DALAM tulisan sebelumnya saya menggambarkan keberadaan Islam di Polandia. Meski minoritas, hanya sekitar 30 ribu penganutnya di Polandia tetapi masa lalu telah mengguratkan peranan Islam yang berada di mainstream sejarah kontemporer Polandia.
Di antara jumlah itu, terdapat komunitas kecil sejumlah antara 3000-5000 kini yang merupakan keturunan dari cikal-bakal penduduk Muslim di Polandia. Mereka telah berdiam di sana sejak 600 tahun yang lalu.
Merekalah orang-orang Tartar Muslim. Orang-orang Tartar itu, sebagai perajurit Mongolia, telah berada di Eropa Tengah ini sejak abad ke-13, namun tanpa bekas. Baru pada abad ke-14 mereka menetap di sini sebagai tentara bayaran.
Bukan merceneries, bertempur membela yang bayar. Tetapi karena pada dasarnya mereka warriors. Belakangan karena keahlian berperang, banyak raja-raja yang memerlukan jasa mereka. Secara fungsional mereka menjadi tentara bayaran.
Menurut sejarah, pembayaran tidak mesti dilakukan di muka. Sesuai perjanjian, mereka akan memperoleh bagian dari hasil peperangan. Tentu jika sang raja menang. Jika kalah, orang-orang Tartar ini juga terbunuh. Jika menang, mereka diberikan kampung, atau hak untuk ‘menjarah kota, dan bahkan mengambil anak-anak gadis negeri yang dialahkan. Ini sesuai perjanjian dan disetujui oleh raja.
Perajurit gagah berani dari Asia Tengah itu berkali-kali bertempur membela negeri mereka, termasuk dalam the Battle of Grunwald yang tersohor itu, pertempuran melawan kerajaan Kristen Jerman Teutonic Order pada musim panas tahun 1410.
Akibat jasa-jasa mereka, Raja Polandia-Lithuania memberikan pemukiman bagi perajurit gagah berani Muslim di wilayah timur Polandia dan sebagian di Lithuania sekarang.
Mereka juga ambil bagian dalam sejarah Polandia, ketika negeri itu hilang 123 tahun dari peta politik Eropa itu. Ini yang menjelaskan, mengapa di negeri tempat kelahiran Paus Johanes Paulus II yang legendaris itu, pemuka Islam Tartar selalu diberi gelar kebangsawanan.
Pengarang Polandia terkenal penerima Nobel 1995 yang menulis novel Quo Vadis: A Narrative of the Time of Nero , bernama Henryk Sienkiewicz, juga keturunan Tartar. Melalui karya emas itu Henryk menjadi orang pertama kali yang memperkenalkan kata “quo vadis?” ,artinya ‘hendak ke mana?’. Dia juga bergelar bangsawan.
Napak-Tilas
HATTA, ketika kami menutup rangkaian perjalanan tiga hari Roadshow Budaya Indonesia, di Bialystok, pada bulan Maret 2010 yang lalu, saya mengajak seluruh rombongan KBRI Warsawa, termasuk ibu-ibu DWP untuk napak-tilas menelusuri peninggalan sejarah bangsa Tartar di Polandia.
Kota Białystok adalah salah satu kota bersejarah di wilayah Timur Polandia, di sini komunitas Islam asli etnis Tartar ini menetap sejak 300 tahun yang lalu. Masyarakat Muslim di kota itu adalah keturunan pejuang Tartar yang dikenal pemberani saat berperang melawan Kerajaan Teutonik dalam pertempuran Grunwald di Malbork, utara Polandia pada tahun 1410.
Sejak kedatangan mereka melalui Lithuania sekitar 600 tahun yang lalu, bangsa ini juga tidak pernah ketinggalan dalam sejarah perjuangan bangsa Polandia merebut kemerdekaan bahkan bersama serdadu Poladia, pasukan militer bangsa Tartar aktif berperang antara lain dalam : “The Kosciusko Uprising “(1795), “the Confederation of Bar” (1768). Mereka juga turut berperang dalam pasukan Napoleon antara tahun 1812- 1814.
Kota Białystok menyimpan dengan baik semua khazanah masa-lalu yang cemerlang itu. Tidak jauh dari kota ini kita menjenguk kota Bohoniki. Di sini terdapat mesjid tua, yang disebut Mesjid Bohoniki.
Mesjid di wilayah Pedesaan Polandia Timur ini, mempunyai ciri khas berdinding kayu yang dibangun ditengah hamparan ladang gandum yang luas. Bohoniki ini merupakan satu dari dua pemukiman asli Tartar yang tersisa selain pemukiman di Kruszyniany.
Pemandangan bangunan masjid berdiri megah ditengah hamparan kuning ladang gandum sangat indah dinikmati di musim panas. Sayang pemadangan serupa tidak dapat kami temukan pada musim dingin.
Di Bohoniki kami juga sempat mengunjungi Mizar – “The Muslim Cemetery” satu dari tiga “Muslim Cemeteries” yang masih bisa di temukan di Polandia.
Selama menjadi Negara Komunis, praktis kehidupan keislaman di Polandia hampir punah. Untungnya, pada saat reformasi setelah runtuhnya Tembok Berlin masih terdapat orang-orang tua yang tetap memelihara keislaman maupun tradisi Tartar sendiri.
Karena itu, tidak heran pekuburan Muslim pada era komunisme pun dibuat seperti pekuburan Keristen, dengan marmer tertutup. Sekarang tradisi lama mulai dipulihkan, dan pekuburan pun menyesuaikan diri sesuai dengan ajaran Islam.
Jangan heran, jika Anda berkunjung ke tempat ini banyak peziarah memasang lilin di atas pekuburan itu. Mereka telah lupa tradisi lama, dan mengikut saja pada tradisi masyarakat setempat yang beragama Katolik.
Mesjid Kruszyniany
Daerah ini termasuk tempat pemukiman pertama bagi pejuang Tartar tatkala membantu Kerajaan Polandia-Lithuania menghadapi invasi dan pendudukan asing.
Menurut tour guide di sini, pasukan Tartar diberikan tanah yang cukup luas di Lithuania, yang menjadi tempat pemukiman lebih tua 600 tahun yang lalu, dan di wilayah Polandia sekarang sekitar 300 tahun yang lalu.
Mereka diberikan tanah karena Kerajaan tidak mampu membayar jasa mereka dalam memenangkan perang. Raja Polandia juga ingin memelihara loyalitas orang-orang Tartar yang terkenal gemar berperang dan sering berganti aliansi di masa-masa sebelumnya.
Mereka juga diberikan gelar bangsawan dan nama keluarga Polandia dan boleh menikahi gadis-gadis di sana. Maklum, semua orang-orang Tartar yang berperang dan melakukan ekspedisi ke Eropa adalah laki-laki.
Mesjid tertua di Kruszyniany dan pekuburan Muslim di sekitarnya merekam semua sejarah kehadiran bangsa Tartar di Polandia. Menurut keterangan pengurus, Masjid ini merupakan yang tertua di Polandia, didirikan oleh para pendatang bangsa Tartar yang menetap di daerah itu pada abad 17.
Mesjid ini berukuran relatif kecil , hanya memuat jamaah sekitar 50 orang, dan sekarang cukup aktif digunakan terutama bagi peziarah etnis Tartar yang kini bermukim di berbagai kota di Polandia dan di Lithuania maupun Belarus. Bulan Ramadhan adalah suasana yang paling meriah di mesjid dan di perkampungan ini.
Saya dan isteri menyempatkan diri untuk shalat di mesjid tua ini.
Sebagai obyek wisata masjid ini juga banyak dikunjungi oleh komunitas dalam dan luar negeri. Kami juga menyaksikan sendiri banyak turis lokal Polandia yang uniknya mereka berdoa secara Katolik, membuat tanda salib saat di dada, ketika memasuki masjid tersebut.
Bahkan, dalam salah satu kunjungannya ke propinsi Podlaskie ini, Paus Johanes Paulus II sempat menyerahkan medali penghargaan kepada Etnis Tartar. Penghargaan ini menggambarkan bahwa kedua agama monotheis : Islam dan Katholik dapat hidup berdampingan dengan damai di Polandia.
Kulinari Tartar
JIKA Anda berkunjung ke tempat ini jangan lupa mencoba hidangan Tartar. Seperti apa itu?
Jangan lupa mencoba kulinari asli Tartar di “Tartarska Jurta” sebuah restauran Agro Wisata yang menyajikan hidangan tradisional Tartar. Udara dingin dan salju yang turun cukup deras membuat kami kelaparan. Syukurlah begitu tiba di restaurant kami disambut dengan kue-kue dan secangkir teh atau kopi hangat beramu rempah kayu manis.
Nyonya Dzenneta Bogdanowicz yang menjadi manejer restauran dengan ramah menyambut kami dan langsung mempersilahkan kami menyantap “main course” berupa hidangan pastry dengan isi daging. Hidangan pertama mirip “Pâte feuilletée atau layered dough” dipadu dengan irisan daging. Pada course kedua, dihadirkan pastry berisikan tumisan kentang dan daging. Bentuk dan isinya mirip dengan pastel di Indonesia.
Yang unik pada acara santap siang ala Tartar ini adalah sup yang biasanya menjadi menu pembuka justru dihidangkan setelah “main course”. Kami berpikir ada benarnya juga disajikan terbalik, sebab sup dumpling disajikan dalam porsi lumayan besar. Mungkin bila sup disajikan sebagai menu pembuka, tentu kami tidak akan sanggup menyantap hidangan main course berikutnya.
Sebagai dessert, cobalah kue beraroma tape singkong. Apalagi jika disajikan hangat-hangat, dari oven. Meski perut telah kenyang namun bau yang harum kue ini tidak tertanggungkan. Rugi rasanya bila tidak mencoba.
“I feel at home”, ujar saya kepada Mufti Miskiewicz ketika dia bertanya kesan saya berkunjung ke basis perjuangan suku Tartar dengan masyarakatnya yang sangat ramah itu.
Jika Anda berkunjung ke Polandia, jangan lupa napak-tilas ke perkampungan tua Muslim di Białystok.
Jakarta, 10 Maret 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment