tahun kedua dia mengatakan ‘I am partly American, partly Indonesian’.

Ketika saya kembali ke tanah air karena penugasan telah selesai kami pamit dengan guru-guru sekolah mereka. Guru-guru Yahudi Amerika itu mengekspresikan kesedihan, mengapa kami harus meninggalkan Amerika, dan apakah kami tidak betah di sini.

“Bagaimana nanti pendidikan anak-anak di sana?”

“Saya pegawai pemerintah, dan sudah waktunya untuk kembali ke tanah air. Jangan khawatir, di kota-kota besar di Indonesia telah banyak sekolah-sekolah yang baik, di mana anak-anak juga akan menempuh pendidikan dengan baik”, ujar saya menegaskan.

Alhamdulillah, setelah beberapa tahun berada di tanah air anak-anak dapat menempuh pelajaran dengan baik. Sandra, kini lulus dari FH UI, telah bekerja di suatu law-firm. Edwin, anak kedua kami juga sedang menyelesaikan studinya di FISIP UI, sementara adiknya Rizaldy telah belajar pada semester 6 di ITB, jurusan teknik mesin dirgantara.

Tinggal di pemukiman mayoritas Yahudi dan bertetangga dengan mereka juga memiliki sisi-sisi baik yang menjadi pengalaman berharga bagi kami dalam membesarkan anak-anak.

Jakarta, 14 Juni 2011