“With one stroke, the Americans have changed the world’s attitude towards them”, kata saya kepada seorang diplomat dalam suatu diplomatic cocktail. Dunia memang berpaling kembali menatap Amerika Serikat, karena kini penghuni Gedung Putih adalah presiden baru seorang yang memiliki nama unik: Barack Hussein Obama. Dia memiliki credentials yang sangat meyakinkan: mantan seorang aktivis masyarakat yang telah meluluhlantakkan mesin politik terbesar di Washington, penguasa Partai Demokrat dan Partai Republik.
Dia muncul dari puing-puing George W. Bush, tokoh yang menurut seorang kartunis Amerika hanya memiliki satu-satunya keberhasilan dalam seluruh masa dua periode kepresidenannya: mengelakkan lemparan sepatu dalam suatu konperensi pers di Baghdad.
Orang mengatakan sejarah baru telah terukir di Amerika, dan dunia pun goncang. Abad Obama telah lahir, atau Obamabad, seperti judul tulisan saya. Ketika Pakistan merdeka, mereka memberi nama ibukotanya Islamabad, merefleksikan harapan kaum Muslim Pakistan munculnya abad Islam di dunia.
Obama adalah pemimpin yang lahir pada saat dunia menghadapi resesi ekonomi terberat, kerusakan lingkungan, marah karena kegagalan masyarakat internasional mencegah Israel dengan sesuka hati, bak memiliki ‘a blank check’, membunuh ribuan anak-anak, wanita, dan orangtua di Jalur Gaza.
Dunia frustrasi karena rakyat Palestina tidak dapat melindungi dirinya menghadapi serangan agresi Israel, meskipun Pasal 51 Piagam PBB memberi hak yang sah untuk bertempur membela diri (self-defense). Ironisnya, Israel malah menggunakan Pasal 51 yang sama, menyerang membabi-buta dan sangat intrusif ke rumah-rumah penduduk, rumah ibadah sekolah dan rumah sakit di Jalur Gaza, dibiarkan.
Makanya, harapan meninggi bahwa Obama akan memimpin dunia kembali ke jalurnya yang benar. Hah! Terlalu banyak masalah-masalah penting di dunia, namun terlalu kecil daya yang dimiliki oleh AS sekarang ini. Bukankah resesi ekonomi dunia sekarang dimulai dari Amerika in the first place? Apa bisa? Nyatanya, negara adikuasa ini hampir lumpuh menghadapi masalah-masalah berskala mammouth!
Di belahan dunia lain, di Indonesia, masyarakat kita bak tersengat menyambut kemenangan Obama. Anak kecil periang berkulit gelap berambut keriting bernama Barry Soetoro yang tinggal pada tahun 1960-an dengan ayah tirinya Lolo Soetoro di Menteng pinggiran, sangat disenangi teman-teman sekolahnya di SD Negeri No. 1 Menteng. Wajar dia banyak memiliki teman dan pengagum di sini.
Obama Mania ada di mana-mana di sudut belahan dunia. Di Berlin, bak seorang superstar, Obama membuat ‘konser’ yang dihadiri sekitar 300 ribu orang, terpana menyaksikan langsung orator ulung abad ke-21. Seperti di AS, Obama dalam kampanye itu hanya menjual tema sederhana: hope and change! Hadirin kesurupan menyampaikan koor “Yes We Can!”.
Dalam konsernya di Berlin, Obama bukan seorang penyanyi meski tampil, seperti biasanya, rapi bak seorang pemain orkes simponi. Dan orang memenuhi Berlin Tiergarten hanya untuk merasakan ‘efek’ Obama.
Heran. Bukannya orang sekarang sudah bosan dengan pidato-pidatoan? Orang sekarang maunya ‘action’! Tidak usah jauh-jauh bisa memecahkan masalah dunia, jika Anda bisa menyelesaikan masalah di rumah tangga pada zaman sekarang Anda wajar terpilih menjadi “Man of the Year”. Jadi, tidak usahlah berambisi mencoba atasi masalah dunia yang menggunung itu.
Dunia Islam pun berharap besar pada Obama karena dia tidak memandang perbedaan agama, etnis dan bahkan peradaban untuk menentukan siapa lawan, siapa kawan. Menurut seorang kolumnis di International Herald Tribune yang menjenguk SD No. 1Menteng, di sekolah itu terpampang coat of arms Garuda, dengan semboyan jelas yang berarti dalam bahasa Inggeris “Unity in Diversity”. Jadi, perbedaan itu rahmat. Obama pun tidak setuju dengan AS mendiktekan kemauannya kepada dunia, mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukan AS di masa lalu. Dia berjanji akan mengubah tabiat buruk itu.
Diplomasi Global
Para diplomat adalah populasi segelintir manusia elit yang ada di setiap negara. Komunitasnya bak Mafia, jejaringnya mendunia. Mereka ini adalah orang yang paling berbahagia menyambut Obama. Kaum profesional lain yang paling bersemangat menyambut Obama Mania adalah politisi. Obama menjadi species baru, menjadi contoh bahwa pada saat bersamaan orang bisa menjadi diplomat sekaligus politisi. Dia top di dua profesi ini. Siapa yang membantah, presiden Amerika itu kini telah menjadi the powerful politician on earth! Nanti saya uraikan, dia juga telah menjadi the most effective diplomat on earth.
Politisi membuat kebijakan. Diplomat menjalankan. Obama sekaligus membuat kebijakan dan melaksanakannya. Dia memang beda. Dan itu yang menggoda, seperti kata Bing Slamet menggambarkan senyum seorang gadis bernama seperti judul lagunya “Nurlela”.
Para diplomat pun bersemangat. Ada titik terang untuk penyelesaian masalah Timur Tengah dan berbagai konflik regional, non proliferasi, degradasi lingkungan, dan penataan ekonomi dunia post capitalism! Wah kerjaan kita bakal seru, ramai, kata seorang diplomat Italia yang pernah bertugas, seperti saya, di PBB New York. You wish!, kata saya kepada teman itu.
Harapan Dunia Islam memiliki satu agenda yang ditawarkan ke Obama: bantulah memecahkan the mother of world’s conflict: masalah Palestina!
Ada juga yang sinis, meragukan kemampuannya untuk melahirkan kebijakan baru bagi terciptanya perdamaian langgeng di Timur Tengah. Dia akan address apa yang menjadi ‘the root cause of the conflict’ bagi saudara sepupu Arab dan Israel di sana. Bukankah konflik dimulai ribuan tahun yang lalu? Apakah masalah ini bisa diselesaikan dalam satu atau dua periode kepresidenannya?
Tidak kurang. Di kalangan diplomatik teman-teman saya yang mengetahui Obama pernah tinggal 4 tahun di Jakarta mencoba mencari informasi seperti:”rumahnya sekarang milik siapa?”. Saya juga tidak tahu. Tapi itu tak penting, bak penggemar menemui artis yang disukainya apapun jawaban sang artis itu info yang penting. Kalau perlu diplintir! Kawan saya wartawan dengan bangga mengklaim “kita ini memang ahli-plintir, spinmaster!”. Bah!
Saya pun bak artis menjawab: “Oh, sekarang rumah itu sedang direncanakan akan menjadi museum, tetapi telah dibeli oleh pemilik baru dari pemilik lamanya, bukan Lolo Soetoro, karena keluarga Obama itu dulu hanya mampu mengontrak. Saya juga turut berspekulasi bahwa nanti di akhir masa jabatannya (saya bilang 2 periode), rumah itu akan bernilai ratusan kali lipat dari harga ril sekarang. Karena, kata saya, Barry itu orang luar biasa, dia mungkin akan menjadi presiden terbesar yang dimiliki oleh bangsa Amerika!
Celakanya, teman saya itu percaya, menganggukkan kepada serius. Atau, memang kelakuan diplomat di mana-mana. Berpura-pura serius, tetapi di dalam hati menertawakan lawan bicaranya. Atau bergossip? Oh, jangan dikira diplomat itu hanya bisa negosiasi bertarung urat leher siang dan malam saja. Saya tahu dan mendengar gossip-gossip di kalangan diplomatik, terutama menyangkut rekan-rekan sendiri atau mengenai politisi penting di negara akreditasinya.
Diplomat juga ahli berbusa-busa. Bak penjual obat, dia akan ngomong terus. Sepanjang didengerin, apalagi audiens-nya banyak sang diplomat akan bersemangan, sering-sering membumbui 'jualannya' supaya laku. Dalam abad IT ini memang sama pentingnya antara kuantitas dan kualitas informasi. Oleh karena itu, para diplomat di mana-mana perlu yakin bahwa sooner or later orang akan percaya omongannya. Oleh karena itu, kawan-kawan mari kita bicara terus, berbusa-busa!
Tidak ada manusia yang lebih hebat dari Obama dalam pembusaan. Bedanya, dia hampir menjadi messiah, mengajak manusia untuk berubah. Celakanya, kita semua percaya itu.
Politisi terbesar abad ke-21 ini telah ber-metafor menjadi diplomat terhebat pula.
Konstituen di dalam negeri selalu mencurigai diplomat itu hanya asyik ber cocktail, travelling, menghabiskan uang yang dikumpulkan rupiah demi rupiah yang disetor rakyat si pembayar pajak. Ini juga kelompok manusia yang sor sendiri!
Rakyat kita juga nggak ngerti, ngapain diplomat berseliweran dengan mobil CD di Jakarta, dan mengapa mereka dengan gampang menemui pejabat-pejabat kita, yang biasanya naudzubillah sombongnya.
“They are sent by the capital to tell lies abroad” demikian kata para senior kami di Pejambon dulu.
Sekarang sulit berbohong, kita bisa ditinggalkan orang. Sekarang dengan gampang orang mengecek info apapun di Google via Blackberry. I do that, too. Makanya, sekarang para diplomat itu harus bener omongannya. Atau dia menjadi tidak efektif lagi!
Konstituen Obama di Indonesia
Menlu Hassan Wirajuda ketika menerima Menlu Hillary Clinton mengatakan Obama memiliki konstituen yang sangat besar di Indonesia. Bedanya, menurut Menlu, konstituen ini tidak memiliki hak-pilih.
Saya berteman luas dengan para politisi, bisa mengerti kecemburuan mereka terhadap fenomena Obama. Dan ini bukan hanya di Indonesia. Prancis, Jerman, bahkan Inggeris atau Rusia sama. Pers di sana berharap dan sedang menggadang-gadang jika figur seperti Obama lahir di sana. Seorang politisi efektif memiliki konstituen yang besar, dan berharap omongannya didengarkan oleh mereka. Di kita terdapat juga begitu.
Sebagai petarung hijau Obama awalnya diremehkan. Dulu, banyak yang tidak yakin pada apakah Obama bisa mengalahkan Hillary Clinton. Dan kalaupun polling membenarkan trend itu, orang-orang Partai Demokrat di AS juga belum yakin apakah nantinya Obama mampu menghancurkan mesin politik Partai Republik?
Obama itu fenomena baru. Orang Amerika itu sangat reseptif terhadap ide-ide baru. And yet, meskipun dia berkulit gelap tetapi ayah (kandung) dan ibunya, juga ayah (tiri) nya memegang gelar PhD seperti dirinya sendiri. Cara berfikirnya juga tidak terbeban dengan stereotype yang dikenakan terhadap warga berkulit hitam di AS. Dia praktis dibesarkan pada lingkungan orang-orang putih dan Asia yang begitu menyayanginya. Coba cari di mana di dunia ini kita memastikan anak-anak terasuh dengan baik, melebihi Obama. Obama memang sangat fenomenal di AS.
Dan, jangan lupa dia seorang intelektual yang dikelilingi setiap harinya oleh ratusan intelektual. Di bidang ekonomi, dia memiliki 400 penasehat top dari berbagai universitas dan pusat-pusat kajian unggulan! Begitu sama di bidang luar negeri, keamanan internasional (international security), sampai kepada masalah lingkungan! Coba lihat, tidak kurang pemegang nobel Al Gore yang sangat getol berkampanye untuk mengatasi perubahan iklim juga menjadi penasehatnya.
Pada waktu melepas teman saya Dubes AS yang akan kembali ke tanah airnya dalam suatu jamuan malam di Wisma Duta di awal Januari yl, saya membayangkan peningkatan intensitas hubungan dan kerjasama bilateral Indonesia dan AS yang lebih substantif, terutama setelah pelantikan presiden baru di Washington DC yang tidak lain adalah Barack Obama, mantan residen di Jakarta yang tidak berlebihan jika dikatakan memiliki keterikatan emosional dengan Indonesia. Seperti saya sendiri, kata saya, yang pernah 6 tahun tinggal di AS juga memiliki perasaan yang sama. “Kami sekeluarga juga menganggap Amerika sebagai rumah kami”, ujar saya kepada sang Dubes Amerika. Dia senang.
