Tuesday, December 28, 2010
LECH WALESA: SAYA AKAN DATANG LAGI KE NEGERI INDAH INI
“WITAM Panaie Prezesie!”, ujar saya sambil mengulurkan tangan kepada Presiden Lech Walesa yang legendaris itu di Ruang VIP Bandara Soekarno-Hatta malam itu, 21 April 2010.
Itu pertemuan pertama kami di Indonesia. Sayangnya malam itu dia akan kembali ke Polandia setelah menyelesaikan kunjungan terlama yang pernah dilakukannya di suatu Negara.
Di ruang VIP itu, ada Dubes Polandia untuk Indonesia, Pak Tomasz Lukaszuk yang fasih berbahasa Indonesia dan sangat popular di Jakarta, dan isterinya, Maria. Lech Walesa didampingi penerjemahnya dan Rudy Pesik, pemilik DHL, yang juga menjadi ketua Yayasan Indonesia Kebanggaanku, sponsor utama kunjungan tokoh Solidarnosc itu di Indonesia.
“Terima kasih Bapak Pohan, berkat undangan Anda maka Presiden Lech Walesa telah merealisasikan kunjungannya ke Indonesia”, ujar Dubes Tomasz Lukaszuk kepada saya.
Seperti pernah diberitakan di media-media tanah air, pada bulan Nopember 2008 saya menyampaikan undangan kepada tokoh Solidarnosc itu, dalam pertemuan kami di Gdansk di musim gugur. Ketika itu, saya datang dengan isteri, Ade Pohan, di kantor LW Institute.
Malam itu, Presiden Lech Walesa telah menyelesaikan kunjungan selama 13 hari, mulai 8 Mei 2010 yang tercatat terlama di satu Negara. Saya secara khusus meminta waktu untuk bertemu dengan Ikon Demokrasi dunia itu sebelum meninggalkan Indonesia kembali ke Gdansk, Polandia.
Saya datang dengan 2 anak saya, Aleksandra dan Edwin. Saya anggap pertemuan kedua anak saya dengan mantan pemimpin Serikat Buruh Bebas “Solidarnosc” penting bagi pengalaman anak-anak.
Kesempatan untuk bertemu dengan tokoh sekaliber Lech Walesa bukanlah mudah. Bahkan, banyak teman-teman dekat saya di Polandia yang belum pernah bertemu dengan beliau.
Selama di Indonesia Lech Walesa mengadakan pertemuan pribadi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua DPR Marzuki Alie, Sultan Hamengkubuwono X, berbagai tokoh lintas agama, dan menyampaikan kuliah di Istana Negara, serta berbagai universitas di Jakarta, Yogyakarta dan Bali. Walesa juga menandatangani MoU dengan Bali Democracy Institute di Universitas Udayana, Denpasar.
Apa catatan yang paling berkesan selama di Indonesia?, tanya saya. Malah beliau bertanya kepada saya, bagaimana kesan tokoh-tokoh di Indonesia atas ceramah beliau di Istana Negara.
Dia mengulangi statement-nya di Istana Negara, ini adalah untuk pertama kali bagi dia menyampaikan kuliah di depan presiden, wakil presiden dan sebagian besar menteri di pemerintahan. Tentu saja, Ikon Demokrasi itu selalu tampil mengesankan dan dengan senang melayani permintaan foto bersama. Dia juga menjadi selebriti di Eropa.
Pertemuan Pertama
PERTAMA kali kami bertemu dalam suatu Gala Dinner yang dihadiri politisi puncak dan selebriti Polandia, ketika tokoh penggerak revolusi Eropa Timur yang menghabisi komunisme itu berulangtahun. Itu di tahun 2008. Saya hadir bersama isteri, Ade Pohan.
Teman saya seorang dubes dari Amerika Latin sempat mengabadikan pertemuan pertama kami itu dengan kamera handphone.
Jaroslaw Walesa, putera Lech Walesa yang kini menjadi anggota Parlemen turut mendampingi ayahnya. Kami sempat bertukar kartu-nama. Lalu, melalui penerjemah saya mengatakan ingin mengunjungi Bapak Walesa di Gdansk.
“Oh, Anda dari Indonesia ya. Silahkan diatur waktunya, nanti kita berbincang-bincang di kota kebanggaan saya itu”, ujarnya ramah. Dia juga menawarkan sepotong kue kepada saya dan isteri, setelah kue ulang tahun yang besar itu dipotongnya.
Undangan ke Indonesia
BAGI saya adalah suatu keanehan jika tokoh dunia penggerak demokrasi itu belum berkunjung ke Indonesia. Maklum, Indonesia kini dikenal sebagai Negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, dan menjadi contoh bagaimana toleransi antar keyakinan berjalan baik. Lalu, saya meminta beliau untuk mempertimbangkan kunjungan ke Indonesia. Undangan itu disambut baik oleh beliau.
"Saya ingin berdialog dengan para tokoh-tokoh di Indonesia dan memperoleh perspektif dan pengalaman mereka dalam menyikapi berbagai tantangan globalisasi," kata Walesa.
Penerima Nobel Perdamaian 1983 yang menjadi ikon demokrasi dan berjasa dalam mengubah wajah dunia di awal 1990-an memang belum pernah berkunjung ke Indonesia.
Saya segera menghubungi teman-teman di Indonesia untuk mempersiapkan kunjungan itu. Saya yakin kunjungan tersebut sangat bermanfaat bagi beliau sebagai tokoh dunia penganjur demokrasi dan toleransi. Dan tentu bagi rakyat Indonesia sendiri.
Sejak menyelesaikan tugasnya sebagai presiden pada tahun 1995, melalui yayasannya Lech Walesa lebih banyak memfokuskan dirinya pada kegiatan-kegiatan internasional dan menjadi pembicara di berbagai konferensi internasional dalam memajukan demokrasi dan dialog antar-agama.
Walesa juga terpilih menjadi anggota "Reflection Group", yang kini disebut sebagai Group of Wise Men, yang digagas oleh Presiden Prancis Nicolas Sarkozy pada akhir 2007 untuk mempersiapkan Eropa dalam menghadapi tantangan globalisasi. Berbagai pemikir dan negarawan seperti mantan PM Spanyol Felipe Gonzalez menjadi anggota kelompok ini.
Lech Walesa pada Oktober 2008 yang lalu baru saja meluncurkan otobiografi mengenai peranannya di masa lalu "Jalan Menuju Kebenaran" (The Road to Truth). Saya masih menyimpan copy buku yang telah ditandatanganinya sendiri pada saat kunjungan saya ke Gdansk.
"Dalam Group of Wise Men, cuma saya seorang diri yang percaya bahwa agama memiliki sistem nilai yang valid dan tepat untuk pemecahan berbagai masalah global. Kegagalan manusia untuk menempatkan berbagai masalah global dalam perspektif agama di tengah maraknya globalisasi pada gilirannya akan menjadi ancaman keamanan dan perdamaian dunia", ujarnya.
Menurut Lech Walesa, demokratisasi yang kian marak belumlah memberikan jawaban bagi tantangan globalisasi. Tatanan dunia sekarang masih jauh dari sempurna, karena kini manusia menghadapi fenomena yang sangat kompleks, tali-temali satu dengan lainnya, seperti resesi ekonomi dunia, terorisme, perubahan iklim dan konflik di berbagai wilayah.
Masalah-masalah ini menurut tokoh yang berjasa dalam mengakhiri Perang Dingin dan memajukan demokratisasi itu merupakan ancaman utama yang dihadapi umat manusia dewasa ini. Dia juga melihat pentingnya reformasi PBB agar mencerminkan realitas dan tanggungjawab internasionalnya.
Arti Agama
LECH WALESA percaya nilai-nilai agama menjadi terpenting di samping demokrasi, dan dunia tidak dapat berlangsung tanpa nilai-nilai agama. Walesa sendiri merupakan penganut Katolik yang taat, memiliki 8 anak, salah satunya Jaroslaw Walesa yang kini telah menjadi sahabat saya.
Dia melihat Indonesia sebagai negara dengan penganut Muslim terbesar di dunia merupakan contoh negara yang berhasil memadukan ketaatan terhadap agama dengan kerangka kehidupan politik yang demokratis.
"Saya ingin berdialog dengan para tokoh-tokoh di Indonesia dan memperoleh perspektif mereka dalam menyikapi berbagai tantangan globalisasi. Pengalaman Indonesia dalam menghadirkan harmoni pada dua aliran nilai, yakni agama (akhirat) dan demokrasi (politik) tentunya sangat bermanfaat bagi saya dalam memajukan dialog untuk pemecahan masalah-masalah global dalam kerangka pertemuan Wisemen 12 ", katanya.
Saya pertama kali menyampaikan salam dari rakyat Indonesia yang tidak pernah lupa peranan heroik Lech Walesa dalam mengakhiri rejim totaliter komunis di Eropa.
Indonesia, kata saya, telah menjalani proses transformasinya dan menjadi negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia dengan penduduk sejumlah 240 juta yang pada saat bersamaan menjadi negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Indonesia berambisi menjadi contoh di mana demokrasi, Islam dan modernitas dapat berjalan seiring.
Indonesia juga ingin menjadi Negara inkusif yang sangat menjunjung tinggi keberagaman. Untuk itu, Indonesia akhir-akhir ini berperan aktif dalam mendorong kemajuan dialog antar-peradaban, antar-keyakinan (interfaith) baik dalam kerangka PBB maupun berbagai konferensi internasional lainnya.
Perjalanan ke Indonesia
SETELAH mengalami penundaan beberapa kali, akhirnya Presiden Lech Walesa dapat memenuhi janjinya untuk berkunjung ke Indonesia. Perjalanan itu dirangkai untuk 4 negara, yakni Singapura, Australia, Indonesia dan Timor Leste.
Selama di Indonesia Lech Walesa mengadakan pertemuan pribadi dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua DPR Marzuki Alie, Sultan Hamengkubuwono X, berbagai tokoh lintas agama, dan menyampaikan kuliah di Istana Negara, di universitas-universitas Atmajaya, Paramadina, Gajah Mada dan Udayana. Kepada para mahasiswa Walesa menyampaikan pentingnya gerakan solidaritas dalam mempersatukan masyarakat demi perubahan.
Walesa yang kini memimpin Institut Lech Walesa, menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Bali Democracy Institute di Universitas Udayana, Denpasar. Institut Lech Walesa telah menjalin kerja sama serupa dengan berbagai organisasi di Eropa dan Amerika Serikat dalam upaya untuk mendorong demokrasi.
Apa catatan yang paling berkesan selama di Indonesia?, tanya saya. Malah beliau bertanya kepada saya, bagaimana kesan tokoh-tokoh di Indonesia atas ceramah beliau di Istana Negara.
Beliau tampaknya sehat sekali, meskipun panitia sempat cemas pada waktu berada di Candi Borobudur karena Walesa tidak saja menderita diabetes tetapi juga memakai alat-pacu jantung. Ada 2 kali beliau mengalami operasi jantung, sehingga beberapa kali saya gagal mengatur pertemuan beliau dengan para tokoh dan jurnalis Indonesia yang sedang berkunjung ke Polandia.
Dubes Tomasz Lukaszuk yang sangat fasih berbahasa Indonesia menjelaskan kepada wartawan dalam konperensi pers (21/5) bahwa kunjungan Lech Walesa menjadi isyarat bagi perhatian Polandia terhadap Indonesia sebagai Negara terbesar di kawasan Asia Tenggara. Hubungan dan kerja sama kedua negara meningkat dan bertambah erat tahun demi tahun sejak pengaktifan kembali kerjasama bilateral setelah Indonesia menyelesaikan masa transisinya setelah reformasi.
