KAMI tinggal 4 tahun di New York. Kota ini sempat dijuluki “Jew York” karena di kota ini konsentrasi terbesar masyarakat Yahudi di luar Israel, hampir 2 juta orang, dari total kurang lebih 7 juta jiwa di seluruh AS.
Mayoritas komunitas Yahudi berasal dari kelompok Ashkenazi yang berjumlah hampir 1 juta jiwa. Selebihnya adalah kelompok Hasidic Chabad-Lubavitch, Bobover, Satmar yang menjadi cabang-cabang dari sub-etnis Hasidism, kelompok ultra-Orthodox Judaisme.
Keberadaan mereka di New York City dimulai pada abad ke-17, datang dari Brazil mencari kebebasan beragama. Mereka tergolong Sephardi (Yahudi yang berasal dari Negara non-Eropa) seperti Suriah. Imigrasi besar-besaran terjadi pada akhir abad ke-19 ketika anti-Semit merebak di Eropa Tengah dan Timur, kemudian setelah PD I.
Di era glasnost dan perestroika di Uni Soviet pada dekade 1980-1990, komunitas Yahudi Ashkenazi, Bukhari, dan Georgia , membanjiri New York. Queens, South Brooklyn, Bronx, Manhattan, dan Riverdale. Umumnya orang-orang Yahudi tinggal di kawasan-menengah seperti Brooklyn, Queens, Forest Hills, atau di Fresh Meadows dan Flushing, di mana kami sekeluarga tinggal. Sebagian menetap di di Upper State, Long Islands, atau di New Jersey di enklaf kelas menengah ke atas.
Omni Present
YAHUDI itu tidak monolit. Tentu, tidak semua mereka kaya dan berkecukupan. Ada pula yang kurang beruntung dan menjadi tukang cukur, atau binatu, atau hanya pelayan restoran. Mereka juga tidak semua beragama Yahudi, agama mayoritas. Bahkan tidak kurang yang atheis alias tidak beragama.
Menurut Google, hanya ¼ komunitas Yahudi di Amerika yang menjalankan ibadah agama tradisional mereka. Mungkin ini yang menjelaskan mengapa secara tradisional komunitas Yahudi Amerika menjadi pendukung Partai Demokrat (liberal), daripada Partai Republik (konservatif).
Ada yang puritan, ada pula yang kosmopolitan. Banyak yang menjadi selebriti, artis terkenal, sutradara film, professor, penulis hebat atau pemilik media. Meskipun jumlahnya sekitar 2 juta, orang-orang Yahudi itu ada di mana-mana, omni present.
Karena cukup lama, hampir 4 tahun kami tinggal di Fresh Meadows bertetangga dengan masyarakat Yahudi saya pun terbiasa dengan pemandangan sehari-hari hidup dengan mereka.
Pada hari Sabtu yang adalah hari Sabbath, hari suci bagi umat Yahudi seperti Jumat bagi Muslim, mereka beribadah ke Sinagog, berjalan berbondong-bondong. Pada hari Sabtu orang yahudi dilarang berkendaraan. Sinagog merupakan pemandangan biasa di New York, terutama di kawasan konsentrasi masyarakat mereka.
Tahun baru Yahudi yang disebut Rosh Hashanah tidak begitu kentara dirayakan di Amerika, berbeda halnya dengan Yom Kippur yang merupakan hari tersuci bagi mereka atau Hanukah, festival 8-hari dengan menyalakan lampu bercabang-8.
Agama yahudi juga memiliki hari-hari besar lainnya, namun yang kentara dirayakan meriah adalah Yom Kippur dan Hanukah.
Puasa juga menjadi bagian dari ritual agama Yahudi, di samping tirakat sambil membaca kitab suci Taurat sampai menjelang subuh. Di pemukiman kami tinggal itu, pada waktu tertentu lamat-lamat saya mendengar mereka mengaji di malam hening entah sampai jam berapa.
Mereka juga memasang tenda di samping rumah, dan bersama keluarga ‘tadarus’ membaca Taurat.
Karena itu, kami bertetangga baik dengan orang-orang Yahudi, peacefull coexistence, hidup berdampingan dengan damai. Di kawasan ini pula kami lebih mengenal mendalam tentang kebiasaan dan hidup sehari-hari mereka. Tidak hanya itu, landlord (pemilik rumah), dokter, agen asuransi, bankers, dan guru-guru sekolah anak-anak kami, dan beberapa profesor hebat yang saya kenal baik ketika belajar di University of Washington (Seattle) juga orang Yahudi.
Tentu tidak semua beruntung. Di antara yang masih belum beruntung adalah tetangga kami. Aleksandr atau Sasha, begitu dia dipanggil isterinya, beserta 2 anak remaja baru saja beremigrasi dari Azerbaidjan. Dia belum lancar berbahasa Inggeris. Saya dan keluarganya selalu berbahasa Rusia bila berpapasan atau pada weekend sedang berberes rumah.
Menurutnya, kehidupan di negara bekas Uni Soviet itu tidak menarik lagi setelah bubarnya negeri itu di awal tahun 1990. Pasca bubarnya Uni Soviet, masyarakat etnis terutama di Asia Tengah kembali ke tradisi semula yang Islam.
Dalam gejolak sosial di negara-negara transisi itu selalu muncul masalah-masalah sosial dan bahkan xenophobia (benci orang asing) meskipun mereka lahir dan besar di negeri itu. Itu yang membuat Sasha merasa tidak aman.
Sasha menjual semua harta-bendanya dan berkat koneksi dan persaudaraan Yahudi mendapat sponsor untuk beremigrasi ke AS. Dia harus mandiri setelah tiba di Amerika. Dia hanyalah seorang pemilik mobil sedan merangkap supir untuk tamu-tamu VIP, begitu penjelasannya.
Anaknya yang laki-laki bekerja sebagai montir, sedangkan puteri remajanya bekerja sebagai kasir di supermarket yang tidak jauh dari rumah saya. Kedua anak mereka ini juga sedang menempuh studi di perguruan tinggi.
Menurut Sasha, selama hidup di zaman Komunis Uni Soviet mereka diwajibkan mengikis identitas etnis dan bahkan agama! Kehidupan cenderung sekuler. Banyak pula yang menjadi atheis, seperti Sasha dan keluarganya. Maka, beremigrasi ke Amerika dan tinggal bersama komunitas Yahudi menjadi kesempatan untuk kembali ke tradisi dan agama mereka.
“Saya dulu tidak tahu bahwa daging babi itu haram”, katanya. Memang Sasha dan keluarganya telah menjadi ‘born-again’ Jewish. Dia kini tidak mengkonsumsi daging babi, dan bahkan berusaha secara ketat mematuhi diet Yahudi dengan makanan kosher (halal).
Belajar Mendidik Anak a la Yahudi
TINGGAL bersama komunitas dengan mayoritas Yahudi menjadi biasa. Kami juga memerhatikan bagaimana mereka hidup sehari-hari. Bangsa yang diuber-uber selama ribuan tahun ini memang luar biasa ketahanan nasionalnya.
Meskipun ibu-ibu rumahtangga Yahudi itu memiliki pendidikan tinggi, bahkan sampai doktor, tetapi mereka tetap setia pada profesi tradisional: sebagai penjaga tradisi, pendidik di rumah serta mengurus pekerjaan rumah-tangga (house chores).
Bangsa Yahudi berbudaya paternalistik. Lelaki berjuang untuk keluarga, mencari kehidupan. Wanita dipersiapkan untuk menjadi ibu rumah-tangga. Ini profesi tradisional yang bersandar pada budaya Yahudi. Para ibu rumah tangga menjadi ‘the back bone’ bagi penjaminan agar tradisi, agama, dan budaya terwariskan dengan baik.
Yang menjadi kunci daya tahan mereka adalah bersumber pada 2 hal: tradisi dan agama. Dari ajaran teologis ini mereka memiliki 2 kunci hidup: bagaimana menjadi kaya dan berpengaruh melalui pemilikan harta-benda dan pendidikan.
Kami juga ingin mencuri ‘resep’ bagaimana mereka mendidik anak-anak di rumah. Kebetulan anak-anak kami masih usia sekolah SD dan SMP negeri (public school) yang para guru-guru serta orang-tua murid dengan sendirinya mayoritas adalah orang-orang Yahudi.
Pada tahun awal kami tinggal di Amerika anak-anak mengalami kesulitan berbahasa Inggeris. Sekalipun Sandra, anak kami yang paling besar, sudah bisa berbahasa Inggeris secara terbatas tetapi aksen Prancisnya sangat kental. Sebelumnya, kami tinggal di Eropa dan anak-anak bersekolah di sekolah Prancis (L’Ecole Francais Victor Hugo).
Saya dan isteri mencoba ‘bridging the gap’ dengan rajin berkonsultasi dengan guru-guru bagaimana kami bisa membantu anak-anak mengatasi kesulitan bahasa Inggeris. Kami juga selalu aktif ikut dalam rapat-rapat Parent-Teacher Association (PTA) untuk mengenal orang-tua teman-teman anak-anak kami.
Adalah kebijakan sekolah yang mewajibkan anak-anak asing untuk tidak hanya belajar di ruang kelas bersama-sama anak-anak Amerika lainnya. Mereka juga harus mengikuti kelas English as Second Language (ESL). Alhamdulillah, berkat upaya keras dan nasehat dari para guru dan orang-tua murid maka dalam kurang setahun anak-anak kami sudah mulai lancar berbahasa Inggeris. Bahkan yang paling kecil, Rizaldy, mampu menyelesaikan ESL dalam waktu 6 bulan!
Karena pekerjaan banyak tinggal di luar negeri, saya mengikuti tradisi internasional dalam memberi 3 nama (name, middle name, surname) bagi tiap anak kami. Saya selalau menyisipkan nama tengah bagi anak laki-laki dengan panggilan leluhur. Maka, anak kedua Edwin memiliki nama tengah JAKOB. Itu nama kakek saya.
”Jakob?”, kata gurunya yang Yahudi, keheranan bagaimana orang Indonesia Muslim mengambil nama orang yang paling dihormati, kakek-moyang orang Yahudi.
”Ya, Edwin Jakob Pohan”, ujar saya. Saya jelaskan Jakob itu nama kakek saya, dan juga menjadi nama nabi bagi kaum Muslim.
”Good. I did not know that”, ujar sang guru, kagum dan senang.
Di lain kesempatan, pada bulan Ramadhan kami bertemu dengan guru-kelas yang juga orang Yahudi. Dia menyatakan kekaguman bahwa anak-anak menjalankan ibadah puasa secara disiplin. Pada saat istirahat makan-siang anak-anak Muslim diperbolehkan berada di ruang perpustakaan, bermain atau belajar silahkan saja.
“Saya kagum sekali, bagaimana anak-anak Asia dalam usia dini telah mampu berdisiplin dengan patuh tanpa complain menjalankan ibadah puasa yang tentu berat bagi mereka”, ukarnya.
Kami menjelaskan bahwa sebenarnya kami memperbolehkan anak-anak tidak berpuasa sekiranya akan menyebabkan mereka terlihat ‘aneh’ di antara anak-anak lainnya. Tetapi anak-anak itu hanya melanjutkan tradisi di tanah air, menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Anak-anak juga belajar di Saturday School Mesjid Al Hikmah untuk belajar Al Quran dan hal-hal keislaman, bersama anak-anak Indonesia Muslim dan beberapa di antaranya anak ekspat dari Asia Selatan dan Eropa.
“Sekiranya anak-anak Amerika juga memiliki disiplin yang tinggi dan keyakinan keagamaan yang kental saya yakin kami akan maju”, tambah sang guru.
Disiplin memang menjadi kunci. Dan dengan disiplin tinggi pula anak-anak Yahudi dipersiapkan oleh orang-tuanya. Kami ‘mencuri’ ilmu yang sederhana tetapi manjur.
“Anak-anak kami tidak mengenal TV dan hiburan lainnya pada hari-hari sekolah”, kata seorang ibu Yahudi kepada isteri saya.
“Mondays to Fridays no TV or PlayStation at all”, katanya. Anak-anak diperbolehkan melakukan kegiatan luar-sekolah hanya pada akhir-pekan.
Maka, anak-anak kami juga terbiasa untuk mengembalikan semua permainan kesayangan mereka pada Minggu petang. Mereka segera mempersiapkan diri untuk pelajaran hari Senin dan seterusnya. PlayStation ini akan mereka ambil dari kamar kami pada Jumat sore, setelah kembali dari sekolah. Dan mereka juga terbiasa tanpa menonton acara TV apapun selama hari-hari sekolah!
Pada jam 800 malam anak-anak harus masuk ke kamar masing-masing, dan pada jam 900 lampu di kamar mereka kami matikan karena jam tidur.
Pada masa liburan musim panas yang cukup panjang, seperti anak-anak Yahudi mereka pun tidak lepas dari kegiatan berbau sekolah. Tentu saja, masa liburan juga kami gunakan bersama anak-anak bepergian ke kota-kota lainnya. Namun, kebanyakan waktu digunakan untuk membaca buku. Isteri saya rajin meminjam buku untuk anak-anak dari perpustakaan. Belasan buku setiap minggu.
Maka, dalam liburan panjang mereka menghabiskan puluhan buku. Buku apa saja, dan tidak mesli buku pelajaran. Yang penting adalah buku yang mereka sukai. Apapun.
Tidak hanya dalam pelajaran. Anak-anak juga sejak kecil terbiasa dengan pekerjaan rumah-tangga (house chores). Tentu yang ringan-ringan saja, seperti membersihkan tempat tidur, kamar dan mengatur pakaian dan buku-buku dengan rapi. Ini juga menjadi kebiasaan anak-anak Yahudi.
Dengan disiplin dan kebiasaan baik yang ditanamkan hasil-hasil sekolah pun meningkat. Anak perempuan kami dengan nilai yang baik diterima di sekolah pilihannya SMA Cordozo.
Bahkan, anak ke-3 Rizaldy menjadi juara bahasa Inggeris di sekolahnya. Masih kelas V, Rizaldy telah menjadi wakil sekolahnya untuk mengikuti kompetisi bahasa Inggeris pada tingkat regional.
Ini juga berkat iklim belajar-mengajar yang kondusif. Pada sekolah-sekolah negeri Amerika para guru diwajibkan mengikis prejudice. Anak-anak kamipun tanpa disadari mereka mengalami transformasi menjadi orang Amerika.
”Yes, I am American”, kata putera saya. Padahal pada tahun kedua dia mengatakan ‘I am partly American, partly Indonesian’.
Ketika saya kembali ke tanah air karena penugasan telah selesai kami pamit dengan guru-guru sekolah mereka. Guru-guru Yahudi Amerika itu mengekspresikan kesedihan, mengapa kami harus meninggalkan Amerika, dan apakah kami tidak betah di sini.
“Bagaimana nanti pendidikan anak-anak di sana?”
“Saya pegawai pemerintah, dan sudah waktunya untuk kembali ke tanah air. Jangan khawatir, di kota-kota besar di Indonesia telah banyak sekolah-sekolah yang baik, di mana anak-anak juga akan menempuh pendidikan dengan baik”, ujar saya menegaskan.
Alhamdulillah, setelah beberapa tahun berada di tanah air anak-anak dapat menempuh pelajaran dengan baik. Sandra, kini lulus dari FH UI, telah bekerja di suatu law-firm. Edwin, anak kedua kami juga sedang menyelesaikan studinya di FISIP UI, sementara adiknya Rizaldy telah belajar pada semester 6 di ITB, jurusan teknik mesin dirgantara.
Tinggal di pemukiman mayoritas Yahudi dan bertetangga dengan mereka juga memiliki sisi-sisi baik yang menjadi pengalaman berharga bagi kami dalam membesarkan anak-anak.
Jakarta, 14 Juni 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
ada sisi positif yang dapat diambil dari orang-orang yahudi...
ReplyDeleteKisah ini adalah salah satu sisi positif tersebut...
Salam..
@garammanis: bukankah kita dihimbau Rasulullah untuk belajar sampai ke negeri china...
ReplyDeletesaya banyak memiliki teman orang Yahudi, mereka manusia juga seperti kita.
sangat menginspirasi...org indonesia harus baca ini,membuka mata mereka yang selalu memambndang negatif orang Yahudi...saluuuuuuuuuuuuuutt!!
ReplyDeleteterimakasih, tulisannya sangat mendidik...
ReplyDeleteSaya sepakat, Penujuk jalan rosululloh ketika hijrah juga adalah seorang yahudi yang jujur... meskipun yang saya tahu sifat yahudi banyak negatifnya,
terima kasih bang, tulisannya membuat sy termotivasi.
ReplyDeleteIslam rahmatan lil alamin, pemeluknya mesti juga begitu, kita ingat kisah Rasulullah setiap pagi menyuapi yahudi tua buta
ReplyDelete