Kunjungan Menlu Amerika Clinton di bawah administrasi Obama dimulai ke Asia: Jepang, Indonesia, China dan Korea Selatan. Kita tersanjung, dan berharap era baru telah lahir: comprehensive partnership yang menjadi indikasi ke arah intensitas hubungan bilateral. Tiba-tiba Indonesia telah ditempatkan sebagai negara penting dalam radar AS. Kita tunggu, seperti harapan Menlu, kunjungan resmi, sambil napak tilas, Presiden Obama ke Indonesia.
New Tone From Washington
Bagaimana hubungan Amerika - Iran di era Obama? Saya katakan kepada teman Iran pekan lalu bahwa sekarang ini ada positive tone di Washington yang harapan saya akan mengarah kepada dialog yang substantif, karena 30 tahun tidak ngomongan itu terlalu lama. Saya menyambut baik trend baik ini. Tidak mesti kita setuju dalam negosiasi kita terhadap semua hal. Kita bisa bersetuju untuk tidak-setuju, kata saya. Dia bilang, mengulangi Ahmedinejad, Iran menunggu kapan words will match the deeds, the real one. Tetapi dia juga menggarisbawahi, ada perubahan tone yang positif dari DC.
Pada waktu saya bertamu ke Presiden COP-14 Professor Nowicki di kantornya di tengah kota Warsawa di awal Januari 2009, kami juga berkesimpulan agenda pemerkuatan upaya global untuk mencegah perubahan iklim akan lebih hidup. Karena faktor Obama. Indonesia bersama Polandia dan Denmark memiliki taruhan besar dalam soal lingkungan ini. Ketiganya menjadi troika yang ditugasi oleh PBB untuk menggantikan Kyoto Protocol.
Harapan yang sama muncul dalam soal-soal non-proliferasi. Ada dorongan untuk menghidupkan kembali proses disarmament, peredaan ketegangan dengan Rusia, dan bahkan pemecahan masalah nuklirisasi Iran. Guliran proses G-20, di mana RI duduk di dalamnya, juga merupakan inisiatif AS, untuk menata kembali ekonomi dunia yang sudah porak-poranda akibat ulah para CEO pasar modal dan perbankan di AS.
Begitu pula soal-soal HAM, demokratisasi, penutupan penjara di Guantanamo, Cuba, Korea Utara, Sudan, Kosovo, Zimbabwe, sampai pengungsi Rohingya. Dunia pasca 11/9 dan administrasi Presiden Bush meninggalkan warisan yang sangat berat bagi dunia. Jam berhenti pada waktu itu. Unilateralisme dan semangat crusade meninggi. Either you are with us, or against us. Bush tidak mengenal wilayah abu-abu, padahal dunia ini sudah sangat sophisticated!
Sudah cukup alasan untuk ber-euphoria? Belum. Cairnya situasi, munculnya trust merupakan iklim yang mutlak ada untuk memulai pembicaraan serius dalam perundingan. Tetapi, kata orang hati-hati “ the devil lies in the detail”. Proses diplomasi memang selalu tidak transparan, para diplomat sangat defensif menghadapi pers atau politisi di Senayan yang ingin kita buka-bukaan. Orang bilang, zaman IT semua terbuka, jangan ada rahasia di antara kita. Abad informasi yang terbuka memang sexy, apalagi di era demokrasi. Namun jangan lupa, era informasi bak seorang gadis berbikini, semua yang terbuka sexy tetapi harus ada bagian yang tertutup, dan ini vital!
Genuine and Sincere Leadership?
Tidak ada, sampai saat ini, yang meragukan adanya genuine intentions dari Washington, ada semangat activism di sana. Washington menyadari tanpa leadership dari AS dunia ini tidak semakin aman. Mereka ingin tampil, seperti kata Obama, akan banyak mendengarkan daripada mendikte. AS akan menjadi ‘part of solution’ tidak lagi sebagai ‘part of the problem’. Tentu, tidak setiap pundit (pakar) setuju dengan pendapat itu.
Dari awal kampanye, dimulai tampil pada Konvensi Partai Demokrat tahun 2004 yl, orang terkesima melihat figur yang satu ini. Jika diamati apa yang diucapkannya ketika itu dan dilanjutkan pada saat kampanye sampai terpilihnya Obama, tone, tema-nya kurang lebih sama. Yang tetap adalah kemampuan orator-nya. Orang terkesima, bak seorang pemimpin dari dunia ketiga yang lantang, seperti Soekarno, Nelson Mandela, Castro atau Chavez, Obama sangat memukau!
Dia seperti memberikan pencerahan, mengguyurkan air segar yang membuat orang siuman, melalui pesan-pesan sederhana. Herannya, semua pidatonya yang dimuat di Utube diakses puluh jutaan orang! Ada kharisma di sana. Atau orang telah menjadikan Obama sebagai selebriti dan obyek infotainment?
Tetapi dia tampaknya jujur (sincere). Ini menarik. Bukankah, dunia yang sudah bosan dengan tokoh-tokoh yang berbicara bak tape recorder, pengulangan after pengulangan?. Klise.
Di era pemilu di tanah air, banyak tokoh yang kemampuannya sedang-sedang saja tetapi nekad. Dan begitu yakin orang akan memilihnya. Dalam euphoria demokrasi di negeri kita, memang banyak orang yang sor sendiri. Rakyat mumet? Biarin!. Lagi enak, nih. Dia lupa, dalam split seconds orang bisa mengecek track record mereka via internet.
Banyak juga tokoh di tanah air bak diplomat, bergerak kayak setrikaan, kemana-mana. Tetapi, saya mengamati, mereka cuma asyik dengan proses. Muatan substansinya mane, Om? Kalau sekadar menghadiri acara di sono sini, ane mah biasa. Ini sih mentalitas selebritis. Bagi kita rakyat, yang penting tunjukkan kontribusi Anda untuk kemajuan bangsa, sebagai problem solver!
Etika atau fatsoen politik? Oh ya, ini perlu kita bangun untuk menghasilkan politik yang elegan dan santun. Jangan lupa, kita negara terbesar keempat di dunia. Kita memang perlu behave, accordingly!
Obama memang lain. Dan itu yang menggoda, bak “Nurlela” nya Bing Slamet.
A World Class Diplomat
Salah satu bagian terpenting pidato Obama pada saat pelantikannya ditujukan kepada Dunia Islam. A charm offensive! Kata-kata yang diucapkannya sangat persuasif. And yet, jenis vokal yang dimilikinya juga top. Bak penyanyi kelas dunia seperti Frank Sinatra, Stevie Wonder, Louis Armstrong, Elton John dan Bono digabungkan bersama. Berlebihan? Ya, paling tidak par lah. Dia berpidato bak bersenandung, naik dan turun. Suara bariton tetap! Itulah Obama.
Saya yakin, jika waktunya tidak sibuk dia akan menerima tawaran rekaman suaranya yang dahsyat. Kenapa tidak? Madame Carla Bruni Sarkozy juga telah meluncurkan rekamannya, meski kurang berhasil. Suara Obama yang serak-serak basah bakal menjadi incaran perusahaan rekaman pula. Memang, dia berpidato dengan intonasi yang indah, bak penyanyi.
Suaranya indah melantunkan kata-kata yang indah, sarat dengan pesan, energik. Itu yang menggoda, bak Nurlela tadi itu.
Pada saat Obama disepelekan lawan-lawannya bahwa dia hanya hebat memainkan kata-kata, dia balik bertanya: “ada yang bilang ah, itu hanya kata-kata belaka. Anda bilang words do not matter. Jika Dr. Martin Luther King mengatakan ‘I have a dream’, it’s only words? And Words do not matter, you are wrong!”
Katanya lagi, “that the language we use matters!”. Memang manusia ini hebat dalam persuasi. Sebelum menjadi presiden dia menulis dua buku, salah satunya kenangan tentang kehidupannya di Jakarta bersama aya tirinya, Lolo Soetoro, yang menurut Obama menjadi teman yang baik sekali.
Sulit memprovokasinya jika dimaksudkan untuk membuat Obama marah. He is very cool. Artinya, memiliki temperamen rendah, bukan cool-nya anak-anak muda sekarang yang mengartikan cool sebagai modis, gaya.
Sebagai mantan community organizer, dia berbicara dengan bahasa tubuh yang akrab. Dia berpotensi mengalahkan Ronald Reagan yang terkenal di AS sebagai “the great communicator”. Dia yang memperkenalkan gaya berpakaian ‘santai’, hanya berdasi. Sesekali dia tidak memanggil staf Gedung Putih menemuinya di Oval Office. Suatu ketika dia datang ke ruangan staf Gedung Putih, ketika anak buahnya sedang angkat kaki bersepatu di atas meja. Sang staf gugup, Obama santai. Ketika staf berdiri karena melihat Obama datang, sang presiden malah menyuruh staf duduk kembali. Presiden yang mantan the new kid on the block di Menteng ini belum menyadari, dia telah menjelma menjadi pemegang amanah kekuasaan politik terbesar di dunia. He is now the most powerful man on earth!
Dia memiliki jutaan teman, dari anak remaja sampai ke tokoh-tokoh berusia lanjut. Dia mengalahkan mesin politik terbesar Clinton dan GOP (Partai Republik), tidak saja dari ide-ide cemerlang tetapi juga uang yang berlimpah ruah untuk membiayai kampanye yang massif! Dia memiliki jejaring yang sangat luas, termasuk di Indonesia. Dia menjawab semua pesan yang masuk.
Banyak tokoh-tokoh kita yang ingin meniru Obama, terutama capaiannya. Tetapi, mereka tidak mengikuti proses komunikasi Obama dengan puluhan juta jejaringnya. Obama memiliki tim yang senantiasa menjawab pesan yang dikirim oleh (atau berpotensi menjadi) pendukungnya.
Jika anda mengirim pesan kepada (atau sudah merasa menjadi) tokoh nasional melalui SMS atau via Facebook, tidak usah menunggu jawaban karena memang tidak dijawab, mungkin memang tidak dibaca. Komunikasi se jurusan saja, atau sekadar mengumpulkan pendukung-pendukung untuk mewujudkan suatu ketika agenda politiknya. Ini budaya selebritis!
Di era IT sekarang, banyak cara dan alat yang bisa digunakan untuk memelihara link dengan konstituen atau bakal pendukung. It's important, you talk to them!, pesan Obama kepada staf medianya. Jika Anda tidak merespons pendukung atau pengagum, maka konstituen Anda akan mencari tokoh idolanya yang lain. Tokoh yang santun penuh etika, akrab dan rajin bersilaturahmi di dunia maya itu adalah fenomena Obama.
Menjadi tokoh sekarang memang harus menjadi cool guy!, pesan putra saya. Jangan kaget, acapkali intelektualitas rakyat jelata tidak lebih buruk daripada kita-kita ini lho! Rakyat Banting Tulang (RBT, kata orang Tanjung Balai), jangan disepelekan.
Di dunia anonim maya sekarang, rakyat adalah siapa saja yang bukan pemimpin, do not underestimate them, pesan teman wartawan kepada saya. Jika rakyat bertanya, jawablah. Beri respons, meskipun itu hanya SMS atau dari FB.
Obama bukan hanya menjawab pesan anda. Dia juga sarat substansi. Setiap hari dia berdiskusi dengan ratusan staf Gedung Putih menggunakan berbagai medium. Blackberry juga masih OK punya. Setiap hari dia meng-update pendukungnya, secara personal pula.
Sebagai manusia, dia bukan tidak memiliki kelemahan. Pada waktu dansa di acara inaugurasi dia kedapatan sering menginjak gaun isterinya, Michelle yang anggun. Memang Obama terkenal dengan prowess-nya di olahraga, basket. Dia memang bukan pedansa.
Seperti saya yang tidak pandai berdansa, Obama mungkin akan berdalih “tough guys don’t dance”! He’s a tough guy, too.
Semua kualitas yang dipunyainya: gaya persuasif, teman bicara yang menarik, penulis yang baik, temperamen rendah, cool, menguasai teknik-teknik komunikasi, menguasai substansi, dan memiliki jejaring luas adalah syarat mutlak untuk melaksanakan diplomasi. Obama memang diplomat yang hebat.
Menurut saya, seorang diplomat yang efektif mutlak memiliki kualitas yang dipunyai Obama. Bilamana efektif, dengan mudah diplomat memperjuangkan muatan substansi yang disebut sebagai “the national interest”, kepentingan nasionalnya. Jika diplomat tidak bisa berkomunikasi, memiliki jejaring, menggunakan 'bahasa' yang tepat dengan berbagai lapisan masyarakat, termasuk dengan bangsa asing, sulit menjamin efektifitasnya.
That is what diplomacy is all about.
Kita perlu belajar dari Bapak Obama.
Warsawa, 22 Februar1 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment