Thursday, July 28, 2011
Menlu Hillary Clinton Menjadi Duta Budaya Indonesia
BANYAK cara mengenalkan Indonesia di masyarakat internasional. Salah satunya melalui budaya. Dan siapa saja bisa melakukannya. Bukan hanya pejabat atau diplomat. Rakyat biasa pun bisa.
Maka, orang-orang yang melakukan kegiatan budaya mempromosikan Indonesia di dunia internasional layak disebut duta budaya.
Siapa saja bisa menjadi duta, kata pengarang Erdityah Arfah yang menulis buku “Merah Putih di Benua Biru”, bisa mengenalkan negerinya di berbagai masyarakat dunia, termasuk di negeri-negeri dilanda konflik, seperti yang dilakukan penulis “Garis Batas” dan “Selimut Debu” Agustinus Wibowo yang berkeliling di Asia Tengah atau Jeffrey Polnaja, yang dipanggil di Bandung sebagai ‘Kang JJ”, mengelilingi 62 negara dengan motor BMW-nya, seorang dini.
Menurut etnomusikolog Rizaldi Siagian yang sering meneliti budaya-budaya tradisional dan masyarakat adat di seluruh penjuru tanah air, kalau bicara budaya maka Indonesia adalah satu negeri yang luar biasa. Dan itu diakui oleh masyarakat dunia.
Bahwa budaya membantu kita untuk mengenal masyarakat di sekitar kita tidaklah bisa dibantah. Bahwa budaya juga digunakan untuk berdiplomasi juga sudah bukan praktik baru. Itu dilakukan semua bangsa-bangsa di dunia.
Bagaimana jika Menlu AS Hillary Clinton melakukan promosi Indonesia melalui budaya? Ya, Ibu Hillary pun pantas menajdi duta budaya kita. Beliau mahir memainkan angklung, meski hanya dilatih beberapa menit saja!
Baru saja Dubes Dino Patti Djalal di awal Juli 2011 berhasil memukau masyarakat Amerika dengan angklung. Lebih dari sekadar mengenalkan angklung, orang nomor satu di KBRI Washington DC itu telah berhasil mengukir rekor dunia yang dicatat oleh Guiness Book of Record ketika angklung dimainkan oleh lebih dari 5000 orang di Washington DC.
Bicara angklung maka nama Saung Angklung Mang Udjo melekat di situ. Kini, anaknya Daeng Udjo meneruskan upaya ayahnya dan berhasil pula mengemas sedemikian rupa sehingga siapapun bisa memainkan angklung.
MALAM itu istimewa di Bali. Menjelang akhir pertemuan ke-44 Menteri Luar Negeri ASEAN, tepatnya Jumat (22/7) malam di Nusa Indah Hall, BICC diselenggarakan acara gala dinner. Hadir lebih dari 50 menteri luar negeri, di antaranya tampak rapi Hillary Clinton, beserta rekan-rekannya dari negara-negara ASEAN, China, Rusia, Uni Eropa, para mitra wicara, peninjau dan tamu dari berbagai negara.
Tentu saja berbagai kulinari andalan dihidangkan, dan berbagai kesenian daerah ditampilkan, seperti tari-tarian tradisional Jakarta, Bali, Aceh, penyanyi yang diiringi oleh orkestra Purwa Tjaraka, dan penampilan kolaborasi musik modern dan tradisional.
Pada saat Menlu Marty Natalegawa, sebagai host, menyampaikan pidato selamat datang suasana masih terasa formal. Berbagai tarian dan nyanyian diselingi berbagai menu makanan mulai menghangatkan suasana.
Saya memang excited mengamati Menlu AS Hillary Clinton dari dekat.
Hillary Clinton memang figur teramat istimewa. Pernah menjadi First Lady selama 8 tahun, calon presiden, dan kemudian menjadi menteri luar negeri di kabinet Presiden Obama, seterunya pada pemilu presiden AS yang lalu. Saya duduk bersama undangan, hanya beberapa meter jaraknya dari tempat duduk Menlu Clinton. Ini menjadi kesempatan baik bagi saya untuk membuat artikel ini.
Hillary Clinton terkenal kemampuan artikulasinya yang hebat. Maklum, dia sebelum menjadi ibu Negara adalah salah satu lawyer terkemuka dan terkaya di AS. Dia duduk bersebelahan dengan Menlu Marty Natalegawa dan isteri.
Seperti kehadiran Clinton di Vietnam tahun lalu dalam sidang ASEAN Regional Forum (ARF) yang membuat China berang, dinamika Amerika pun dirasakan di Bali. Ibu Hillary kembali menjadi newsmaker, dan orang ingin tahu apa sikap AS dalam berbagai isu di Asia Pasifik.
Posisi AS terhadap masalah Myanmar, konflik Thailand-Kamboja, situasi di Laut China Selatan, dan dukungan AS terhadap ASEAN, termasuk Asia Tenggara sebagai zona bebas senjata-nuklir, semuanya ada dalam catatan Menlu AS itu. Para kuli tinta pun rajin memburunya.
Malam itu Hillary santai saja. Situasi berubah drastis pada puncak acara penampilan angklung interaktif oleh Saung Mang Udjo. Semua hadirin dibagikan angklung berbagai tangga-nada. Tidak kecuali kepada Menlu Marty dan isteri yang duduk di barisan utama, beserta Ibu Hillary Clinton dan berbagai dignitaries lainnya.
Seorang wanita muda langsing berkebaya yang fasih berbahasa Inggeris mengenalkan instrumen musik tradisional Jawa Barat itu. Dia menjadi komandan pada malam itu. Semua hadirin, termasuk dignitaries pun patuh.
Hadirin diajarkan singkat teknik memainkan angklung. Lalu, hadirin ditugasi menjaga angklung pada tangga nada masing-masing, untuk memainkannya secara interaktif. Pada saat praktik nada, tiba-tiba muncul melodi Frere Jacques yang dikenal di tanah air sebagai lagu anak-anak internasional “Are you sleeping, brother John’ yang menimbulkan suasana menyenangkan.
Ibu Hillary tampaknya antusias berhias senyuman mengikuti instruksi. She’s so excited! Dan, tampak sangat pede memainkan angklungnya pada nada ‘do’.
Begitu pula Menlu Marty dan rekan-rekannya yang dalam beberapa hari sidang di Bali ‘bertempur’ mempertahankan posisi Negara masing-masing dalam negosiasi alot, pada malam itu sejenak melupakan konflik regional yang berbusa-busa, berkonsentrasi pada angklungnya. Suara bambu yang lembut dan unik terasa menghangatkan. Harmoni indahpun menggelora.
Saya kebagian ‘fa’, nada, sayangnya jarang mendapat bagian. Sebaliknya, ‘do’ nada rendah Bu Hillary mendominasi lagu-lagu yang ditampilkan. Tampaknya, ada operasi khusus untuk itu, dugaan saya.
Tiada catatan, apakah Menlu Clinton pintar bermusik, seperti kepiawaiannya berpolitik dan sebagai sarjana hukum. Tetapi, tampak dia senang dan surprised bisa memainkan peranannya dengan baik.
Tampak semua undangan berbahagia. Dan, usai konser itu mereka dihadiahi angklung yang baru saja mereka mainkan dalam suatu konser besar sebagai tanda-mata dari Indonesia.
“It’s for you, a souvenir from Indonesia”, kata sang komandan tadi.
Saya yakin, malam yang berkesan itu sangat membantu iklim yang kondusif sehingga berbagai posisi-posisi sulit di antara Negara-negara terjembatani. Sehingga pertemuan Menlu ASEAN, ARF dan berbagai pertemuan bilateral terbilang sukses.
Ternyata, harmoni bisa tercipta di bumi Indonesia, seperti diajarkan oleh wisdomnya angklung interaktif.
Dari bocoran teman-teman yang mendapat informasi Menlu Hillary Clinton sangat senang berada kembali di Indonesia, menikmati suasana di Pulau Dewata, keberhasilan menjadi artis yang sekaligus turut mempromosikan budaya Indonesia. Maka, waktu selama 5-hari berada di Indonesia ini termasuk terlama yang pernah dilakukannya di suatu negara. Menlu-menlu lain pun senang.
Persiapan kunjungan Presiden Obama, yang menjadi agenda tambahan kunjungan Ibu Hillary ke Indonesia beres.
Foto Ibu Hillary bermain angklung pun menghiasi pers dunia.
Berkat angklung, Bu Hillary Clinton layak menjadi duta Indonesia, seperti Presiden Obama dengan dengan ‘Anak Menteng’ nya.
Jakarta, 28 Juli 2011
Credit Photo: Rhudie Hartanto
Tuesday, July 5, 2011
Astana: Ibukota Kazakhstan yang Mengagumkan
SAYA selalu belajar di tempat-tempat baru yang saya kunjungi. Apalagi jika kota itu memiliki keunikan, menarik untuk diinformasikan kepada teman-teman, maka fikiran mengembara, merekam dan mencatat.
Setelah penutupan konperensi para menlu negara-negara Islam (Organization for Islamic Cooperation) yang baru saja diubah menjadi Organization for Islamic Cooperation yang berlangsung selama 3-hari di Astana, ibukota baru Republik Kazakhstan, pada akhir Juni 2011 yang lalu, saya sempat keliling kota.
Tempat penyelenggaraan konperensi itu sendiri, Astana Convention Hall, yang terletak di dekat kawasan diplomatik, dilengkapi berbagai fasilitas konperensi internasional, mengawali kekaguman saya kepada negeri ini. Di sini dilangsungkan konperensi internasional dan sidang OIC itu.
Dulu, ketika bekerja di Moskow pada zaman Uni Soviet, saya sudah faham bahwa Repulik Kazakhstan sebagai salah satu dari 15 republik, beribukota di Alma Ata, atau disebut sekarang Almaty. Negeri terluas ke-2 setelah Rusia di Eropa ini dulu terkenal dengan stepe, gurun, tempat ujicoba senjata nuklir dan tempat penggelaran senjata nuklir kedua terbesar di Eropa, milik Uni Soviet dalam kerangka Perang Dingin.
Nursultan Nazarbayev, presiden sekarang, ketika itu hanyalah seorang ketua parlemen yang disebut Presiden dengan tugas-tugas protokoler, sekaligus menjadi ketua partai komunis.
Ketika Uni Soviet pecah, Kazakhstan pun menjadi negara paling akhir menyatakan kemerdekaannya di tahun 1991. Nazarbayev pun melanjutkan tugas menjadi presiden, dan terpilih terus-menerus sampai kini. Meskipun telah merdeka, negeri ini tetap membina hubungan baik dengan Rusia.
Maka negeri itu, relatif menjadi paling stabil politiknya, didukung oleh sumber-sumber alam minyak dan gas yang kaya menjadi paling tinggi pertumbuhan ekonominya. Dua faktor ini pula yang mendukung Kazakhstan untuk kian aktif berperan dan menjadi negara terpenting di Asia Tengah, serta dalam menyampaikan berbagai gagasan di fora internasional.
Jangan lupa, Kazakhstan yang hanya berpenduduk 20 juta juga menjadi negeri penghasil utama biji-bijian dunia, dan pengekspor terbesar uranium!
Pada saat merdeka di tahun 1991, Kazakhstan segera menghapus senjata nuklir, bekerjasama baik dengan Rusia dalam masa transisi, termasuk dalam memperlakukan etnis Rusia yang cukup signifikan di sana.
Negeri ini pada awalnya banyak menerima bantuan dari negeri-negeri Arab yang bersimpati terhadap negeri-negeri atheis di Asia dan Eropa yang ingin kembali ke akarnya: Islam. Ratusan juta dolar pun mengalir.
Turki pun tidak ketinggalan melihat peluang untuk pengaruh politik dan meperluas kepentingan ekonominya. Proyek konstruksi di negeri ini dikuasai perusahaan Turki. Begitu pula dengan China, aktif berdagang.
Namun, Kazakhstan mempertahankan polugri yang seimbang (balanced) terhadap semua negara-negara berpengaruh di kawasannya.
Sejarah negeri ini menarik. Kazakhstan di abad ke-18 masuk ke dalam wilayah pengaruh dan pada pertengahan abad ke-19 menjadi bagian dari kemaharajaan Rusia. Setelah Revolusi Bolshevik 1919, Kazakhstan menjadi bagian dari Uni Soviet (USSR).
Selama berada di bawah Uni Soviet itu pula Kazakhstan membangun sistem ketatanegaraan dan pemerintahan, industri dan sumber-daya manusianya. Faktor ini pula yang menjadi dasar bagi Kazakhstan untuk bersikap optimis dengan masa depannya.
Salah satu proyek terpenting bagi Presiden Nazarbayev adalah memindahkan ibukota dari Almaty, kota tua yang kini sesak, ke daerah padang gersang di Astana di akhir 1997.
Maka, setelah pembangunan masif sejak 1995 Anda tidak lagi melihat kegersangan di ibukota yang lebih mirip menggambarkan masa depan: futuristik. Tidak tanggung-tanggung, pendesain dan arsitek unggulan dunia diundang untuk membangun kota ini.
Astana, dengan 700 ribu penduduk, jauh lebih masif dibanding Putrajaya, Malaysia.
Saya berfikir, kapan Indonesia memiliki ibukota yang ideal seperti Astana.
Kota ini telah siap dengan berbagai infrastruktur pendukungnya. Jangan dulu bandingkan kehidupan kultural dan sosial seperti kota-kota ideal di belahan bumi lainnya. Tetapi, orang-orang Kazakh telah memulai dengan benar. Semua sarana ekonomi, sosial dan kebudayaan dan seluruh perangkat kota dengan status ibukota negeri telah hadir. Dan mereka terus membangun kota ini, dengan sejumlah bangunan berskala besar.
Menara Bayterek menjadi landmark utama Astana dan menjadi symbol Kazakhstan di luar negeri. Di samping istana presiden, gedung pemerintahan, perkantoran, gedung teater dan opera, beragam museum, Astana didukung pula dengan berbagai hotel terbaik, sarana olahraga, gedung apartemen, gedung pertemuan dan konperensi, rumah ibadah berbagai agama.
Beberapa gedung Gedung Palace of Peace and Reconciliation yang berbentuk pyramid seluas lebih dari 25 ribu meter persegi hanya diperuntukkan bagi konperensi perdamaian, dan lintas-keyakinan/agama saja, dengan dukungan ruang opera, museum, perpustakaan dan pusat penelitian.
Mereka telah memiliki Gedung Concert Hall terbesar di dunia berkapasitas 3500 tempat duduk ini berdiri di atas tanah seluas 55 ribu meter persegi dilengkapi aula, ruang musik dan bioskop.
Sementara mesjid terbesar sedang dibangun, maka Mesjid Nur-Astana bermenara-4 yang dibangun tahun 2005 oleh Emir Qatar menjadi Islamic Center. Di sini terdapat ruang ibadah untuk 5000 jamaah, dan sarana madrasah, dan perpustakaan.
Beberapa bangunan monumental yang patut dilihat adalah Ak Orda Presidential Palace seluas hampir 37 ribu meter persegi, Khan Shatyry Entertainment Center yang dibangun pada tahun 2006-2010. Khan Shatyry dibangun mirip dengan tenda tradisional Mongolia setinggi 150 meter di atas tanah 140 ribu meter persegi . Khan Shatyry tidak saja berfungsi sebagai tempat rekreasi biasa, mall, food courts, tetapi juga memiliki pantai indoor dengan udara tropis sepanjang tahun, didukung sarana watersport, dan mini-golf.
Ada juga waterfront di tepi sungai Ishim, katedral, pasar, dan oceanarium. Museum utama terdapat di Presidential Center of Culture, Kabanbay Batyr Mausoleum, Ethnic Memorial Complex, S. Seifullin, dan Museum Nazarbayev sendiri.
Satu kesulitan yang terbayangkan saya adalah kota ini terletak di kawasan terdingin di dunia. Bayangkan, pada musim dingin udara turun mencapai minus 40-45 derjat celcius, dan berangin pula. Yang nikmat adalah di musim panas dengan temperatur tidak lebih dari 25 derajat celcius dan kering.
Kapan Ibukota Republik Indonesia, atau setidaknya pusat pemerintahan kita akan dipindahkan? Hidup di Jakarta ini sudah tidak mendukung lagi. Bahkan, kualitas hidup pun menurun.
Astana, 1 Juli 2011
Thursday, June 23, 2011
Sekolah Terbaik : Memoar Rinto Harahap
TIDAK SEMUA orang beruntung memperoleh pendidikan formal sampai sarjana. Keberuntungan memperoleh pendidikan setinggi mungkin itu ada pada semua lapisan sosial ekonomi. Tidak mesti kaya, banyak anak-anak rakyat di lapisan bawah yang mencapai jenjang pendidikan tertinggi, bahkan professor! Sebaliknya, banyak pula anak-anak dari keluarga menengah ke atas yang hanya tamat SMA atau lebih rendah.
Memang kemampuan ekonomi tidak menjadi faktor terpenting dalam mencapai pendidikan tinggi. Ada kemampuan IQ, ada kecerdasan emosi, konsistensi dan kegigihan. Semua ini faktor bawaan, given, ada pada manusia dalam perbedaan tingkatnya. Yang lain pelengkap. Tak usah diperdebatkan bahwa semua faktor bawaan ini adalah pemberian dari Sang Maha Pencipta.
Di manapun, dan dari lapisan mana pun Anda berasal tidak menjadi faktor bahwa Anda tidak menjadi manusia berguna. Dengan apa yang Anda punyai, atau gelombang kehidupan yang Anda lalui, itu adalah modal untuk ‘menjadi orang’. Karena kehidupan itu sendiri, dengan berbagai terpaan badai atau keteduhannya, adalah sekolah terbaik bagi Anda!
Ini barangkali yang menjadi catatan saya, pada Sabtu petang akhir Mei 2011 di Gramedia Grand Indonesia, ketika menghadiri peluncuran memoir Rinto Harahap yang tidak asing lagi bagi dunia musik pop di tanah air, terutama di sejak era 1970-an sampai akhir abad yang lalu. Penulisnya juga beken: Izharry Agusjaya Moenzir dengan karya terbarunya Gelas Gelas Kaca: Tribute to Rinto Harahap.
Izharry, senior saya di Harian Waspada Medan, juga penulis Bukan Testimoni Susno Duaji, memoir Gesang sang pencipta lagu “Bengawan Solo” dan sejumlah bestseller lainnya. Gramedia. Dia dulu senior saya di Harian Waspada Medan.
Petang itu telah hadir Bang Rinto sendiri, isterinya Lily dan puteri paling bungsu Achi yang dokter gigi. Di samping Izharry sang penulis, telah disiapkan panel untuk bedah-buku memoir itu, tidak lain dari wartawan musik top Bens Leo dan Bang Rinto sendiri.
Beberapa teman-teman dekat Rinto juga hadir, seperti Jajang Pamuncak, Jelly Tobing, Erwin Harahap, Fadyl Usman, etnomusikolog Rizaldi Siagian dan sejumlah anak Medan lainnya.
Erwin Harahap yang kalem dengan gitarnya di Mercys tidak lain abang kandung Rinto sendiri yang menjadi pemimpin grup band yang melahirkan Rinto, Charles Hutagalung, Reynold Panggabean dan Albert Sumlang dalam blantika musik pop nasional selama lebih dari 3 dekade, mulai awal 1970-an juga hadir sore itu.
Endorser
LEBIH DARI sekadar pengagum Bang Rinto, saya hadir dalam acara peluncuran memoar itu atas undangan Gramedia sebagai salah satu endorsers memoar itu. Suatu hari Bang Izharry bercerita sedang menyelesaikan memoar Rinto Harahap. Buku ini sudah digarap selama 12 tahun, dan dia ingin segera menuntaskannya.
“Mantap itu, Bang”, ujar saya. Saya memang penggemar Mercys, seperti lazimnya generasi saya yang kini berusia 50-70 tahun.
Siapa yang tidak kenal dengan Rinto Harahap, pencipta lagu yang merajai musik pop Indonesia pada era 1970-1990an?
Melalui Lolypop Group, kelompok binaan Rinto di luar Mercys, lahir sejumlah nama-nama puncak seperti Diana Nasution, Christine Panjaitan, Betharia Sonata, Iis Sugianto, Eddy Silitonga, Nur Afni Octavia, Nia Daniati, Hetty Koes Endang, Broery Pesulima, Rita Butar Butar, Viktor Hutabarat, dan banyak lagi.
Sebagai endorser, saya juga didaulat berbicara. Jujur saya berkata meskipun belum pernah menyaksikan langsung konser Mercys atau Lolypop atau bertemu dengan Rinto Harahap, tetapi saya dan jutaan lainnya adalah pengagum berat.
“Generasi saya dan bahkan yang lebih tua dibesarkan oleh lagu-lagu Bang Rinto. Kami mengingat lagu-lagu itu karena ada kaitannya dengan kenangan di masa lalu, masa remaja”, kata saya mengawali komentar.
“Jutaan orang-orang seperti saya dan sanak keluarga akan memilih Bang Rinto sebagai presiden jika pada zaman itu kita telah reformasi dan Bang Rinto maju mencalonkan diri menjadi presiden”, ujar saya yang mendapat tepuk tangan pengunjung.
Bang Rinto tidak saja berjasa ‘membesarkan’ kita. Beliau juga menciptakan kehidupan dengan keterlibatan para pekerja industri musik, ratusan ribu orang-orang yang terlibat dalam sektor produksi, pemasaran dan pertunjukan karya-karyanya. Dampak ekonomi itu muncul berkat karya-karya adiluhung Bang Rinto, kata saya bak seorang caleg di Pilkada.
Selama hampir 20 tahun saya tinggal di luar negeri, karya-karya Bang Rinto menjadi pengobat rindu ke tanah air nan jauh. Begitu berartinya lagu-lagu popular Indonesia, termasuk ciptaan Rinto Harahap, bagi masyarakat kita di luar negeri.
Dengan hasil karya berjumlah 518 lagu selama 3 dekade dimulai tahun 1970-an Rinto Harahap memerintah kerajaan musik pop modern Indonesia. Teruji, merekam zaman yang cukup panjang dan mengabadikannya ke dalam karya-karya indah.
Karya cipta Rinto Harahap juga diabadikan dalam album The Masterpiece of Rinto Harahap, bersisikan 14 lagu yang didaur-ulang sesuai konsep musik masa kini dan dinyanyikan oleh penyanyi-penyanyi anyar sekarang. Karya-karya itu abadi.
Jalan Tom Jones atau Rinto?
SAYA lantas mengutip wawancara penyanyi top di tahun 1960-an, Tom Jones, yang merasa menyesal mengapa pada puncak-puncak kehebatan suaranya malah dia menghabiskan waktu untuk show di Las Vegas dan berbagai kota di dunia. Menurutnya, pada puncak prima kehebatan pita suaranya seharusnya digunakan untuk rekaman. Meskipun Tom Jones sekarang ini masih melakukan konser dan full-house di mana-mana, tak-pelak pita suara itu tidak seprima seperti pada era kejayaannya.
Tom Jones menyesal, rekaman suara itu akan menjadi harta karun modal yang akan menjamin hari tuanya.
Saya katakan, Bang Rinto pada puncak-puncak kreativitasnya menghabiskan waktu untuk mencipta lagu dan merekam di studio. Tidaklah mengherankan jika dalam kurun waktu itu Rinto menghasilkan 518 lagu ciptaannya. Bang Rinto lebih beruntung ketimbang Tom Jones.
Saya lantas ingat, ketika Duta Besar Rusia Vladimir Plotnikov mengajak saya untuk sama-sama menyanyikan Benci Tapi Rindu pada acara dinner di tahun 2006. Dubes Rusia yang fasih berbahasa Indonesia ini sangat menyukai karya-karya Bang Rinto. Saya sadar karya-karya Rinto Harahap telah menembus batas-batas kultural antar-negara. Tom Jones juga begitu.
Sore itu, saya pun menyanyikan Benci Tapi Rindu, bersama sang penciptanya, Bang Rinto, diikuti hadirin.
Ingin Kembali Mencipta
PETANG itu Bang Rinto tampak segar. Ketika berbicara, Bang Rinto masih belum lugas. Beliau terserang stroke beberapa tahun yang lalu.
“Saya akan menulis lagu lagi, terutama jika jemari kanan sdh pulih, agar bisa main gitar”, katanya. Doakan kawan-kawan, katanya lagi yang disambut oleh para hadirin yang memenuhi tokobuku Gramedia: Amin!
Penerima Anugerah Seni 1982 dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen P dan K, sebagai pencipta lagu sekaligus penyanyi yang berprestasi itu tak-pelak menjadi a legend. Dia turut meletakkan dasar-dasar lagu populer di Nusantara (termasuk Malaysia, Brunei, Singapura).
Wajar, nama besar Rinto Harahap akan diabadikan dalam sanubari rakyat berbahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara.
Kejujuran Modal Utama
DALAM memoar Gelas-Gelas Kaca, Rinto Harahap jujur bertutur kisah dirinya. Tiada kebetulan, dan manusia bisa menjadikan kehidupan nyata yang dialaminya – di mana pun, apapun status sosialnya-- sebagai sekolah terbaik bagi kehidupan.
Memoar ini sarat dengan pesan. Sekolah kehidupan, lebih dari sekadar sekolah formal, mengajarkan wisdom dan mendorong manusia untuk menggali potensi yang ada pada diri sendiri.
Pada awalnya, potensi sebagai pencipta lagu tidak tampak pada Rinto. Hanya karena terpaan berbagai peristiwa berat Rinto terdorong untuk setia dan jujur menjadi seniman. Berada lingkungan orang-orang yang dicintainya, keluarganya, dan teman-teman dia bekerja keras. Hasil kerja keras itulah yang menghantarkan Rinto menjadi legend, pencipta lagu yang sangat kreatif.
Dia bertutur tentang kampung halamannya di Sipirok dan di masa kecil di Sibolga, tentang ayah dan ibu yang dicintainya. Bertubi-tubi cobaan menimpa keluarga dan dirinya, dan Rinto yang berhati lembut ternyata juga berlatar-belakang dunia keras, preman, di Medan. Ternyata dia mantan Rambo!
Rinto menjadi 'introvert' ternyata pernah mengalami tahanan, namun suka menulis puisi. Puisi-puisi itu kelak akan menjadi tema lagu-lagu ciptaannya.
Rinto Harahap menjadi pribadi yang jujur, seakan-akan terombang-ambing dalam jatuh-bangun kehidupan keluarga ayahnya, mencoba setia dengan anjuran ayahnya untuk menjadi pegawai dengan kehidupan serba teratur. Pada akhirnya, dia terdampar di dunia seni, dan sukses!
Hubungannya dengan kolega Charles Hutagalung yang lebih dahulu ngetop dan memang berbakat diakuinya jujur. Bahkan, Charles yang menjadi sumber inspirasi dan guru baginya. Pada kejayaan karir mereka, sempat kedua teman akrab menjadi seteru. Namun, di masa senja pertemanan itu bertaut kembali.
Zia dan Tasya, teman remaja Rinto digambarkan begitu inspiratif, lebih sebagai teman karena keduanya memahami perasaan Rinto yang halus.
Kisah tentang Tasya, teman remajanya itu diungkap Rinto dalam lagu Katakan Sejujurnya yang menjadi salah satu hit Christine Panjaitan.
“Apa mungkin kita bersatu?”, tanya Rinto yang masih dalam taraf pencarian diri, kemudian merantau meninggalkan kota Medan.
Izharry Agusjaya sang penulis hebat selama 4 dekade adalah orang yang tepat merekam dengan baik dan halus buku memoar itu. Wajar, Izharry sangat memahami degup-jantung anak-anak Medan dengan berbagai perjuangan mereka di ibukota.
Kisah perjuangan dan suka-duka anak manusia yang mirip dengan cerita Laskar Pelangi ini sangat inspiratif dan layak difilmkan.
Jakarta, 24 Juni 2011
Memang kemampuan ekonomi tidak menjadi faktor terpenting dalam mencapai pendidikan tinggi. Ada kemampuan IQ, ada kecerdasan emosi, konsistensi dan kegigihan. Semua ini faktor bawaan, given, ada pada manusia dalam perbedaan tingkatnya. Yang lain pelengkap. Tak usah diperdebatkan bahwa semua faktor bawaan ini adalah pemberian dari Sang Maha Pencipta.
Di manapun, dan dari lapisan mana pun Anda berasal tidak menjadi faktor bahwa Anda tidak menjadi manusia berguna. Dengan apa yang Anda punyai, atau gelombang kehidupan yang Anda lalui, itu adalah modal untuk ‘menjadi orang’. Karena kehidupan itu sendiri, dengan berbagai terpaan badai atau keteduhannya, adalah sekolah terbaik bagi Anda!
Ini barangkali yang menjadi catatan saya, pada Sabtu petang akhir Mei 2011 di Gramedia Grand Indonesia, ketika menghadiri peluncuran memoir Rinto Harahap yang tidak asing lagi bagi dunia musik pop di tanah air, terutama di sejak era 1970-an sampai akhir abad yang lalu. Penulisnya juga beken: Izharry Agusjaya Moenzir dengan karya terbarunya Gelas Gelas Kaca: Tribute to Rinto Harahap.
Izharry, senior saya di Harian Waspada Medan, juga penulis Bukan Testimoni Susno Duaji, memoir Gesang sang pencipta lagu “Bengawan Solo” dan sejumlah bestseller lainnya. Gramedia. Dia dulu senior saya di Harian Waspada Medan.
Petang itu telah hadir Bang Rinto sendiri, isterinya Lily dan puteri paling bungsu Achi yang dokter gigi. Di samping Izharry sang penulis, telah disiapkan panel untuk bedah-buku memoir itu, tidak lain dari wartawan musik top Bens Leo dan Bang Rinto sendiri.
Beberapa teman-teman dekat Rinto juga hadir, seperti Jajang Pamuncak, Jelly Tobing, Erwin Harahap, Fadyl Usman, etnomusikolog Rizaldi Siagian dan sejumlah anak Medan lainnya.
Erwin Harahap yang kalem dengan gitarnya di Mercys tidak lain abang kandung Rinto sendiri yang menjadi pemimpin grup band yang melahirkan Rinto, Charles Hutagalung, Reynold Panggabean dan Albert Sumlang dalam blantika musik pop nasional selama lebih dari 3 dekade, mulai awal 1970-an juga hadir sore itu.
Endorser
LEBIH DARI sekadar pengagum Bang Rinto, saya hadir dalam acara peluncuran memoar itu atas undangan Gramedia sebagai salah satu endorsers memoar itu. Suatu hari Bang Izharry bercerita sedang menyelesaikan memoar Rinto Harahap. Buku ini sudah digarap selama 12 tahun, dan dia ingin segera menuntaskannya.
“Mantap itu, Bang”, ujar saya. Saya memang penggemar Mercys, seperti lazimnya generasi saya yang kini berusia 50-70 tahun.
Siapa yang tidak kenal dengan Rinto Harahap, pencipta lagu yang merajai musik pop Indonesia pada era 1970-1990an?
Melalui Lolypop Group, kelompok binaan Rinto di luar Mercys, lahir sejumlah nama-nama puncak seperti Diana Nasution, Christine Panjaitan, Betharia Sonata, Iis Sugianto, Eddy Silitonga, Nur Afni Octavia, Nia Daniati, Hetty Koes Endang, Broery Pesulima, Rita Butar Butar, Viktor Hutabarat, dan banyak lagi.
Sebagai endorser, saya juga didaulat berbicara. Jujur saya berkata meskipun belum pernah menyaksikan langsung konser Mercys atau Lolypop atau bertemu dengan Rinto Harahap, tetapi saya dan jutaan lainnya adalah pengagum berat.
“Generasi saya dan bahkan yang lebih tua dibesarkan oleh lagu-lagu Bang Rinto. Kami mengingat lagu-lagu itu karena ada kaitannya dengan kenangan di masa lalu, masa remaja”, kata saya mengawali komentar.
“Jutaan orang-orang seperti saya dan sanak keluarga akan memilih Bang Rinto sebagai presiden jika pada zaman itu kita telah reformasi dan Bang Rinto maju mencalonkan diri menjadi presiden”, ujar saya yang mendapat tepuk tangan pengunjung.
Bang Rinto tidak saja berjasa ‘membesarkan’ kita. Beliau juga menciptakan kehidupan dengan keterlibatan para pekerja industri musik, ratusan ribu orang-orang yang terlibat dalam sektor produksi, pemasaran dan pertunjukan karya-karyanya. Dampak ekonomi itu muncul berkat karya-karya adiluhung Bang Rinto, kata saya bak seorang caleg di Pilkada.
Selama hampir 20 tahun saya tinggal di luar negeri, karya-karya Bang Rinto menjadi pengobat rindu ke tanah air nan jauh. Begitu berartinya lagu-lagu popular Indonesia, termasuk ciptaan Rinto Harahap, bagi masyarakat kita di luar negeri.
Dengan hasil karya berjumlah 518 lagu selama 3 dekade dimulai tahun 1970-an Rinto Harahap memerintah kerajaan musik pop modern Indonesia. Teruji, merekam zaman yang cukup panjang dan mengabadikannya ke dalam karya-karya indah.
Karya cipta Rinto Harahap juga diabadikan dalam album The Masterpiece of Rinto Harahap, bersisikan 14 lagu yang didaur-ulang sesuai konsep musik masa kini dan dinyanyikan oleh penyanyi-penyanyi anyar sekarang. Karya-karya itu abadi.
Jalan Tom Jones atau Rinto?
SAYA lantas mengutip wawancara penyanyi top di tahun 1960-an, Tom Jones, yang merasa menyesal mengapa pada puncak-puncak kehebatan suaranya malah dia menghabiskan waktu untuk show di Las Vegas dan berbagai kota di dunia. Menurutnya, pada puncak prima kehebatan pita suaranya seharusnya digunakan untuk rekaman. Meskipun Tom Jones sekarang ini masih melakukan konser dan full-house di mana-mana, tak-pelak pita suara itu tidak seprima seperti pada era kejayaannya.
Tom Jones menyesal, rekaman suara itu akan menjadi harta karun modal yang akan menjamin hari tuanya.
Saya katakan, Bang Rinto pada puncak-puncak kreativitasnya menghabiskan waktu untuk mencipta lagu dan merekam di studio. Tidaklah mengherankan jika dalam kurun waktu itu Rinto menghasilkan 518 lagu ciptaannya. Bang Rinto lebih beruntung ketimbang Tom Jones.
Saya lantas ingat, ketika Duta Besar Rusia Vladimir Plotnikov mengajak saya untuk sama-sama menyanyikan Benci Tapi Rindu pada acara dinner di tahun 2006. Dubes Rusia yang fasih berbahasa Indonesia ini sangat menyukai karya-karya Bang Rinto. Saya sadar karya-karya Rinto Harahap telah menembus batas-batas kultural antar-negara. Tom Jones juga begitu.
Sore itu, saya pun menyanyikan Benci Tapi Rindu, bersama sang penciptanya, Bang Rinto, diikuti hadirin.
Ingin Kembali Mencipta
PETANG itu Bang Rinto tampak segar. Ketika berbicara, Bang Rinto masih belum lugas. Beliau terserang stroke beberapa tahun yang lalu.
“Saya akan menulis lagu lagi, terutama jika jemari kanan sdh pulih, agar bisa main gitar”, katanya. Doakan kawan-kawan, katanya lagi yang disambut oleh para hadirin yang memenuhi tokobuku Gramedia: Amin!
Penerima Anugerah Seni 1982 dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen P dan K, sebagai pencipta lagu sekaligus penyanyi yang berprestasi itu tak-pelak menjadi a legend. Dia turut meletakkan dasar-dasar lagu populer di Nusantara (termasuk Malaysia, Brunei, Singapura).
Wajar, nama besar Rinto Harahap akan diabadikan dalam sanubari rakyat berbahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara.
Kejujuran Modal Utama
DALAM memoar Gelas-Gelas Kaca, Rinto Harahap jujur bertutur kisah dirinya. Tiada kebetulan, dan manusia bisa menjadikan kehidupan nyata yang dialaminya – di mana pun, apapun status sosialnya-- sebagai sekolah terbaik bagi kehidupan.
Memoar ini sarat dengan pesan. Sekolah kehidupan, lebih dari sekadar sekolah formal, mengajarkan wisdom dan mendorong manusia untuk menggali potensi yang ada pada diri sendiri.
Pada awalnya, potensi sebagai pencipta lagu tidak tampak pada Rinto. Hanya karena terpaan berbagai peristiwa berat Rinto terdorong untuk setia dan jujur menjadi seniman. Berada lingkungan orang-orang yang dicintainya, keluarganya, dan teman-teman dia bekerja keras. Hasil kerja keras itulah yang menghantarkan Rinto menjadi legend, pencipta lagu yang sangat kreatif.
Dia bertutur tentang kampung halamannya di Sipirok dan di masa kecil di Sibolga, tentang ayah dan ibu yang dicintainya. Bertubi-tubi cobaan menimpa keluarga dan dirinya, dan Rinto yang berhati lembut ternyata juga berlatar-belakang dunia keras, preman, di Medan. Ternyata dia mantan Rambo!
Rinto menjadi 'introvert' ternyata pernah mengalami tahanan, namun suka menulis puisi. Puisi-puisi itu kelak akan menjadi tema lagu-lagu ciptaannya.
Rinto Harahap menjadi pribadi yang jujur, seakan-akan terombang-ambing dalam jatuh-bangun kehidupan keluarga ayahnya, mencoba setia dengan anjuran ayahnya untuk menjadi pegawai dengan kehidupan serba teratur. Pada akhirnya, dia terdampar di dunia seni, dan sukses!
Hubungannya dengan kolega Charles Hutagalung yang lebih dahulu ngetop dan memang berbakat diakuinya jujur. Bahkan, Charles yang menjadi sumber inspirasi dan guru baginya. Pada kejayaan karir mereka, sempat kedua teman akrab menjadi seteru. Namun, di masa senja pertemanan itu bertaut kembali.
Zia dan Tasya, teman remaja Rinto digambarkan begitu inspiratif, lebih sebagai teman karena keduanya memahami perasaan Rinto yang halus.
Kisah tentang Tasya, teman remajanya itu diungkap Rinto dalam lagu Katakan Sejujurnya yang menjadi salah satu hit Christine Panjaitan.
“Apa mungkin kita bersatu?”, tanya Rinto yang masih dalam taraf pencarian diri, kemudian merantau meninggalkan kota Medan.
Izharry Agusjaya sang penulis hebat selama 4 dekade adalah orang yang tepat merekam dengan baik dan halus buku memoar itu. Wajar, Izharry sangat memahami degup-jantung anak-anak Medan dengan berbagai perjuangan mereka di ibukota.
Kisah perjuangan dan suka-duka anak manusia yang mirip dengan cerita Laskar Pelangi ini sangat inspiratif dan layak difilmkan.
Jakarta, 24 Juni 2011
Monday, June 13, 2011
BERTETANGGA YAHUDI
KAMI tinggal 4 tahun di New York. Kota ini sempat dijuluki “Jew York” karena di kota ini konsentrasi terbesar masyarakat Yahudi di luar Israel, hampir 2 juta orang, dari total kurang lebih 7 juta jiwa di seluruh AS.
Mayoritas komunitas Yahudi berasal dari kelompok Ashkenazi yang berjumlah hampir 1 juta jiwa. Selebihnya adalah kelompok Hasidic Chabad-Lubavitch, Bobover, Satmar yang menjadi cabang-cabang dari sub-etnis Hasidism, kelompok ultra-Orthodox Judaisme.
Keberadaan mereka di New York City dimulai pada abad ke-17, datang dari Brazil mencari kebebasan beragama. Mereka tergolong Sephardi (Yahudi yang berasal dari Negara non-Eropa) seperti Suriah. Imigrasi besar-besaran terjadi pada akhir abad ke-19 ketika anti-Semit merebak di Eropa Tengah dan Timur, kemudian setelah PD I.
Di era glasnost dan perestroika di Uni Soviet pada dekade 1980-1990, komunitas Yahudi Ashkenazi, Bukhari, dan Georgia , membanjiri New York. Queens, South Brooklyn, Bronx, Manhattan, dan Riverdale. Umumnya orang-orang Yahudi tinggal di kawasan-menengah seperti Brooklyn, Queens, Forest Hills, atau di Fresh Meadows dan Flushing, di mana kami sekeluarga tinggal. Sebagian menetap di di Upper State, Long Islands, atau di New Jersey di enklaf kelas menengah ke atas.
Omni Present
YAHUDI itu tidak monolit. Tentu, tidak semua mereka kaya dan berkecukupan. Ada pula yang kurang beruntung dan menjadi tukang cukur, atau binatu, atau hanya pelayan restoran. Mereka juga tidak semua beragama Yahudi, agama mayoritas. Bahkan tidak kurang yang atheis alias tidak beragama.
Menurut Google, hanya ¼ komunitas Yahudi di Amerika yang menjalankan ibadah agama tradisional mereka. Mungkin ini yang menjelaskan mengapa secara tradisional komunitas Yahudi Amerika menjadi pendukung Partai Demokrat (liberal), daripada Partai Republik (konservatif).
Ada yang puritan, ada pula yang kosmopolitan. Banyak yang menjadi selebriti, artis terkenal, sutradara film, professor, penulis hebat atau pemilik media. Meskipun jumlahnya sekitar 2 juta, orang-orang Yahudi itu ada di mana-mana, omni present.
Karena cukup lama, hampir 4 tahun kami tinggal di Fresh Meadows bertetangga dengan masyarakat Yahudi saya pun terbiasa dengan pemandangan sehari-hari hidup dengan mereka.
Pada hari Sabtu yang adalah hari Sabbath, hari suci bagi umat Yahudi seperti Jumat bagi Muslim, mereka beribadah ke Sinagog, berjalan berbondong-bondong. Pada hari Sabtu orang yahudi dilarang berkendaraan. Sinagog merupakan pemandangan biasa di New York, terutama di kawasan konsentrasi masyarakat mereka.
Tahun baru Yahudi yang disebut Rosh Hashanah tidak begitu kentara dirayakan di Amerika, berbeda halnya dengan Yom Kippur yang merupakan hari tersuci bagi mereka atau Hanukah, festival 8-hari dengan menyalakan lampu bercabang-8.
Agama yahudi juga memiliki hari-hari besar lainnya, namun yang kentara dirayakan meriah adalah Yom Kippur dan Hanukah.
Puasa juga menjadi bagian dari ritual agama Yahudi, di samping tirakat sambil membaca kitab suci Taurat sampai menjelang subuh. Di pemukiman kami tinggal itu, pada waktu tertentu lamat-lamat saya mendengar mereka mengaji di malam hening entah sampai jam berapa.
Mereka juga memasang tenda di samping rumah, dan bersama keluarga ‘tadarus’ membaca Taurat.
Karena itu, kami bertetangga baik dengan orang-orang Yahudi, peacefull coexistence, hidup berdampingan dengan damai. Di kawasan ini pula kami lebih mengenal mendalam tentang kebiasaan dan hidup sehari-hari mereka. Tidak hanya itu, landlord (pemilik rumah), dokter, agen asuransi, bankers, dan guru-guru sekolah anak-anak kami, dan beberapa profesor hebat yang saya kenal baik ketika belajar di University of Washington (Seattle) juga orang Yahudi.
Tentu tidak semua beruntung. Di antara yang masih belum beruntung adalah tetangga kami. Aleksandr atau Sasha, begitu dia dipanggil isterinya, beserta 2 anak remaja baru saja beremigrasi dari Azerbaidjan. Dia belum lancar berbahasa Inggeris. Saya dan keluarganya selalu berbahasa Rusia bila berpapasan atau pada weekend sedang berberes rumah.
Menurutnya, kehidupan di negara bekas Uni Soviet itu tidak menarik lagi setelah bubarnya negeri itu di awal tahun 1990. Pasca bubarnya Uni Soviet, masyarakat etnis terutama di Asia Tengah kembali ke tradisi semula yang Islam.
Dalam gejolak sosial di negara-negara transisi itu selalu muncul masalah-masalah sosial dan bahkan xenophobia (benci orang asing) meskipun mereka lahir dan besar di negeri itu. Itu yang membuat Sasha merasa tidak aman.
Sasha menjual semua harta-bendanya dan berkat koneksi dan persaudaraan Yahudi mendapat sponsor untuk beremigrasi ke AS. Dia harus mandiri setelah tiba di Amerika. Dia hanyalah seorang pemilik mobil sedan merangkap supir untuk tamu-tamu VIP, begitu penjelasannya.
Anaknya yang laki-laki bekerja sebagai montir, sedangkan puteri remajanya bekerja sebagai kasir di supermarket yang tidak jauh dari rumah saya. Kedua anak mereka ini juga sedang menempuh studi di perguruan tinggi.
Menurut Sasha, selama hidup di zaman Komunis Uni Soviet mereka diwajibkan mengikis identitas etnis dan bahkan agama! Kehidupan cenderung sekuler. Banyak pula yang menjadi atheis, seperti Sasha dan keluarganya. Maka, beremigrasi ke Amerika dan tinggal bersama komunitas Yahudi menjadi kesempatan untuk kembali ke tradisi dan agama mereka.
“Saya dulu tidak tahu bahwa daging babi itu haram”, katanya. Memang Sasha dan keluarganya telah menjadi ‘born-again’ Jewish. Dia kini tidak mengkonsumsi daging babi, dan bahkan berusaha secara ketat mematuhi diet Yahudi dengan makanan kosher (halal).
Belajar Mendidik Anak a la Yahudi
TINGGAL bersama komunitas dengan mayoritas Yahudi menjadi biasa. Kami juga memerhatikan bagaimana mereka hidup sehari-hari. Bangsa yang diuber-uber selama ribuan tahun ini memang luar biasa ketahanan nasionalnya.
Meskipun ibu-ibu rumahtangga Yahudi itu memiliki pendidikan tinggi, bahkan sampai doktor, tetapi mereka tetap setia pada profesi tradisional: sebagai penjaga tradisi, pendidik di rumah serta mengurus pekerjaan rumah-tangga (house chores).
Bangsa Yahudi berbudaya paternalistik. Lelaki berjuang untuk keluarga, mencari kehidupan. Wanita dipersiapkan untuk menjadi ibu rumah-tangga. Ini profesi tradisional yang bersandar pada budaya Yahudi. Para ibu rumah tangga menjadi ‘the back bone’ bagi penjaminan agar tradisi, agama, dan budaya terwariskan dengan baik.
Yang menjadi kunci daya tahan mereka adalah bersumber pada 2 hal: tradisi dan agama. Dari ajaran teologis ini mereka memiliki 2 kunci hidup: bagaimana menjadi kaya dan berpengaruh melalui pemilikan harta-benda dan pendidikan.
Kami juga ingin mencuri ‘resep’ bagaimana mereka mendidik anak-anak di rumah. Kebetulan anak-anak kami masih usia sekolah SD dan SMP negeri (public school) yang para guru-guru serta orang-tua murid dengan sendirinya mayoritas adalah orang-orang Yahudi.
Pada tahun awal kami tinggal di Amerika anak-anak mengalami kesulitan berbahasa Inggeris. Sekalipun Sandra, anak kami yang paling besar, sudah bisa berbahasa Inggeris secara terbatas tetapi aksen Prancisnya sangat kental. Sebelumnya, kami tinggal di Eropa dan anak-anak bersekolah di sekolah Prancis (L’Ecole Francais Victor Hugo).
Saya dan isteri mencoba ‘bridging the gap’ dengan rajin berkonsultasi dengan guru-guru bagaimana kami bisa membantu anak-anak mengatasi kesulitan bahasa Inggeris. Kami juga selalu aktif ikut dalam rapat-rapat Parent-Teacher Association (PTA) untuk mengenal orang-tua teman-teman anak-anak kami.
Adalah kebijakan sekolah yang mewajibkan anak-anak asing untuk tidak hanya belajar di ruang kelas bersama-sama anak-anak Amerika lainnya. Mereka juga harus mengikuti kelas English as Second Language (ESL). Alhamdulillah, berkat upaya keras dan nasehat dari para guru dan orang-tua murid maka dalam kurang setahun anak-anak kami sudah mulai lancar berbahasa Inggeris. Bahkan yang paling kecil, Rizaldy, mampu menyelesaikan ESL dalam waktu 6 bulan!
Karena pekerjaan banyak tinggal di luar negeri, saya mengikuti tradisi internasional dalam memberi 3 nama (name, middle name, surname) bagi tiap anak kami. Saya selalau menyisipkan nama tengah bagi anak laki-laki dengan panggilan leluhur. Maka, anak kedua Edwin memiliki nama tengah JAKOB. Itu nama kakek saya.
”Jakob?”, kata gurunya yang Yahudi, keheranan bagaimana orang Indonesia Muslim mengambil nama orang yang paling dihormati, kakek-moyang orang Yahudi.
”Ya, Edwin Jakob Pohan”, ujar saya. Saya jelaskan Jakob itu nama kakek saya, dan juga menjadi nama nabi bagi kaum Muslim.
”Good. I did not know that”, ujar sang guru, kagum dan senang.
Di lain kesempatan, pada bulan Ramadhan kami bertemu dengan guru-kelas yang juga orang Yahudi. Dia menyatakan kekaguman bahwa anak-anak menjalankan ibadah puasa secara disiplin. Pada saat istirahat makan-siang anak-anak Muslim diperbolehkan berada di ruang perpustakaan, bermain atau belajar silahkan saja.
“Saya kagum sekali, bagaimana anak-anak Asia dalam usia dini telah mampu berdisiplin dengan patuh tanpa complain menjalankan ibadah puasa yang tentu berat bagi mereka”, ukarnya.
Kami menjelaskan bahwa sebenarnya kami memperbolehkan anak-anak tidak berpuasa sekiranya akan menyebabkan mereka terlihat ‘aneh’ di antara anak-anak lainnya. Tetapi anak-anak itu hanya melanjutkan tradisi di tanah air, menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Anak-anak juga belajar di Saturday School Mesjid Al Hikmah untuk belajar Al Quran dan hal-hal keislaman, bersama anak-anak Indonesia Muslim dan beberapa di antaranya anak ekspat dari Asia Selatan dan Eropa.
“Sekiranya anak-anak Amerika juga memiliki disiplin yang tinggi dan keyakinan keagamaan yang kental saya yakin kami akan maju”, tambah sang guru.
Disiplin memang menjadi kunci. Dan dengan disiplin tinggi pula anak-anak Yahudi dipersiapkan oleh orang-tuanya. Kami ‘mencuri’ ilmu yang sederhana tetapi manjur.
“Anak-anak kami tidak mengenal TV dan hiburan lainnya pada hari-hari sekolah”, kata seorang ibu Yahudi kepada isteri saya.
“Mondays to Fridays no TV or PlayStation at all”, katanya. Anak-anak diperbolehkan melakukan kegiatan luar-sekolah hanya pada akhir-pekan.
Maka, anak-anak kami juga terbiasa untuk mengembalikan semua permainan kesayangan mereka pada Minggu petang. Mereka segera mempersiapkan diri untuk pelajaran hari Senin dan seterusnya. PlayStation ini akan mereka ambil dari kamar kami pada Jumat sore, setelah kembali dari sekolah. Dan mereka juga terbiasa tanpa menonton acara TV apapun selama hari-hari sekolah!
Pada jam 800 malam anak-anak harus masuk ke kamar masing-masing, dan pada jam 900 lampu di kamar mereka kami matikan karena jam tidur.
Pada masa liburan musim panas yang cukup panjang, seperti anak-anak Yahudi mereka pun tidak lepas dari kegiatan berbau sekolah. Tentu saja, masa liburan juga kami gunakan bersama anak-anak bepergian ke kota-kota lainnya. Namun, kebanyakan waktu digunakan untuk membaca buku. Isteri saya rajin meminjam buku untuk anak-anak dari perpustakaan. Belasan buku setiap minggu.
Maka, dalam liburan panjang mereka menghabiskan puluhan buku. Buku apa saja, dan tidak mesli buku pelajaran. Yang penting adalah buku yang mereka sukai. Apapun.
Tidak hanya dalam pelajaran. Anak-anak juga sejak kecil terbiasa dengan pekerjaan rumah-tangga (house chores). Tentu yang ringan-ringan saja, seperti membersihkan tempat tidur, kamar dan mengatur pakaian dan buku-buku dengan rapi. Ini juga menjadi kebiasaan anak-anak Yahudi.
Dengan disiplin dan kebiasaan baik yang ditanamkan hasil-hasil sekolah pun meningkat. Anak perempuan kami dengan nilai yang baik diterima di sekolah pilihannya SMA Cordozo.
Bahkan, anak ke-3 Rizaldy menjadi juara bahasa Inggeris di sekolahnya. Masih kelas V, Rizaldy telah menjadi wakil sekolahnya untuk mengikuti kompetisi bahasa Inggeris pada tingkat regional.
Ini juga berkat iklim belajar-mengajar yang kondusif. Pada sekolah-sekolah negeri Amerika para guru diwajibkan mengikis prejudice. Anak-anak kamipun tanpa disadari mereka mengalami transformasi menjadi orang Amerika.
”Yes, I am American”, kata putera saya. Padahal pada tahun kedua dia mengatakan ‘I am partly American, partly Indonesian’.
Ketika saya kembali ke tanah air karena penugasan telah selesai kami pamit dengan guru-guru sekolah mereka. Guru-guru Yahudi Amerika itu mengekspresikan kesedihan, mengapa kami harus meninggalkan Amerika, dan apakah kami tidak betah di sini.
“Bagaimana nanti pendidikan anak-anak di sana?”
“Saya pegawai pemerintah, dan sudah waktunya untuk kembali ke tanah air. Jangan khawatir, di kota-kota besar di Indonesia telah banyak sekolah-sekolah yang baik, di mana anak-anak juga akan menempuh pendidikan dengan baik”, ujar saya menegaskan.
Alhamdulillah, setelah beberapa tahun berada di tanah air anak-anak dapat menempuh pelajaran dengan baik. Sandra, kini lulus dari FH UI, telah bekerja di suatu law-firm. Edwin, anak kedua kami juga sedang menyelesaikan studinya di FISIP UI, sementara adiknya Rizaldy telah belajar pada semester 6 di ITB, jurusan teknik mesin dirgantara.
Tinggal di pemukiman mayoritas Yahudi dan bertetangga dengan mereka juga memiliki sisi-sisi baik yang menjadi pengalaman berharga bagi kami dalam membesarkan anak-anak.
Jakarta, 14 Juni 2011
Mayoritas komunitas Yahudi berasal dari kelompok Ashkenazi yang berjumlah hampir 1 juta jiwa. Selebihnya adalah kelompok Hasidic Chabad-Lubavitch, Bobover, Satmar yang menjadi cabang-cabang dari sub-etnis Hasidism, kelompok ultra-Orthodox Judaisme.
Keberadaan mereka di New York City dimulai pada abad ke-17, datang dari Brazil mencari kebebasan beragama. Mereka tergolong Sephardi (Yahudi yang berasal dari Negara non-Eropa) seperti Suriah. Imigrasi besar-besaran terjadi pada akhir abad ke-19 ketika anti-Semit merebak di Eropa Tengah dan Timur, kemudian setelah PD I.
Di era glasnost dan perestroika di Uni Soviet pada dekade 1980-1990, komunitas Yahudi Ashkenazi, Bukhari, dan Georgia , membanjiri New York. Queens, South Brooklyn, Bronx, Manhattan, dan Riverdale. Umumnya orang-orang Yahudi tinggal di kawasan-menengah seperti Brooklyn, Queens, Forest Hills, atau di Fresh Meadows dan Flushing, di mana kami sekeluarga tinggal. Sebagian menetap di di Upper State, Long Islands, atau di New Jersey di enklaf kelas menengah ke atas.
Omni Present
YAHUDI itu tidak monolit. Tentu, tidak semua mereka kaya dan berkecukupan. Ada pula yang kurang beruntung dan menjadi tukang cukur, atau binatu, atau hanya pelayan restoran. Mereka juga tidak semua beragama Yahudi, agama mayoritas. Bahkan tidak kurang yang atheis alias tidak beragama.
Menurut Google, hanya ¼ komunitas Yahudi di Amerika yang menjalankan ibadah agama tradisional mereka. Mungkin ini yang menjelaskan mengapa secara tradisional komunitas Yahudi Amerika menjadi pendukung Partai Demokrat (liberal), daripada Partai Republik (konservatif).
Ada yang puritan, ada pula yang kosmopolitan. Banyak yang menjadi selebriti, artis terkenal, sutradara film, professor, penulis hebat atau pemilik media. Meskipun jumlahnya sekitar 2 juta, orang-orang Yahudi itu ada di mana-mana, omni present.
Karena cukup lama, hampir 4 tahun kami tinggal di Fresh Meadows bertetangga dengan masyarakat Yahudi saya pun terbiasa dengan pemandangan sehari-hari hidup dengan mereka.
Pada hari Sabtu yang adalah hari Sabbath, hari suci bagi umat Yahudi seperti Jumat bagi Muslim, mereka beribadah ke Sinagog, berjalan berbondong-bondong. Pada hari Sabtu orang yahudi dilarang berkendaraan. Sinagog merupakan pemandangan biasa di New York, terutama di kawasan konsentrasi masyarakat mereka.
Tahun baru Yahudi yang disebut Rosh Hashanah tidak begitu kentara dirayakan di Amerika, berbeda halnya dengan Yom Kippur yang merupakan hari tersuci bagi mereka atau Hanukah, festival 8-hari dengan menyalakan lampu bercabang-8.
Agama yahudi juga memiliki hari-hari besar lainnya, namun yang kentara dirayakan meriah adalah Yom Kippur dan Hanukah.
Puasa juga menjadi bagian dari ritual agama Yahudi, di samping tirakat sambil membaca kitab suci Taurat sampai menjelang subuh. Di pemukiman kami tinggal itu, pada waktu tertentu lamat-lamat saya mendengar mereka mengaji di malam hening entah sampai jam berapa.
Mereka juga memasang tenda di samping rumah, dan bersama keluarga ‘tadarus’ membaca Taurat.
Karena itu, kami bertetangga baik dengan orang-orang Yahudi, peacefull coexistence, hidup berdampingan dengan damai. Di kawasan ini pula kami lebih mengenal mendalam tentang kebiasaan dan hidup sehari-hari mereka. Tidak hanya itu, landlord (pemilik rumah), dokter, agen asuransi, bankers, dan guru-guru sekolah anak-anak kami, dan beberapa profesor hebat yang saya kenal baik ketika belajar di University of Washington (Seattle) juga orang Yahudi.
Tentu tidak semua beruntung. Di antara yang masih belum beruntung adalah tetangga kami. Aleksandr atau Sasha, begitu dia dipanggil isterinya, beserta 2 anak remaja baru saja beremigrasi dari Azerbaidjan. Dia belum lancar berbahasa Inggeris. Saya dan keluarganya selalu berbahasa Rusia bila berpapasan atau pada weekend sedang berberes rumah.
Menurutnya, kehidupan di negara bekas Uni Soviet itu tidak menarik lagi setelah bubarnya negeri itu di awal tahun 1990. Pasca bubarnya Uni Soviet, masyarakat etnis terutama di Asia Tengah kembali ke tradisi semula yang Islam.
Dalam gejolak sosial di negara-negara transisi itu selalu muncul masalah-masalah sosial dan bahkan xenophobia (benci orang asing) meskipun mereka lahir dan besar di negeri itu. Itu yang membuat Sasha merasa tidak aman.
Sasha menjual semua harta-bendanya dan berkat koneksi dan persaudaraan Yahudi mendapat sponsor untuk beremigrasi ke AS. Dia harus mandiri setelah tiba di Amerika. Dia hanyalah seorang pemilik mobil sedan merangkap supir untuk tamu-tamu VIP, begitu penjelasannya.
Anaknya yang laki-laki bekerja sebagai montir, sedangkan puteri remajanya bekerja sebagai kasir di supermarket yang tidak jauh dari rumah saya. Kedua anak mereka ini juga sedang menempuh studi di perguruan tinggi.
Menurut Sasha, selama hidup di zaman Komunis Uni Soviet mereka diwajibkan mengikis identitas etnis dan bahkan agama! Kehidupan cenderung sekuler. Banyak pula yang menjadi atheis, seperti Sasha dan keluarganya. Maka, beremigrasi ke Amerika dan tinggal bersama komunitas Yahudi menjadi kesempatan untuk kembali ke tradisi dan agama mereka.
“Saya dulu tidak tahu bahwa daging babi itu haram”, katanya. Memang Sasha dan keluarganya telah menjadi ‘born-again’ Jewish. Dia kini tidak mengkonsumsi daging babi, dan bahkan berusaha secara ketat mematuhi diet Yahudi dengan makanan kosher (halal).
Belajar Mendidik Anak a la Yahudi
TINGGAL bersama komunitas dengan mayoritas Yahudi menjadi biasa. Kami juga memerhatikan bagaimana mereka hidup sehari-hari. Bangsa yang diuber-uber selama ribuan tahun ini memang luar biasa ketahanan nasionalnya.
Meskipun ibu-ibu rumahtangga Yahudi itu memiliki pendidikan tinggi, bahkan sampai doktor, tetapi mereka tetap setia pada profesi tradisional: sebagai penjaga tradisi, pendidik di rumah serta mengurus pekerjaan rumah-tangga (house chores).
Bangsa Yahudi berbudaya paternalistik. Lelaki berjuang untuk keluarga, mencari kehidupan. Wanita dipersiapkan untuk menjadi ibu rumah-tangga. Ini profesi tradisional yang bersandar pada budaya Yahudi. Para ibu rumah tangga menjadi ‘the back bone’ bagi penjaminan agar tradisi, agama, dan budaya terwariskan dengan baik.
Yang menjadi kunci daya tahan mereka adalah bersumber pada 2 hal: tradisi dan agama. Dari ajaran teologis ini mereka memiliki 2 kunci hidup: bagaimana menjadi kaya dan berpengaruh melalui pemilikan harta-benda dan pendidikan.
Kami juga ingin mencuri ‘resep’ bagaimana mereka mendidik anak-anak di rumah. Kebetulan anak-anak kami masih usia sekolah SD dan SMP negeri (public school) yang para guru-guru serta orang-tua murid dengan sendirinya mayoritas adalah orang-orang Yahudi.
Pada tahun awal kami tinggal di Amerika anak-anak mengalami kesulitan berbahasa Inggeris. Sekalipun Sandra, anak kami yang paling besar, sudah bisa berbahasa Inggeris secara terbatas tetapi aksen Prancisnya sangat kental. Sebelumnya, kami tinggal di Eropa dan anak-anak bersekolah di sekolah Prancis (L’Ecole Francais Victor Hugo).
Saya dan isteri mencoba ‘bridging the gap’ dengan rajin berkonsultasi dengan guru-guru bagaimana kami bisa membantu anak-anak mengatasi kesulitan bahasa Inggeris. Kami juga selalu aktif ikut dalam rapat-rapat Parent-Teacher Association (PTA) untuk mengenal orang-tua teman-teman anak-anak kami.
Adalah kebijakan sekolah yang mewajibkan anak-anak asing untuk tidak hanya belajar di ruang kelas bersama-sama anak-anak Amerika lainnya. Mereka juga harus mengikuti kelas English as Second Language (ESL). Alhamdulillah, berkat upaya keras dan nasehat dari para guru dan orang-tua murid maka dalam kurang setahun anak-anak kami sudah mulai lancar berbahasa Inggeris. Bahkan yang paling kecil, Rizaldy, mampu menyelesaikan ESL dalam waktu 6 bulan!
Karena pekerjaan banyak tinggal di luar negeri, saya mengikuti tradisi internasional dalam memberi 3 nama (name, middle name, surname) bagi tiap anak kami. Saya selalau menyisipkan nama tengah bagi anak laki-laki dengan panggilan leluhur. Maka, anak kedua Edwin memiliki nama tengah JAKOB. Itu nama kakek saya.
”Jakob?”, kata gurunya yang Yahudi, keheranan bagaimana orang Indonesia Muslim mengambil nama orang yang paling dihormati, kakek-moyang orang Yahudi.
”Ya, Edwin Jakob Pohan”, ujar saya. Saya jelaskan Jakob itu nama kakek saya, dan juga menjadi nama nabi bagi kaum Muslim.
”Good. I did not know that”, ujar sang guru, kagum dan senang.
Di lain kesempatan, pada bulan Ramadhan kami bertemu dengan guru-kelas yang juga orang Yahudi. Dia menyatakan kekaguman bahwa anak-anak menjalankan ibadah puasa secara disiplin. Pada saat istirahat makan-siang anak-anak Muslim diperbolehkan berada di ruang perpustakaan, bermain atau belajar silahkan saja.
“Saya kagum sekali, bagaimana anak-anak Asia dalam usia dini telah mampu berdisiplin dengan patuh tanpa complain menjalankan ibadah puasa yang tentu berat bagi mereka”, ukarnya.
Kami menjelaskan bahwa sebenarnya kami memperbolehkan anak-anak tidak berpuasa sekiranya akan menyebabkan mereka terlihat ‘aneh’ di antara anak-anak lainnya. Tetapi anak-anak itu hanya melanjutkan tradisi di tanah air, menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Anak-anak juga belajar di Saturday School Mesjid Al Hikmah untuk belajar Al Quran dan hal-hal keislaman, bersama anak-anak Indonesia Muslim dan beberapa di antaranya anak ekspat dari Asia Selatan dan Eropa.
“Sekiranya anak-anak Amerika juga memiliki disiplin yang tinggi dan keyakinan keagamaan yang kental saya yakin kami akan maju”, tambah sang guru.
Disiplin memang menjadi kunci. Dan dengan disiplin tinggi pula anak-anak Yahudi dipersiapkan oleh orang-tuanya. Kami ‘mencuri’ ilmu yang sederhana tetapi manjur.
“Anak-anak kami tidak mengenal TV dan hiburan lainnya pada hari-hari sekolah”, kata seorang ibu Yahudi kepada isteri saya.
“Mondays to Fridays no TV or PlayStation at all”, katanya. Anak-anak diperbolehkan melakukan kegiatan luar-sekolah hanya pada akhir-pekan.
Maka, anak-anak kami juga terbiasa untuk mengembalikan semua permainan kesayangan mereka pada Minggu petang. Mereka segera mempersiapkan diri untuk pelajaran hari Senin dan seterusnya. PlayStation ini akan mereka ambil dari kamar kami pada Jumat sore, setelah kembali dari sekolah. Dan mereka juga terbiasa tanpa menonton acara TV apapun selama hari-hari sekolah!
Pada jam 800 malam anak-anak harus masuk ke kamar masing-masing, dan pada jam 900 lampu di kamar mereka kami matikan karena jam tidur.
Pada masa liburan musim panas yang cukup panjang, seperti anak-anak Yahudi mereka pun tidak lepas dari kegiatan berbau sekolah. Tentu saja, masa liburan juga kami gunakan bersama anak-anak bepergian ke kota-kota lainnya. Namun, kebanyakan waktu digunakan untuk membaca buku. Isteri saya rajin meminjam buku untuk anak-anak dari perpustakaan. Belasan buku setiap minggu.
Maka, dalam liburan panjang mereka menghabiskan puluhan buku. Buku apa saja, dan tidak mesli buku pelajaran. Yang penting adalah buku yang mereka sukai. Apapun.
Tidak hanya dalam pelajaran. Anak-anak juga sejak kecil terbiasa dengan pekerjaan rumah-tangga (house chores). Tentu yang ringan-ringan saja, seperti membersihkan tempat tidur, kamar dan mengatur pakaian dan buku-buku dengan rapi. Ini juga menjadi kebiasaan anak-anak Yahudi.
Dengan disiplin dan kebiasaan baik yang ditanamkan hasil-hasil sekolah pun meningkat. Anak perempuan kami dengan nilai yang baik diterima di sekolah pilihannya SMA Cordozo.
Bahkan, anak ke-3 Rizaldy menjadi juara bahasa Inggeris di sekolahnya. Masih kelas V, Rizaldy telah menjadi wakil sekolahnya untuk mengikuti kompetisi bahasa Inggeris pada tingkat regional.
Ini juga berkat iklim belajar-mengajar yang kondusif. Pada sekolah-sekolah negeri Amerika para guru diwajibkan mengikis prejudice. Anak-anak kamipun tanpa disadari mereka mengalami transformasi menjadi orang Amerika.
”Yes, I am American”, kata putera saya. Padahal pada tahun kedua dia mengatakan ‘I am partly American, partly Indonesian’.
Ketika saya kembali ke tanah air karena penugasan telah selesai kami pamit dengan guru-guru sekolah mereka. Guru-guru Yahudi Amerika itu mengekspresikan kesedihan, mengapa kami harus meninggalkan Amerika, dan apakah kami tidak betah di sini.
“Bagaimana nanti pendidikan anak-anak di sana?”
“Saya pegawai pemerintah, dan sudah waktunya untuk kembali ke tanah air. Jangan khawatir, di kota-kota besar di Indonesia telah banyak sekolah-sekolah yang baik, di mana anak-anak juga akan menempuh pendidikan dengan baik”, ujar saya menegaskan.
Alhamdulillah, setelah beberapa tahun berada di tanah air anak-anak dapat menempuh pelajaran dengan baik. Sandra, kini lulus dari FH UI, telah bekerja di suatu law-firm. Edwin, anak kedua kami juga sedang menyelesaikan studinya di FISIP UI, sementara adiknya Rizaldy telah belajar pada semester 6 di ITB, jurusan teknik mesin dirgantara.
Tinggal di pemukiman mayoritas Yahudi dan bertetangga dengan mereka juga memiliki sisi-sisi baik yang menjadi pengalaman berharga bagi kami dalam membesarkan anak-anak.
Jakarta, 14 Juni 2011
Thursday, May 12, 2011
INDONESIA ESTABLISHED FIRST CHAPTER OF ASEAN BLOGGER COMMUNITY
DIRECTOR General for ASEAN Cooperation of the Ministry of Foreign Affairs Djauhari Oratmangun Tuesday (10/5) inaugurated the establishment of the ASEAN Blogger Community Chapter Indonesia in Jakarta.
The launching of the first ASEAN regional-based blogger community is meant to express the enthusiasm among Indonesian bloggers to support Indonesia’s position as current 2011 chair of ASEAN.
Mr. Djauhari Oratmangun hailed the initiatives of Indonesian bloggers to establish the first kind of blogger society and hoped that similar communities would be established by its sister chapters in all ASEAN member countries. He asked ASEAN Blogger Community Chapter Indonesia to jointly with him in the dissemination of information and messages of ASEAN to Indonesian people.
“ASEAN is in the verge of crucial challenges that this sub-regional cooperative organization cannot survive in the globalization era without strong support from its people. Therefore, the ASEAN Charter has mandated all ASEAN member-countries to do their utmost to make ASEAN relevant, useful, and felt among its people”, he said.
He continued, the participation of bloggers is crucially important since our contemporary world and challenges ahead depends heavily on IT communications, and in particular the social media. Therefore, the task he expects from Indonesian bloggers is to spread all positive direction ASEAN is now pursuing and in speeding up the establishment an ASEAN community-type cooperation in the Southeast Asia sub-regional in 2015.
The inauguration of ASEAN Blogger Community Chapter Indonesia were attended by blogger community representatives, among others, from Jakarta, Bekasi, Surabaya, Jakarta, Medan and Makassar.
The official inauguration was marked by signing of a Declaration, among others by Director General Djauhari Oratmangun, followed by chairman of the event organizer Imam Brotoseno, the founders and respective representatives of blogger communities from those cities.
The Declaration on the Establishment of the ASEAN Blogger Community Chapter Indonesia contains the commitment: (1) to intensify efforts in the making of a people-centered ASEAN integration through strengthened interaction, (2) to put forward ideas and proposals to respective governments in their exercise of strengthening 3 community pillars, i.e. political and security, economic, and social-cultural in line with the national interest of Indonesia and people welfare (3) to bridge communication among bloggers in ASEAN countries and to encourage people participation in the process, (4) to conduct social activities among bloggers and people in establishing a sense of ownership and participation within the ASEAN cooperation framework, and (5) and to establish the ASEAN Blogger Community Chapter Indonesia as contribution from the Indonesia people, and to publish information of its activities of through newly-established website http://aseanblogger.com.
In his introduction remark, Mr. Imam Brotoseno welcomed the support rendered by the Ministry of Foreign Affairs, in particular, for the warm support from Director General Djauhari Oratmangun. He thanked also Ms. Mubarika Darmayanti, representative of IdblogNetwork for her support.
“Through Indonesia’s chapter of the ASEAN Blogger Community, we bloggers wish to contribute to the presence of ASEAN in the midst of Indonesian people, and the Chapter would serves as bridge to communicate Indonesian bloggers with their counterparts from 9 other member countries. We do not intend to apply this social medium just for the sake of forging friendship and common identity, but also in the practical terms to strengthen strategic goals in new economic ventures at the level of society, as well as in the socio-cultural fields”, Imam Brotoseno further said, speaking on behalf of the founders of the group.
He said the presence of ASEAN among people of South East Asia should not only be felt. ASEAN should be owned, driven, and initiated by people. The Summit theme ASEAN of people-centered needs more new ideas and thinking in the concrete and practical terms.
“We wish our step would be followed by other blogger communities in the ASEAN member-countries. We wish to establish cooperation and exchange of views and information with our counterparts”, said Imam Brotoseno.
“Domestically, we would like to appeal to all bloggers in many cities in Indonesia to join us, either individually or through their communities”, he continued.
Mr. Brotoseno, former President of annual Indonesian Blogger Party in 2010 said in the talkshow program held after the inauguration of the ASEAN Blogger Community Chapter Indonesia that he and other colleagues would embark a string of road shows in Surabaya, Makassar, Medan, and finally Jakarta in order to introduce the newly established Indonesian Chapter, where he expected to receive not only enthusiasm but also ideas and proposals from bloggers there.
“We would like to develop vision and mission of our newly-established blogger association, and further action plans”, he added.
According to some of the founders of ASEAN Blogger Community Chapter Indonesia, they will make a report to the Ministry of Foreign Affairs and to the ASEAN Secretary General on the establishment of the Indonesian Chapter.
“We will ask the Foreign Ministry and the ASEAN Secretariat to inform the governments of ASEAN member-countries and offer our readiness to cooperate with our sister counterparts. We intend to organize a meeting of all sister ASEAN Blogger Community Chapters from respective countries in Jakarta during the 44th Anniversary of ASEAN. The meeting would be held to provide exchange of views among all ASEAN member countries and to establish cooperation on how we could contribute in the ASEAN process”, Aris Heru Utomo, chair of the Bekasi Blogger (BeBlog), other founders Amril Taufik Gobel, and Wijaya Kusumah added.
The launching of the first ASEAN regional-based blogger community is meant to express the enthusiasm among Indonesian bloggers to support Indonesia’s position as current 2011 chair of ASEAN.
Mr. Djauhari Oratmangun hailed the initiatives of Indonesian bloggers to establish the first kind of blogger society and hoped that similar communities would be established by its sister chapters in all ASEAN member countries. He asked ASEAN Blogger Community Chapter Indonesia to jointly with him in the dissemination of information and messages of ASEAN to Indonesian people.
“ASEAN is in the verge of crucial challenges that this sub-regional cooperative organization cannot survive in the globalization era without strong support from its people. Therefore, the ASEAN Charter has mandated all ASEAN member-countries to do their utmost to make ASEAN relevant, useful, and felt among its people”, he said.
He continued, the participation of bloggers is crucially important since our contemporary world and challenges ahead depends heavily on IT communications, and in particular the social media. Therefore, the task he expects from Indonesian bloggers is to spread all positive direction ASEAN is now pursuing and in speeding up the establishment an ASEAN community-type cooperation in the Southeast Asia sub-regional in 2015.
The inauguration of ASEAN Blogger Community Chapter Indonesia were attended by blogger community representatives, among others, from Jakarta, Bekasi, Surabaya, Jakarta, Medan and Makassar.
The official inauguration was marked by signing of a Declaration, among others by Director General Djauhari Oratmangun, followed by chairman of the event organizer Imam Brotoseno, the founders and respective representatives of blogger communities from those cities.
The Declaration on the Establishment of the ASEAN Blogger Community Chapter Indonesia contains the commitment: (1) to intensify efforts in the making of a people-centered ASEAN integration through strengthened interaction, (2) to put forward ideas and proposals to respective governments in their exercise of strengthening 3 community pillars, i.e. political and security, economic, and social-cultural in line with the national interest of Indonesia and people welfare (3) to bridge communication among bloggers in ASEAN countries and to encourage people participation in the process, (4) to conduct social activities among bloggers and people in establishing a sense of ownership and participation within the ASEAN cooperation framework, and (5) and to establish the ASEAN Blogger Community Chapter Indonesia as contribution from the Indonesia people, and to publish information of its activities of through newly-established website http://aseanblogger.com.
In his introduction remark, Mr. Imam Brotoseno welcomed the support rendered by the Ministry of Foreign Affairs, in particular, for the warm support from Director General Djauhari Oratmangun. He thanked also Ms. Mubarika Darmayanti, representative of IdblogNetwork for her support.
“Through Indonesia’s chapter of the ASEAN Blogger Community, we bloggers wish to contribute to the presence of ASEAN in the midst of Indonesian people, and the Chapter would serves as bridge to communicate Indonesian bloggers with their counterparts from 9 other member countries. We do not intend to apply this social medium just for the sake of forging friendship and common identity, but also in the practical terms to strengthen strategic goals in new economic ventures at the level of society, as well as in the socio-cultural fields”, Imam Brotoseno further said, speaking on behalf of the founders of the group.
He said the presence of ASEAN among people of South East Asia should not only be felt. ASEAN should be owned, driven, and initiated by people. The Summit theme ASEAN of people-centered needs more new ideas and thinking in the concrete and practical terms.
“We wish our step would be followed by other blogger communities in the ASEAN member-countries. We wish to establish cooperation and exchange of views and information with our counterparts”, said Imam Brotoseno.
“Domestically, we would like to appeal to all bloggers in many cities in Indonesia to join us, either individually or through their communities”, he continued.
Mr. Brotoseno, former President of annual Indonesian Blogger Party in 2010 said in the talkshow program held after the inauguration of the ASEAN Blogger Community Chapter Indonesia that he and other colleagues would embark a string of road shows in Surabaya, Makassar, Medan, and finally Jakarta in order to introduce the newly established Indonesian Chapter, where he expected to receive not only enthusiasm but also ideas and proposals from bloggers there.
“We would like to develop vision and mission of our newly-established blogger association, and further action plans”, he added.
According to some of the founders of ASEAN Blogger Community Chapter Indonesia, they will make a report to the Ministry of Foreign Affairs and to the ASEAN Secretary General on the establishment of the Indonesian Chapter.
“We will ask the Foreign Ministry and the ASEAN Secretariat to inform the governments of ASEAN member-countries and offer our readiness to cooperate with our sister counterparts. We intend to organize a meeting of all sister ASEAN Blogger Community Chapters from respective countries in Jakarta during the 44th Anniversary of ASEAN. The meeting would be held to provide exchange of views among all ASEAN member countries and to establish cooperation on how we could contribute in the ASEAN process”, Aris Heru Utomo, chair of the Bekasi Blogger (BeBlog), other founders Amril Taufik Gobel, and Wijaya Kusumah added.
Tuesday, April 19, 2011
ADAKAH RUANG DIPLOMASI KITA DI TIMUR TENGAH?
TUNTUTAN umat Islam di tanah air agar Indonesia memainkan peranan aktif dalam mendorong proses damai reformasi di beberapa Negara Timur Tengah dan Afrika Utara mencuat akhir-akhir ini.
Berturut-turut, mulai akhir 2010 demonstrasi merebak di Tunisia kemudian menjalar ke Mesir, Libya, Aljeria, Bahrain, Djibouti, Iraq, Yordania, Syria, Oman dan Yaman, diikuti pula euphoria demokrasi di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Marokko, Arab Saudi, Sudan dan di Sahara Barat yang semuanya dikenal sebagai negara-negara Muslim.
Beberapa pengamat mencoba memahami situasi dan dinamika yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara itu kurang lebih setara dengan tingkat dan dimensi perubahan di Eropa Timur di awal tahun 1990-an yang telah menjungkirbalikkan komunisme dan mengakhiri Perang Dingin. Peta Eropa berubah, maka peta geopolitik pun berubah.
Dan, pergolakan atau lebih tepatnya revolusi yang berlangsung di sana belum akan berakhir dalam waktu dekat. It’s only the beginning, hemat saya.
Akankah ‘wind of change’ menyapu Dunia Islam? Seberapa besar tantangan demokrasi di Dunia Islam dan apakah pengalaman Indonesia atau Turki relevan bagi Negara-negara yang sedang bergejolak tersebut.
Adakah opsi-opsi yang terbuka bagi Indonesia untuk turut menyumbangkan peran dan pengalamannya dalam meredam gejolak agar tidak merugikan perjuangan Dunia Islam? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mudah dijawab tentunya.
Mengapa Kita Peduli?
HARAPAN masyarakat di tanah air agar Indonesia melalui diplomasi untuk memainkan peranan untuk tercapainya transisi damai di Negara-negara Muslim itu beralasan.
Pertama, Indonesia merupakan Negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Pergolakan di dunia Islam menjadi keprihatinan kaum Muslim di Indonesia. Indonesia pasca reformasi telah memiliki kesempatan untuk menggunakan diplomasi yang tidak sekadar alat perjuangan mencapai kepentingan nasional yang tangible.
Pembukaan UUD 1945 telah memandatkan tanggung-jawab internasional Indonesia apalagi didukung dengan kinerja ekonomi yang menakjubkan dunia dan telah menjadi anggota G-20, kelompok negara dengan ekonomi terbesar dunia.
Solidaritas karena kedekatan agama atau mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina telah menjadi klasik. Konstituten di dalam negeri telah mendorong agar Indonesia lebih berkiprah tidak hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi.
Kedua, di sana banyak terdapat penduduk Indonesia yang sedang bekerja atau menunaikan ibadah umrah, berwisata, maupun mahasiswa. Di dalam era merebaknya medium untuk media social, perkembangan situasi yang memburuk di Timur Tengah menjadi kecemasan dari rumah ke rumah.
Ketiga, Indonesia juga pernah mengalami proses reformasi dan berhasil mengatasi gejolak di masyarakat dengan baik. Indonesia juga telah muncul menjadi salah satu kekuatan demokrasi di dunia, bahkan melalui Bali Democracy Forum menyumbang bagi proses penguatan demokrasi di kawasan Asia Pasifik. Jelas kita bisa menyumbangkan pengalaman kita dengan negara-negara yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi.
Konstituen kita di dalam negeri juga terbelah. Ada yang mendukung runtuhnya rejim Gaddafi, namun kemarahan terhadap pengeboman oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO juga tidak kurang.
Sering pula Pemerintah didorong agar bersikap proaktif, adakalanya melampaui kapasitas atau kemampuan kita sendiri.
Reaksi Dunia Islam
MEMANG dirasakan aneh, Organisasi Konperensi Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara di Dunia Islam, termasuk Indonesia, sejak awal tidak mengambil langkah-langkah penting di tengah keadaan yang memburuk di Tunisia, Mesir dan Libya.
OKI baru bersuara ketika angin reformasi melanda Libya dan menjatuhkan korban warga sipil. Melalui sekjen Ekmeleddin Ihsanoglu, OKI mengeluarkan seruan agar semua pihak yang ambil-bagian dalam operasi militer menahan diri untuk tidak menjatuhkan korban di kalangan sipil serta meminta semua Negara menghormati kesatuan bangsa dan keutuhan wilayah Libya.
Pernyataan ini sangat terlambat, karena pernyataan ini keluar baru pada tanggal 23 Maret 2011, sesaat setelah keluarnya resolusi DK-PBB No. 1973. Padahal, pergolakan dahsyat telah dimulai di Mesir sejak akhir Januari 2011.
Bagaimana dengan Gulf Cooperation Council (GCC)? Dalam pergolakan di Libya, 6 negara yang tergabung dalam GCC (Gulf Cooperation Coucil) secara terang-terangan menyerang Muammar Gaddafi dan memihak kepada oposisi. Turut sertanya Qatar mengirimkan pesawat tempur menyerang kekuatan militer Gaddafi menggambarkan komplikasi yang tidak gampang bagi Indonesia untuk mendukung kepada salah satu pihak.
GCC mempunyai alasan jelas bahwa penembakan dengan senjata berat penduduk sipil dengan menugaskan tentara bayaran asing adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional.
“Rejim Gaddafi telah kehilangan legitimasinya” kata Perdana Menteri merangkat Menlu Qatar Hamad bin Jasem bin Jaber Al Thani.
Bagaimana dengan peran Arab League? Organisasi bangsa Arab yang beranggotakan 22 negara ini berbeda pendapat dengan GCC yang dimotori oleh Arab Saudi, sebaliknya menyesalkan serangan bom AS dan Negara-negara Eropa yang telah menjatuhkan korban di kalangan sipil serta tidak menghantarkan ke arah membaiknya situasi bahkan perang saudara terbuka.
Sekjen Arab League Amr Moussa menyatakan persetujuan mereka untuk resolusi DK-PBB yang memberlakukan no-fly zone dimaksudkan untuk mencegah Gaddafi menggunakan kekuatan udara menyerang penduduk sipil dan bukan untuk menggempur kota Tripoli serta pasukan Libya.
Resolusi DK-PBB seperti cek-kosong yang digunakan AS dan sekutunya untuk menggempur Libya habis-habisan tanpa memperdulikan kepentingan perlindungan bagi warga sipil.
Uni Afrika pun tidak mampu berbuat apa-apa. Sikap Negara-negara anggota organisasi regional ini pun terbelah-belah. Gaddafi banyak memberikan sumbangan kepada Uni Afrika.
Indonesia tidak dapat berbicara di GCC maupun Arab League, atau Uni Afrika semata-mata kita tidak menjadi anggota di 3 organisasi ini, maka satu-satunya forum yang mungkin digunakan adalah melalui OKI.
Namun, sampai saat ini OKI belum mampu memainkan peranan substantif dan signifikan dalam mendorong proses perubahan damai tanpa gejolak di Timur Tengah dan Afrika Utara. Alasannya jelas, tidak ada konsensus dan bahkan sikap negara-negara anggotanya terpecah.
Bilamana organisasi regional atau sub-regional sendiri kurang mampu berperan maka sulit bagi Indonesia, yang bukan negara kawasan, untuk menawarkan perannya.
Keterbatasan Diplomasi RI
Alhasil, satu-satunya leeway (koridor) tersisa bagi kita untuk turut berbicara mengenai situasi yang menimpa saudara-saudara kita di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah secara nasional, seperti yang disuarakan oleh Presiden RI maupun delegasi RI di PBB. Di sinipun kita memiliki keterbatasan.
Meningkatnya gengsi berkat peran menonjol di berbagai fora internasional tidak serta-merta menjadi currency yang dapat dimainkan dalam pertarungan diplomasi. Ada keterbatasan bagi Indonesia untuk memainkan peranan di dalam mengatasi situasi di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Pertama, tatanan internasional pada pasca Perang Dingin memberikan ruang-gerak bagi peranan organisasi regional yang lebih besar. Dalam hal ini, organisasi yang relevan untuk membahas pergolakan yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah GCC, Arab League, atau Uni Afrika.
Tuntutan agar ASEAN menyuarakan pernyataan mengecam pemboman Libya juga tidak memungkinkan karena isu Timur Tengah ini hanya menjadi perhatian 3 dari 10 negara anggota, yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Sekiranya ASEAN juga mengeluarkan pernyataan sifatnya umum-umum saja.
Kedua, meskipun secara nominal telah menjadi negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia Indonesia baru berambisi untuk menjadi ‘inspirasi’ dan belum mau menjadi kampiun yang memaksakan format demokrasi di mana-mana. Konsolidasi praktik-praktik demokrasi masih berlangsung di tanah air yang di sana-sini masih memerlukan penyempurnaan. Artinya, kondisi demokrasi kita belum mencapai taraf paripurna.
Ketiga, meskipun secara nominal disebut telah menjadi negeri berpenduduk terbesar Muslim se dunia, namun masih banyak pekerjaan rumah kita untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi bagi kalangan masyarakat. Indonesia juga sedang membangun kapasitas intelektualitas dan pemikir keislamannya untuk bisa menjadi center of excellence yang diakui di Dunia Muslim. Untuk menjadi pusat peradaban Islam se dunia, misalnya, masih banyak pekerjaan rumah bagi Indonesia, perolehan Nobel dan karya-karya pemikiran Islam berkelas dunia salah satunya di mana Indonesia masih absen.
Keempat, untuk memainkan peranan penting dalam percaturan politik internasional atau memainkan kartu diplomasi maka Indonesia memerlukan means dengan currency yang berlaku.
Dalam percaturan diplomasi kekuatan ekonomi, militer yang memadai dan dapat diproyeksikan secara global menjadi keniscayaan bagi pelaksanaan diplomasi kita. Meskipun telah diakui sebagai pemain baru potensial dalam perekonomian dunia negeri kita juga masih belum dalam posisi yang consolidated, seperti misalnya China.
Dengan kondisi kemampuan keuangan terbatas, peningkatan kapasitas pertahanan nasional yang didukung dengan peralatan canggih belum menjadi prioritas bagi kita. Jangankan untuk penggunaan kekuatan militer dalam mendukung diplomasi RI di timur Tengah, untuk di kawasan Asia Tenggara sekalipun kita belum mampu memproyeksikan kekuatan militer dengan hardware yang handal.
Kinerja diplomasi akan meningkat bilamana Indonesia berhasil meningkatkan kapasitas dan kemampuan proyeksinya di bidang ekonomi dan pertahanan di dalam pergaulan bangsa-bangsa.
Jakarta, 20 April 2011
Berturut-turut, mulai akhir 2010 demonstrasi merebak di Tunisia kemudian menjalar ke Mesir, Libya, Aljeria, Bahrain, Djibouti, Iraq, Yordania, Syria, Oman dan Yaman, diikuti pula euphoria demokrasi di Kuwait, Lebanon, Mauritania, Marokko, Arab Saudi, Sudan dan di Sahara Barat yang semuanya dikenal sebagai negara-negara Muslim.
Beberapa pengamat mencoba memahami situasi dan dinamika yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara itu kurang lebih setara dengan tingkat dan dimensi perubahan di Eropa Timur di awal tahun 1990-an yang telah menjungkirbalikkan komunisme dan mengakhiri Perang Dingin. Peta Eropa berubah, maka peta geopolitik pun berubah.
Dan, pergolakan atau lebih tepatnya revolusi yang berlangsung di sana belum akan berakhir dalam waktu dekat. It’s only the beginning, hemat saya.
Akankah ‘wind of change’ menyapu Dunia Islam? Seberapa besar tantangan demokrasi di Dunia Islam dan apakah pengalaman Indonesia atau Turki relevan bagi Negara-negara yang sedang bergejolak tersebut.
Adakah opsi-opsi yang terbuka bagi Indonesia untuk turut menyumbangkan peran dan pengalamannya dalam meredam gejolak agar tidak merugikan perjuangan Dunia Islam? Pertanyaan-pertanyaan itu tidak mudah dijawab tentunya.
Mengapa Kita Peduli?
HARAPAN masyarakat di tanah air agar Indonesia melalui diplomasi untuk memainkan peranan untuk tercapainya transisi damai di Negara-negara Muslim itu beralasan.
Pertama, Indonesia merupakan Negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Pergolakan di dunia Islam menjadi keprihatinan kaum Muslim di Indonesia. Indonesia pasca reformasi telah memiliki kesempatan untuk menggunakan diplomasi yang tidak sekadar alat perjuangan mencapai kepentingan nasional yang tangible.
Pembukaan UUD 1945 telah memandatkan tanggung-jawab internasional Indonesia apalagi didukung dengan kinerja ekonomi yang menakjubkan dunia dan telah menjadi anggota G-20, kelompok negara dengan ekonomi terbesar dunia.
Solidaritas karena kedekatan agama atau mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina telah menjadi klasik. Konstituten di dalam negeri telah mendorong agar Indonesia lebih berkiprah tidak hanya di bidang politik, tetapi juga di bidang ekonomi.
Kedua, di sana banyak terdapat penduduk Indonesia yang sedang bekerja atau menunaikan ibadah umrah, berwisata, maupun mahasiswa. Di dalam era merebaknya medium untuk media social, perkembangan situasi yang memburuk di Timur Tengah menjadi kecemasan dari rumah ke rumah.
Ketiga, Indonesia juga pernah mengalami proses reformasi dan berhasil mengatasi gejolak di masyarakat dengan baik. Indonesia juga telah muncul menjadi salah satu kekuatan demokrasi di dunia, bahkan melalui Bali Democracy Forum menyumbang bagi proses penguatan demokrasi di kawasan Asia Pasifik. Jelas kita bisa menyumbangkan pengalaman kita dengan negara-negara yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi.
Konstituen kita di dalam negeri juga terbelah. Ada yang mendukung runtuhnya rejim Gaddafi, namun kemarahan terhadap pengeboman oleh Amerika Serikat dan sekutu NATO juga tidak kurang.
Sering pula Pemerintah didorong agar bersikap proaktif, adakalanya melampaui kapasitas atau kemampuan kita sendiri.
Reaksi Dunia Islam
MEMANG dirasakan aneh, Organisasi Konperensi Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara di Dunia Islam, termasuk Indonesia, sejak awal tidak mengambil langkah-langkah penting di tengah keadaan yang memburuk di Tunisia, Mesir dan Libya.
OKI baru bersuara ketika angin reformasi melanda Libya dan menjatuhkan korban warga sipil. Melalui sekjen Ekmeleddin Ihsanoglu, OKI mengeluarkan seruan agar semua pihak yang ambil-bagian dalam operasi militer menahan diri untuk tidak menjatuhkan korban di kalangan sipil serta meminta semua Negara menghormati kesatuan bangsa dan keutuhan wilayah Libya.
Pernyataan ini sangat terlambat, karena pernyataan ini keluar baru pada tanggal 23 Maret 2011, sesaat setelah keluarnya resolusi DK-PBB No. 1973. Padahal, pergolakan dahsyat telah dimulai di Mesir sejak akhir Januari 2011.
Bagaimana dengan Gulf Cooperation Council (GCC)? Dalam pergolakan di Libya, 6 negara yang tergabung dalam GCC (Gulf Cooperation Coucil) secara terang-terangan menyerang Muammar Gaddafi dan memihak kepada oposisi. Turut sertanya Qatar mengirimkan pesawat tempur menyerang kekuatan militer Gaddafi menggambarkan komplikasi yang tidak gampang bagi Indonesia untuk mendukung kepada salah satu pihak.
GCC mempunyai alasan jelas bahwa penembakan dengan senjata berat penduduk sipil dengan menugaskan tentara bayaran asing adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan hukum humaniter internasional.
“Rejim Gaddafi telah kehilangan legitimasinya” kata Perdana Menteri merangkat Menlu Qatar Hamad bin Jasem bin Jaber Al Thani.
Bagaimana dengan peran Arab League? Organisasi bangsa Arab yang beranggotakan 22 negara ini berbeda pendapat dengan GCC yang dimotori oleh Arab Saudi, sebaliknya menyesalkan serangan bom AS dan Negara-negara Eropa yang telah menjatuhkan korban di kalangan sipil serta tidak menghantarkan ke arah membaiknya situasi bahkan perang saudara terbuka.
Sekjen Arab League Amr Moussa menyatakan persetujuan mereka untuk resolusi DK-PBB yang memberlakukan no-fly zone dimaksudkan untuk mencegah Gaddafi menggunakan kekuatan udara menyerang penduduk sipil dan bukan untuk menggempur kota Tripoli serta pasukan Libya.
Resolusi DK-PBB seperti cek-kosong yang digunakan AS dan sekutunya untuk menggempur Libya habis-habisan tanpa memperdulikan kepentingan perlindungan bagi warga sipil.
Uni Afrika pun tidak mampu berbuat apa-apa. Sikap Negara-negara anggota organisasi regional ini pun terbelah-belah. Gaddafi banyak memberikan sumbangan kepada Uni Afrika.
Indonesia tidak dapat berbicara di GCC maupun Arab League, atau Uni Afrika semata-mata kita tidak menjadi anggota di 3 organisasi ini, maka satu-satunya forum yang mungkin digunakan adalah melalui OKI.
Namun, sampai saat ini OKI belum mampu memainkan peranan substantif dan signifikan dalam mendorong proses perubahan damai tanpa gejolak di Timur Tengah dan Afrika Utara. Alasannya jelas, tidak ada konsensus dan bahkan sikap negara-negara anggotanya terpecah.
Bilamana organisasi regional atau sub-regional sendiri kurang mampu berperan maka sulit bagi Indonesia, yang bukan negara kawasan, untuk menawarkan perannya.
Keterbatasan Diplomasi RI
Alhasil, satu-satunya leeway (koridor) tersisa bagi kita untuk turut berbicara mengenai situasi yang menimpa saudara-saudara kita di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah secara nasional, seperti yang disuarakan oleh Presiden RI maupun delegasi RI di PBB. Di sinipun kita memiliki keterbatasan.
Meningkatnya gengsi berkat peran menonjol di berbagai fora internasional tidak serta-merta menjadi currency yang dapat dimainkan dalam pertarungan diplomasi. Ada keterbatasan bagi Indonesia untuk memainkan peranan di dalam mengatasi situasi di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Pertama, tatanan internasional pada pasca Perang Dingin memberikan ruang-gerak bagi peranan organisasi regional yang lebih besar. Dalam hal ini, organisasi yang relevan untuk membahas pergolakan yang terjadi di Timur Tengah dan Afrika Utara adalah GCC, Arab League, atau Uni Afrika.
Tuntutan agar ASEAN menyuarakan pernyataan mengecam pemboman Libya juga tidak memungkinkan karena isu Timur Tengah ini hanya menjadi perhatian 3 dari 10 negara anggota, yakni Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam. Sekiranya ASEAN juga mengeluarkan pernyataan sifatnya umum-umum saja.
Kedua, meskipun secara nominal telah menjadi negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia Indonesia baru berambisi untuk menjadi ‘inspirasi’ dan belum mau menjadi kampiun yang memaksakan format demokrasi di mana-mana. Konsolidasi praktik-praktik demokrasi masih berlangsung di tanah air yang di sana-sini masih memerlukan penyempurnaan. Artinya, kondisi demokrasi kita belum mencapai taraf paripurna.
Ketiga, meskipun secara nominal disebut telah menjadi negeri berpenduduk terbesar Muslim se dunia, namun masih banyak pekerjaan rumah kita untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi bagi kalangan masyarakat. Indonesia juga sedang membangun kapasitas intelektualitas dan pemikir keislamannya untuk bisa menjadi center of excellence yang diakui di Dunia Muslim. Untuk menjadi pusat peradaban Islam se dunia, misalnya, masih banyak pekerjaan rumah bagi Indonesia, perolehan Nobel dan karya-karya pemikiran Islam berkelas dunia salah satunya di mana Indonesia masih absen.
Keempat, untuk memainkan peranan penting dalam percaturan politik internasional atau memainkan kartu diplomasi maka Indonesia memerlukan means dengan currency yang berlaku.
Dalam percaturan diplomasi kekuatan ekonomi, militer yang memadai dan dapat diproyeksikan secara global menjadi keniscayaan bagi pelaksanaan diplomasi kita. Meskipun telah diakui sebagai pemain baru potensial dalam perekonomian dunia negeri kita juga masih belum dalam posisi yang consolidated, seperti misalnya China.
Dengan kondisi kemampuan keuangan terbatas, peningkatan kapasitas pertahanan nasional yang didukung dengan peralatan canggih belum menjadi prioritas bagi kita. Jangankan untuk penggunaan kekuatan militer dalam mendukung diplomasi RI di timur Tengah, untuk di kawasan Asia Tenggara sekalipun kita belum mampu memproyeksikan kekuatan militer dengan hardware yang handal.
Kinerja diplomasi akan meningkat bilamana Indonesia berhasil meningkatkan kapasitas dan kemampuan proyeksinya di bidang ekonomi dan pertahanan di dalam pergaulan bangsa-bangsa.
Jakarta, 20 April 2011
Tuesday, March 29, 2011
Taman Wisata Mekarsari
IMPIAN untuk membuat taman buah tropis (tropical fruit garden) tidak hanya digandrungi oleh negara-negara beriklim tropis, seperti Indonesia dan Malaysia dalam promosi wisatanya. Beberapa yayasan atau perorangan dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Brazil, juga telah membangun sendiri taman buah tropis mereka. Sebagai hobby atau memang pencintanya.
Ada taman buah tropis yang berdiri sendiri, ada pula yang menjadi bagian dari botanical garden, seperti di Florida yang memiliki kompartemen dinamai tropical fruit garden.
Yang pasti, taman buah tropis menarik perhatian dunia karena buah-buahan tropis itu terkenal unik dan tidak setiap saat bisa dijumpai dan ada di mana-mana. Tidak hanya duren yang berbau tajam, buah-buahan seperti manggis, nangka, cempedak, dan berbagai buah hutan dipandang eksotis. Lezat pula.
Berdasarkan informasi Google, memang kebanyakan taman buah tropis yang ada berukuran kecil saja, sehingga tidak perlu mengambil lahan yang luas. Seperti di Penang Malaysia, misalnya, tropical fruit farm dengan koleksi 370 jenis tanaman di sana hanya menyita tanah seluas 1 hektar (10.000 m2).
Thailand memiliki taman buah tropis tetapi sebagai bagian dari atraksi wisata, dan juga tidak luas-luas amat.
Bagaimana di Indonesia?
TAMAN buah tropis yang terkemuka di tanah air terdapat di Mekarsari, yang dikenal di dunia dengan nama dengan nama Mekarsari Amazing Tourism Park, disingkat MATP. Saya dan keluarga berkunjung ke sini pada akhir pekan minggu lalu.
Dengan membayar Rp 15 ribu/orang (harga akhir pekan), di sini Anda akan menikmati liburan keluarga yang bermanfaat.
Meskipun bulan Januari-Maret bukan bulan keberuntungan untuk datang ke taman buah di Mekarsari yang telah berubah menjadi Taman Wisata Mekarsari– karena bukan musim buah-buahan— tetapi kunjungan ke sini lumayan menghibur. Idealnya, Anda sebaiknya datang pada pada musim buah (April-September). Tidak saja menyaksikan buah-buahan unik yang kita kenal pada masa kecil dulu, Anda juga akan berkesempatan mencicipi berbagai buah-buahan tropis yang sedang panen.
Taman Mekarsari memproklamirkan diri sebagai taman buah tropis terbesar di dunia. Pantas, karena lahannya mengambil tempat seluas 264 hektar yang didirikan sejak sejak 1995, atas inisiatif Ibu Tien Soeharto.
Mengapa diperlukan lahan seluas itu? Tidak lain karena meskipun Mekarsari memang bukan hanya lokasi untuk produksi buah-buahan. Kawasan ini lebih sebagai tempat ‘penangkaran buah tropis’ yang didukung dengan teknologi pertanian Mekarsari bisa menghadirkan berbagai buah-buahan yang bukan hanya berasal dari Indonesia.
Bunga pun ditanam di sini. Jadi dengan mengunjungi Mekarsari, anak-anak pun bisa mengenal dan belajar mengenai kekayaan alam Indonesia. Dan, Mekarsari dilengkapi dengan sarana hiburan lainnya dankjini menjadi Taman Wisata.
Meskipun telah berubah menjadi taman wisata, namun Mekarsari tetap dengan mengutamakan misi awalnya sebagai taman buah-buahan tropis. Dan, fasilitas lainnya tidak boleh dipandang hanya sebagai side order!
Taman Buah
MEKARSARI memiliki koleksi kurang lebih 44 kelompok buah-buahan dari 362 jenis dengan 1.463 varietas tanaman dari berbagai daerah di Indonesia. Semua buah ini tersedia dengan berbagai macam jenis dan asal buah.
Selain itu, Mekarsari melakukan penyilangan terhadap berbagai macam jenis buah sehingga menghasilkan buah dengan kualitas yang baik. Misalnya saja nangkadak, hasil penyilangan antara nangka dan cempedak.
Buah-buahan populer seperti buah nanas, durian, melon, rambutan, mangga, manggis, hingga belimbing pasti ada. Jika ingin yang lebih unik dan eksotis terdapat buah-buah langka seperti matoa, sawo kecik, sawo putih, gayam, buah nona, nenas arnis, buah seri (cherry), cengkih, kesemek, kepel, kemang, jambu air king citra, jambu air kampret, nangka bola, nangka tanpa kulit dan banyak lagi.
Kapan waktu tepat untuk mengunjungi Mekarsari? Jika tujuan Anda untuk menikmati panen buah-buahan maka datanglah pada bulan April sampai September.
Pada bulan April - Mei ada panen buah abiu atau sawo Australia, kecapi kelapa, kimalaka yang tahan api, buah maja (nan manis), mangga, kopi , murbei, nenas, biji pala, karendang yang biasa juga disebut natal plum, serikaya, belimbing, salak, kelengkeng atau longan.
Musim buah berlanjut di bulan Juni, dengan menambahkan buah mundu, dan pada bulan Juli jambo bol, lontar (aren) atau margot, rukam, kola yang masih keluarga kakao, ceremai (cerme). Musim buah berlanjut pada bulan Agustus dengan kehadiran buah nona sirsak rawa, jambu mawar alias jambu Kraton.
Musim buah ditutup pada bulan September, dengan panen nangka, kluwek dan kepayang.
Berbagai Fasilitas
DI SINI Anda dapat menikmati berbagai fasilitas hiburan keluarga, seperti Canal Tour, Kid’s Fun Valley, Country Side, Melon Park, Snake fruit Garden, Deer Park, danau rekreasi seluas 20 ha, Baby Zoo, greenhouse, kawasan outbound, menara observasi, Puri Tirto Sari yang terkenal sebagai gedung yang memiliki air terjun.
Pada saat berada di sana, saya menyaksikan kelompok keluarga atau karyawan suatu perusahaan sedang piknik bareng dengan berbagai kegiatan outdoor. Beberapa kelompok sedang mengikuti wisata kebun, barbeque, dan jalan-jalan di kebun buah.
Hanya, perlu waspada karena pada bulan liburan sekolah, Mekarsari ini akan dipenuhi oleh pengunjung dari seluruh Indonesia. Parkir susah dan jalan macet.
Mengingat luasnya, Mekarsari juga menyediakan kendaraan wisata untuk berkeliling di lahan yang luas ini, dengan membayar Rp 10 ribu (harga akhir pekan). Saya menganjurkan pengunjung untuk berkeliling terlebih dahulu.
Pengunjung boleh berhenti di tempat-tempat wisata yang diinginkan dan melanjutkan perjalanan dengan kereta berikut tanpa dipungut bayaran lagi. Jika kebun buah yang didatangi sedang panen, pengunjung boleh membeli dengan memetik langsung buah di pohon. Sementara jika sedang tidak panen atau lewat waktu panen, pengunjung bisa membeli buah di kios yang ada di kebun atau di toko buah di areal Graha Krida Sari (gedung pusat informasi).
Kunjungan bisa diawali berkeliling menggunakan kereta wisata bergandeng yang akan memawa Anda berkeliling menyaksikan beberapa obyek-obyek menarik seperti, areal pembibitan, persemaian, areal rumah plastik, wahana outbound, kebun sayur, kolam pemancingan, tanaman buah dalam pot, kebun wisata melon, kebun salak, rambutan, jeruk, nangka, belimbing dan lain sebagainya.
Bagi yang berminat dapat turun sejenak untuk melihat tanaman melon yang ada di dalam rumah yang berfungsi sebagai green houses. Jika melon sedang berbuah, Anda diizinkan memetik melon langsung dari batangnya.
Ada baiknya setelah puas berkeliling Anda mencoba berehat sejenak di bangunan air terjun yangdisebut sebagai Puri Tirto Sari. Bangunan ini cukup unik bila dilihat dari luar, karena dari atas gedung mengalir air ke bawah layaknya air terjun.
Edukasi Anak-Anak
Sebagai sarana pendidikan, Mekarsari juga menyediakan fasilitas belajar menanam bagi anak-anak. Dalam program ini disediakan pot, media tanam, alat-alat menanam, dan pohon yang akan ditanam kepada setiap anak. Mereka akan diajarkan bagaimana pohon yang ada di kantong tanam plastik (polybag) dipindahkan ke pot. Hasil pekerjaan mereka boleh dibawa pulang.
Dalam program pendidikan, di samping wisata petik buah, wisata mainan anak-anak, outbound sampai wisata pendidikan disediakan paket tur menanam, budidaya tanaman, tur berkebun. Bagi orang dewasa juga boleh berpartisipasi.
Bagi pengunjung yang tertarik membeli tanaman hasil budidaya tanaman buah maupun bunga, silahkan membelinya di Garden Center. Di sana tersedia tanaman hias, bibit, media tanam, pupuk, dan juga tanaman buah dalam pot.
Jika waktu sehari masih dirasa kurang, dan terutama untuk pendidikan anak-anak, silahkan menginap di vila yang tersedia. Pagi hari anak-anak bisa mengikuti program bercocok-tanam.
Untuk mengetahui program kegiatan silah cek website: http://www.mekarsari.com/ yang menyediakan semua informasi yang Anda perlukan.
Jakarta, 29 Maret 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)