Sunday, December 26, 2010

CAREER DAY

MENGENALKAN lapangan pekerjaan dalam berbagai kegiatan yang mulai popular di tanah air kepada angkatan belia bukan untuk mengajarkan cara-cara mencari uang yang mendorong konsumerisme. Pengenalan citra suatu produk atau gaya hidup yang dikaitkan dengan kebendaan sedini mungkin, bahkan pada tingkat TK, adalah strategi ampuh media periklanan yang dibayar oleh perusahaan.

Pengenalan lapangan pekerjaan nanti ketika anak-anak menjadi dewasa, atau lebih tepat sosialisasi terhadap sejumlah profesi yang popular bertujuan untuk memberikan informasi awal secara umum.

Bukankah kita selalu ditanya orangtua “Nanti sudah besar, mau jadi apa, Nak?” Sering anak menjawab sekenanya, atau apa yang diingatnya. Kadang-kadang pengulangan: “saya mau jadi dokter” atau insinyur atau hakim bahkan polisi, dari puluhan bahkan ratusan profesi yang memang eksis di dunia pada era globalisasi sekarang.

Saya mengamati kegiatan ‘Career Day’ dilakukan pada pelajar tingkat SMA di Jakarta. Acapkali kegiatan seperti ini didukung pula oleh para sponsor produk-produk consumer yang popular, atau sedang mengenalkan produknya di masyarakat.

Apa persepsi mereka tentang dunia pekerjaan? Mungkin mendengarkan penjelasan dari professional langsung dapat membantu mereka. Mereka bisa membayangkan jenis pekerjaan, tantangan dan benefit dan keuntungan lain termasuk gaji. Dan mungkin jika nanti pensiun.

Bagaimana di Amerika Serikat?

SAYA sendiri tidak ‘aware’ ketika anak tertua saya, Sandra, meminta saya untuk presentasi di sekolahnya Elementary School yang terletak di bilangan Rego Park, Queens, New York suatu ketika di tahun 1999.

Katanya, guru yang memang memperhatikan berbagai lapangan pekerjaan orang tua murid, mengundang kami para orang tua untuk berbagi. Ya berbagi informasi tentang berbagai jenis pekerjaan atau profesi, kepada anak-anak yang pada hari itu merupakan bagian dari kegiatan ‘graduation day’.

Di negara ini ‘career day’ dimulai pada tingkat SD dan seterusnya sampai ke perguruan tinggi. Jadi, mungkin saja ketika anak masih di SD dia tertarik pekerjaan dokter, guru, pemusik, hakim, dan pada saat SMP berubah menjadi pelukis, polisi, tentara, dan ketika SMA lebih tergoda dengan auditor, wartawan, broadcaster, atau intel.

Nanti ketika selesai pendidikan di perguruan tinggi profesi pilihan ini bisa berubah lagi. Semakin banyak informasi sedini usia mungkin, semakin tumbuh pula berbagai opsi yang menarik dan cocok bagi mereka.

Guru anak saya menjelaskan singkat dalam surat, kalau saya setuju tampil, informasi tentang apa yang perlu saya persiapkan. Tentu saja berkaitan dengan kegiatan sehari-hari (rutin), apa basis keilmuan atau pendidikan khusus, serta apa keuntungan (benefit) dan bahkan apa tantangan dalam kegiatan profesi.

Saya menyambut baik, tawaran untuk menjelaskan profesi diplomat kepada anak-anak di sekolah negara Amerika itu.

Kegiatan sudah terjadwal baik dari mulai pagi sampai siang: presentasi dari berbagai profesi yang umumnya diisi oleh para orang tua murid, siapa yang akan presentasi, di ruang kelas yang mana, dan berapa lama waktu disediakan, maksimal 30 menit.

Anak-anak bak sedang ‘window shopping’, biasanya memilih beberapa profesi, baik yang serius maupun hanya untuk sekadar mengetahui saja.

Karena kegiatan itu dilakukan pada hari kerja, saya berpakaian kerja (Pakaian Sipil Lengkap, atau PSL) dengan jas dan dasi.

Tidak Gampang Lho!

TERNYATA tidak mudah memilih informasi yang akan dipresentasikan. Jika saya biasa berceramah atau diminta menjadi dosen tamu di berbagai tempat, atau menjadi speaker di berbagai seminar internasional, maka berhadapan dengan anak-anak menjadi tantangan tersendiri.

Pagi itu hadir sekitar 10-12 pelajar, dan gurunya juga ada di sana..

“Diplomat adalah wakil-wakil Negara yang bekerja untuk menciptakan perdamaian. Perdamaian penting agar kita bisa hidup dan bekerja dengan baik. Perdamaian harus didukung oleh keamanan: ada ancaman militer atau non-militer. Maka diperlukan serangkaian tata-aturan dan norma agar bangsa-bangsa yang berbeda-beda bisa berkenalan dan bekerjasama untuk menghindarkan perang dan bahkan menyepakati berbagai kerjasama untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih indah.”

