PADA era globalisasi dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, diplomasi tidak hanya menjadi domain para diplomat. Karena itu siapa saja yang turut menyelenggarakan diplomasi juga disebut ‘duta bangsa’, dan layak mendapat apresiasi.
Berbeda dengan diplomat wakil resmi kita, mereka tidak memerlukan surat keputusan, SK atau besluit.
Maka, semua unsur bangsa: anggota parlemen, politisi, pengusaha, budayawan, rohaniwan, TKI, masyarakat Indonesia yang bermukim di suatu negara atau bahkan wisatawan kita yang sedang berkunjung ke luar negeri adalah ‘diplomat’, termasuk masyarakat setempat pencinta budaya Indonesia. Bersama para diplomat mereka memainkan peranan tidak kalah penting dalam mempromosikan Indonesia di luar negeri.
Diplomasi dalam konteks artikel ini adalah upaya bagaimana membuat negeri kita dikenal di dunia internasional dengan citra positif. Tidak jarang, kegiatan dan aktifitas ‘para duta’ ini di tataran internasional dapat berujung pada kepentingan ekonomi: wisata, perdagangan dan investasi.
Pada malam itu, 14 September 2009 yang lalu, 2 juru-masak Indonesia, Azis Wahyudin dan Muhammad Sidik, keduanya berasal dari hotel Hyatt Regency Bandung, 3 rohaniawan Katolik yang berasal dari Indonesia Timur yakni Vinsensius Adi Gunawan, Vinsensius Taji dan Alfred Adipati Manek, Ketua Dewan Kurator Museum Asia dan Pasifik Andrzej ‘Nusantara’ Wawryzniak yang pernah bermukim cukup lama di Jakarta, serta para pemain gamelan mantan penerima Dharmasiswa dari Warsaw Gamelan Group bersama pelatihnya, Sugijanto, menjadi pelaku diplomasi budaya.
‘Para duta’ itu menjadi aktor penting dalam acara pembukaan Indonesian Food Festival bertajuk “Taste Indonesia” di Hotel Hyatt Regency Warsawa yang berlangsung 2 pekan.
Kita masih perlu mengukuhkan keberadaan makanan Indonesia di antara beragam makanan Asia lainnya seperti Jepang, China, Korea, India, Vietnam dan Thailand yang sudah lebih dahulu dikenal. Maklum, di seluruh Polandia memang baru terdapat 2 restoran Indonesia dengan cook Indonesia, yaitu “Galeria Bali” di Warsawa, dan “Warung Bali” di Poznan.
Maka, harapan saya melalui promosi boga akan terbuka kesempatan untuk hadirnya restoran-restoran baru makanan Indonesia di Polandia.
Diplomasi Total
Indonesia dikenal di Polandia sebagai negeri dengan keberagaman budaya: musik, tarian, ukiran, lukisan dari berbagai daerah. Dalam 2 bulan terakhir saja, 6 kelompok seni dari Indonesia hadir dalam berbagai festival dan pertunjukan di puluhan kota di Polandia. Saat ini, sedang berlangsung festival film Indonesia di 10 kota-kota besar di Polandia.
Maka, malam itu menjadi istimewa. Untuk pertama kalinya kami merepresentasikan keunikan dan keberagaman Indonesia melalui boga. Tentu, karena kehadiran Azis dan Sidik, sang duta bangsa.
Untuk menciptakan nuansa Indonesia, maka restoran di lantai dasar Hyatt itu dihias dengan dekorasi pernak-pernik etnis yang kental, termasuk becak Yogya.
Pada malam pembukaan yang dihadiri sejumlah tamu penting, seperti Kepala Kantor Kepresidenan/Mensesneg Mariusz Handzlik, Kepala Badan Promosi Investasi (PAIiIz) SÅ‚awomir Majman, Direktur Asia dan Pasifik Kemlu Dubes Krzysztof Szumski dan sejumlah duta besar dari negara sahabat.
Setelah berpidato, saya tampil bersama vocal group. Kami menampilkan lagu-lagu tradisional seperti Lisoi, Ayo Mama, Saputangan Bapucuk Ampat, dan lagu-lagu tradisional dari Sumatra Utara, Flores dan Papua, dengan diiringi gitar, organ dan alat-alat gamelan dan perkusi yang dimainkan oleh para mahasiswa Polandia, personil Warsaw Gamelan Group. Kami juga menampilkan tari-tarian tradisional dari Bali dan Betawi yang dibawakan dengan baik oleh Maria Szymanska, Iwona Czapla dan Roza Puzynowska.
Lengkap sudah suasana Indonesia mendukung makanan lezat Indonesia yang disajikan oleh Azis dan Sidik pada malam itu.
“Terima kasih Bapak Pohan, lagu-lagu rakyat yang dibawakan tadi telah menggugah ingatan saya kepada teman baik Alm. Gordon Tobing dengan Impola Group-nya”, ujar Andrzej Wawryzniak, Ketua Dewan Kurator Museum Asia dan Pasifik yang pernah bermukim cukup lama di Jakarta.
Saya selalu bercanda bila bertemu Bapak Andrzej di berbagai acara bahwa duta besar Indonesia yang permanen di Polandia adalah beliau, sedangkan saya dan dubes-dubes sebelumnya hanya temporer. Mengapa? Karena tokoh yang mengenal baik pemimpin-pemimpin Indonesia sejak zaman Bung Karno itu setiap tahunnya menyelenggarakan lusinan pameran etnografi, lukisan dan benda-benda budaya etnis di penjuru kota Polandia. Sebagai aktor budaya Indonesia, beliau menjadi aset penting dan layak disebut sebagai duta.
Tidak hanya Bapak Andrzej. Para undangan seperti Mensesneg Handzlik, Kepala Badan Promosi Investasi Majman, Dubes Szumski yang pernah bertugas di Indonesia, dan para duta besar lainnya berdiplomasi memuji permainan gitar saya. Tetapi mereka lebih kagum kepada tiga pria dan seorang penyanyi wanitanya dan bertanya apakah mereka profesional yang didatangkan dari Indonesia.
Saya membuka rahasia, dan mengatakan bahwa tiga pria itu, Vinsensius Adi Gunawan, Vinsensius Taji dan Alfred Adipati Manek, sehari-hariannya adalah rohaniwan Katolik. Di Polandia terdapat tujuh rohaniwan Katolik yang bertugas untuk pelayanan umat. Sedangkan penyanyi wanita, Ny. Dyah Poerwonggo, adalah seorang isteri diplomat. Vinsensius Adi Gunawan dan teman-temannya memang sering diminta tampil membawakan lagu-lagu Indonesia di gereja, di samping menjadi duta rohani, kata saya.
“Unik sekali, Indonesia negara berpenduduk muslim terbesar di dunia ‘mengekspor’ rohaniwan Katoliknya ke Polandia yang notabene adalah Negara Katolik”!, kata Mensesneg Handzlik sambil berdecak kagum. Kekagumannya bertambah ketika saya selanjutnya menjelaskan bahwa para penari ayu itu adalah warganegara Polandia yang pernah belajar seni-budaya di Indonesia.
Maria Szymanska, Iwona Czapla dan Roza Puzynowska dengan dandanan kostum tradisional malam itu lebih menjadi orang Indonesia daripada Eropa.
Know How
Diplomasi lebih dari permainan kata-kata. Ada substansi dan teknik di sana. Demikian pula festival boga. Kenapa?
Setiba di Warsawa beberapa hari sebelum festival, Aziz dan Sidik mengadakan teknis sambil tukar-menukar informasi mengenai dunia perdapuran dengan ibu-ibu Dharma Wanita Persatuan (DWP) KBRI Warsawa.
“Kami menghargai kemauan mereka untuk belajar dengan kami para ibu-ibu, meskipun mereka lulusan sekolah boga”, demikian isteri saya, Ade Pohan, yang juga Ketua DWP.
Menurutnya, pertemuan teknis itu penting untuk menjembatani gap, seperti dialami negara-negara lain yang sebelumnya menyelenggarakan berbagai festival makanan Asia di Polandia, antara suguhan dengan cita-rasa makanan lezat seperti aslinya di Indonesia.
Faktor terpenting yang perlu diperhatikan adalah memilih bahan makanan yang dari berbagai jenis yang ada di pasar, atau bahkan mencari pengganti karena belum tentu semuanya tersedia di negara itu.
Suhu udara dan alat yang digunakan memasak serta tahapan prosedur pengolahannya juga harus disesuaikan. Dia mencatat kekecewaan dalam beberapa kali menghadiri food festival makanan Asia dengan rasa yang ‘jauh’ dari harapan. Malah, hal ini kontra-produktif dengan tujuan promosi karena banyak penggemar yang kecewa, ujar Ade Pohan.
Pengetahuan dan know how dalam urusan perdapuran selama puluhan tahun mendampingi suami bertugas di luar negeri adalah informasi yang sangat kaya dan krusial, katanya.
“Kami tidak hanya menginformasikan pilihan jenis bahan-makanan yang sangat beragam, bumbu dan takaran penggunaannya, agar sesuai dengan cita rasa dan lidah Eropa, tetapi juga toko di mana bahan-bahan itu dapat diperoleh," tambahnya.
Hasilnya lumayan. Setiap malam sedikitnya 40 kursi terisi, dan bahkan sering ruangan restauran yang terletak di lantai dasar itu kebanjiran tamu.
Kedua juru-masak, Azis dan Sidik puas. Setiap malamnya mereka menyajikan berbagai makanan populer dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk berbagai jenis sup pembuka dan juadah jenis jajanan-pasar yang unik.
“Kami tidak menyangka, ternyata makanan favorit pengunjung adalah Soto Dangko, di samping kari kambing, soto ayam yang diberi santan sedikit”, demikian Azis bercerita.
Para duta Indonesia itu juga berkesempatan mengunjungi bagian-bagian menarik di Warsawa, sambil berbelanja untuk mempersiapkan menu yang kian berganti setiap harinya.
Joseph Kral, GM Hyatt Regency puas dan mengharapkan festival serupa dapat diadakan pada tahun 2010 mendatang.
Pada tanggal 27 September 2009 kira-kira pukul 07.00 pagi Azis dan Sidik meninggalkan Warsawa menuju Beograd melanjutkan tugas dalam food festival di sana. Selamat jalan para Duta Bangsa!
© Antara 2009
Friday, October 2, 2009
INDAHNYA BERIDUL FITRI DI POLANDIA
MERAYAKAN Idul Fitri 1430 H di Polandia bagi masyarakat Indonesia menjadi momen istimewa. Apa yang membedakannya dengan tahun lalu? Sebenarnya, ritualnya sama saja dengan lebaran tahun lalu.
Masyarakat muslim dari berbagai bangsa di Warsawa berkumpul di satu-satunya mesjid yang terdapat di Warsawa, di bilangan elite Wilanow, di jalan Wiertnicza, saling bermaaf-maafan pada hari itu, Minggu, 20 September 2009. Tanggal Idul Fitri di Polandia diumumkan oleh masjid beberapa hari sebelumnya,
Di negeri dengan 95 persen penduduk beragama Katolik ini memang tidak banyak terdapat mesjid. Beberapa masjid di kota-kota lain yang saya kunjungi memang tidaklah sebesar di Indonesia.
Di Byalistok dan kawasan permukiman muslim tertua, ada beberapa masjid dan pekuburan kuno bersejarah yang dibangun kaum Tartar. Juga di Wroclaw, meskipun tidak besar seperti di Indonesia tetapi dilengkapi madrasah, atau di Gdansk yang dulu dibangun gotong-royong oleh negara-negara Islam.
Dubes Indonesia Ambyar Tamala dulu bertindak sebagai bendaharawan pembangunan masjid di kota Lech Walesa ini. Jika berkunjung ke Gdansk, saya menyempatkan untuk shalat di masjid ini.
Jika sekarang umat Islam di Warsawa bergembira, wajar. Karena di ibukota Polandia ini sedang dibangun sebuah masjid raya modern. Panitia memberitahukan kepada saya dalam suatu kesempatan, Insya Allah masjid raya ini akan selesai dibangun pada tahun 2010.
Memang kian banyak perantau dari negeri Muslim datang ke sini. Maklum, negeri itu satu-satunya yang memiliki pertumbuhan ekonomi positif di Eropa sekarang.
Bulan Ramadhan tahun ini dimulai pada saat akan berakhirnya liburan musim panas. Maka, bulan September pun dijejali dengan padatnya kegiatan diplomatik. Memang September mengawali kegiatan menjelang musim gugur, setelah liburan musim panas. Pada pertengahan Desember sampai minggu pertama Januari, mereka libur kembali.
Resepsi hari kemerdekaan RI yang berlangsung di Hyatt Regency dilaksanakan 11 September yang lalu. Bertubi-tubi undangan untuk iftar (acara berbuka puasa) dari berbagai negara-negara konferensi Islam (OKI), termasuk undangan iftar dari Menlu Radek Sikorski, Mensesneg Mariusz Handzlik atas nama Presiden Lech Kaczynski.
Polandia setelah menyempurnakan integrasinya ke struktur-struktur Eropa, kini kembali memperbarui hubungan tradisional dengan sahabat-sahabat lama, termasuk negara-negara utama di Asia Pasifik seperti Jepang, China, India dan Indonesia serta negara-negara Islam lainnya.
Shalat Ied
Shalat Ied di masjid dimulai pukul 09.00 waktu setempat, dipimpin oleh Imam Emir Poplawski. Sang imam ini berdarah etnis Tartar, bangsa yang gagah berani berjasa membela Polandia dari berbagai serangan negeri asing. Mereka sejak 600 tahun telah bermukim di Polandia.
Selanjutnya, Imam menyampaikan khotbahnya dengan tema makna Idul Fitri dan seruan untuk memperbarui komitmen bagi kehidupan yang lebih islami pada tahun-tahun berikutnya.
Pagi yang cerah itu, seusai shalat ied, tampak masyarakat muslim dari berbagai negara bersalam-salaman.
Saya dan isteri sempat beramah-tamah dan berfoto dengan masyarakat Indonesia di halaman masjid.
Setiap shalat ied, saya selalu bertemu dengan wajah-wajah baru, apakah pekerja atau mahasiswa Indonesia dan juga dari Malaysia yang memang berwajah dan rumpun sama dengan kita.
Hari itu, tampak pria muda Erditya Nur Arsah yang belajar di Lublin dan Niken Prawesti dari AIESEC yang sedang magang di Sczecin, serta kedua juru-masak pada Indonesia Food Festival di Hyatt Regency, Muhammad Sidik dan Azis Wahyudin. Mereka baru beberapa hari berada Polandia.
Namun, seusai kami shalat tampak sebagian umat yang baru tiba bergegas memasuki masjid, karena memang shalat Ied berlangsung dalam dua putaran, untuk menampung khalayak yang datang dari berbagai penjuru negeri.
Kegiatan lebaran pada hari pertama di masjid berlangsung sampai maghrib. Hari itu, pengurus masjid mengadakan berbagai acara, misalnya musabaqah, kuis cerdas cermat tentang Islam maupun pengetahuan umum tentang Polandia, makan siang bersama, dan pertunjukan film-film Islami.
Sayang, saya tidak bisa menghadiri acara itu sepenuhnya, karena masih ada beberapa kegiatan diplomatik lainnya pada hari itu, meskipun hari Minggu.
Karena hari Minggu libur, memang banyak warga muslim bersama keluarga yang menghabiskan waktu seharian di masjid. Tampak, beberapa mualaf yang berasal dari etnis Eropa dan Polandia sedang khusuk beribadah di masjid.
Saya juga telah menyampaikan konfirmasi untuk hadir pada acara Idul Fitri yang disebut "Bayram Day" oleh kaum muslim keturunan Tartar di Byalistok.
Imam Ali Abi Issa dari masjid Wroclaw juga telah menyampaikan undangan untuk hadir dalam acara bersama masyarakat Muslim di sana, seperti tahun-tahun lalu.
Kegiatan Ramadhan di KBRI
Ramadhan bagi kami WNI di Polandia menjadi bulan nikmat, kesempatan untuk bertemu sesama warganegara dalam kegiatan tarawih pada setiap akhir pekan di KBRI.
Seperti tahun-tahun lalu, kegiatan Ramadhan dimulai di Wisma Duta dalam acara berbuka bersama seluruh warga, termasuk non-Muslim, dan dilanjutkan dengan tarawih. Syaf Rudin, staf lokal yang berasal dari Minang, selalu menjadi imam. Ibu-ibu biasanya menggunakan bulan Ramadhan untuk tadarus pada siang hari.
Acara berbuka bersama juga dilakukan bergotong-royong, masing-masing keluarga muslim menyumbang untuk konsumsi. Memang, puasa di Eropa pada penghujung musim panas berlangsung lebih lama daripada di tanah air. Imsyak dimulai pada pukul 04 pagi, sedangkan maghrib dimulai jam 19.30.
Pada shalat tarawih terakhir, saya yang ditunjuk sebagai imam shalat Isya. Saya pun menggunakan waktu untuk berbincang-bincang dengan warga Indonesia yang hadir, termasuk non-muslim, setelah Imam tarawih Syaf Rudin menutup salam.
"Bulan Ramadhan sudah melekat menjadi tradisi di seluruh wilayah Indonesia, yang disemarakan oleh masyarakat non-muslim. Secara sosiologis, suasana pada bulan Ramadhan menjadi berbeda, karena kental dengan kegiatan keagamaan baik komunal maupun individual," demikian saya membuka ceramah.
Suasana relijius ini tidak hanya dirasakan di kampung, desa, atau kota kecil saja. Karena meskipun telah tersegmentasi dalam kelompok kedaerahan, primordial, tetapi dalam konteks lebih luas bulan Ramadhan digunakan juga oleh kaum profesional maupun politisi di kota-kota besar untuk bersilaturahmi, sambil mendalami makna dan pesan-pesan yang terkandung dalam bulan Ramadhan.
Saya mengajak semua warga untuk menjadikan bulan Ramadhan momentum untuk memperkokoh silaturahmi dan kerukunan sesama umat beragama. Kita harus refleksikan keberagaman Indonesia, termasuk dalam agama dan keyakinan, ke dalam pergaulan antarbangsa di luar negeri. Nilai-nilai ini mungkin unik dan tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lainnya.
Menurut saya, bagi siapa pun masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri, terutama para diplomat perlu memahami kegiatan Ramadhan secara sosiologis, karena Indonesia dikenal sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Janggal, bila seorang Indonesia berada di luar negeri tidak bisa menceritakan fenomena Ramadhan di tanah airnya.
Saya mengulangi pesan, bahwa secara teologis Islam, Ramadhan adalah bulan seribu bulan untuk memperbanyak amalan, sekaligus introspeksi dan memperbarui determinasi untuk menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya.
Pada bulan Ramadhan, umat Islam tidak hanya berpuasa, tetapi juga memperbanyak amalan shalat, zikir dan membaca Al Quran, berbuat kebajikan terhadap sesama, termasuk membayar zakat dan sedekah kepada orang yang berkekurangan, sebagai refleksi dari rasa solidaritas kemanusiaan.
Pada bulan Ramadhan turun wahyu pertama dari Al Quran, sebagai salah satu kitab yang wajib diimani oleh kaum muslim, di samping kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada manusia melalui rasul-rasulnya, seperti Taurat, Zabur, Injil (Bibel), dan ajaran-ajaran yang juga diamalkan oleh kaum Yahudi dan Kristiani.
Tidak lupa, saya menyisipkan pesan-pesan dari tanah air. Tahun ini menjadi khusus, kita baru saja menyelesaikan pesta demokrasi dengan memilih parlemen dan presiden untuk masa jabatan lima tahun ke depan.
Kita bergairah, karena meskipun dunia di lingkungi krisis ekonomi tetapi Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 4 persen berhasil meredam efek terburuk seperti menimpa negara-negara maju. Daya tahan ekonomi menjadi modal kita untuk bersikap optimistis ke depan untuk peningkatan, kesejahteraan masyarakat .
Keberhasilan Polri menggulung terorisme dengan tewasnya Noordin M Top, juga mendapat pujian dari masyarakat internasional. Reaksi umat Islam Indonesia terhadap aksi-aksi teror dan dukungan terhadap penegakan hukum terhadap para teroris menunjukkan kematangan umat Islam Indonesia.
Sekarang dengan tegas kita dapat menolak terorisme bertopeng agama. Kejahatan tetaplah kejahatan, apa pun motivasinya. Sebaliknya, kebajikan adalah pahala. Sejatinya, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam semesta, rahmatan lil alamin, karena itu menolak kejahatan terhadap kemanusiaan.
Harapan saya, kebulatan tekad dan upaya serta kebersamaan umat Islam di tanah air dalam menghadapi terorisme merupakan modal penting untuk mengikis habis kantong-kantong terorisme yang mungkin masih eksis di tanah air.
Open House di Wisma Duta
Pada hari kedua Lebaran, Senin (21/9), warganegara Indonesia maupun keluarga perkawinan campuran, suami atau isteri berwarganegara asing, seperti tahun lalu melaksanakan halal bil halal di Wisma Duta, di kawasan permukiman bergengsi Saska Kepa. Di seluruh wilayah Polandia hanya terdapat sekitar 150 WNI.
Suasana sumringah mewarnai kental acara bermaaf-maafan dan bertukar-informasi, sambil menikmati masakan tradisional lebaran, layaknya seperti di tanah air.
Tak luput, sejumlah penganan tradisional lebaran yang disiapkan oleh kaum ibu yang tergabung dalam Dharma Wanita Persatuan, mewarnai suasana lebaran di negeri jauh itu. Nasi putih dan lontong, sup kimlo, kari kambing, sayur lodeh, opor ayam, tauco udang dan semur Jakarta, serta berbagai jajanan pasar seperti tape uli, lapis Surabaya, es teller, nastar, kastenger, putri salju dan kacang bawang menjadi santapan lezat.
Tampak hadir juga beberapa duta besar negara sahabat, seperti Dubes Malaysia Ny. Rosmidah Binte Zahid, Dubes Filipina Alejandro Del Rosario, pejabat tinggi Kemlu Dubes Tadeusz Chomicki dan sejumlah diplomat, para anggota Warsaw Gamelan Group, dan berbagai unsur masyarakat Polandia pencinta budaya Indonesia.
Masyarakat Indonesia yang datang dari berbagai penjuru negeri Polandia tampak meramaikan suasana. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu popular diiringi Band KBRI. Tak lupa, dangdutan turut menghibur para pekerja skill Indonesia dari berbagai industri di penjuru kota Polanda. Tampak pula sebagian keluarga expatriat. Semuanya berbaur, sejenak melupakan diri sedang berada di perantauan.
Hari itu kami merayakan kemenangan, setelah menjalankan ibadah sebulan penuh di bulan Ramadhan. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H. Minal aidin walfaizin.
© Antara
Masyarakat muslim dari berbagai bangsa di Warsawa berkumpul di satu-satunya mesjid yang terdapat di Warsawa, di bilangan elite Wilanow, di jalan Wiertnicza, saling bermaaf-maafan pada hari itu, Minggu, 20 September 2009. Tanggal Idul Fitri di Polandia diumumkan oleh masjid beberapa hari sebelumnya,
Di negeri dengan 95 persen penduduk beragama Katolik ini memang tidak banyak terdapat mesjid. Beberapa masjid di kota-kota lain yang saya kunjungi memang tidaklah sebesar di Indonesia.
Di Byalistok dan kawasan permukiman muslim tertua, ada beberapa masjid dan pekuburan kuno bersejarah yang dibangun kaum Tartar. Juga di Wroclaw, meskipun tidak besar seperti di Indonesia tetapi dilengkapi madrasah, atau di Gdansk yang dulu dibangun gotong-royong oleh negara-negara Islam.
Dubes Indonesia Ambyar Tamala dulu bertindak sebagai bendaharawan pembangunan masjid di kota Lech Walesa ini. Jika berkunjung ke Gdansk, saya menyempatkan untuk shalat di masjid ini.
Jika sekarang umat Islam di Warsawa bergembira, wajar. Karena di ibukota Polandia ini sedang dibangun sebuah masjid raya modern. Panitia memberitahukan kepada saya dalam suatu kesempatan, Insya Allah masjid raya ini akan selesai dibangun pada tahun 2010.
Memang kian banyak perantau dari negeri Muslim datang ke sini. Maklum, negeri itu satu-satunya yang memiliki pertumbuhan ekonomi positif di Eropa sekarang.
Bulan Ramadhan tahun ini dimulai pada saat akan berakhirnya liburan musim panas. Maka, bulan September pun dijejali dengan padatnya kegiatan diplomatik. Memang September mengawali kegiatan menjelang musim gugur, setelah liburan musim panas. Pada pertengahan Desember sampai minggu pertama Januari, mereka libur kembali.
Resepsi hari kemerdekaan RI yang berlangsung di Hyatt Regency dilaksanakan 11 September yang lalu. Bertubi-tubi undangan untuk iftar (acara berbuka puasa) dari berbagai negara-negara konferensi Islam (OKI), termasuk undangan iftar dari Menlu Radek Sikorski, Mensesneg Mariusz Handzlik atas nama Presiden Lech Kaczynski.
Polandia setelah menyempurnakan integrasinya ke struktur-struktur Eropa, kini kembali memperbarui hubungan tradisional dengan sahabat-sahabat lama, termasuk negara-negara utama di Asia Pasifik seperti Jepang, China, India dan Indonesia serta negara-negara Islam lainnya.
Shalat Ied
Shalat Ied di masjid dimulai pukul 09.00 waktu setempat, dipimpin oleh Imam Emir Poplawski. Sang imam ini berdarah etnis Tartar, bangsa yang gagah berani berjasa membela Polandia dari berbagai serangan negeri asing. Mereka sejak 600 tahun telah bermukim di Polandia.
Selanjutnya, Imam menyampaikan khotbahnya dengan tema makna Idul Fitri dan seruan untuk memperbarui komitmen bagi kehidupan yang lebih islami pada tahun-tahun berikutnya.
Pagi yang cerah itu, seusai shalat ied, tampak masyarakat muslim dari berbagai negara bersalam-salaman.
Saya dan isteri sempat beramah-tamah dan berfoto dengan masyarakat Indonesia di halaman masjid.
Setiap shalat ied, saya selalu bertemu dengan wajah-wajah baru, apakah pekerja atau mahasiswa Indonesia dan juga dari Malaysia yang memang berwajah dan rumpun sama dengan kita.
Hari itu, tampak pria muda Erditya Nur Arsah yang belajar di Lublin dan Niken Prawesti dari AIESEC yang sedang magang di Sczecin, serta kedua juru-masak pada Indonesia Food Festival di Hyatt Regency, Muhammad Sidik dan Azis Wahyudin. Mereka baru beberapa hari berada Polandia.
Namun, seusai kami shalat tampak sebagian umat yang baru tiba bergegas memasuki masjid, karena memang shalat Ied berlangsung dalam dua putaran, untuk menampung khalayak yang datang dari berbagai penjuru negeri.
Kegiatan lebaran pada hari pertama di masjid berlangsung sampai maghrib. Hari itu, pengurus masjid mengadakan berbagai acara, misalnya musabaqah, kuis cerdas cermat tentang Islam maupun pengetahuan umum tentang Polandia, makan siang bersama, dan pertunjukan film-film Islami.
Sayang, saya tidak bisa menghadiri acara itu sepenuhnya, karena masih ada beberapa kegiatan diplomatik lainnya pada hari itu, meskipun hari Minggu.
Karena hari Minggu libur, memang banyak warga muslim bersama keluarga yang menghabiskan waktu seharian di masjid. Tampak, beberapa mualaf yang berasal dari etnis Eropa dan Polandia sedang khusuk beribadah di masjid.
Saya juga telah menyampaikan konfirmasi untuk hadir pada acara Idul Fitri yang disebut "Bayram Day" oleh kaum muslim keturunan Tartar di Byalistok.
Imam Ali Abi Issa dari masjid Wroclaw juga telah menyampaikan undangan untuk hadir dalam acara bersama masyarakat Muslim di sana, seperti tahun-tahun lalu.
Kegiatan Ramadhan di KBRI
Ramadhan bagi kami WNI di Polandia menjadi bulan nikmat, kesempatan untuk bertemu sesama warganegara dalam kegiatan tarawih pada setiap akhir pekan di KBRI.
Seperti tahun-tahun lalu, kegiatan Ramadhan dimulai di Wisma Duta dalam acara berbuka bersama seluruh warga, termasuk non-Muslim, dan dilanjutkan dengan tarawih. Syaf Rudin, staf lokal yang berasal dari Minang, selalu menjadi imam. Ibu-ibu biasanya menggunakan bulan Ramadhan untuk tadarus pada siang hari.
Acara berbuka bersama juga dilakukan bergotong-royong, masing-masing keluarga muslim menyumbang untuk konsumsi. Memang, puasa di Eropa pada penghujung musim panas berlangsung lebih lama daripada di tanah air. Imsyak dimulai pada pukul 04 pagi, sedangkan maghrib dimulai jam 19.30.
Pada shalat tarawih terakhir, saya yang ditunjuk sebagai imam shalat Isya. Saya pun menggunakan waktu untuk berbincang-bincang dengan warga Indonesia yang hadir, termasuk non-muslim, setelah Imam tarawih Syaf Rudin menutup salam.
"Bulan Ramadhan sudah melekat menjadi tradisi di seluruh wilayah Indonesia, yang disemarakan oleh masyarakat non-muslim. Secara sosiologis, suasana pada bulan Ramadhan menjadi berbeda, karena kental dengan kegiatan keagamaan baik komunal maupun individual," demikian saya membuka ceramah.
Suasana relijius ini tidak hanya dirasakan di kampung, desa, atau kota kecil saja. Karena meskipun telah tersegmentasi dalam kelompok kedaerahan, primordial, tetapi dalam konteks lebih luas bulan Ramadhan digunakan juga oleh kaum profesional maupun politisi di kota-kota besar untuk bersilaturahmi, sambil mendalami makna dan pesan-pesan yang terkandung dalam bulan Ramadhan.
Saya mengajak semua warga untuk menjadikan bulan Ramadhan momentum untuk memperkokoh silaturahmi dan kerukunan sesama umat beragama. Kita harus refleksikan keberagaman Indonesia, termasuk dalam agama dan keyakinan, ke dalam pergaulan antarbangsa di luar negeri. Nilai-nilai ini mungkin unik dan tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lainnya.
Menurut saya, bagi siapa pun masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri, terutama para diplomat perlu memahami kegiatan Ramadhan secara sosiologis, karena Indonesia dikenal sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Janggal, bila seorang Indonesia berada di luar negeri tidak bisa menceritakan fenomena Ramadhan di tanah airnya.
Saya mengulangi pesan, bahwa secara teologis Islam, Ramadhan adalah bulan seribu bulan untuk memperbanyak amalan, sekaligus introspeksi dan memperbarui determinasi untuk menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya.
Pada bulan Ramadhan, umat Islam tidak hanya berpuasa, tetapi juga memperbanyak amalan shalat, zikir dan membaca Al Quran, berbuat kebajikan terhadap sesama, termasuk membayar zakat dan sedekah kepada orang yang berkekurangan, sebagai refleksi dari rasa solidaritas kemanusiaan.
Pada bulan Ramadhan turun wahyu pertama dari Al Quran, sebagai salah satu kitab yang wajib diimani oleh kaum muslim, di samping kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada manusia melalui rasul-rasulnya, seperti Taurat, Zabur, Injil (Bibel), dan ajaran-ajaran yang juga diamalkan oleh kaum Yahudi dan Kristiani.
Tidak lupa, saya menyisipkan pesan-pesan dari tanah air. Tahun ini menjadi khusus, kita baru saja menyelesaikan pesta demokrasi dengan memilih parlemen dan presiden untuk masa jabatan lima tahun ke depan.
Kita bergairah, karena meskipun dunia di lingkungi krisis ekonomi tetapi Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 4 persen berhasil meredam efek terburuk seperti menimpa negara-negara maju. Daya tahan ekonomi menjadi modal kita untuk bersikap optimistis ke depan untuk peningkatan, kesejahteraan masyarakat .
Keberhasilan Polri menggulung terorisme dengan tewasnya Noordin M Top, juga mendapat pujian dari masyarakat internasional. Reaksi umat Islam Indonesia terhadap aksi-aksi teror dan dukungan terhadap penegakan hukum terhadap para teroris menunjukkan kematangan umat Islam Indonesia.
Sekarang dengan tegas kita dapat menolak terorisme bertopeng agama. Kejahatan tetaplah kejahatan, apa pun motivasinya. Sebaliknya, kebajikan adalah pahala. Sejatinya, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam semesta, rahmatan lil alamin, karena itu menolak kejahatan terhadap kemanusiaan.
Harapan saya, kebulatan tekad dan upaya serta kebersamaan umat Islam di tanah air dalam menghadapi terorisme merupakan modal penting untuk mengikis habis kantong-kantong terorisme yang mungkin masih eksis di tanah air.
Open House di Wisma Duta
Pada hari kedua Lebaran, Senin (21/9), warganegara Indonesia maupun keluarga perkawinan campuran, suami atau isteri berwarganegara asing, seperti tahun lalu melaksanakan halal bil halal di Wisma Duta, di kawasan permukiman bergengsi Saska Kepa. Di seluruh wilayah Polandia hanya terdapat sekitar 150 WNI.
Suasana sumringah mewarnai kental acara bermaaf-maafan dan bertukar-informasi, sambil menikmati masakan tradisional lebaran, layaknya seperti di tanah air.
Tak luput, sejumlah penganan tradisional lebaran yang disiapkan oleh kaum ibu yang tergabung dalam Dharma Wanita Persatuan, mewarnai suasana lebaran di negeri jauh itu. Nasi putih dan lontong, sup kimlo, kari kambing, sayur lodeh, opor ayam, tauco udang dan semur Jakarta, serta berbagai jajanan pasar seperti tape uli, lapis Surabaya, es teller, nastar, kastenger, putri salju dan kacang bawang menjadi santapan lezat.
Tampak hadir juga beberapa duta besar negara sahabat, seperti Dubes Malaysia Ny. Rosmidah Binte Zahid, Dubes Filipina Alejandro Del Rosario, pejabat tinggi Kemlu Dubes Tadeusz Chomicki dan sejumlah diplomat, para anggota Warsaw Gamelan Group, dan berbagai unsur masyarakat Polandia pencinta budaya Indonesia.
Masyarakat Indonesia yang datang dari berbagai penjuru negeri Polandia tampak meramaikan suasana. Mereka juga menyanyikan lagu-lagu popular diiringi Band KBRI. Tak lupa, dangdutan turut menghibur para pekerja skill Indonesia dari berbagai industri di penjuru kota Polanda. Tampak pula sebagian keluarga expatriat. Semuanya berbaur, sejenak melupakan diri sedang berada di perantauan.
Hari itu kami merayakan kemenangan, setelah menjalankan ibadah sebulan penuh di bulan Ramadhan. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H. Minal aidin walfaizin.
© Antara
Subscribe to:
Posts (Atom)