Pengantar
Penggunaan softpower dalam hubungan internasional kini kian menonjol. Konsep softpower yang diperkenalkan oleh Profesor Joseph Nye dari Harvard University adalah penonjolan cara-cara non-militer dalam mempengaruhi negara lain atau memoles citra (image polishing) melalui kekuatan politis, ekonomi dan kebudayaan.
Pemerintah suatu negara memproyeksikan softpower tersebut ke luar melalui cara-cara diplomasi publik (public diplomacy campaign).
Dalam tulisan ini saya menyarankan untuk penggunaan amunisi budaya nasional dalam diplomasi publik untuk memaksimalkan capaian pelaksanaan politik luar negeri RI. Budaya nasional kita sangat berpotensi dalam mengokohkan citra bangsa. Yang kita lakukan bukan image polishing, seperti di jaman orde baru, tetapi lebih merupakan good image projection, melalui medium budaya.
Negara-negara besar menggunakan diplomasi publik untuk memperoleh dukungan internasional terhadap kebijakannya. Contoh paling aktual adalah Amerika Serikat yang sangat proaktif di dalam melaksanakan diplomasi publik dengan menggunakan berbagai medium to win the hearts and minds of the Muslim World. Bahkan China, hanya untuk media saja, rela membelanjakan USD. 6,6 milyar untuk membiayai kantor berita Xinhua dan siaran CCTV yang akan dipancarkan dalam berbagai bahasa-bahasa internasional ke seluruh penjuru dunia.
Pada dasarnya diplomasi publik ditujukan kepada masyarakat di luar negeri, melalui instrumen dan cara-cara yang masuk dalam kelompok second track diplomacy, melalui kegiatan pertukaran kebudayaan, dialog antar-bangsa, kerjasama organisasi kemasyarakatan.
Namun, di berbagai negara demokrasi baru seperti di negara kita, euforia di alam politik yang baru juga mendorong aktifnya masyarakat di dalam proses penyusunan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, sebagian kegiatan diplomasi publik juga ditujukan kepada unsur-unsur masyarakat di dalam negeri, sebagai medium komunikasi dengan para elit politik, mengenai berbagai kebijakan pemerintah terhadap isu-isu global tertentu.
Semakin luas pemahaman dan partisipasi masyarakat, di luar dan dalam negeri, dalam pengambilan keputusan mengenai isu-isu prioritas tersebut, maka semakin besar pula dukungan kepada Pemerintah dalam memaksimalkan capaian politik luar negeri.
Departemen luar negeri RI sebagai institusi yang paling bertanggungjawab dalam pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri dewasa ini gencar mengadakan pertemuan tokoh-tokoh untuk membicarakan isu-isu luar negeri melalui foreign-policy breakfast, dialog interfaith, melibatkan kelompok akademisi dan think-tank dan pemangku kepentingan lainnya dalam perumusan kebijakan. Medium ini dinilai sangat berhasil.
Tidak kurang pentingnya, kegiatan diplomasi publik pemerintah RI juga dilaksanakan di luar negeri. Kepentingan kita di luar negeri adalah jangka panjang, yaitu memproyeksikan Indonesia sebagai negara besar di dunia. Kita masih perlu memberikan perhatian lebih besar di bidang ini.
Dalam tulisan ini saya menyarankan, agar lebih efekti diplomasi publik melalui diplomasi kebudayaan dilaksanakan melalui pusat-pusat kebudayaan (cultural center) di luar negeri. Saya menyarankan istilah atau nama yang digunakan berikutnya adalah Pusat Budaya Indonesia (PBI).
Meskipun bangsa Indonesia telah berusia 100 tahun, dan telah merdeka 64 tahun, namun kita belum memiliki satu pun PBI. Kita adalah negara terbesar ke-4 di dunia, namun kurang dikenal. Dengan potensi budaya tidak-terbatas, Indonesia juga berhak mengklaim, setidaknya, sebagai superpower di bidang kebudayaan.
Apa Urgensinya?
Urgensi pembentukan PBI berada di tempat tertinggi dalam sistem perundang-undangan nasional. Tidak kurang, Undang Undang Dasar 1945, khususnya pada Pasal 32(1) menggarisbawahi tanggungjawab Negara dalam memajukan kebudayaan nasional di dalam pergaulan antar-bangsa dan antar-negara. Kemudian pada Pasal 32(1) lebih lanjut ditegaskan ”Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan mesyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya.”
Ironisnya, sampai saat ini kita belum membentuk satupun Pusat Budaya Indonesia dengan status hukum (nasional) yang jelas dan terdaftar sesuai dengan hukum di negara setempat. Memang, telah banyak kegiatan-kegiatan promosi budaya yang dilakukan oleh KBRI bekerjasama dengan berbagai kelompok kesenian dari Indonesia atau dari masyarakat pencinta Indonesia setempat. Namun, kegiatan-kegiatan dan lembaga non-permanen ini belum dapat disebut Pusat Budaya Indonesia, sesuai dengan parameter hukum nasional.
Kegiatan-kegiatan kebudayaan Indonesia di luar negeri yang selama ini telah dikenal al. friendship society, grup tari tradisional, pencak silat, gamelan, kursus Bahasa Indonesia, dan Sekolah Indonesia dalam berbagai naungan KBRI di berbagai negara. Namun, keberadaan dan aktifitas kelompok-kelompok seperti ini selalu dilandaskan kepada kebijakan Duta Besar. Kecuali untuk Sekolah Indonesia, pada dasarnya kelompok-kelompok kegiatan ini tidak mendapat arahan dan dukungan anggaran dari Pusat. Oleh karena itu, keberadaan dan aktifitasnya sering timbul tenggelam.
Statusnya belum mencapai kualifikasi sebagaimana Prancis menggunakan CCF, Inggeris dengan British Council, Amerika Serikat melalui USIS atau PPIA, Jerman dengan Goethe Institute, dan berbagai cultural center dari negara-negara lainnya seperti India, Rusia, China, dan bahkan Nigeria.
Negara-negara tersebut telah menjadikan pusat-pusat budaya sebagai cultural arms dan bagian dari pelaksanaan diplomasi.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kegiatan-kegiatan budaya berkaitan langsung dengan peningkatan citra RI (sebagai negara yang kaya dengan kebudayaan), sambil promosi pariwisata dan meningkatkan perdagangan dan investasi. Ini merupakan nilai-tambahnya.
The Paradox of Plenty
Pepatah nenek moyang kita “ayam mati di lumbung padi” bisa terjadi bagi diri kita, bilamana kita tidak menyadari sebenarnya nenek-moyang telah memberikan warisan secara eksklusif berbagai produk-produk budaya kepada anak cucunya. Mungkin kita belum menyadari, Indonesia adalah "superpower" di bidang kebudayaan.
Mengapa? Indonesia memiliki khazanah yang luar biasa di dalam budaya nasional. Bayangkan, negeri ini terbentuk dari lebih 300 suku bangsa dengan berbagai kelengkapan budayanya: agama dan kepercayaan, bahasa, kesusasteraan, seni tari, musik dan perlengkapannya, seni beladiri, seni-ukir, pakaian, dan makanan dan bakat-bakat beragam pada masing-masing etnis anak-bangsa.
Ratusan suku bangsa nusantara ini dengan bahasa sendiri-sendiri dan kelengkapan budayanya selama ratusan tahun telah berinteraksi, berakulturasi, satu dengan lainnya. Hasil akhirnya, ribuan jenis ukiran, tarian, musik, nyanyian, pakaian, jenis makanan dan berbagai produk budaya lainnya telah mengisi khazanah budaya nasional.
Coba cari, apakah ada di muka bumi ini suatu bangsa yang memiliki kekayaan budaya melebihi bangsa Indonesia?
Warisan nenek-moyang Ini juga dapat menjadi sumber inspirasi para artis, seniman, kalangan industri, yang tidak akan pernah kering. Bila dikemas baik, produknya mungkin mencapai puluh ribuan, atau malah jutaan jenis produk! "The sky is the limit", kata orang. Berbagai industri kreatif kita juga bisa meminjam dari inspirasi karya-karya agung nenek-moyang kita.
Sulit bagi kita untuk mengadakan pameran kebudayaan untuk menggambarkan Indonesia lengkap dan utuh! Terlalu besar, terlalu luas, terlalu kaya! Agar lebih focus, cultural performance kita ditampilkan dengan satu tema atau per provinsi saja. Jangan terlalu ambisius, nanti seperti gado-gado, pesannya tidak sampai.
Jika kita tidak mampu mengembangkan warisan nenek-moyang kita, mengemasnya ke dalam berbagai produk budaya termasuk menjadikannya sebagai kegiatan ekonomi yang menghidupi rakyat, ini menjadi skandal! The paradox of plenty.
Sementara negara-negara lain ada yang megap-megap berupaya mencari dan menemukan budaya sebagai identitas nasionalnya. Bila saya menyaksikan traditional cultural performance di luar negeri, jarang yang impresif, mungkin tidak terlalu signikan, atau mirip-mirip budaya milik bangsa lain. Bagi Indonesia? Tinggal pungut saja, dia ada di mana-mana.
Cultural deficit terdapat di mana-mana. Dan mereka terus-menerus akan berupaya mencari identitas, jika perlu mengklaim, menjiplak atau meniru-niru milik kita. Sering-sering mereka mencoba mengklaim “ini kami punya”, dan bahkan lebih nekad: mendaftarkannya sebagai produk budaya mereka.
Ada pula, seperti AS yang sangat kuat dalam budaya kontemporer, namun budaya ini ada di mana-mana. Sulit diklaim sebagai identitas. Atau menjadi nekad, identitas itu dikaitkan dengan berbagai produk missal, seperti coca cola, popcorn, Starbuck, pizza, breakdance, blues dan jazz, dan berbagai produk teknologi lainnya.
Tetapi produk budaya ini terbatas dalam melahirkan nilai-nilai spiritual, hanya hiburan dan kesementaraan. Dia seperti mode, selalu berganti dan digantikan dengan yang baru. “Budaya” ini lebih terkait dengan gaya hidup saja.
Oleh karena itu, saya yakin jika komponen budaya nasional ini kita masukkan ke dalam paket diplomasi melalui wadah permanen maka hasilnya akan lebih maksimal dalam meningkatkan citra-positif RI di luar negeri.
Semakin banyak bangsa asing mengenal dan mencintai budaya RI, dengan sendirinya semakin kuat pendukung kita di luar negeri. Seperti saya katakan semula, peningkatan aktifitas budaya ini pada akhirnya akan memberikan nilai-tambah untuk tujuan-tujuan ekonomi: pariwisata, perdagangan dan investasi.
Dari Mana Kita Memulai?
Dewasa ini sangat disadari penting segera menyusun strategi nasional dalam mengefektifkan penggunaan jalur diplomasi kebudayaan sebagai “softpower” tadi.
Sekarang, sudah waktunya Pemerintah RI membentuk Pusat-Pusat Budya Indonesia (Indonesian Cultural Center) di luar negeri.
Untuk mengawali pembentukan insitutusi baru ini, saya menyarankan pembentukan pilot project di masing-masing kawasan regional, seperti misalnya Eropa Barat, Eropa Tengah dan Timur, Amerika Utara, Amerika Selatan, Timur Tengah, Afrika, Asia dan Pasifik. Pada tahap berikutnya, secara ideal pusat-pusat budaya ini telah terbentuk di semua negara-negara penting di dunia.
Pembentukan proyek percontohan (pilot project) cukup di 2 atau 3 tempat terlebih dahulu sehingga tidak memerlukan dana yang besar. Setiap proyek percontohan memerlukan waktu sekitar 5 tahun untuk menjadi lembaga yang mandiri, dan kemudian dapat dibiakkan ke Perwakilan-Perwakilan RI di kawasan sekitarnya. Dalam proses pembentukannya, KBRI-KBRI se kawasan dapat pula memberikan dukungan/kontribusi di bidang materi kebudayaan untuk pematangan pembentukan Indonesian Cultural Center tersebut.
Sebagai instrumen Pemerintah RI di negara akreditasi, PBI menjadi lembaga non-profit yang memperoleh dukungan dana, tenaga penyelenggara termasuk pelatih, alat-alat kelengkapan/material dari Pemerintah RI serta bantuan tidak-mengikat dari pihak-pihak lainnya.
Bagaimana prosedur pembentukannya? UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang juga mengakui pentingnya peranan budaya dalam diplomasi, dan menetapkan bahwa kompetensi pembentukan PBI berada di tangan Menteri Luar Negeri. Melalui PBI, sebanyak mungkin masyarakat pencinta budaya Indonesia dan friends of Indonesia dilibatkan. Pemerintah RI menjadi fasilitator saja.
Rencana Pembentukan PBI di Warsawa
Sejak 2 tahun terakhir, kami gencar melakukan persiapan untuk pembentukan Pusat Budaya Indonesia di Warsawa. Sudah beberapa kali kami mengadakan sarasehan mengundang semua pekerja budaya, baik WNI maupun WN Polandia untuk berbagi pendapat.
Beberapa faktor yang mendukung untuk pembentukannya, saya mencoba simpulkan berikut ini.
Faktor pertama adalah politis. Polandia adalah negara-menengah ukuran Eropa yang berpenduduk hampir 40 juta, anggota NATO dan Uni Eropa, meskipun mayoritas (95%) penduduknya beragama Katolik namun paling toleran dibanding negara-negara lainnya di kawasan, serta sejak dahulu kala memiliki berbagai center of excellence di bidang pendidikan dan kebudayaan setara dengan negara Eropa lainnya.
Hubungan bilateral RI - Polandia telah berusia lebih dari 50 tahun, dan akhir-akhir ini telah mencapai puncaknya melalui kunjungan kenegaraan timbal-balik antara kedua kepala negara. Presiden RI melakukan kunjungan kenegaraan dalam tahun 2003, dan dibalas oleh kunjungan kenegaraan Presiden Aleksander Kwasniewski (2004) dan Perdana Menteri Marek Belka (2005).
Faktor kedua merupakan pertimbangan ekonomi. Dalam tahun 2007, Polandia telah menjadi pasar terpenting di seluruh kawasan Eropa Tengah dan Timur dengan angka perdagangan timbal-balik kl. USD. 600 juta dan ekspor RI kl. USD. 450 juta. Dewasa ini sejumlah investor Polandia bermaksud menanamkan modalnya di Indonesia kl. Senilai USD. 1,2 milyar dalam berbagai proyek infrastruktur di bidang pertambangan dan industri tenaga listrik batubara. Di samping itu, terdapat prospek yang potensial untuk kerjasama bilateral dalam industri strategis, seperti misalnya dalam kerjasama industri pesawat terbang (dengan PT Dirgantara Indonesia), kapal patroli (dengan PT PAL) dan modernisasi radar (PT LEN).
Faktor ketiga menyangkut landasan hukum. Indonesia dan Polandia telah memiliki Agreement on Cultural and Education Cooperation yang ditandatangani pada tahun 2003. Persetujuan bilateral dengan Polandia, dalam format baru sesuai perkembangan sekarang, merupakan pertama kalinya dimiliki Indonesia dari seluruh negara kawasan Eropa Tengah dan Timur.
Kedua negara telah pula menandatangani Protocol on Cultural and Educational Exchanges between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Poland for the Years 2008 – 2011, yang berisikan berbagai rencana aksi.
Dalam Agreement dan Protocol tersebut, pemerintah Indonesia dan Polandia telah menyepakati untuk pembentukan pusat kebudayaan mereka di masing-masing ibukota negara.
Faktor keempat merupakan jaminan kontinuitas dan keberlanjutan (sustanaibility) yang berkaitan dengan infrastruktur yang tersedia dan minat di kalangan masayarakat Polandia terhadap kebudayaan Indonesia.
Sejak beberapa tahun yang lalu, telah terbentuk Warsawa Gamelan Group di bawah naungan KBRI Warsawa dan di Institut Musikologi Universitas Warsawa beranggotan mahasiswa-mahasiswa Polandia. Grup ini telah memiliki status Badan Hukum di Polandia. Selain itu, kini menjamur kegiatan-kegiatan promosi budaya lainnya melalui program pendidikan Bahasa Indonesia di Institut Linguistik pada Universitas Adam Mickiewicz di Poznan, kelompok tari tradisional Indonesia di Gdansk, dan kelompok pencak-silat di Poznan, seni lukis batik, dan berbagai pameran kebudayaan Indonesia di Museum Asia Pasifik di Warsawa.
Di bidang makanan, restoran “Galeria Bali” mulai dikenal baik di Warsawa. Untuk persiapan pembentukannya, Dubes RI Warsawa telah memperoleh komitmen dari Menteri Luar Negeri, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, dan Menteri Pendidikan Nasional.
Tidak kurang, Ketua DPR RI Agung Laksono ketika bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia dalam kunjungannya ke Polandia pada bulan Desember 2007 yang lalu dan berbagai delegasi dalam rangka kunjungan DPR RI, termasuk Komisi Anggaran, serta DPD RI menyambut baik dan mendukung pembentukan PBI di Warsawa.
Action Plan
Dewasa ini KBRI Warsawa sedang mengintensifkan penguatan infrastruktur al. melalui pendataan/pemetaan potensi seluruh cabang-cabang kebudayaan Indonesia di kalangan masyarakat/institusi di Polandia, serta mengupayakan adanya gedung (sementara) PBI, baik disewa sesuai dengan kemampuan keuangan KBRI Warsawa, atau mencari dukungan dari masyarakat Polandia, terutama di kalangan usahawan yang memiliki kedekatan hubungan dengan Indonesia.
Dalam rangka persiapan pembentukan PBI, KBRI mulai mempersiapkan infrastrukturnya, antara lain, PBI sebagai pusat informasi budaya dan umum, termasuk penyediaan layanan perpustakaan buku-buku tentang Indonesia, sekaligus sebagai sarana untuk workshop, seminar/diskusi, latihan seni budaya tari, nyanyian, musik, film dan teater baik tradisional maupun modern, kulinari, dan sebagai padepokan pencak-silat.
PBI melalui program-program KBRI Warsawa gencar pula melakukan kegiatan promosi kebudayaan Indonesia, seperti pertunjukan budaya, kegiatan rutin pemutaran film-film Indonesia, dan mendorong peningkatan minat warga Polandia untuk belajar bahasa Indonesia.
KBRI Warsawa juga sedang memperkaya koleksi buku-buku tentang budaya dan informasi umum lainnya, memperbanyak kegiatan penampilan budaya baik sendiri maupun bekerjasama dengan berbagai sanggar yang terdapat di Polandia, menyelenggarakan festival film Indonesia, kegiatan latihan-latihan tari, musik tradisional, persiapan pembukaan kursus Bahasa Indonesia.
Kapan PBI akan diresmikan? Pembentukan PBI merupakan pekerjaan besar yang melibatkan banyak pihak sebagai stakeholders. Idealnya, PBI bisa diresmikan dalam tahun 2009, atau setidaknya dalam tahun ini kami telah mempersiapkan berbagai kelengkapan infrastruktur termasuk memulai kegiatan secara teratur.
Peresmian itu seremonial, menjadi soal kedua. Yang penting, jalan dulu. Bilamana telah terbentuk dan berjalan secara permanen, barulah PBI pertama di dunia itu diresmikan. Dengan terbentuknya PBI, maka kita telah melaksanakan amanat UUD 1945 sekaligus kita akan memiliki cultural arms yang efektif dalam mendukung politik luar negeri bebas dan aktif.
Warsawa, 24 Februari 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Salamalejkum Ekselencjo!
ReplyDeleteWzruszył mnie Najpierw opis historii Daru Pomorza przedtem wspomnienia o Gdańsku, przypomniały mi Dziadkowe opowieści o sferę Handlu w mieście sprzed Tym ze stu lat.Czuję aby droga jest najlepsza do promowania Kultury w Polsce Indonezji. Zachęciło mnie do Poznania na Waszej Kultury i napewno przyjde indonezyjski Food Festival. Popularność Ze Uważam i ciekawej nie barwnej Kultury Waszego Kraju przyda się naszej obecnej Polskiej Demokracji.