“Dunia dipenuhi konflik, sumbernya beragam: kekurangan makanan, sarana air bersih, rumah dan sebagainya. Untuk itu kita perlu membangun ekonomi, dan kita mengetuk hati Negara-negara maju untuk mengulurkan tangan. Di banyak belahan dunia anak-anak tidak bersekolah, maka kita upayakan agar sekolah dibangun supaya mereka pintar dan nanti kalian bisa berkenalan dengan mereka.”

Mata-mata kecil mulai sayu. “Bapak ini bicara apa, yah?”, mungkin mereka mulai bingung.

Saya lanjut:

“Untuk itulah diplomat diperlukan. Tanpa diplomat dunia akan terancam konflik dan perang, maka pembangunan ekonomi dan sosial tidak dapat dilakukan. Diplomat telah ada sejak zaman dahulu kala.”

Saya menyadari pembicaraan ini semakin tidak menarik, mereka mulai gusar. Bergerak ke kiri dan ke kanan. Ada yang mengipas-ngipas, gerah.

Guru berupaya sabar tersenyum menenangkan anak-anak itu. Untung anak saya tidak ikut mendengarkan kuliah saya. Mungkin dia sudah tahu apa itu diplomat, atau memang tidak tertarik.

Ganti strategi

SAYA juga heran, mengapa tema saya kurang greget. Padahal kemarin dan hari-hari sebelumnya kami berdebat di PBB mengenai masalah-masalah nuklir. Isu gender/wanita, orangtua, perubahan iklim mulai menghangat, dan bahkan ada yang sampai gebrak-menggebrak meja! Saya juga barusan mendamaikan ketua delegasi India dan Pakistan, dengan varian Syria. Ini berkaitan dengan kesepakatan Negara berkembang (GNB) mengenai rancangan resolusi yang akan diusulkan ke Sekretariat PBB, agar memberi tekanan kepada negara-negara nuklir. Argumentasi atau kontra argumen dengan mudah dipahami tanpa bertele-tele.

Tetapi berhadapan dengan anak-anak yang rujukan dan persepsi beragam dan belum terstruktur menjadi tantangan tersendiri bagi saya.

Mungkin apa yang saya bicarakan akan menarik hati para pengamat atau mahasiswa jurusan hubungan internasional.

Dan berhadapan dengan anak-anak ini memang tidak mudah. Sudah ada yang menguap-nguap. Bosan.

“Menjadi diplomat itu menyenangkan, kalian akan mengunjungi seluruh penjuru dunia dan dibayari negara. Kalian tidak mungkin susah karena Negara membayar gaji dan fasilitas tugas dengan standar internasional Karena itu kalian harus belajar mengenai sejarah, etnografi, bahasa-bahasa internasional, karena itu kalian akan dididik sekolah diplomat, termasuk cara mengecap visa atau bagaimana mengangkat koper yang berat tetapi tetap memelihara senyum.

Nah ini yang tak kurang penting, karena memiliki imunitas maka tidak seorang pun yang akan menyentuh kulit kalian. Aman.”

Anak-anak bengong.

Saya mencatat ini penampilan saya yang terberat; 10 menit saya kehilangan kata-kata. Saya segera beralih haluan, sebaiknya berdialog saja. Tanya-jawab dengan anak-anak berusia 11-12 tahun itu dalam lively discussions mungkin lebih menarik.

“Nah, mari kita mulai Tanya-jawab.”

Hanya satu pertanyaan. Seorang anak laki-laki angkat tangan. “Are you spy”?
Sesi pun berakhir.

Orang Amerika terkenal dengan informalitas. Bila orang berpakaian gelap dan berdasi dipandang sangat formal. Mungkin lihat film Hollywood, anggapannya orang asing berpakaian formal seperti saya itu spy. Oh!

Sebelum meninggalkan ruang sidang yang berat itu saya diundang kepala sekolah untuk refreshment: kopi dan roti selai, keju.

Di sana telah berkumpul berbagai orang tua murid atau petugas lembaga kota, lengkap dengan peralatan dan pakaian mereka berwarna-warni. Dinas kebersihan dengan seragam hijau, pemadam kebakaran berwarna merah, polisi, jaksa, artis yang glamour. Mereka pada umumnya senang, bisa berkontribusi. Kami?

Yang sama dengan pakaian saya cuma broker penjual saham, dan pengacara. Saya yang diplomat, pengacara dan penjual saham itu memang hanya mampu berbusa-busa dengan audiens.

Alih-alih malah membuat anak-anak itu semakin bingung.

Tidak ada yang bisa kami pamerkan kecuali menjual kata-kata.

Jakarta, 27 Desember 2010

No comments:

Post a Comment