TIDAK banyak lagi yang perlu saya ceritakan mengenai taman kota yang indah ini.
Dalam tulisan saya Bagian Pertama, saya melukiskan proses pencarian identitas atau sukma bangsa Polandia. Salah satu jalan untuk napak tilas itu adalah via the Saxon Garden, atau orang Polandia menyebut Saski.
Sejujurnya, beban sejarah terberat di tempat ini berada di bangunan-bangunan yang dulu pernah berjaya tegak perkasa di tempat ini. Semuanya hancur lebur, ketika dinamit yang dipasang oleh Nazi Jerman pada tahun 1944 meledakkan bangunan-bangunan bersejarah itu, sebelum meninggalkan Warsawa karena dikejar-kejar Tentara Merah.
Bangunan-bangunan bersejarah di tempat hening dan luas itu berfungsi menjembatani masa lalu negara yang telah berusia lebih dari 1000 tahun, meskipun pernah pupus dari peta politik Eropa selama 123 tahun, dengan masa sekarang.
Di sini dulu 3-serangkai berjaya: The Saxon Palace, The Saxon Square, dan The Saxon Garden, menjadi bagian dari ‘The Saxon Axis’. Ketiganya paralel menuju ke Sungai Vistula, yang menghadirkan Polandia dalam sejarah Eropa, juga menyimpan muatan sejarah dan kejiwaan mereka.
Sejarah meninggalkan bercak-bercak yang tidak mudah dihapus. Kadang-kadang, karena situasional, manusia terpaksa tidak berani jujur meneropong sejarah mereka. Apalagi bilamana sejarah yang berdarah-darah itu melibatkan negara-negara di sekitarnya. Kepentingan ke depan pula yang membatasi manusia untuk mau melakukan full-account terhadap masa lalu. Dan sejarah itu, bisa berbeda-beda muatan dan tafsirannya. Tergantung Anda berdiri di mana, kata seorang teman. Karena itu, banyak sejarawan takut disebut revisionis, bila fakta-fakta baru bermuatan tafsiran-tafsiran yang bisa mengundang kontroversi.
Begitu pula dengan karya monumental seorang scholar bernama Norman Davies. Dia terkenal ahli sejarah berkebangsaan Inggeris yang menulis buku sejarah Polandia dan mengungkapkannya dalam bukunya yang terkenal: God’s Playground (1979). Buku ini mengungkapkan apa yang dialami oleh orang-orang Polandia dalam sejarah seribu tahun di masa lalu. Terbit dalam 2 jilid lebih dari 1000 halaman, buku Pak Norman itu kaya dengan data, tetapi baru setelah 1989 dijadikan bahan bacaan di Polandia, setelah perubahan di sana.
Suatu insiden pula yang menghantarkan Norman Davies mendalami sejarah Polandia. Pada zaman Perang Dingin, dia ingin belajar ke Uni Soviet tetapi visanya ditolak. Dia lalu belajar di Jagiellonian University di Krakow, dan memperoleh Ph.D pada tahun 1968. Padahal, Polandia sebenarnya ketika itu masih menjadi wilayah pengaruh Uni Soviet. Ingat saja: Pakta Warsawa, pakta militer yang mengambil nama ibukota Polandia (zaman modern) itu.
Tak urung, saya juga mengungkap catatan tersisa. Taman Saxon ini dulu sedemikian dihormati rakyat Polandia karena merupakan taman milik raja yang didedikasikan untuk publik. Pada zaman keemasannya, pengunjung untuk sekadar melepas lelah di taman yang pasti dulunya indah sekali tetap berpakaian lengkap resmi, layaknya menghadiri konser di gedung opera. Kaum wanita-pun harus mengenakan topi.
Pada kesempatan kedua ini saya juga membuat foto-foto yang indah, dan telah saya muat sebagian di Facebook, di bawah account saya dengan nama yang sama: Haz Pohan. Saya menjanjikan akan kembali membuat foto-foto pada saat yang tepat, tatkala bunga berkembang di musim panas nanti. Pasti lebih indah dan dramatis!
Foto-foto diambil dengan kamera NIKON D 90, tanggal 1 Mei 2009, ketika matahari mencorong hangat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment