Tuesday, March 29, 2011
Taman Wisata Mekarsari
IMPIAN untuk membuat taman buah tropis (tropical fruit garden) tidak hanya digandrungi oleh negara-negara beriklim tropis, seperti Indonesia dan Malaysia dalam promosi wisatanya. Beberapa yayasan atau perorangan dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Brazil, juga telah membangun sendiri taman buah tropis mereka. Sebagai hobby atau memang pencintanya.
Ada taman buah tropis yang berdiri sendiri, ada pula yang menjadi bagian dari botanical garden, seperti di Florida yang memiliki kompartemen dinamai tropical fruit garden.
Yang pasti, taman buah tropis menarik perhatian dunia karena buah-buahan tropis itu terkenal unik dan tidak setiap saat bisa dijumpai dan ada di mana-mana. Tidak hanya duren yang berbau tajam, buah-buahan seperti manggis, nangka, cempedak, dan berbagai buah hutan dipandang eksotis. Lezat pula.
Berdasarkan informasi Google, memang kebanyakan taman buah tropis yang ada berukuran kecil saja, sehingga tidak perlu mengambil lahan yang luas. Seperti di Penang Malaysia, misalnya, tropical fruit farm dengan koleksi 370 jenis tanaman di sana hanya menyita tanah seluas 1 hektar (10.000 m2).
Thailand memiliki taman buah tropis tetapi sebagai bagian dari atraksi wisata, dan juga tidak luas-luas amat.
Bagaimana di Indonesia?
TAMAN buah tropis yang terkemuka di tanah air terdapat di Mekarsari, yang dikenal di dunia dengan nama dengan nama Mekarsari Amazing Tourism Park, disingkat MATP. Saya dan keluarga berkunjung ke sini pada akhir pekan minggu lalu.
Dengan membayar Rp 15 ribu/orang (harga akhir pekan), di sini Anda akan menikmati liburan keluarga yang bermanfaat.
Meskipun bulan Januari-Maret bukan bulan keberuntungan untuk datang ke taman buah di Mekarsari yang telah berubah menjadi Taman Wisata Mekarsari– karena bukan musim buah-buahan— tetapi kunjungan ke sini lumayan menghibur. Idealnya, Anda sebaiknya datang pada pada musim buah (April-September). Tidak saja menyaksikan buah-buahan unik yang kita kenal pada masa kecil dulu, Anda juga akan berkesempatan mencicipi berbagai buah-buahan tropis yang sedang panen.
Taman Mekarsari memproklamirkan diri sebagai taman buah tropis terbesar di dunia. Pantas, karena lahannya mengambil tempat seluas 264 hektar yang didirikan sejak sejak 1995, atas inisiatif Ibu Tien Soeharto.
Mengapa diperlukan lahan seluas itu? Tidak lain karena meskipun Mekarsari memang bukan hanya lokasi untuk produksi buah-buahan. Kawasan ini lebih sebagai tempat ‘penangkaran buah tropis’ yang didukung dengan teknologi pertanian Mekarsari bisa menghadirkan berbagai buah-buahan yang bukan hanya berasal dari Indonesia.
Bunga pun ditanam di sini. Jadi dengan mengunjungi Mekarsari, anak-anak pun bisa mengenal dan belajar mengenai kekayaan alam Indonesia. Dan, Mekarsari dilengkapi dengan sarana hiburan lainnya dankjini menjadi Taman Wisata.
Meskipun telah berubah menjadi taman wisata, namun Mekarsari tetap dengan mengutamakan misi awalnya sebagai taman buah-buahan tropis. Dan, fasilitas lainnya tidak boleh dipandang hanya sebagai side order!
Taman Buah
MEKARSARI memiliki koleksi kurang lebih 44 kelompok buah-buahan dari 362 jenis dengan 1.463 varietas tanaman dari berbagai daerah di Indonesia. Semua buah ini tersedia dengan berbagai macam jenis dan asal buah.
Selain itu, Mekarsari melakukan penyilangan terhadap berbagai macam jenis buah sehingga menghasilkan buah dengan kualitas yang baik. Misalnya saja nangkadak, hasil penyilangan antara nangka dan cempedak.
Buah-buahan populer seperti buah nanas, durian, melon, rambutan, mangga, manggis, hingga belimbing pasti ada. Jika ingin yang lebih unik dan eksotis terdapat buah-buah langka seperti matoa, sawo kecik, sawo putih, gayam, buah nona, nenas arnis, buah seri (cherry), cengkih, kesemek, kepel, kemang, jambu air king citra, jambu air kampret, nangka bola, nangka tanpa kulit dan banyak lagi.
Kapan waktu tepat untuk mengunjungi Mekarsari? Jika tujuan Anda untuk menikmati panen buah-buahan maka datanglah pada bulan April sampai September.
Pada bulan April - Mei ada panen buah abiu atau sawo Australia, kecapi kelapa, kimalaka yang tahan api, buah maja (nan manis), mangga, kopi , murbei, nenas, biji pala, karendang yang biasa juga disebut natal plum, serikaya, belimbing, salak, kelengkeng atau longan.
Musim buah berlanjut di bulan Juni, dengan menambahkan buah mundu, dan pada bulan Juli jambo bol, lontar (aren) atau margot, rukam, kola yang masih keluarga kakao, ceremai (cerme). Musim buah berlanjut pada bulan Agustus dengan kehadiran buah nona sirsak rawa, jambu mawar alias jambu Kraton.
Musim buah ditutup pada bulan September, dengan panen nangka, kluwek dan kepayang.
Berbagai Fasilitas
DI SINI Anda dapat menikmati berbagai fasilitas hiburan keluarga, seperti Canal Tour, Kid’s Fun Valley, Country Side, Melon Park, Snake fruit Garden, Deer Park, danau rekreasi seluas 20 ha, Baby Zoo, greenhouse, kawasan outbound, menara observasi, Puri Tirto Sari yang terkenal sebagai gedung yang memiliki air terjun.
Pada saat berada di sana, saya menyaksikan kelompok keluarga atau karyawan suatu perusahaan sedang piknik bareng dengan berbagai kegiatan outdoor. Beberapa kelompok sedang mengikuti wisata kebun, barbeque, dan jalan-jalan di kebun buah.
Hanya, perlu waspada karena pada bulan liburan sekolah, Mekarsari ini akan dipenuhi oleh pengunjung dari seluruh Indonesia. Parkir susah dan jalan macet.
Mengingat luasnya, Mekarsari juga menyediakan kendaraan wisata untuk berkeliling di lahan yang luas ini, dengan membayar Rp 10 ribu (harga akhir pekan). Saya menganjurkan pengunjung untuk berkeliling terlebih dahulu.
Pengunjung boleh berhenti di tempat-tempat wisata yang diinginkan dan melanjutkan perjalanan dengan kereta berikut tanpa dipungut bayaran lagi. Jika kebun buah yang didatangi sedang panen, pengunjung boleh membeli dengan memetik langsung buah di pohon. Sementara jika sedang tidak panen atau lewat waktu panen, pengunjung bisa membeli buah di kios yang ada di kebun atau di toko buah di areal Graha Krida Sari (gedung pusat informasi).
Kunjungan bisa diawali berkeliling menggunakan kereta wisata bergandeng yang akan memawa Anda berkeliling menyaksikan beberapa obyek-obyek menarik seperti, areal pembibitan, persemaian, areal rumah plastik, wahana outbound, kebun sayur, kolam pemancingan, tanaman buah dalam pot, kebun wisata melon, kebun salak, rambutan, jeruk, nangka, belimbing dan lain sebagainya.
Bagi yang berminat dapat turun sejenak untuk melihat tanaman melon yang ada di dalam rumah yang berfungsi sebagai green houses. Jika melon sedang berbuah, Anda diizinkan memetik melon langsung dari batangnya.
Ada baiknya setelah puas berkeliling Anda mencoba berehat sejenak di bangunan air terjun yangdisebut sebagai Puri Tirto Sari. Bangunan ini cukup unik bila dilihat dari luar, karena dari atas gedung mengalir air ke bawah layaknya air terjun.
Edukasi Anak-Anak
Sebagai sarana pendidikan, Mekarsari juga menyediakan fasilitas belajar menanam bagi anak-anak. Dalam program ini disediakan pot, media tanam, alat-alat menanam, dan pohon yang akan ditanam kepada setiap anak. Mereka akan diajarkan bagaimana pohon yang ada di kantong tanam plastik (polybag) dipindahkan ke pot. Hasil pekerjaan mereka boleh dibawa pulang.
Dalam program pendidikan, di samping wisata petik buah, wisata mainan anak-anak, outbound sampai wisata pendidikan disediakan paket tur menanam, budidaya tanaman, tur berkebun. Bagi orang dewasa juga boleh berpartisipasi.
Bagi pengunjung yang tertarik membeli tanaman hasil budidaya tanaman buah maupun bunga, silahkan membelinya di Garden Center. Di sana tersedia tanaman hias, bibit, media tanam, pupuk, dan juga tanaman buah dalam pot.
Jika waktu sehari masih dirasa kurang, dan terutama untuk pendidikan anak-anak, silahkan menginap di vila yang tersedia. Pagi hari anak-anak bisa mengikuti program bercocok-tanam.
Untuk mengetahui program kegiatan silah cek website: http://www.mekarsari.com/ yang menyediakan semua informasi yang Anda perlukan.
Jakarta, 29 Maret 2011
Wednesday, March 9, 2011
Menyusuri Jejak Bangsa Tartar (3)
DALAM tulisan sebelumnya saya menggambarkan keberadaan Islam di Polandia. Meski minoritas, hanya sekitar 30 ribu penganutnya di Polandia tetapi masa lalu telah mengguratkan peranan Islam yang berada di mainstream sejarah kontemporer Polandia.
Di antara jumlah itu, terdapat komunitas kecil sejumlah antara 3000-5000 kini yang merupakan keturunan dari cikal-bakal penduduk Muslim di Polandia. Mereka telah berdiam di sana sejak 600 tahun yang lalu.
Merekalah orang-orang Tartar Muslim. Orang-orang Tartar itu, sebagai perajurit Mongolia, telah berada di Eropa Tengah ini sejak abad ke-13, namun tanpa bekas. Baru pada abad ke-14 mereka menetap di sini sebagai tentara bayaran.
Bukan merceneries, bertempur membela yang bayar. Tetapi karena pada dasarnya mereka warriors. Belakangan karena keahlian berperang, banyak raja-raja yang memerlukan jasa mereka. Secara fungsional mereka menjadi tentara bayaran.
Menurut sejarah, pembayaran tidak mesti dilakukan di muka. Sesuai perjanjian, mereka akan memperoleh bagian dari hasil peperangan. Tentu jika sang raja menang. Jika kalah, orang-orang Tartar ini juga terbunuh. Jika menang, mereka diberikan kampung, atau hak untuk ‘menjarah kota, dan bahkan mengambil anak-anak gadis negeri yang dialahkan. Ini sesuai perjanjian dan disetujui oleh raja.
Perajurit gagah berani dari Asia Tengah itu berkali-kali bertempur membela negeri mereka, termasuk dalam the Battle of Grunwald yang tersohor itu, pertempuran melawan kerajaan Kristen Jerman Teutonic Order pada musim panas tahun 1410.
Akibat jasa-jasa mereka, Raja Polandia-Lithuania memberikan pemukiman bagi perajurit gagah berani Muslim di wilayah timur Polandia dan sebagian di Lithuania sekarang.
Mereka juga ambil bagian dalam sejarah Polandia, ketika negeri itu hilang 123 tahun dari peta politik Eropa itu. Ini yang menjelaskan, mengapa di negeri tempat kelahiran Paus Johanes Paulus II yang legendaris itu, pemuka Islam Tartar selalu diberi gelar kebangsawanan.
Pengarang Polandia terkenal penerima Nobel 1995 yang menulis novel Quo Vadis: A Narrative of the Time of Nero , bernama Henryk Sienkiewicz, juga keturunan Tartar. Melalui karya emas itu Henryk menjadi orang pertama kali yang memperkenalkan kata “quo vadis?” ,artinya ‘hendak ke mana?’. Dia juga bergelar bangsawan.
Napak-Tilas
HATTA, ketika kami menutup rangkaian perjalanan tiga hari Roadshow Budaya Indonesia, di Bialystok, pada bulan Maret 2010 yang lalu, saya mengajak seluruh rombongan KBRI Warsawa, termasuk ibu-ibu DWP untuk napak-tilas menelusuri peninggalan sejarah bangsa Tartar di Polandia.
Kota Białystok adalah salah satu kota bersejarah di wilayah Timur Polandia, di sini komunitas Islam asli etnis Tartar ini menetap sejak 300 tahun yang lalu. Masyarakat Muslim di kota itu adalah keturunan pejuang Tartar yang dikenal pemberani saat berperang melawan Kerajaan Teutonik dalam pertempuran Grunwald di Malbork, utara Polandia pada tahun 1410.
Sejak kedatangan mereka melalui Lithuania sekitar 600 tahun yang lalu, bangsa ini juga tidak pernah ketinggalan dalam sejarah perjuangan bangsa Polandia merebut kemerdekaan bahkan bersama serdadu Poladia, pasukan militer bangsa Tartar aktif berperang antara lain dalam : “The Kosciusko Uprising “(1795), “the Confederation of Bar” (1768). Mereka juga turut berperang dalam pasukan Napoleon antara tahun 1812- 1814.
Kota Białystok menyimpan dengan baik semua khazanah masa-lalu yang cemerlang itu. Tidak jauh dari kota ini kita menjenguk kota Bohoniki. Di sini terdapat mesjid tua, yang disebut Mesjid Bohoniki.
Mesjid di wilayah Pedesaan Polandia Timur ini, mempunyai ciri khas berdinding kayu yang dibangun ditengah hamparan ladang gandum yang luas. Bohoniki ini merupakan satu dari dua pemukiman asli Tartar yang tersisa selain pemukiman di Kruszyniany.
Pemandangan bangunan masjid berdiri megah ditengah hamparan kuning ladang gandum sangat indah dinikmati di musim panas. Sayang pemadangan serupa tidak dapat kami temukan pada musim dingin.
Di Bohoniki kami juga sempat mengunjungi Mizar – “The Muslim Cemetery” satu dari tiga “Muslim Cemeteries” yang masih bisa di temukan di Polandia.
Selama menjadi Negara Komunis, praktis kehidupan keislaman di Polandia hampir punah. Untungnya, pada saat reformasi setelah runtuhnya Tembok Berlin masih terdapat orang-orang tua yang tetap memelihara keislaman maupun tradisi Tartar sendiri.
Karena itu, tidak heran pekuburan Muslim pada era komunisme pun dibuat seperti pekuburan Keristen, dengan marmer tertutup. Sekarang tradisi lama mulai dipulihkan, dan pekuburan pun menyesuaikan diri sesuai dengan ajaran Islam.
Jangan heran, jika Anda berkunjung ke tempat ini banyak peziarah memasang lilin di atas pekuburan itu. Mereka telah lupa tradisi lama, dan mengikut saja pada tradisi masyarakat setempat yang beragama Katolik.
Mesjid Kruszyniany
Daerah ini termasuk tempat pemukiman pertama bagi pejuang Tartar tatkala membantu Kerajaan Polandia-Lithuania menghadapi invasi dan pendudukan asing.
Menurut tour guide di sini, pasukan Tartar diberikan tanah yang cukup luas di Lithuania, yang menjadi tempat pemukiman lebih tua 600 tahun yang lalu, dan di wilayah Polandia sekarang sekitar 300 tahun yang lalu.
Mereka diberikan tanah karena Kerajaan tidak mampu membayar jasa mereka dalam memenangkan perang. Raja Polandia juga ingin memelihara loyalitas orang-orang Tartar yang terkenal gemar berperang dan sering berganti aliansi di masa-masa sebelumnya.
Mereka juga diberikan gelar bangsawan dan nama keluarga Polandia dan boleh menikahi gadis-gadis di sana. Maklum, semua orang-orang Tartar yang berperang dan melakukan ekspedisi ke Eropa adalah laki-laki.
Mesjid tertua di Kruszyniany dan pekuburan Muslim di sekitarnya merekam semua sejarah kehadiran bangsa Tartar di Polandia. Menurut keterangan pengurus, Masjid ini merupakan yang tertua di Polandia, didirikan oleh para pendatang bangsa Tartar yang menetap di daerah itu pada abad 17.
Mesjid ini berukuran relatif kecil , hanya memuat jamaah sekitar 50 orang, dan sekarang cukup aktif digunakan terutama bagi peziarah etnis Tartar yang kini bermukim di berbagai kota di Polandia dan di Lithuania maupun Belarus. Bulan Ramadhan adalah suasana yang paling meriah di mesjid dan di perkampungan ini.
Saya dan isteri menyempatkan diri untuk shalat di mesjid tua ini.
Sebagai obyek wisata masjid ini juga banyak dikunjungi oleh komunitas dalam dan luar negeri. Kami juga menyaksikan sendiri banyak turis lokal Polandia yang uniknya mereka berdoa secara Katolik, membuat tanda salib saat di dada, ketika memasuki masjid tersebut.
Bahkan, dalam salah satu kunjungannya ke propinsi Podlaskie ini, Paus Johanes Paulus II sempat menyerahkan medali penghargaan kepada Etnis Tartar. Penghargaan ini menggambarkan bahwa kedua agama monotheis : Islam dan Katholik dapat hidup berdampingan dengan damai di Polandia.
Kulinari Tartar
JIKA Anda berkunjung ke tempat ini jangan lupa mencoba hidangan Tartar. Seperti apa itu?
Jangan lupa mencoba kulinari asli Tartar di “Tartarska Jurta” sebuah restauran Agro Wisata yang menyajikan hidangan tradisional Tartar. Udara dingin dan salju yang turun cukup deras membuat kami kelaparan. Syukurlah begitu tiba di restaurant kami disambut dengan kue-kue dan secangkir teh atau kopi hangat beramu rempah kayu manis.
Nyonya Dzenneta Bogdanowicz yang menjadi manejer restauran dengan ramah menyambut kami dan langsung mempersilahkan kami menyantap “main course” berupa hidangan pastry dengan isi daging. Hidangan pertama mirip “Pâte feuilletée atau layered dough” dipadu dengan irisan daging. Pada course kedua, dihadirkan pastry berisikan tumisan kentang dan daging. Bentuk dan isinya mirip dengan pastel di Indonesia.
Yang unik pada acara santap siang ala Tartar ini adalah sup yang biasanya menjadi menu pembuka justru dihidangkan setelah “main course”. Kami berpikir ada benarnya juga disajikan terbalik, sebab sup dumpling disajikan dalam porsi lumayan besar. Mungkin bila sup disajikan sebagai menu pembuka, tentu kami tidak akan sanggup menyantap hidangan main course berikutnya.
Sebagai dessert, cobalah kue beraroma tape singkong. Apalagi jika disajikan hangat-hangat, dari oven. Meski perut telah kenyang namun bau yang harum kue ini tidak tertanggungkan. Rugi rasanya bila tidak mencoba.
“I feel at home”, ujar saya kepada Mufti Miskiewicz ketika dia bertanya kesan saya berkunjung ke basis perjuangan suku Tartar dengan masyarakatnya yang sangat ramah itu.
Jika Anda berkunjung ke Polandia, jangan lupa napak-tilas ke perkampungan tua Muslim di Białystok.
Jakarta, 10 Maret 2011
Di antara jumlah itu, terdapat komunitas kecil sejumlah antara 3000-5000 kini yang merupakan keturunan dari cikal-bakal penduduk Muslim di Polandia. Mereka telah berdiam di sana sejak 600 tahun yang lalu.
Merekalah orang-orang Tartar Muslim. Orang-orang Tartar itu, sebagai perajurit Mongolia, telah berada di Eropa Tengah ini sejak abad ke-13, namun tanpa bekas. Baru pada abad ke-14 mereka menetap di sini sebagai tentara bayaran.
Bukan merceneries, bertempur membela yang bayar. Tetapi karena pada dasarnya mereka warriors. Belakangan karena keahlian berperang, banyak raja-raja yang memerlukan jasa mereka. Secara fungsional mereka menjadi tentara bayaran.
Menurut sejarah, pembayaran tidak mesti dilakukan di muka. Sesuai perjanjian, mereka akan memperoleh bagian dari hasil peperangan. Tentu jika sang raja menang. Jika kalah, orang-orang Tartar ini juga terbunuh. Jika menang, mereka diberikan kampung, atau hak untuk ‘menjarah kota, dan bahkan mengambil anak-anak gadis negeri yang dialahkan. Ini sesuai perjanjian dan disetujui oleh raja.
Perajurit gagah berani dari Asia Tengah itu berkali-kali bertempur membela negeri mereka, termasuk dalam the Battle of Grunwald yang tersohor itu, pertempuran melawan kerajaan Kristen Jerman Teutonic Order pada musim panas tahun 1410.
Akibat jasa-jasa mereka, Raja Polandia-Lithuania memberikan pemukiman bagi perajurit gagah berani Muslim di wilayah timur Polandia dan sebagian di Lithuania sekarang.
Mereka juga ambil bagian dalam sejarah Polandia, ketika negeri itu hilang 123 tahun dari peta politik Eropa itu. Ini yang menjelaskan, mengapa di negeri tempat kelahiran Paus Johanes Paulus II yang legendaris itu, pemuka Islam Tartar selalu diberi gelar kebangsawanan.
Pengarang Polandia terkenal penerima Nobel 1995 yang menulis novel Quo Vadis: A Narrative of the Time of Nero , bernama Henryk Sienkiewicz, juga keturunan Tartar. Melalui karya emas itu Henryk menjadi orang pertama kali yang memperkenalkan kata “quo vadis?” ,artinya ‘hendak ke mana?’. Dia juga bergelar bangsawan.
Napak-Tilas
HATTA, ketika kami menutup rangkaian perjalanan tiga hari Roadshow Budaya Indonesia, di Bialystok, pada bulan Maret 2010 yang lalu, saya mengajak seluruh rombongan KBRI Warsawa, termasuk ibu-ibu DWP untuk napak-tilas menelusuri peninggalan sejarah bangsa Tartar di Polandia.
Kota Białystok adalah salah satu kota bersejarah di wilayah Timur Polandia, di sini komunitas Islam asli etnis Tartar ini menetap sejak 300 tahun yang lalu. Masyarakat Muslim di kota itu adalah keturunan pejuang Tartar yang dikenal pemberani saat berperang melawan Kerajaan Teutonik dalam pertempuran Grunwald di Malbork, utara Polandia pada tahun 1410.
Sejak kedatangan mereka melalui Lithuania sekitar 600 tahun yang lalu, bangsa ini juga tidak pernah ketinggalan dalam sejarah perjuangan bangsa Polandia merebut kemerdekaan bahkan bersama serdadu Poladia, pasukan militer bangsa Tartar aktif berperang antara lain dalam : “The Kosciusko Uprising “(1795), “the Confederation of Bar” (1768). Mereka juga turut berperang dalam pasukan Napoleon antara tahun 1812- 1814.
Kota Białystok menyimpan dengan baik semua khazanah masa-lalu yang cemerlang itu. Tidak jauh dari kota ini kita menjenguk kota Bohoniki. Di sini terdapat mesjid tua, yang disebut Mesjid Bohoniki.
Mesjid di wilayah Pedesaan Polandia Timur ini, mempunyai ciri khas berdinding kayu yang dibangun ditengah hamparan ladang gandum yang luas. Bohoniki ini merupakan satu dari dua pemukiman asli Tartar yang tersisa selain pemukiman di Kruszyniany.
Pemandangan bangunan masjid berdiri megah ditengah hamparan kuning ladang gandum sangat indah dinikmati di musim panas. Sayang pemadangan serupa tidak dapat kami temukan pada musim dingin.
Di Bohoniki kami juga sempat mengunjungi Mizar – “The Muslim Cemetery” satu dari tiga “Muslim Cemeteries” yang masih bisa di temukan di Polandia.
Selama menjadi Negara Komunis, praktis kehidupan keislaman di Polandia hampir punah. Untungnya, pada saat reformasi setelah runtuhnya Tembok Berlin masih terdapat orang-orang tua yang tetap memelihara keislaman maupun tradisi Tartar sendiri.
Karena itu, tidak heran pekuburan Muslim pada era komunisme pun dibuat seperti pekuburan Keristen, dengan marmer tertutup. Sekarang tradisi lama mulai dipulihkan, dan pekuburan pun menyesuaikan diri sesuai dengan ajaran Islam.
Jangan heran, jika Anda berkunjung ke tempat ini banyak peziarah memasang lilin di atas pekuburan itu. Mereka telah lupa tradisi lama, dan mengikut saja pada tradisi masyarakat setempat yang beragama Katolik.
Mesjid Kruszyniany
Daerah ini termasuk tempat pemukiman pertama bagi pejuang Tartar tatkala membantu Kerajaan Polandia-Lithuania menghadapi invasi dan pendudukan asing.
Menurut tour guide di sini, pasukan Tartar diberikan tanah yang cukup luas di Lithuania, yang menjadi tempat pemukiman lebih tua 600 tahun yang lalu, dan di wilayah Polandia sekarang sekitar 300 tahun yang lalu.
Mereka diberikan tanah karena Kerajaan tidak mampu membayar jasa mereka dalam memenangkan perang. Raja Polandia juga ingin memelihara loyalitas orang-orang Tartar yang terkenal gemar berperang dan sering berganti aliansi di masa-masa sebelumnya.
Mereka juga diberikan gelar bangsawan dan nama keluarga Polandia dan boleh menikahi gadis-gadis di sana. Maklum, semua orang-orang Tartar yang berperang dan melakukan ekspedisi ke Eropa adalah laki-laki.
Mesjid tertua di Kruszyniany dan pekuburan Muslim di sekitarnya merekam semua sejarah kehadiran bangsa Tartar di Polandia. Menurut keterangan pengurus, Masjid ini merupakan yang tertua di Polandia, didirikan oleh para pendatang bangsa Tartar yang menetap di daerah itu pada abad 17.
Mesjid ini berukuran relatif kecil , hanya memuat jamaah sekitar 50 orang, dan sekarang cukup aktif digunakan terutama bagi peziarah etnis Tartar yang kini bermukim di berbagai kota di Polandia dan di Lithuania maupun Belarus. Bulan Ramadhan adalah suasana yang paling meriah di mesjid dan di perkampungan ini.
Saya dan isteri menyempatkan diri untuk shalat di mesjid tua ini.
Sebagai obyek wisata masjid ini juga banyak dikunjungi oleh komunitas dalam dan luar negeri. Kami juga menyaksikan sendiri banyak turis lokal Polandia yang uniknya mereka berdoa secara Katolik, membuat tanda salib saat di dada, ketika memasuki masjid tersebut.
Bahkan, dalam salah satu kunjungannya ke propinsi Podlaskie ini, Paus Johanes Paulus II sempat menyerahkan medali penghargaan kepada Etnis Tartar. Penghargaan ini menggambarkan bahwa kedua agama monotheis : Islam dan Katholik dapat hidup berdampingan dengan damai di Polandia.
Kulinari Tartar
JIKA Anda berkunjung ke tempat ini jangan lupa mencoba hidangan Tartar. Seperti apa itu?
Jangan lupa mencoba kulinari asli Tartar di “Tartarska Jurta” sebuah restauran Agro Wisata yang menyajikan hidangan tradisional Tartar. Udara dingin dan salju yang turun cukup deras membuat kami kelaparan. Syukurlah begitu tiba di restaurant kami disambut dengan kue-kue dan secangkir teh atau kopi hangat beramu rempah kayu manis.
Nyonya Dzenneta Bogdanowicz yang menjadi manejer restauran dengan ramah menyambut kami dan langsung mempersilahkan kami menyantap “main course” berupa hidangan pastry dengan isi daging. Hidangan pertama mirip “Pâte feuilletée atau layered dough” dipadu dengan irisan daging. Pada course kedua, dihadirkan pastry berisikan tumisan kentang dan daging. Bentuk dan isinya mirip dengan pastel di Indonesia.
Yang unik pada acara santap siang ala Tartar ini adalah sup yang biasanya menjadi menu pembuka justru dihidangkan setelah “main course”. Kami berpikir ada benarnya juga disajikan terbalik, sebab sup dumpling disajikan dalam porsi lumayan besar. Mungkin bila sup disajikan sebagai menu pembuka, tentu kami tidak akan sanggup menyantap hidangan main course berikutnya.
Sebagai dessert, cobalah kue beraroma tape singkong. Apalagi jika disajikan hangat-hangat, dari oven. Meski perut telah kenyang namun bau yang harum kue ini tidak tertanggungkan. Rugi rasanya bila tidak mencoba.
“I feel at home”, ujar saya kepada Mufti Miskiewicz ketika dia bertanya kesan saya berkunjung ke basis perjuangan suku Tartar dengan masyarakatnya yang sangat ramah itu.
Jika Anda berkunjung ke Polandia, jangan lupa napak-tilas ke perkampungan tua Muslim di Białystok.
Jakarta, 10 Maret 2011
Monday, March 7, 2011
Diplomasi Kulinari di Pemukiman Muslim Pertama di Polandia (2)
DIPLOMASI di era reformasi bukan hanya domain Pemerintah belaka. Semua pihak, politisi, parlemen, pengusaha, LSM dan bahkan kaum wanita Indonesia di luar negeri diundang berperan.
Maka saya mengajak ibu-di lingkungan KBRI Warsawa untuk berperan ‘menjual’ Indonesia pada saat kami mengadakan acara Indonesian Days yang bertajuk “Indonesia : The Emerald of The East” di Kota Białystok, sebuah kota yang terletak kurang lebih 180 km sebelah Timur kota Warsawa, pada 12-14 Maret 2010. ‘Barang dagangan” tidak lain adalah acara cooking-demo dan food-tasting.
Ini menjadi bagian dari acara utama, yakni 2 presentasi saya tentang potensi ekonomi Indonesia dan tentang keragaman budayanya. Kami juga menyelenggarakan pameran foto nusantara, pagelaran musik gamelan dan tarian tradisional.
Tak lengkap jika kulinari tidak ditampilkan. Katanya, seni kulinari juga menunjukkan budaya bangsa. Dan, mintalah ahlinya berkompeten yang tidak lain adalah para ibu-ibu. Mereka lebih dari sekadar pendamping suami yang bertugas di luar negeri. Mereka juga duta-duta bangsa. Klop!
Berbekal pengalaman kami pada berbagai acara cooking demo di kota-kota lain, persiapan kami dalam acara kali ini berjalan sangat efektif dipimpin langsung oleh Ketua DWP KBRI Warsawa Ibu Ade Pohan.
Berbagai bahan makanan mentah maupun makanan khas Indonesia siap saji telah dipersiapkan oleh ibu-ibu KBRI.
Para ibu-ibu KBRI tidak saja berpromosi budaya kulinari. Dalam keterbatasan peragawati, mereka juga ditampilkan pada acara budaya, dalam pakaian nasional berwarna-warni.
Demo Kulinari
Bukan rahasia lagi bila Nasi Goreng dan Sate Ayam selalu menjadi primadona, karena bahannya mudah didapat di Polandia, menu yang popular di Indonesia dan dianggap cukup mewakili cita rasa masakan Indonesia di Eropa.
Pada acara demo yang dihadiri sekitar 40 tamu undangan dari komunitas Muslim Etnis Tartar yang bermukim di Białystok dan sekitarnya, tidak dilepaskan begitu saja oleh media. Atraksi masak ini diliput oleh media cetak, TV dan radio setempat.
Di penghujung acara demo, para tamu undangan diajak untuk mencicipi hidangan santap siang makanan khas Indonesia Nasi Goreng, Sate Ayam dilengkapi dengan Krupuk Udang dan Acar Timun.
Tampak masyarakat Byalistok sangat antusias mengikuti demonstrasi memasak, serta menikmati hasilnya. Menurut pengunjung, ternyata masakan Indonesia gampang menyiapkannya dan mudah memperoleh bahan-bahannya yang juga tidak mahal.
Tidak tanggung-tanggung. Para ibu-ibu KBRI Warsawa juga telah menerbitkan buku resep kulinari Indonesia yang sederhana, tetapi memuat puluhan menu. Tidak hanya resep yang dibuat dalam bahasa Polandia, buku ini juga bercerita tentang bahan-bahan makanan yang ada di Polandia, sekiranya bahan asli seperti di Indonesia sulit diperoleh. Yang penting, rasanya sama!
Pentas Budaya
Pentas Budaya Indonesia digelar pada malam harinya bertempat di Gedung Pusat Budaya Bialystok, yang dikenal warga kota sebagai Wojewodzki Osrodek Animacji Kultury (Spodski) w Białystok.
Ibu-ibu yang kesehariannya tergabung dalam Dharma Wanita Persatuan KBRI Warsawa tampil mengenakan “busana nusantara” yang memadukan kain Bali dengan kombinasi “blouse” sebagai pengganti kebaya. Tak ayal kehadiran ibu-ibu dengan berbalut kain Bali dalam paduan blouse semi modern menjadi pusat perhatian pengunjung. Beberapa pertanyaan-pun meluncur seputar kain yang dipakai. Mereka juga mampu menjelaskan dengan baik.
“Bagaimana Ibu mengikat kain ini?” begitu pertanyaan seorang pengunjung dalam bahasa Polandia sambil mengagumi indahnya kain Bali.
Mengawali acara pentas budaya tersebut saya mendapat kehormatan menyampaikan presentasi tentang keragaman budaya Indonesia dan dilanjutkan dengan pertunjukan musik gamelan oleh Warsaw Gamelan Group. Gending gamelan mulai dari gending klasik hingga gending kontemporer karya dalang Ki Narto Sabdo banyak dimainkan. Salah satunya Gending Kereta Api atau “Pociag” [baca: pocyong]dalam bahasa Polandia terutama banyak mendapat “applaus” pengunjung. Ritme yang khas dengan perpaduan suara seruling terasa pas menggambarkan suara peluit kereta api.
Tarian Jawa klasik “Gambyong Pare Anom” serta Tari Kreasi Baru “Jaipong” karya Bagong Kusudiharjo dengan iringan music live gamelan dan tari Panji Semirang dari Bali dipersembahkan membuktikan seni budaya unik Indonesia yang dikenal sebagai negeri berpenduduk terbanyak Muslim di dunia. Kami ingin mengatakan, Indonesia adalah masyarakat yang toleran dan relijius.
Ibu-ibu KBRI juga berperan dalam menyiapkan kue-kue khas Indonesia, Risoles dan Putu Ayu yang dinikmati pengunjung pada acara rehat.
Di penghujung acara mereka menyempatkan berfoto bersama, mengabadikan penampilan cantik para peragawati dadakan dengan kain Bali, yang tidak lain adalah para ibu-ibu KBRI. Sesaat kemudian beberapa tamu bahkan tertarik untuk turut berfoto bersama.
Jakarta, 8 Maret 2011
Maka saya mengajak ibu-di lingkungan KBRI Warsawa untuk berperan ‘menjual’ Indonesia pada saat kami mengadakan acara Indonesian Days yang bertajuk “Indonesia : The Emerald of The East” di Kota Białystok, sebuah kota yang terletak kurang lebih 180 km sebelah Timur kota Warsawa, pada 12-14 Maret 2010. ‘Barang dagangan” tidak lain adalah acara cooking-demo dan food-tasting.
Ini menjadi bagian dari acara utama, yakni 2 presentasi saya tentang potensi ekonomi Indonesia dan tentang keragaman budayanya. Kami juga menyelenggarakan pameran foto nusantara, pagelaran musik gamelan dan tarian tradisional.
Tak lengkap jika kulinari tidak ditampilkan. Katanya, seni kulinari juga menunjukkan budaya bangsa. Dan, mintalah ahlinya berkompeten yang tidak lain adalah para ibu-ibu. Mereka lebih dari sekadar pendamping suami yang bertugas di luar negeri. Mereka juga duta-duta bangsa. Klop!
Berbekal pengalaman kami pada berbagai acara cooking demo di kota-kota lain, persiapan kami dalam acara kali ini berjalan sangat efektif dipimpin langsung oleh Ketua DWP KBRI Warsawa Ibu Ade Pohan.
Berbagai bahan makanan mentah maupun makanan khas Indonesia siap saji telah dipersiapkan oleh ibu-ibu KBRI.
Para ibu-ibu KBRI tidak saja berpromosi budaya kulinari. Dalam keterbatasan peragawati, mereka juga ditampilkan pada acara budaya, dalam pakaian nasional berwarna-warni.
Demo Kulinari
Bukan rahasia lagi bila Nasi Goreng dan Sate Ayam selalu menjadi primadona, karena bahannya mudah didapat di Polandia, menu yang popular di Indonesia dan dianggap cukup mewakili cita rasa masakan Indonesia di Eropa.
Pada acara demo yang dihadiri sekitar 40 tamu undangan dari komunitas Muslim Etnis Tartar yang bermukim di Białystok dan sekitarnya, tidak dilepaskan begitu saja oleh media. Atraksi masak ini diliput oleh media cetak, TV dan radio setempat.
Di penghujung acara demo, para tamu undangan diajak untuk mencicipi hidangan santap siang makanan khas Indonesia Nasi Goreng, Sate Ayam dilengkapi dengan Krupuk Udang dan Acar Timun.
Tampak masyarakat Byalistok sangat antusias mengikuti demonstrasi memasak, serta menikmati hasilnya. Menurut pengunjung, ternyata masakan Indonesia gampang menyiapkannya dan mudah memperoleh bahan-bahannya yang juga tidak mahal.
Tidak tanggung-tanggung. Para ibu-ibu KBRI Warsawa juga telah menerbitkan buku resep kulinari Indonesia yang sederhana, tetapi memuat puluhan menu. Tidak hanya resep yang dibuat dalam bahasa Polandia, buku ini juga bercerita tentang bahan-bahan makanan yang ada di Polandia, sekiranya bahan asli seperti di Indonesia sulit diperoleh. Yang penting, rasanya sama!
Pentas Budaya
Pentas Budaya Indonesia digelar pada malam harinya bertempat di Gedung Pusat Budaya Bialystok, yang dikenal warga kota sebagai Wojewodzki Osrodek Animacji Kultury (Spodski) w Białystok.
Ibu-ibu yang kesehariannya tergabung dalam Dharma Wanita Persatuan KBRI Warsawa tampil mengenakan “busana nusantara” yang memadukan kain Bali dengan kombinasi “blouse” sebagai pengganti kebaya. Tak ayal kehadiran ibu-ibu dengan berbalut kain Bali dalam paduan blouse semi modern menjadi pusat perhatian pengunjung. Beberapa pertanyaan-pun meluncur seputar kain yang dipakai. Mereka juga mampu menjelaskan dengan baik.
“Bagaimana Ibu mengikat kain ini?” begitu pertanyaan seorang pengunjung dalam bahasa Polandia sambil mengagumi indahnya kain Bali.
Mengawali acara pentas budaya tersebut saya mendapat kehormatan menyampaikan presentasi tentang keragaman budaya Indonesia dan dilanjutkan dengan pertunjukan musik gamelan oleh Warsaw Gamelan Group. Gending gamelan mulai dari gending klasik hingga gending kontemporer karya dalang Ki Narto Sabdo banyak dimainkan. Salah satunya Gending Kereta Api atau “Pociag” [baca: pocyong]dalam bahasa Polandia terutama banyak mendapat “applaus” pengunjung. Ritme yang khas dengan perpaduan suara seruling terasa pas menggambarkan suara peluit kereta api.
Tarian Jawa klasik “Gambyong Pare Anom” serta Tari Kreasi Baru “Jaipong” karya Bagong Kusudiharjo dengan iringan music live gamelan dan tari Panji Semirang dari Bali dipersembahkan membuktikan seni budaya unik Indonesia yang dikenal sebagai negeri berpenduduk terbanyak Muslim di dunia. Kami ingin mengatakan, Indonesia adalah masyarakat yang toleran dan relijius.
Ibu-ibu KBRI juga berperan dalam menyiapkan kue-kue khas Indonesia, Risoles dan Putu Ayu yang dinikmati pengunjung pada acara rehat.
Di penghujung acara mereka menyempatkan berfoto bersama, mengabadikan penampilan cantik para peragawati dadakan dengan kain Bali, yang tidak lain adalah para ibu-ibu KBRI. Sesaat kemudian beberapa tamu bahkan tertarik untuk turut berfoto bersama.
Jakarta, 8 Maret 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)