"Kunjungan Walesa ke Indonesia merupakan kebanggaan bagi kami karena bisa memperkenalkan beliau secara langsung kepada rakyat Indonesia seorang tokoh yang sudah menjadi ikon dan pahlawan Polandia."
Walesa tidak saja akan membicarakan isu-isu global dengan para pejabat tinggi Indonesia yang ditemuinya tetapi juga merintis kerja sama di bidang industri perkapalan yang potensial.
"Lech Walesa memiliki pengetahuan dan pengalaman luas mengenai seluk-beluk industri perkapalan ketika ia masih bekerja di galangan kapal Gdansk dan memimpin organisasi buruh Solidaritas di sana," tambah Tomasz. Lelch Walesa sebelum terkenal di dunia adalah tokoh buruh dari galangan kapal di Gdansk.
Penerima Nobel
LECH WALESA memperoleh nominasi untuk Nobel Perdamaian pada tahun 1983 saat Polandia masih dikuasai rezim komunis yang bersekutu dengan Uni Soviet. Karena mengalami tahanan rumah, Lech Walesa tidak dapat hadir sendiri di Oslo, dan diwakili isterinya, Danuta.
Berbagai demonstrasi buruh pabrik kapal di Gdansk akhirnya memaksa Presiden Polandia Jenderal Jaruzelski untuk menandatangani perjanjian yang mengizinkan kegiatan serikat buruh independen dan menghentikan tindakan pengekangan maupun tekanan-tekanan terhadap anggota oposisi pro-demokrasi pada 31 Agustus 1980.
Pada saat berada di Yogyakarta, Lech Walesa, menyatakan mengagumi persatuan bangsa Indonesia. Berisi ratusan etnis, beragam budaya, dan agama, Indonesia ternyata mampu bersatu untuk waktu lama.
”Perbedaan di Indonesia jauh lebih rumit daripada di Eropa. Namun, persatuan bisa terjalin begitu lama. Saya ingin belajar soal persatuan bangsa Indonesia,” tuturnya pada seminar bertema ”Kontribusi Pluralisme dalam Demokrasi” di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Selama kunjungannya di Indonesia, mantan Presiden Polandia itu mendorong tumbuhnya solidaritas dan kesetaraan untuk mewujudkan perdamaian serta demokrasi di negara yang plural. Kesadaran kesetaraan dan solidaritas antarwarga merupakan landasan terpenting mempersatukan bangsa yang terdiri atas beragam suku dan agama dalam sistem demokrasi.
”Tanpa solidaritas dan kesadaran kesetaraan, demokrasi yang damai dan sehat akan sulit terwujud di sebuah negara yang plural,” tuturnya. Dia mengatakan, saat ini persatuan antarbangsa semakin penting karena tantangan dunia semakin berat di masa mendatang.
Dikenal sebagai pemimpin gerakan buruh independen "Solidaritas" selama dekade 1980-an, Walesa gigih memperjuangkan demokrasi di negaranya. Peraih Nobel Perdamaian 1983 itu juga berperan membawa Polandia berubah dari rezim sosialis-otoriter menjadi negara demokratik semasa dipercaya menjadi presiden periode 1990-1995.
Walesa juga berkontribusi meruntuhkan dominasi Uni Soviet di Eropa Timur di akhir dekade 80-an.
"Lech Walesa adalah seorang tokoh perubahan yang tak kenal lelah. Meski tidak lagi di pemerintahan, dia tetap konsisten mempromosikan dan mendukung perkembangan demokrasi melalui yayasan yang dipimpinnya," kata Rudy Pesik, Presiden PT Indonesia Kebanggaanku, yang dipercaya sebagai koordinator kunjungan Walesa.
Pesik mengungkapkan bahwa kunjungan tidak resmi ini merupakan lawatan pertama bagi Walesa ke Indonesia. Dia akan menyambangi Jakarta, Yogyakarta, dan Bali.
Di usianya yang ke-66 tahun, Lech Walesa masih bersemangat menyampaikan nilai-nilai solidaritas dan demokrasi kepada anak-anak muda, yang mungkin baru seusia dengan cucunya.
Dalam turnya ke Indonesia, mantan presiden Polandia yang terkenal sebagai pendobrak rezim otoriter di negaranya selama dekade 1980-an itu ingin menunjukkan bahwa perjuangan menegakkan demokrasi tidak mengenal usia dan kedudukan. Pun tidak harus menjadi politisi dalam berjuang mewujudkan demokrasi.
“Saat saya masih seusia kalian, saya tidak pernah tergoda untuk menjadi politisi. Pekerjaan politisi itu membosankan dan buang waktu, tapi saya tidak mengira akan menjadi politisi," kata Walesa kepada para mahasiswa.
"Itulah kenapa saya akan berusaha keras agar (kuliah umum) ini tidak membosankan bagi kalian. Saya tidak ingin menceritakan kisah hidup saya karena itu sama saja kalian mendengarkan kisah hidup kakek-nenek kalian,” katanya disambut tawa hadirin.
Kuliah Walesa tidak membosankan. Diselingi guyonan-guyonan segar, Walesa mengajak generasi muda untuk tepat dan cermat dalam membaca tantangan dan peluang hidup.
“Saya ingin politisi-politisi kalian bisa menunjukkan pada kalian masa depan Indonesia dan masa depan dunia, sehingga kalian bisa melihat peluang-peluang baik bagi diri kalian sendiri,” katanya dalam bahasa Polandia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh penerjemah.
Mengenai demokrasi di Indonesia, Walesa mengaku belum tahu banyak. “Saya belum melihat Indonesia secara utuh karena selama saya di sini, saya terlalu sering menghabiskan waktu terjebak di tengah kemacetan lalu lintas,” katanya bergurau sambil menambahkan bahwa demokrasi di Indonesia sudah mengalami kemajuan sangat baik.
Tokoh yang mengaku tidak takut pada siapapun kecuali pada Tuhan ini yakin bahwa banyak orang hebat yang tidak bisa meraih banyak hal karena tidak memiliki kesempatan.
“Bagaimana mungkin demokrasi tidak bisa membawa orang ke posisi yang lebih baik? Bagaimana bisa demokrasi menempatkan orang-orang tidak bertalenta ke jabatan tinggi? Ini tantangan bagi kalian, para generasi muda, untuk dihadapi,” kata Walesa.
Untuk mengatasi tantangan, kata Walesa, yang dibutuhkan adalah solidaritas, solidaritas dalam negara, benua, dan solidaritas global. “Tahu apa arti kata solidaritas? Solidaritas adalah jika kalian punya beban besar, kalian meminta seseorang untuk membantu mengangkat beban itu,” terangnya.
Duta Besar Republik Polandia untuk Indonesia Tomasz Lukaszuk mengatakan Yogyakarta dijadikan salah satu tujuan kunjungan Lech Walesa karena kota ini merupakan salah satu kota penting di Indonesia.
“Yogyakarta dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan, pendidikan, sejarah, kerajinan, dan memiliki keraton. Yogyakarta juga memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,” katanya.
Menurut dia, setiap tahun ada mahasiswa Polandia yang menempuh pendidikan di Yogyakarta sebagai realisasi kerja sama di bidang pertukaran mahasiswa.
Pada saat sekarang terdapat 53 mahasiswa Polandia yang menempuh pendidikan di Indonesia, lima di antaranya kuliah di Yogyakarta. Mereka menerima beasiswa dari Pemerintah Indonesia dalam program Darmasiswa untuk mempelajari bahasa, sejarah, dan budaya Indonesia. Polandia menjadi Negara terbanyak kedua penerima beasiswa ini untuk tahun 2010 yakni sebanyak 57 orang, setelah Thailand.
Tari Asmorodono dan beberapa tari tradisional lainnya ditampilkan di hadapan tamu negara dari Republik Polandia ini.
Lech Walesa di Yogyakarta menilai masyarakat Eropa dapat belajar dari Indonesia dalam menyatukan keberagaman dan perbedaan.
“Saya kira kita (Eropa) justru harus belajar dari Indonesia mengenai cara membawa seluruh perbedaan itu menjadi satu,” kata Walesa saat memberikan “presidential lecture” di Istana Negara, Rabu.
Dia mengagumi fakta bahwa Indonesia adalah negara besar yang memiliki banyak pulau dan budaya namun mampu menjaga persatuan dan kesatuannya selama ini.
Sementara itu, lanjut dia, Eropa adalah sebuah benua yang terdiri dari berbagai macam negara yang pernah saling berhadapan sebagai musuh di masa lalu namun kini sedang mencoba menghilangkan sekat-sekat perbedaannya.
“Di Eropa kita melihat dunia baru dengan hilangnya batas-batas. Kita sama satu sama lain, tidak ada yang lebih dari yang lain. Tetapi ini baru mulai, memerlukan proses,” katanya.
Walesa yang melakukan lawatan 13 hari ke Indonesia (termasuk 2 hari di Timor Leste) menyampaikan presentasi pada acara “presidential lecture” dengan tema “Lessons from Democratic Changes in Poland and Eastern Europe and Their Implication for the New World of 21 Century”.
Di antara lawatannya di Jakarta, Yogyakarta dan Bali, Walesa yang kini memimpin Institut Lech Walesa, menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Bali Democracy Institute di Universitas Udayana, Denpasar.
Institut Lech Walesa telah menjalin kerja sama serupa dengan berbagai organisasi di Eropa dan Amerika Serikat dalam upaya untuk mendorong demokrasi.
Pemerintah Polandia menandatangani satu perjanjian yang antara lain mengizinkan kegiatan serikat buruh independen dan menghentikan tindakan pengekangan maupun tekanan-tekanan terhadap anggota oposisi pro-demokrasi pada 31 Agustus 1980.
Menurutnya, Walesa berpendapat pluralisme Indonesia menjadi pelajaran berharga bagi penyatuan Eropa, karena Eropa terdiri atas beberapa negara dengan budaya, etnis, dan agama yang juga beragam.
“Saya kagum, bagaimana keberagaman budaya, etnis, dan agama di Indonesia dapat menyatu, tanpa ada unsur kekerasan. Hal itu yang dapat dijadikan pelajaran bagi penyatuan Eropa,” katanya.
Ia mengatakan, kedatangan Walesa di Indonesia menjadi promosi ke Eropa mengenai pluralisme yang berjalan baik di negeri ini. Keberagaman budaya, etnis, dan agama di Indonesia dapat menyatu dengan damai.
“Walesa diharapkan dapat menyampaikan apa yang telah dilihat di Indonesia khususnya tentang pluralisme kepada negara-negara di Eropa. Dengan demikian, pandangan negara-negara di Eropa terhadap Indonesia dapat lebih baik,” katanya.
Akan Datang Lagi
MENGINGAT waktu keberangkatan telah tiba, dia pamit. Tetapi dia menjanjikan akan datang lagi ke Indonesia, pada pertengahan 2010 atau di tahun 2011.
Matanya menerawang, membayangkan akan datang lagi ke Indonesia. Dia ingin datang ke Indonesia untuk menikmati negeri indah ini. Setelah 13 hari di Indonesia menurutnya belum memberikan gambaran untuk mengenal Indonesia lebih mendalam.
Saya bercanda, untuk memahami Indonesia lebih baik maka beliau harus tinggal lebih lama di Indonesia. “Anda baru mengunjungi 2 pulau kami, dari keseluruhan sekitar 17 ribu”, ujar saya.
Bapak Walesa tertawa terbahak-bahak, dan kemudian bergegas menuju mobil yang akan mengantarkannya ke pesawat komersial di malam hari itu.
Sampai jumpa lagi, Mr. President. Do widzenia!
Jakarta, 21 Mei 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment