SEJARAH organisasi sub regional ASEAN adalah bagian dari pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif. Wilayah Asia Tenggara menjadi lingkaran paling strategis bagi Indonesia: kita mencegah Asteng menjadi staging ground untuk menggerogoti Indonesia, sekaligus menjadi kannya sebagai platform untuk memperluas pelaksanaan politik luar negeri di lingkaran terdekat.
If you can not win the battle against your enemies, join them! Mungkin statement ini berlebihan, karena pasti bertentangan dengan prinsip dasar polugri bebas dan aktif. Kalimat ini menjadi lain, jika if you can not defeat them, win their hearts and minds! Inilah diplomasi.
Indonesia dalam sejarah perjuangannya adalah bangsa yang tidak mau menyerah. Meskipun dengan peralatan sederhana, para pejuang kita dengan semangat yang tinggi mampu memenangkan peperangan sehingga menjadikan kita bangsa merdeka. Dengan pendidikan dan pengalaman sederhana, dulu para diplomat kita mampu bertarung melawan kolonialisme ketika debat di DK-PBB tahun 1948-1949.
Maka, mempelajari sejarah ASEAN yang kini telah berusia 43 tahun juga belajar sejarah Indonesia. Pada saat negara porak-poranda secara ekonomi di akhir Orde Lama, gagasan dan ide memainkan peranan dalam pembentukan organisasi sub-regional itu.
Quid Pro Quo
PADA saat ASEAN didirikan, lebih tepat kita ingin ‘menjinakkan’ lingkungan di negara-negara tetangga agar tidak bersikap bermusuhan dengan kita. Di kala ekonomi susah, tidak mungkin mengajak rakyat berperang lagi. Berakhirlah politik konfrontasi.
Sama dengan negara-negara tetangga kita yang bosan atau kerepotan berkonflik dengan Indonesia, maka persuasi kita diterima. Lebih baik berteman daripada berkonfrontasi dengan Indonesia yang memiliki persoalan segudang.
Gagasan baru Indonesia untuk membentuk organisasi sub-regional Asia Tenggara dilatarbelakangi oleh memuncaknya suasana pertentangan ideologis komunis vs liberalism di era Perang Dingin, pasca lahirnya Orde Baru di tahun 1966.
Presiden Soeharto dengan cermat membaca situasi global yang tidak kondusif. Dia memutuskan mengakhiri konflik dengan Malaysia dan urgensi untuk terciptanya keamanan di Asia Tenggara. Observasinya kemudian melahirkan ASEAN, 8 Agustus 1967.
Para pemimpin Indonesia ketika itu menyadari pentingnya pendekatan yang tepat, mengambil pengalaman gagalnya gagasan pembentukan organisasi regional, seperti Maphilindo atau SEATO yang sarat dengan kepentingan politis atau keamanan.
Presiden Soeharto juga menyadari, gagasannya bisa dipandang kontroversial di tengah-tengah maraknya Perang Vietnam, persaingan pengaruh Uni Soviet lawan Amerika Serikat, sengketa antara Rusia – Jepang, Jepang dan Korea, China, atau antara Vietnam dan China maupun dengan Thailand.
Bahkan di antara sesama Negara Asia Tenggara masih membekas trauma konflik di masa lalu atau masih berlangsung sengketa, misalnya antara Indonesia – Malaysia, sementara Malaysia juga masih sengketa dengan Singapura, dan situasi di Filipina masih membara pemberontakan komunis dan gejolak di Selatan.
Melalui pendekatan diplomatis, Soeharto mengajak Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapura untuk merumuskan ASEAN. Buah upaya itu melahirkan Deklarasi Bangkok, ditandatangani oleh para menteri luar negeri 5 negara, yakni Adam Malik (RI), Rajaratnam (Singapura) Tun Abdulrazak (Malaysia), Thanatkhoman (Thailand) dan Ramos (Filipina).
Hasilnya adalah win-win, quid pro quo.
Setelah ASEAN berusia 43 tahun, para negarawan dari 10 anggota ASEAN sekarang bisa mendeklarasikan “We are all the winners”, mungkin.
10 Negara ASEAN: Unity
SEMBOYAN di ASEAN adalah berkembang atas kesepakatan bersama, dan dengan laju yang nyaman bagi semua pihak (at pace comfortable to all). Para pemimpin ASEAN menyadari perlu kesabaran dan bijaksana menyikapi berbagai perkembangan. Perlu kondisi psikologis dan proses confidence building untuk menciptakan kepercayaan (trust) di antara bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Dimulai keanggotaan 5 negara, ASEAN kemudian berkembang perlahan, mulai dengan masuknya Brunei Darussalam (1984), disusul Laos, Myanmar, Vietnam (1997), dan akhirnya Cambodia (1999) sehingga menjadi genap menjadi 10 negara.
Dalam perjalanan selama 43 tahun, ASEAN telah memberikan kontribusi besar untuk tercipatnya perdamaian dan stabilitas kawasan, baik melalui pembentukan norma, kelembagaan maupun hukum.
Sebagai debut pertama, lahirnya konsep Asia Tenggara sebagai ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality) 1971, kemudian deklarasi Bali Concord I (1976), Treaty of Amity and Cooperation (TAC 1976) yang menjadi code of conduct bagi Negara-negara kawasan maupun di sekitarnya.
ASEAN semakin percaya diri, terutama sejak mencuatnya kembali peranan leadership Indonesia pasca reformasi, yang melahirkan ASEAN Vision 2020, Bali Concord II ( 2003) dan akhirnya ASEAN Charter (2009).
What’s Next?
TELAH disepakati, Indonesia akan menjadi tuan rumah ASEAN di tahun 2011, atau dalam bahasa Uni Eropa kita memegang presidency ASEAN. Kedudukan ini strategis bagi kita, karena ASEAN telah memasuki era Charter.
Sebagai salah satu pendiri ASEAN, Indonesia menduduki tempat strategis, karena menjadi yang terbesar, dan karenanya de facto menjadi pemimpin.
US-ASEAN Summit di New York pekan lalu menjadi kurang bergaram. Ketidakhadiran Presiden SBY menjadi faktor, begitu kata media. ASEAN memerlukan leadership Indonesia, bahkan kehadiran Presiden RI atau tidak selalu memiliki arti simbolis, dan wajar menjadi pengamatan para diplomat. Meskipun kita tahu, agenda Presiden SBY cukup padat di tanah air.
Sejak awal tahun 2010 Indonesia telah mempersiapkan diri untuk kepresidenan ASEAN. Tidak sekadar mengatur ribuan pertemuan dari berbagai tingkat dalam kerangka ASEAN, tetapi Indonesia diharapkan mampu memimpin ASEAN secara strategis untuk kepentingan jangka-panjang. Untuk itu, Indonesia perlu muncul dengan berbagai gagasan-gagasan baru.
Dalam setahun jabatan keketuaan ini, Indonesia akan diuji, dinilai seberapa jauh capaian diperoleh dalam mendorong kemajuan ASEAN, dan tentu untuk kepentingan nasional kita. Perjuangan kepentingan nasional tidak mesti mengorbankankepentingan regional, bahkan global. Menjadi kewajiban kita semua untuk menyelaraskannya secara harmonis.
Dalam menakhodai ASEAN di tahun 2011, Indonesia sekaligus menjadi pemimpin de facto maupun de jure.
Jakarta, 4 Oktober 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment