Monday, December 28, 2009
Andrzej Wawrzyniak: Duta Indonesia di Polandia
"SAYA akan berangkat bulan Desember ini ke Indonesia, tanah air saya yang kedua. Saya sangat merindukan teman-teman lama, dan tentu berbagai jenis kuisinnya. Rindu ini saya pendam sudah 2 tahun, biasanya saya pulang ke Indonesia setiap tahun," ucap Andrzej "Nusantara" Wawrzyniak (baca: Andzei Vavziniak), Direktur Museum Asia Pasifik yang fasih berbahasa Indonesia. Meskipun telah berusia 78 tahun, Bapak Andrzej tetap aktif dalam berbagai acara diplomatic circles di Warsawa.
Kami terakhir kali bertemu pada penghujung November yang lalu, ketika Paman Andrzej mengundang saya untuk makan siang di suatu restoran masakan Polandia, di pojok kota Warsawa. Pada saat itu dia tampil berjas rapi, katanya dia bersiap-siap untuk berangkat pada bulan Desember ke Indonesia untuk beberapa bulan. Biasanya, kemana-mana dia tampil berbaju batik atau songket.
"Saya khawatir, ketika saya kembali dari Indonesia nanti tahun depan Anda sudah menyelesaikan mandat di Polandia dan pulang ke tanah air," katanya. Saya memang telah bertugas selama lebih dari 3 tahun di Polandia, waktu untuk bersiap-siap untuk berpamitan.
Sesekali, di kala senggang saya suka mampir ke kantornya. Di tempat itu, dia selalu menjamu saya makan siang yang ditutup dengan minum kopi "Luwak" kegemarannya. Katanya, kopi luwak ini beraroma terbaik dan termahal di dunia.
Belakangan ini saya jarang datang, karena hingar-bingar pembangunan kantor dan kondominium mewah "Pacific Plaza" di sebelah kantornya agak mengganggu.
Tetapi dia bangga, karena sebagian ruangan yang cukup luas di Pacific Plaza itu akan dijadikan museum yang akan menyimpan puluhan ribu koleksi benda budaya etnis Museum Asia dan Pasifik, yang saat ini terserak-serak di berbagai cabang museum.
Paman Andrzej, begitu dia lazim disapa oleh semua orang Indonesia yang berada di Polandia, adalah duta seumur hidup Indonesia di Polandia, karena sangat aktif mempromosikan Indonesia melalui setiap tahunnya puluhan kegiatan pameran, pergelaran budaya yang dikelola oleh Museum Asia Pasifik atau menjadi sponsor penerbitan sejumlah buku-buku tentang Indonesia.
Nama "Nusantara" itu tidak lain adalah pemberian dari Bung Karno, karena dia menjadi pengunjung setia di Istana Negara dan mengenal Megawati Soekarnoputri, yang kemudian menjadi presiden dan berkunjung ke Polandia pada tahun 2003, sejak gadis remaja. Ibu Megawati pada saat kunjungan di Warsawa itu, menurut Andrzej Wawrzyniak mengingatnya dengan baik dan tetap memanggilnya "Paman Andrzej".
Karena peran aktifnya dalam mempromosikan Indonesia, maka saya suka bercanda dengan teman-teman di kalangan diplomatik dengan memperkenalkan Paman Andrzej sebagai "the permanent Indonesian Ambassador in Poland", sementara saya sendiri adalah "temporary Ambassador", karena mandat penugasan sekitar 3 tahun.
Andrzej Nusantara memang tokoh istimewa. Pada saat saya akan berangkat menuju tugas baru di Warsawa pada bulan November 2006 yang lalu, tidak kurang tokoh terkenal Alm Ali Alatas menitip salam untuk Paman Andrzej. Banyak diplomat senior dan politisi lama Indonesia yang menjadi sahabatnya.
Pada saat artikel ini ditulis, Paman Andrzej sudah berada di Indonesia atas undangan Dubes Republik Polandia untuk Republik Indonesia di Jakarta, Tomasz Lukaszuk.
Sudah barang tentu, Paman Andrzej yang bertubuh tinggi besar ini sedang memperbarui persahabatan dengan berbagai tokoh-tokoh nasional sejak zaman Bung Karno, pada saat saya masih bercelana pendek di bangku Sekolah Rakyat (SR). Dan, tentu Paman Andrzej sedang menikmati sate Senayan, makanan favoritnya.
"Saya sangat bergembira untuk `pulang' ke Indonesia, bukan karena akan bertemu dengan kawan-kawan lama saja. Tetapi muhibbah ini juga menjadi reuni keluarga kami di akhir tahun, anak lelaki saya yang lahir di Jakarta dan kini menjadi dosen di Timur Tengah dan keluarganya akan bergabung," katanya sambil menghirup tembakau pipa.
Pencinta Indonesia Sepanjang Zaman
Andrzej Wawrzyniak aslinya seorang pelaut yang terdampar menjadi diplomat. Penugasannya di Indonesia, dan kedekatannya dengan Bung Karno, menjadikan negeri itu sangat istimewa baginya. Di Indonesia kegemarannya terhadap barang-barang etnis tumbuh.
Dia lahir 3 Desember 1931 di Warsawa. Sejak usia 16 tahun dia menjadi anak-kapal pada kapal "Dar Pomorza" yang pada tahun 1935 pernah mampir di Indonesia di zaman kolonial, sampai diangkat menjadi pelaut pada kapal dagang. Dia menyelesaikan Sekolah Dinas Luar Negeri di Warsawa dan pada tahun 1956 menjadi pegawai Kementerian Luar Negeri Warsawa, dan selanjutnya menyelesaikan gelar doktor pada Social Sciences School di Warsawa.
Tidak hanya bertugas di Indonesia selama 10 tahun (1961-1971), Paman Andrzej juga pernah bertugas di Vietnam, Nepal dan Namibia, sebagai pengamat PBB, kemudian di Afghanistan (1990-1993), Bosnia Herzegovina (1996) dan Timor Timur (1999).
Pada masa penugasan selama lebih dari 25 tahun di Asia, dia rajin mengumpulkan koleksi dari berbagai benda-benda etnografis dan budaya dari berbagai negara itu. Tidak heran, pada suatu saat Paman Andrzej dan Museumnya menyelenggarakan pameran sangkar burung, topeng-topeng Jawa, ukiran dan benda etnografis Papua, lukisan Bali, kain songket, dan sebagainya.
Sekitar 3000 jenis benda budaya etnis dari Nusantara, sebagai hasil penugasannya sekitar 10 tahun di Indonesia, disumbangkannya kepada Museum Kepulauan Nusantara, yang di kemudian hari berkembang menjadi Museum Asia dan Pasifik pada tahun 1976. Di sinilah awal dirinya menjadi kolektor berbagai benda budaya. Oleh karena waktu penugasan yang cukup panjang dan sahabat-sahabat yang meluas di Indonesia maka Indonesia menjadi negeri yang sangat dicintainya.
Kini museumnya memiliki sekitar 20 ribu jenis koleksi dari berbagai budaya Asia, Australia dan Pasifik. Tidak heran, dia akhirnya diangkat oleh Pemerintah Polandia menjadi direktur seumur hidup di Museum Asia dan Pasifik itu.
Seluruh koleksi itu diharapkannya akan digelar di tempat baru yang bergengsi Pacific Plaza yang akan diresmikan pada tahun 2010.
Penerima Sejumlah Tanda-Jasa
Keistimewaan tokoh yang menjadi duta abadi Indonesia di Polandia ini tercermin dari sejumlah tanda-jasa, medali dan penghargaan yang diterimanya.
Atas jasa-jasanya membina hubungan Polandia dengan kawasan Asia dan Pasifik itulah, Paman Andrzej dianugerahi berbagai medali kehormatan, antara lain, Millennium of Poland Decoration atas pengakuan terhadap kegiatan sosial (1966), Chevalier's Cross of the Order of Polonia Restituta (1967), Merit of "The Keeper of National Remembrance" (1971), Special Prize of the Minister of Culture sebagai kolektor dan direktur museum (1975), Honorary Merit "Distinguished Official of the Foreign Service" dari Menlu Polandia (1978), Medali dari President of of the State Council pada Ultah ke-40 People's Republic of Poland (1984), Commander's Cross of the Order of Polonia Restituta with Star sebagai pengakuan atas komitmen tinggi dalam memopulerkan warisan budaya Asia dan Pasifik (2003), serta tanda-kehormatan dari Pemerintah Afghanistan, Vietnam, Laos, dan Mongolia.
Dari Pemerintah Republik Indonesia Andrzej Wawrzyniak memperoleh tanda-kehormatan, antara lain, Piagam dari Menlu RI sebagai pengakuan atas komitmennya untuk memajukan budaya Indonesia di Polandia (1990), dan Indonesian Order of Service with Star sebagai pengakuan atas komitmen tinggi dan kegiatan dalam memperkokoh persahabatan Indonesia dan Polandia (1998).
COPYRIGHT © 2009
Antara News
Friday, December 18, 2009
ESPERANTO
PEKAN lalu, 2000 orang dari 63 negara ambil bagian dalam 94th World Esperanto Congres yang berakhir Sabtu (1/8) di Byalistok, di timurlaut Polandia.
Byalistok, kota kelahiran pencipta bahasa dunia Esperanto seorang ahli mata Polandia, Ludwik Zamenhof, kali ini dipilih menjadi tuan rumah kongres dunia tahun 2009, sekaligus memperingati hari kelahiran sang jenius yang ke-150 tahun.
Melalui bahasa internasional ciptaannya, Zamenhof telah menciptakan instrumen khusus untuk komunikasi internasional yang netral, demikian resolusi dihasilkan oleh kongres itu.
Para peserta kongres menyatakan Zamenhof wajar mendapat perhatian khusus tidak saja sebagai penciptanya tetapi sebagai seorang yang berjuang untuk terciptanya persaudaraan tulus sesama rakyat di dunia yang didasarkan pada pengertian timbal-balik sepenuhnya.
Zamenhof juga berupaya untuk menghapuskan kebencian yang mungkin timbul karena perbedaan agama dan prasangka rasial serta penolakan terhadap perang sebagai cara untuk menyelesaikan konflik.
Mengapa Esperanto?
Pertanyaan ini membawa ingatan saya dalam kunjungan terakhir ke Byalistok pada akhir Mei 2009 yang lalu.
Meskipun masih beberapa bulan, tetapi suasana persiapan perhelatan sudah terasa. Maklum, Byalistok selama 25 Juli sampai 1 Agustus akan menjamu ribuan pengguna Esperanto dalam kongres se dunia ke-94.
Saya ingin menemukan jejak-jejak peninggalan sejarah masa lalu di kota yang agak lengang ini pada saat memenuhi undangan teman baik saya, Bapak Tomasz Miskiewicz, yang menjadi Mufti Polandia yang berkedudukan di Byalistok.
Kebetulan, saat itu saya diundang kali ini dalam rangka peringatan terbentuknya pemukiman Muslim Tartar sejak 330 tahun yang lalu.
Berbekal sedikit informasi tentang Esperanto saya bermaksud melihat pusat kota tua. Kota tua merupakan ciri-khas penting di Polandia. Di mana-mana di berbagai kota di Polandia saya selalu menyempatkan menghabiskan 1-2 jam untuk membuat foto-foto, maupun sekadar mengobrol dengan teman sambil minum kopi.
“Saluton, mi nomias Haz Pohan, Kiel vi nomias?” Saya mencoba mempraktekkan bahasa Esperanto terbatas kepada seorang pria di taman kota Byalistok.
Pria yang duduk di taman itu menjawab: ”Saluton, mi nomias Maciej”. Saya lalu berbicara dalam bahasa Rusia menanyakan di mana letak tugu Zamenhof, orang jenius dunia kelahiran kota itu, Byalistok.
”Mi ne komprenas”, ujarnya. Dia mengatakan bukannya tidak paham bahasa Rusia, tetapi meskipun kota Byalistok lebih dekat ke perbatasan menuju Belarus yang berbahasa Rusia tetapi dia lebih suka berbahasa Inggeris. Atau Esperanto!
Kedengaran aneh? Bahasa tadi yang saya gunakan adalah Esperanto, atau bahasa dunia yang diciptakan pada tahun 1887 oleh Dr Lazar Ludwig Zamenhof (1859-1917), seorang dokter mata jenius Polandia keturunan Yahudi.
Saya katakan pada Bapak Maciej, pria di taman itu, saya ingin berziarah ke tugu pencipta Esperanto itu. Lalu, dia menunjukkan ke suatu arah dan menuliskan nama jalan. “Use your GPS, than you’ll find the tombs right in the small park at your right side!”, katanya, sambil menuliskan alamat di kertas kecil.
Saya menerima catatan itu, dan mengucapkan “Dankon”, atau terima kasih dalam bahasa Esperanto. Dia membalas: “No dankinde”, atau terima kasih kembali. Saya pun beranjak meninggalkan Pak Maciej. Kami mengawali dan menutup pembicaraan dengan bahasa Esperanto.
Siapa Dr. Zamenhof?
Di taman kecil yang ditunjukkan arahnya oleh Pak Maciej hanya ada patung setengah badan. Sederhana saja. Tetapi tokoh menarik perhatian saya.
Byalistok bukan sekadar kota di mana Zamenhof nompang lahir. Dia juga tumbuh dengan latarbelakang multi-etnis sejak zaman dulu kala, dan dikenal toleran.
Dulu Byalistok memiliki latarbelakang etnis beragam, Polandia, Rusia, Jerman dan Yahudi, di samping Muslim Tartar yang berjumlah sekitar 5000 orang. Sebagai kota multi-etnis, di mana pun, ketegangan etnis dan antagonisme selalu terjadi. Salah satunya adalah tentu salah pengertian, karena menggunakan bahasa yang berbeda-beda. Ini yang menjadi insiprasi Zamenhof untuk menelurkan idenya.
Dia menuliskan pengalaman batinnya dalam sebuah surat kepada temannya, Nikolai Borovko, kurang lebih:
Tempat kelahiran dan di mana saya menghabiskan masa kanak-kanak memberi arah perjuangan saya ke depan. Dulu di Byalistok warg kota tersekat-sekat oleh pemisahan 4 etnis, Rusia, Polandia, Jerman dan Yahudi, masing-masing menggunakan bahasanya sendiri dan memandang pihak lainnya sebagai musuh. Di kota ini, perbedaan bahasa yang mendasari pengelompokan keluarga manusia dalam ketegangan etnis menjadi sensitivi dan mencekam.
Saya terlahir idealis, diajarkan bahwa semua manusia adalah saudara, tetapi di luar rumah tidak ada persaudaraan. Yang ada hanya kelompok etnis Rusia, Polandia, Jerman dan Yahudi. Ini menyiksa masa kanak-kanakku, meskipun banyak juga orang memberi senyuman padaku. Maka, sejak saat itu saya berjanji akan menghancurkan kejahatan ini.
Esperanto pun lahir pada akhir tahun 1870-an, ketika Bialystok masih menjadi bagian dari Kerajaan Rusia. Zamenhof ingin menyumbang untuk terciptanya harmoni dalam pergaulan sosial sehari-hari kota multietnis itu.
Polandia adalah negeri yang terjepit di antara Jerman dan Rusia, maka sarat dengan sejarah. Tidak kurang, bangsa-bangsa dari utara maupun selatan juga turut ambil-bagian memerintah di sini. Negeri ini pernah hilang dari peta politik Eropa selama 123 tahun, karena 3 kali dibagi habis (partition) oleh pendudukan berbagai bangsa-bangsa di sekitarnya.
Makanya, seorang sejarawan berkebangsaan Inggeris bernama Norman Davies, menulis negeri ini dalam bukunya yang terkenal sebagai: God’s Playground (1979). Buku ini mengungkapkan apa yang dialami oleh orang-orang Polandia dalam sejarah seribu tahun di masa lalu.
Tidak urung, geser-menggeser perbatasan negara selalu menimbulkan konflik horizontal di antara masyarakat yang sudah ratusan tahun berbaur. Di kota Byalistok yang multikultural, bahasa dan agama juga terbelah-belah, dan ini mengganggu harmoni. Ini yang menjadi latar-belakang lahirnya bahasa Esperanto di kota ini.
94th World Congress of Esperanto
Pekan lalu, di kota ini pekan kemarin berlangsung perhelatan 94th World Congress of Esperanto (Esperanto: Universala Kongreso), sekaligus peringatan ultah ke-150 tahun kelahiran L.L.Zamenhof.
Dalam percakapan saya dengan Pan Maciej di bulan Mei itu, kami sempat berbincang-bincang mengenai hari penting tentang Esperanto. Katanya, populasi pengguna bahasa Esperanto kian meningkat, dan bahasa itupun kian berkembang.
Di samping keuntungan untuk berkomunikasi dengan siapapun dari penjuru dunia, Esperanto mengungguli bahasa-bahasa dunia lainnya karena dapat dipelajari 10 kali lebih cepat!
Bahasa Esperanto dibentuk dengan dasar tata bahasa yang dipunyai oleh bahasa-bahasa dunia lainnya. Yang penting, tidak rumit, gampang membacanya dan menghapalnya. Dan tentu, enak didengar. Bacalah seperti apa yang tertulis. Dan, dengan menggunakan bahasa ini Anda dijamin kedengaran agak ilmiah!
Bahasa ini menjadi cepat popular di dunia, dan berhasil menerbitkan majalah pertama pada tanggal1 September 1889, yang kemudian pada tahun 1954 mendapat pengakuan UNESCO.
Katanya lagi, dengan Esperanto maka Anda akan berteman dengan orang-orang dari seluruh dunia dan dengan latar-belakang perbedaan budaya apapun. Tidak usah khawatir, pengguna bahasa unik ini terdapat di seluruh dunia. Esperanto mengeluarkan Buku Saku, yang disebut “Pasporta Servo”
Buku Saku itu (http://www.tejo.org/ps) memuat sekitar 1000 alamat Esperantists, atau orang-orang pengguna bahasa Esperanto, di lebih dari 80 negara.
Mereka juga dengan senang hati menerima Anda menjadi tamu, tanpa membayar akomodasi! Solidaritas yang cukup tinggi, di tengah-tengah langkanya orang yang peduli kepada tetangganya sekarang ini.
Apa tujuan Esperanto?
Para Esperantists percaya, dengan menggunakan satu bahasa yang dimengerti bersama, maka akan tercipta perdamaian dunia. Memang, adakalanya bahasa yang menjadi symbol chauvinisme menimbulkan arogansi yang kurang berkenan di hati orang lain.
Esperanto tidak mengklaim keunggulan Chauvinisme itu, dan bukan bertujuan akan menghapuskan bahasa-bahasa dunia. Tetapi, dia lahir untuk menciptakan kesamaan, sama rata dan sama rasa. Katanya, jika kita menjadi komunitas salah suatu bahasa internasional, maka bangsa pemilik bahasa itu akan menganggap kita berada di bawah ‘pengaruh’ budaya mereka. Orang-orang Esperanto menyebut ini sebagai“language imperialism”.
Esperanto tidak untuk menghapus bahasa ibu. Tujuannya adalah menjadikan Esperanto sebagai bahasa kedua bagi siapapun.
Esperanto memiliki markas besar sejak tahun 1955 di Roterdam, yang disebut Universala Esperanto Asocio [World Esperanto Association] yang berdiri sejak tahun 1908 dan baru memperingati keberadaan seabad pada tahun 2008 yang lalu. Di Rotterdam pada saat itu juga diselenggarakan kongres, dengan berbagai kegiatan linguistik.
Kongres itu sendiri baru dimulai pada tahun 1905 yang berlangsung setiap tahun, kecuali pada saat dua kali perang dunia (1915 dan 1945). Sebelumnya, kongres pernah diselenggarakan di berbagai kota di Inggeris, tahun 1907 (Cambridge), 1926 (Edinburgh), 1930 (Oxford), 1938 (London), 1949 (Bournemouth), 1961 (Harrogate), 1971 (London), 1989 (Brighton), dan, tahun 2009 ini di Byalistok.
Seperti pada pekan lalu di Byalistok, kongres diisi dengan berbagai kegiatan, seperti percakapan, kuliah, konser, drama, dan wisata yang seluruhnya menggunakan bahasa Esperanto.
Seperti percakapan saya dengan Pan Maciej tadi, memang terasa nyaman berbicara langsung dengan orang dari seluruh dunia tanpa kewajiban kita untuk mempelajari bahasa mereka. Jadi, Esperanto lebih dirasakan manfaatnya untuk pergaulan. Dan, dunia pun menjadi damai, begitulah harapan kaum Esperantis.
Meskipun para pengguna bahasa Esperanto akrab satu dengan lainnya tanpa basa-basi, tetapi saya tidak menganjurkan Anda menyapa seorang gadis di sana dan mengatakan: “Mi amas vin“, yang artinya “I love you“.
Gadis itu tetap seorang manusia dengan perasaannya, dan kultur pun memainkan peranan di sini. Saya tidak menjamin Anda berhasil!
Warsawa, 3 Agustus 2009
LAWYERS’ CLUB
ADAGIUM bersabda: 2 lawyers berdebat, lahir 3 pendapat. How come?
Katanya para sarjana hukum lebih banyak membuat onar daripada membantu ketertiban.
Akhir-akhir ini tuduhan menguat, katanya para pengacara lebih banyak menjadi ‘perantara’ antara yang berperkara dengan law enforcement establishments. Atau, istilah Bang Buyung “Markus”, alias makelar kasus.
Ah, saya tidak mau masuk ke ranah ini, karena bidang hukum yang saya masuki lebih banyak terkait dengan hukum internasional dalam konteks tugas-tugas pemerintahan, dan sesekali ada juga yang bersifat litigasi (penuntutan di pengadilan) ataupun non-litigasi (sebagai penasehat, konsultan).
Sebagai lawyers Pemerintah, tentu kami jauh dari filosofi: “Your problem is my profit”. Profit kami, ya gaji yang pas-pasan itu. Tetapi sebagai professional, tentu kepuasan dalam melaksanakan tugas sebaik-baiknya adalah reward tak-terhingga. Apalagi jika case yang dihadapi sampai ke Pengadilan, dan menang! Meskipun kami juga tahu, jika bisa diselesaikan via out of court settlement, maka win-win solution. Semuanya happy.
Kemarin, teman lama saya di Direktorat PI Deplu, Eddy Poerwana berkunjung ke Warsawa, beserta beberapa tim negosiasi dari Deplu, dalam kaitan penyelesaian perundingan beberapa persetujuan bilateral.
Kami menghabiskan waktu di Old Town, Warsaw, di suatu kedai yang terkenal dengan kaki sapi (pod kogutem). Beberapa teman juga turut menikmati anggur panas. Belum tahu? Di Polandia ada jenis anggur yang manis dan hangat, dibumbui pula dengan cinnamon (kayu manis), mungkin pula jahe, ketumbar, dan buah pala. Ini rahasia perusahaan, katanya. Yang jelas, anggur ini memang unik. Karena pemilik restoran ini sudah menganggap saya langganan tradisional, maka bolehlah sambil berdebat kami menikmati rokok kretek yang baunya bagi orang Eropa hingar-bingar.
Lawyers selalu menemukan masalah dalam hidup ini. Jika tidak ada masalah, mari kita ciptakan. Dan, tentu kita selesaikan pula. Jika perlu penyelesaian secara adat.
Eddy yang sebentar lagi ditugaskan di salah satu negara penting di Afrika adalah teman berdebat yang baik. Argumennya selalu tajam, sering kurang saya antisipasi. Karena itu, saya sering kalah.
Meskipun pada dasarnya Eddy seorang pendiam, karena lawyer kami tak urung berdebat.
Karena pada malam itu ada 5 lawyers, bisa dibayangkan berapa puluh pendapat yang muncul dari 1 case, seperti tembakan mitraliur. Teman saya Bambang Hartoyo yang sedang bertugas di Afrika juga lawyer dan baru lulus notaris pula (wah, ini sampingan untuk jaga-jaga jika nanti pensiun, katanya membela diri). Dia bilang, paling tidak para sekondan yang mendampingi para lawyers juga sah menyampaikan pendapat. Jadi 5 lawyer dengan masing-masing sekondan, paling tidak sudah ada 20 atau 30 pendapat. Ramai!
Tetapi, dasar lawyers, kami memang menikmati dunia ini.
Audiens pasti bingung: “orang-orang ini ngomong apa?”
Warsawa, 17 Desember 2009
ARABIAN HORSES
PROGRAM kunjungan yang disusun oleh Kemlu Polandia pada akhir September lalu yang paling top adalah di Janow Podlaski State Stud.
Ini jelas urusan perkudaan. Bukan sembarang kuda, karena tempat yang berdiri sejak 1817 ini adalah peternakan kuda (horse-breeding) terbesar di Polandia, yang terrmasuk dalam peta kekuatan dunia dalam urusan perkudaan. Kuda Arab, lazim disebut the Arabians.
The Arabians di sini, bukan kuda penarik sado di Siantar atau delman di Padang yang pendek dan merintih-rintih. Atau kuda-kuda tinggi besar dan gempal dengan kaki berbulu lebat seperti digunakan turis mengitari Old Town di berbagai kota di Polandia.
Jenis kuda Arab ini ramping, kekar berotot, tampak sangar. Ini ras kuda tertua di dunia. Kuda Arab terkenal karena anggun, pintar, dan dekat dengan manusia, memiliki kepala yang hebat, buntut yang menjulang, punggung yang pendek dan tampilannya ‘threatening’.
Tetapi, kuda Arab dikenal berperilaku baik, pemberani, bersemangat dan tahan seharian berlari.
Dan, ternyata secara anatomi kuda Arab berbeda dengan kuda-kuda jenis lainnya. Arabians memiliki 17 tulang rusuk (kuda lain 18); 5 ruas tulang punggung dan 16 ruas tulang ekor (kuda lain: 6, 18). Tinggi badannya kira-kira 1,5 m.
Dan, meskipun kuda-kuda Arab telah menjadi domain dunia, yang terbesar di AS, namun nama garis keturunannya selalu dilekatkan dengan nama-nama Arab, seperti Fayad, Qasameh, Abu Hejl, and Sahara, Mlecha, Pharaoh and Gazella dsb.
Dalam budaya Arab, kuda menjadi bagian kehidupan sehari-hari orang Badui (Bedouin), sejak ribuan tahun yang lalu. Tetapi , ada yang berpendapat kuda-kuda Bedouin ini berasal dari Yemen.
Nabi Ismail, anak dari Nabi Ibrahim menjadi legenda, karena menjadi manusia pertama penunggang kuda. Tradisi penunggang kuda, dan pemilik peternakan kuda, ini diteruskan oleh para keturunan Nabi Ismail dan dicatat secara sistematis oleh El Kelbi pada tahun 786.
Nabi Muhammad s.a.w. memiliki kuda bernama Os Koub ("the Torrent"), jenis Bedouin, karena larinya seperti kilat.
Maka. sejak tahun 622 M, atau 1 Hijriah, kuda Arab memainkan peranan penting dalam sejarah Timur Tengah dan Islam yang kemudian berkembang ke Timur Tengah dan Afrika Utara. Pada tahun 711 pasukan perang Islam mencapai Spanyol dan menguasa Jazirah Iberia pada tahun 720 berkat kuda-kuda hebat ini.
Menjadi perhatian dunia? Ya, karena kuda-kuda Arab inilah yang termashur di tingkat duni, bintang dalam berbagai kontes, jawara tingkat dunia: berlari, akrobatik, berburu.
Pada zaman dulu sebelum manusia mengenal kendaraan perang, kuda menjadi determinan terpenting untuk memenangkan perang karena kecepatannya. Karena kecepatan luar biasa pasukan Islam inilah, maka pada ekspedisi orang-orang Eropa dalam Perang Salib yang dimulai tahun1095, dalam penyerbuan merebut kembali Palestina, mereka selalu membawa pulang ke Eropa kuda-kuda Arab itu.
Lalu, Ottoman Empire yang mulai berjaya pada tahun 1299 juga berperan memopulerkan kuda-kuda Arab di Eropa, baik sebagai pemberian atau dijual. Ottoman juga menyerbu Hungaria pada tahun 1522 dengan 300 ribu pasukan berkuda.
Sejarah mencatat, pada tahun 1683 pasukan Ottoman yang telah mencapai Wina dikalahkan oleh pasukan Polandia yang dipimpin oleh Raja Jan Sobieski III, yang kemudian menyita kuda-kuda terbaik Turki itu.
Belakangan, kuda-kuda ini yang menjadi stock dari berbagai peternakan kuda Arab di Eropa Timur.
The Polish Arabians
Sejarah kuda Arab di Polandia terkait dengan perang yang bertalu-talu menghunjam negeri ini, sejak zaman Mongol, Tatar dan Turki sampai PD I dan PD II. Bahkan, di zaman perang modern PD II, kuda juga menjadi rampasan perang yang sangat berharga.
Tradisi pemeliharaan kuda terbentuk lama. Perdamaian Polandia dengan Turki pada 1699 membuka kesempatan untuk memperoleh kuda-kuda Arab yang kemudian berkembang pesat pada abad ke-18. PD I hampir memusnahkan tradisi horse-breeding, pada akhir perang hanya tinggal 25 kuda betina (mares) yang tertinggal. Tetapi orang-orang Polandia membangun kembali, dan pada tahun 1926 berdirilah Arabian Horse Breeding Society.
Peternakan kuda Arab Polandia didasarkan pada garis keturunan kuda betina, dengan jantannya berasal dari sekitar 30 jenis keturunan (sire lines), terutama jenis Kuhailan Haifi.
Alkisah, sejak Raja Sigmund Augustus (1548-1572) yang memiliki Royal Stud Farm “Knyszn” dan kuda-kuda Arab, maka para bangsawan Polandia pun berbondong-bondong ke negeri Arab untuk mencari kuda terbaik mulai abad ke-17.
Mereka juga mengembangkan peternakan murni maupun campuran, dengan mengawinkannya dengan kuda-kuda Eropa. Namun, di Janow Podlaski breeding program baru dimulai pada tahun 1919.
Perang Dunia I juga berdampak pada peternakan kuda Polandia, dari 500 kuda betina, hanya 46 yang masih hidup dalam tahun1926.
Pada tahun 1930, Prince Roman mengutus orang-orangnya untuk membeli kuda betina Bedouin dan kuda jantan Kuhailan Haifi, dan kemudian 5 kuda jantan dan 4 kuda betina. Dari peternakan ini pula lahir keturunan Kuhailan Haifi bernama Ofir, namun pada tahun 1939 diambil orang-orang Rusia, dipelihara di Tersk yang menjadi cikal-bakal kuda-kuda Arab di Rusia. Yang terselamatkan dari agresi ini adalah Witraz, Weiki Szlem, and Witwz II, yang anaknya, Bask, kemudian menjadi trademark karena menjuarai berbagai pertandingan di Amerika Serikat.
PD II kembali menghancurkan Polandia. Banyak jenis kuda unggulan yang lenyap, baik dicuri maupun dijual ke AS. Peternakan kuda di Janow Podlaski yang saya kunjungi, terutama isinya, dievakuasi ke Jerman pada 1944 dan setelah kalah perang pada 1946 baru dipulangkan Jerman ke Polandia.
Di samping Janow Podlaski, peternakan kuda lain di Polandia adalah di Michalow (terbesar di Eropa setelah PD II) Kurozweki (yang memiliki jawara Euforia and Eukaliptus), dan di Bialka.
Kehebatan dari peternakan kuda-kuda Arab Polandia ini tersohor dan dicari dari penjuru dunia. Beberapa yang terbaik adalah Banat, Bandos, Struria, Penitent, Pilarska, Dornaba, Aramus, Wizja, Gwalior, Elkana, dan Erros. Ini berkat Dr Skorkowski dan Dr. Ignacy Jaworowsky.
Janów Podlaski didirikan 1817 dengan modal 54 kuda jantan, 100 kuda betina, 33 anak kuda, dan sejak 1979 menjadi even utama untuk the Polish National Arabian Horse Show, biasanya diselenggarakan pada pertengahan Agustus. Dalam beberapa hari dilakukan demonstrasi dan akhirnya lelang yang mengundang penggemar dari berbagai pojok dunia.
Dalam event nasional ini dipamerkan sekitar 100 kuda terbaik dan termahal. Karena hebat dan langka, maka harga lelang paling top tahun ini mencapai Euro 2 juta, seekor! Bukan main. Jauh lebih mahal dari harga mobil paling top dunia.
Foto-foto telah dimuat di Facebook dengan nama yang sama: Haz Pohan, saya buat dengan Nikon D-5000, Nikkor zoom lens 70-300 mm, F/4.5-5.6, dengan kecepatan tinggi.
Warsawa, 12 Desember 2009
ISTANBUL : 3000 BC
SEWAKTU tinggal di Bulgaria 15 tahun yang lalu, saya ada beberapa kali berkunjung dengan keluarga di kota bersejarah ini.
Maka, waktu 12 jam transit di Istanbul saya manfaatkan untuk napak-tilas, dalam dari Indonesia menuju Polandia bulan Nopember lalu: city-tour.
Saya tiba dinihari dalam penerbangan Turkish Air dari Jakarta, sedangkan penerbangan selanjutnya ke Warsawa baru pada sore hari. Baru pertama kali saya naik maskapai ini, mungkin terpengaruh Kevin Costner: I feel like a star!
Mumpung, sebagai pemegang paspor diplomatik Indonesia saya tidak memerlukan visa ke Turki.
Saya tadinya ingin naik kenderaan umum, seperti disarankan petugas bandara. Tetapi, mungkin karena lelah akhirnya saya terpengaruh rayuan suatu perusahaan travel untuk mengambil private-tour, dengan mobil yang disupiri seorang guide-tour.
Karena khawatir bila telat kembali ke bandara sore nanti, saya setuju paket city-tour, dengan membayar TL 400, atau sekitar USD. 275.
Saya sudah tidak sabar mengunjungi kembali tempat-tempat bersejarah.
Menurut sejarah, Istanbul pada bagian Asia telah dihuni sejak 3000 BC, dan baru pada abad ke-7 orang-orang Yunani membangun koloni yang disebut “Byzantium”, di tepi selat Bosphorus yang menghubungkan the Golden Horn dan Laut Marmara, berarti Asia dan Eropa. Istanbul, dulu dengan nama Constantinople, baru pada tahun 100 BC menjadi bagian dari Kerajaan Roma, dan pada tahun 306 AD oleh Maharaja Konstantin dijadikan ibukota kerajaan Byzantium.
Peristiwa terpenting ialah pada zaman pemerintahan Raja Justina I, tepatnya pada tahun 532, berdirilah bangunan gereja terkenal, yang disebut Hagia Sophia dan setelah kota ini dikuasai Ottoman, diubah menjadi Mesjid Aya Sofia, namun sekarang berfungsi museum.
Sejarah terpenting tentu pada saat pasukan Ottoman Turki yang dipimpin oleh Sultan Mehmet II menaklukkan Constantinople pada tahun 1453 dan menamakannya Istanbul, yang kemudian menjadi ibukota kerajaan Islam terakhir di Eropa.
Pada waktu Republik Turki di bawah Kemal Ataturk lahir pada tahun 1923, ibukota dipindahkan ke Ankara. Ini tidak mencegah berkembangnya kota budaya yang indah serta kaya sejarah ini mencapai 13 juta penduduk. UNESCO pun telah menjadikan Istanbul warisan budaya dunia sejak tahun 1985.
Kota ini memiliki banyak objek menarik, seperti museum, kastil, istana, mesjid, gereja dan water tower yang bersejarah.
Istanbul dijuluki “Kota 7 Bukit” karena bagian bersejarah kota dibangun di atas 7 bukit, masing-masing mempunyai mesjid historis dengan 4-menara.
Beberapa distrik menarik di kota itu ialah Haydarpasa, Uskudar, Eyup, Galata, Perapalas, Ortaköy, Bosphorus, Taksim Eminönü dan Sultanahmet.
Pada waktu pembangunan stasiun kereta bawah-tanah (subway) Yenikapi dan terowongan Marmaray di tahun 2008, ditemukan tempat hunian yang dibangun pada tahun 6500 SM pada era neolitik. Banyak ditemukan budaya tembaga yang berasal dari tahun 5500–3500 BC dan berbagai benda-benda sejarah. Byzantium sendiri dibangun oleh bangsa Trakia, pada abad 13-11 SM, seperti peninggalan yang kini masih terdapat di Bulgaria.
Kerajaan Byzantium dibangun di atas budaya Yunani, dan menjadi pusat Ortodoks Yunani, karena itu banyak terdapat gereja-gereja yang hebat, seperti Hagia Sophia, yang dulu menjadi gereja katedral terbesar di dunia.
Para ekspedisi ke-4 pada tahun 1204 dalam Perang Salib In 1204, alih-alih menaklukkan Jerusalem, pasukan Eropa malah menghancurkan Constantinople, dan kota ini menjadi pusat Katolik Latin.
Seperti ditulis dalam sejarah, pada 29 May 1453, Sultan Mehmed II "Sang Penakluk” berhasil merebut Constantinople setelah perang 53 hari, dan akhirnya menjadikannya ibukota Ottoman. Grand Bazaar, sayangnya saya tidak mampir, dibangun pada masa ini, beserta bangunan bersejarah Istana Topkapi dan Mesjid Eyup Sultan.
Meskipun cuma 5 jam memanfaatkan private-tour dengan membayar 275 dollar, tetapi worth it lah seperti terefleksikan dalam sebagian foto-foto ini.
City-tour menjadi lebih berkesan, karena pada saat mengagumi obyek-obyek sejarah di Istanbul saya menerima pesan SMS beruntun: pada hari itu saya berusia 56 tahun.
Tour ini tanpa rencana tentunya, karena lazimnya saya merayakan dengan keluarga. Tetapi malang tak dapat diraih, ketika berangkat 10 Nopember dari Jakarta jalan macet total, saya ketinggalan pesawat. Dan terdampar di Istanbul.
Meskipun tertunda sehari, nasi kuning lengkap bersama doa keluarga di Warsawa akan memulihkan semangat. Dan, mission accomplished!
Saya membuat foto-foto, yang telah dimuat di Facebook, dengan nama saya, Haz Pohan. Silahkan menikmati!
Istanbul, 12 November 2009
Maka, waktu 12 jam transit di Istanbul saya manfaatkan untuk napak-tilas, dalam dari Indonesia menuju Polandia bulan Nopember lalu: city-tour.
Saya tiba dinihari dalam penerbangan Turkish Air dari Jakarta, sedangkan penerbangan selanjutnya ke Warsawa baru pada sore hari. Baru pertama kali saya naik maskapai ini, mungkin terpengaruh Kevin Costner: I feel like a star!
Mumpung, sebagai pemegang paspor diplomatik Indonesia saya tidak memerlukan visa ke Turki.
Saya tadinya ingin naik kenderaan umum, seperti disarankan petugas bandara. Tetapi, mungkin karena lelah akhirnya saya terpengaruh rayuan suatu perusahaan travel untuk mengambil private-tour, dengan mobil yang disupiri seorang guide-tour.
Karena khawatir bila telat kembali ke bandara sore nanti, saya setuju paket city-tour, dengan membayar TL 400, atau sekitar USD. 275.
Saya sudah tidak sabar mengunjungi kembali tempat-tempat bersejarah.
Menurut sejarah, Istanbul pada bagian Asia telah dihuni sejak 3000 BC, dan baru pada abad ke-7 orang-orang Yunani membangun koloni yang disebut “Byzantium”, di tepi selat Bosphorus yang menghubungkan the Golden Horn dan Laut Marmara, berarti Asia dan Eropa. Istanbul, dulu dengan nama Constantinople, baru pada tahun 100 BC menjadi bagian dari Kerajaan Roma, dan pada tahun 306 AD oleh Maharaja Konstantin dijadikan ibukota kerajaan Byzantium.
Peristiwa terpenting ialah pada zaman pemerintahan Raja Justina I, tepatnya pada tahun 532, berdirilah bangunan gereja terkenal, yang disebut Hagia Sophia dan setelah kota ini dikuasai Ottoman, diubah menjadi Mesjid Aya Sofia, namun sekarang berfungsi museum.
Sejarah terpenting tentu pada saat pasukan Ottoman Turki yang dipimpin oleh Sultan Mehmet II menaklukkan Constantinople pada tahun 1453 dan menamakannya Istanbul, yang kemudian menjadi ibukota kerajaan Islam terakhir di Eropa.
Pada waktu Republik Turki di bawah Kemal Ataturk lahir pada tahun 1923, ibukota dipindahkan ke Ankara. Ini tidak mencegah berkembangnya kota budaya yang indah serta kaya sejarah ini mencapai 13 juta penduduk. UNESCO pun telah menjadikan Istanbul warisan budaya dunia sejak tahun 1985.
Kota ini memiliki banyak objek menarik, seperti museum, kastil, istana, mesjid, gereja dan water tower yang bersejarah.
Istanbul dijuluki “Kota 7 Bukit” karena bagian bersejarah kota dibangun di atas 7 bukit, masing-masing mempunyai mesjid historis dengan 4-menara.
Beberapa distrik menarik di kota itu ialah Haydarpasa, Uskudar, Eyup, Galata, Perapalas, Ortaköy, Bosphorus, Taksim Eminönü dan Sultanahmet.
Pada waktu pembangunan stasiun kereta bawah-tanah (subway) Yenikapi dan terowongan Marmaray di tahun 2008, ditemukan tempat hunian yang dibangun pada tahun 6500 SM pada era neolitik. Banyak ditemukan budaya tembaga yang berasal dari tahun 5500–3500 BC dan berbagai benda-benda sejarah. Byzantium sendiri dibangun oleh bangsa Trakia, pada abad 13-11 SM, seperti peninggalan yang kini masih terdapat di Bulgaria.
Kerajaan Byzantium dibangun di atas budaya Yunani, dan menjadi pusat Ortodoks Yunani, karena itu banyak terdapat gereja-gereja yang hebat, seperti Hagia Sophia, yang dulu menjadi gereja katedral terbesar di dunia.
Para ekspedisi ke-4 pada tahun 1204 dalam Perang Salib In 1204, alih-alih menaklukkan Jerusalem, pasukan Eropa malah menghancurkan Constantinople, dan kota ini menjadi pusat Katolik Latin.
Seperti ditulis dalam sejarah, pada 29 May 1453, Sultan Mehmed II "Sang Penakluk” berhasil merebut Constantinople setelah perang 53 hari, dan akhirnya menjadikannya ibukota Ottoman. Grand Bazaar, sayangnya saya tidak mampir, dibangun pada masa ini, beserta bangunan bersejarah Istana Topkapi dan Mesjid Eyup Sultan.
Meskipun cuma 5 jam memanfaatkan private-tour dengan membayar 275 dollar, tetapi worth it lah seperti terefleksikan dalam sebagian foto-foto ini.
City-tour menjadi lebih berkesan, karena pada saat mengagumi obyek-obyek sejarah di Istanbul saya menerima pesan SMS beruntun: pada hari itu saya berusia 56 tahun.
Tour ini tanpa rencana tentunya, karena lazimnya saya merayakan dengan keluarga. Tetapi malang tak dapat diraih, ketika berangkat 10 Nopember dari Jakarta jalan macet total, saya ketinggalan pesawat. Dan terdampar di Istanbul.
Meskipun tertunda sehari, nasi kuning lengkap bersama doa keluarga di Warsawa akan memulihkan semangat. Dan, mission accomplished!
Saya membuat foto-foto, yang telah dimuat di Facebook, dengan nama saya, Haz Pohan. Silahkan menikmati!
Istanbul, 12 November 2009
WE WANT TO REGAIN OUR MARKET SHARE
Warsaw Voice, 23 April 2008 (http://www.warsawvoice.pl/articleX.php/17686)
Indonesia, a country of 250 million people, is overcoming the economic problems that all of Asia experienced in the late 1990s and is working hard to regain its market share in Europe. The Indonesian embassy in Warsaw is organizing a Trade Expo in Warsaw May 7-10 together with 26 Indonesian embassies throughout Europe.
Hazairin Pohan, Ambassador of the Republic of Indonesia, talks to Jolanta Wolska.
Why did you decide to hold the Expo in Poland?
We wanted to find a central bridge between Western and Eastern Europe. So Poland was a natural choice. And secondly, we wanted to find a country with a robust economy, and I think Poland is already a big market with 40 million people and has a very dynamic economy. Because of the Asian economic crisis in the late 1990s and competition, Indonesia lost its market share in Europe. We now need to show our European counterparts that Indonesia is very competitive both in terms of prices and products. Through this Expo we want to show that Indonesian businessmen are reliable, and we are confident that we will be able to regain the losses that we have suffered. In the last two years we have had around 6-7 percent economic growth. Before the crisis Indonesia had around 8-9 percent growth.
How many companies will be present at the Expo?
We have 26 embassies all over Europe and three consulates-general, and we are all working to bring buyers and investors to Warsaw.
We expect there will be around 1,000 Indonesian companies-manufacturers, wholesalers and distributors. Because of Poland's strategic location I think Poland deserves to be the center for distribution and Polish businesses should establish ties with Indonesia. More than 5,000 buyers and investors will come to Warsaw for the Expo.
What Indonesian businesses are there in this country?
There are several South Korean companies that are listed in Indonesia, and there are Indonesian companies owned by the Koreans that established their factories in Poland, dealing mainly in electronic goods. There is also a strong interest from Indonesian developers who want to invest in building housing complexes, malls and apartments.
What does Indonesia export to Poland?
We mainly export industrial products, electronic components, building materials and pipes, and of course our furniture. We also export other energy-related products and a derivative of palm oil. We do not yet export our natural resources, but there are several companies in Indonesia that will come to Warsaw from this sector. We are open to investment in oil and energy, especially coal.
What does Indonesia import from Poland?
We import helicopters, ships, machinery and also dairy and meat products. The trade balance in 2007 was $600 million between our two countries and it is in our favor.
You are also looking to expand tourism to Indonesia.
Around 150 companies in the tourism industry will come from Indonesia for the Expo. The increasing per capita income in the whole region, particularly in Central and Eastern Europe, creates a big market for tourism. Unfortunately, the number of tourists from this region is still small-around 10,000 every year from Poland, 50,000 from Russia, and around 5,000 from the Czech Republic. So it is not so big in comparison with other destinations like other traditional Southeast Asian countries, such as Thailand. But I think that Indonesia offers innovative ways of promoting and developing its tourism industry. Indonesia is an endless destination, especially for eco-tourism; we have beautiful places in our country. We will also have 150 artists performing during our Expo from different parts of Indonesia, which is a unique opportunity to see our country's cultural wealth. Our cultural richness is endless with 300 ethnic groups which bring with them their own specialties.
Indonesia has a large number of golf courses.
Yes, lots of them. I organized two golf trips from Poland to Indonesia, and around 30-40 people joined the delegation. We visited several Indonesian provinces, and apart from holding business-to-business meetings our Polish guests cold enjoy golf while conducting business. Golf is very well developed in my country; we have about 150 golf courses and around Jakarta alone you can find 44 of them.
What cultural and educational agreements and exchanges does Indonesia have with Poland?
We signed a cultural and educational agreement with Poland in 2003. We have completed negotiations and I expect this document will be signed this year.
As part of the agreement, we agreed to the exchange of students and lecturers and research cooperation among universities, including cultural exchanges. As part of cultural cooperation our government is working to establish the first Indonesian cultural center in the world in Warsaw.
Additionally, every year we offer 40 scholarships for Polish people to study Indonesian culture, language, dancing and music.
I notice that you are drinking Polish tea-that is black tea with lemon. Have you gotten used to Polish food?
I always prefer Polish food when I am in Poland. It is part of my philosophy to eat the food of the country where I am living. I believe that eating the local food keeps one healthy. And my favorite Polish food is the barszcz soup and pierogi. I also like Polish grilled meats and the large variety of salads here.
Indonesia, a country of 250 million people, is overcoming the economic problems that all of Asia experienced in the late 1990s and is working hard to regain its market share in Europe. The Indonesian embassy in Warsaw is organizing a Trade Expo in Warsaw May 7-10 together with 26 Indonesian embassies throughout Europe.
Hazairin Pohan, Ambassador of the Republic of Indonesia, talks to Jolanta Wolska.
Why did you decide to hold the Expo in Poland?
We wanted to find a central bridge between Western and Eastern Europe. So Poland was a natural choice. And secondly, we wanted to find a country with a robust economy, and I think Poland is already a big market with 40 million people and has a very dynamic economy. Because of the Asian economic crisis in the late 1990s and competition, Indonesia lost its market share in Europe. We now need to show our European counterparts that Indonesia is very competitive both in terms of prices and products. Through this Expo we want to show that Indonesian businessmen are reliable, and we are confident that we will be able to regain the losses that we have suffered. In the last two years we have had around 6-7 percent economic growth. Before the crisis Indonesia had around 8-9 percent growth.
How many companies will be present at the Expo?
We have 26 embassies all over Europe and three consulates-general, and we are all working to bring buyers and investors to Warsaw.
We expect there will be around 1,000 Indonesian companies-manufacturers, wholesalers and distributors. Because of Poland's strategic location I think Poland deserves to be the center for distribution and Polish businesses should establish ties with Indonesia. More than 5,000 buyers and investors will come to Warsaw for the Expo.
What Indonesian businesses are there in this country?
There are several South Korean companies that are listed in Indonesia, and there are Indonesian companies owned by the Koreans that established their factories in Poland, dealing mainly in electronic goods. There is also a strong interest from Indonesian developers who want to invest in building housing complexes, malls and apartments.
What does Indonesia export to Poland?
We mainly export industrial products, electronic components, building materials and pipes, and of course our furniture. We also export other energy-related products and a derivative of palm oil. We do not yet export our natural resources, but there are several companies in Indonesia that will come to Warsaw from this sector. We are open to investment in oil and energy, especially coal.
What does Indonesia import from Poland?
We import helicopters, ships, machinery and also dairy and meat products. The trade balance in 2007 was $600 million between our two countries and it is in our favor.
You are also looking to expand tourism to Indonesia.
Around 150 companies in the tourism industry will come from Indonesia for the Expo. The increasing per capita income in the whole region, particularly in Central and Eastern Europe, creates a big market for tourism. Unfortunately, the number of tourists from this region is still small-around 10,000 every year from Poland, 50,000 from Russia, and around 5,000 from the Czech Republic. So it is not so big in comparison with other destinations like other traditional Southeast Asian countries, such as Thailand. But I think that Indonesia offers innovative ways of promoting and developing its tourism industry. Indonesia is an endless destination, especially for eco-tourism; we have beautiful places in our country. We will also have 150 artists performing during our Expo from different parts of Indonesia, which is a unique opportunity to see our country's cultural wealth. Our cultural richness is endless with 300 ethnic groups which bring with them their own specialties.
Indonesia has a large number of golf courses.
Yes, lots of them. I organized two golf trips from Poland to Indonesia, and around 30-40 people joined the delegation. We visited several Indonesian provinces, and apart from holding business-to-business meetings our Polish guests cold enjoy golf while conducting business. Golf is very well developed in my country; we have about 150 golf courses and around Jakarta alone you can find 44 of them.
What cultural and educational agreements and exchanges does Indonesia have with Poland?
We signed a cultural and educational agreement with Poland in 2003. We have completed negotiations and I expect this document will be signed this year.
As part of the agreement, we agreed to the exchange of students and lecturers and research cooperation among universities, including cultural exchanges. As part of cultural cooperation our government is working to establish the first Indonesian cultural center in the world in Warsaw.
Additionally, every year we offer 40 scholarships for Polish people to study Indonesian culture, language, dancing and music.
I notice that you are drinking Polish tea-that is black tea with lemon. Have you gotten used to Polish food?
I always prefer Polish food when I am in Poland. It is part of my philosophy to eat the food of the country where I am living. I believe that eating the local food keeps one healthy. And my favorite Polish food is the barszcz soup and pierogi. I also like Polish grilled meats and the large variety of salads here.
FIRST INDONESIAN EXPO IN WARSAW
More than 1,000 Indonesian businesspeople are set to come to Poland for the first Indonesian Expo in Central and Eastern Europe (IE-CEE) to be held in Warsaw, May 8-10.
Called Bridging the Distance, the event will be Indonesia's main export and investment promotion program in Europe as part of the country's national action plan for 2008-2012.
At a press conference at the Polish Information and Foreign Investment Agency (PAIiIZ), Feb. 12, Indonesia's ambassador to Poland Hazairin Pohan said, "My government is committed to making the first IE-CEE in Warsaw the country's showcase and to demonstrate that the new Indonesia is a reliable partner on European markets. A lot has changed in the European landscape during the past decade, including the emergence of serious competitors from Asia and the Pacific region."
Pohan said that the first IE-CEE would be the largest and most comprehensive Indonesian exposition of trade, investment and tourism in a foreign country in 2008 and would be an excellent opportunity for Indonesia to display its best products and services in trade, investment and tourism from more than 1,000 top Indonesian companies. There will also be cultural performances of traditional music, dances, as well as Indonesian cuisine.
The exhibition is a joint effort by 26 Indonesian ambassadors in Europe to bring their business community to Warsaw. It is expected that about 5,000 buyers at the distributor level from all over Europe, as well as those from the Commonwealth of Independent States and North Africa, will come to Warsaw.
Indonesia chose Warsaw to showcase the Indonesian government's program for 2008-2012 because Poland is a reliable partner for Indonesia, the largest country in Central European region with a strong economic infrastructure and nearly 40 million people, a member of the European Union and has 5-6 percent GDP growth.
Trade between Indonesia and Poland, worth some $600 million in 2007, "has put Poland as our biggest export destination among all of the Central European countries," said Pohan. He added that Poland was perfect as an entry point to all European countries, with their market of 580 million people.
Indonesia has a population of 250 million and is the largest economy of the ASEAN countries with 6-7 percent GDP growth and a rapidly developing economy. The southeast Asian country, with huge natural as well as human resources, is predicted to take the economic lead of the Asian and Pacific countries.
PAIiIZ President Paweł Wojciechowski said that increasing trade contacts with Indonesia had produced growth in trade last year and that PAIiIZ would assist Indonesian businesspeople, especially those interested in IT-based investment in Poland and to promote investment cooperation between the two countries.
Trade between Indonesia and Poland was worth $600 million in 2007. Indonesian exports were more than double that of Poland and totaled $450 million, while Poland strengthened its import share to Indonesia to $150 million.
Pohan said he expected several Indonesian government ministers to take part in the IE-CEE exhibition, including ministers for trade, culture and tourism, industry and for cooperatives and SMEs. The IE-CEE is part of a strategic ongoing program to strengthen Indonesia's share of European markets, as well as to promote opportunities to offer the best investment projects and tourist destinations. Important official visits to Poland are planned for this year, including a possible state visit by President Susilo Bambang Yudhoyono and by the Indonesian foreign minister.
The Indonesian government is working on expanding the bilateral links with Poland based on newly signed agreements on defense, culture and education, combating terrorism and organized crime, and political consultations. There are good prospects for signing new agreements on economic cooperation, visa-free regimes, and diplomatic training.
Jolanta Wolska
Warsaw Voice, February 20, 2008
Called Bridging the Distance, the event will be Indonesia's main export and investment promotion program in Europe as part of the country's national action plan for 2008-2012.
At a press conference at the Polish Information and Foreign Investment Agency (PAIiIZ), Feb. 12, Indonesia's ambassador to Poland Hazairin Pohan said, "My government is committed to making the first IE-CEE in Warsaw the country's showcase and to demonstrate that the new Indonesia is a reliable partner on European markets. A lot has changed in the European landscape during the past decade, including the emergence of serious competitors from Asia and the Pacific region."
Pohan said that the first IE-CEE would be the largest and most comprehensive Indonesian exposition of trade, investment and tourism in a foreign country in 2008 and would be an excellent opportunity for Indonesia to display its best products and services in trade, investment and tourism from more than 1,000 top Indonesian companies. There will also be cultural performances of traditional music, dances, as well as Indonesian cuisine.
The exhibition is a joint effort by 26 Indonesian ambassadors in Europe to bring their business community to Warsaw. It is expected that about 5,000 buyers at the distributor level from all over Europe, as well as those from the Commonwealth of Independent States and North Africa, will come to Warsaw.
Indonesia chose Warsaw to showcase the Indonesian government's program for 2008-2012 because Poland is a reliable partner for Indonesia, the largest country in Central European region with a strong economic infrastructure and nearly 40 million people, a member of the European Union and has 5-6 percent GDP growth.
Trade between Indonesia and Poland, worth some $600 million in 2007, "has put Poland as our biggest export destination among all of the Central European countries," said Pohan. He added that Poland was perfect as an entry point to all European countries, with their market of 580 million people.
Indonesia has a population of 250 million and is the largest economy of the ASEAN countries with 6-7 percent GDP growth and a rapidly developing economy. The southeast Asian country, with huge natural as well as human resources, is predicted to take the economic lead of the Asian and Pacific countries.
PAIiIZ President Paweł Wojciechowski said that increasing trade contacts with Indonesia had produced growth in trade last year and that PAIiIZ would assist Indonesian businesspeople, especially those interested in IT-based investment in Poland and to promote investment cooperation between the two countries.
Trade between Indonesia and Poland was worth $600 million in 2007. Indonesian exports were more than double that of Poland and totaled $450 million, while Poland strengthened its import share to Indonesia to $150 million.
Pohan said he expected several Indonesian government ministers to take part in the IE-CEE exhibition, including ministers for trade, culture and tourism, industry and for cooperatives and SMEs. The IE-CEE is part of a strategic ongoing program to strengthen Indonesia's share of European markets, as well as to promote opportunities to offer the best investment projects and tourist destinations. Important official visits to Poland are planned for this year, including a possible state visit by President Susilo Bambang Yudhoyono and by the Indonesian foreign minister.
The Indonesian government is working on expanding the bilateral links with Poland based on newly signed agreements on defense, culture and education, combating terrorism and organized crime, and political consultations. There are good prospects for signing new agreements on economic cooperation, visa-free regimes, and diplomatic training.
Jolanta Wolska
Warsaw Voice, February 20, 2008
DEVELOPING LINKS
6 December 2006
Hazairin Pohan, Indonesia's ambassador to Poland, talks with Leslie Sheldon of Warsaw Voice (http://www.warsawvoice.pl/view/13239)
What is the state of bilateral relations between Jakarta and Warsaw? In which areas do the two countries cooperate closely politically? And where do positions differ significantly?
We enjoy excellent relations with Poland which have been deepened and made stronger by democratic changes in both countries and the exchange of visits by our respective presidents. President Megawati visited Poland in 2003. President Kwaśniewski visited Indonesia in 2004 and Prime Minister Belka in 2005.
During this time, Indonesia and Poland have signed 10 different agreements in defense, military-technical and economic fields of activity. We have established a mechanism for the exchange of views on major global issues through the Bilateral Consultation Forum. The first such meeting took place in 2005. Poland is a large country and a very important player in the region, therefore, we welcome the exchange of views on a range of subjects from security and organized crime to reform of the United Nations and the non-proliferation of weapons of mass destruction (WMD), among others. We also welcome Poland to ASEAN where countries in Europe and Asia discuss issues that affect both continents. Now Poland has an opportunity to raise its own agenda in ASEAN.
Of course, we differ on some issues such as Iraq but this does not present an obstacle to even further cooperation between the two countries in the future. In fact, Poland's experience in dealing with new threats in its peacekeeping missions in Afghanistan and Iraq would add to our own knowledge.
In which branches of the economy is Indonesian-Polish cooperation most intense?
Trade relations between the countries are good and growing. The current turnover of trade between Poland and Indonesia is 425 million dollars. Poland is now Indonesia's second-largest market in Central and Eastern Europe, after Russia.
Indonesian companies export hi-tech products, telecommunications equipment, fabrics, clothes, footwear, furniture and paper. Poland supplies us with machinery, civil engineering equipment, steel products and electrical goods. But Poland has even more competitive goods to offer us.
We also see very good opportunities for Polish companies looking to supply mining, electrical, agricultural and food processing equipment. And, with its advantages in technology and know-how, as well as financial support, Poland may easily become an important player in Indonesia, especially in steel and shipbuilding, underground and opencast mining equipment, chemical industry, building and construction machinery, food processing plants and environment protection equipment and know-how.
The two countries benefit from very strong cooperation in the area of military technology know how and products. Indonesia receives assistance in the building of small aircraft (skytrucks) and we buy helicopters from Poland as well as patrol ships from the Gdynia shipyards. And we have new investment projects in the pipeline, around 1.2 billion dollars for coal reserve exploration in mining and coal-based power plants in Kalimantan that is being developed with Polish knowledge and expertise.
In order to facilitate easy trade and communications, the Indonesian government has granted Visa on Arrival for Poles. It is valid for 30 days and easily obtained at any international airport and ports in Indonesia.
We are also going to revitalize the bilateral Joint Economic Sessions for addressing all issues related to trade and economic matters. And we shall launch an Indonesian-Polish Business Council to complement these sessions and which we believe will help us improve business relations between the two countries.
Global terrorism is a key issue for international security. How is this problem tackled by Indonesia, with a majority Muslim population which has radical and separatist tendencies?
Let me begin by saying that Indonesia strongly condemns acts of terrorism in all its forms and manifestations. We believe that the most important task to deal with terrorism is to construct a legal foundation that protects the interest of the public but at the same time defends human rights. A number of very high profile and public trials have taken place in Indonesia and those found guilty have received very severe sentences, including the death sentence. The Indonesian National Police has also done an excellent job in arresting the perpetrators of terrorist activity and uncovering terrorist networks.
On an international level, Indonesia takes part in UN conventions and ministerial meetings. We also take part in bilateral discussions with countries such as Australia, the United States and now Poland. Poland has good knowledge of dealing with weapons of mass destruction which is very important for our counter-intelligence units, and first-hand experience of combating terrorist activities in the theater of war, having provided troops in Iraq.
Poles are increasingly willing to travel. And, Indonesia, especially places such as Bali, are very popular. Do you see Poles becoming important for Indonesian tourism?
The number of Poles visiting Indonesia is on the increase, 5,000 per year at present, but it has some room for growth.
The most popular destinations for Polish tourists are Bali, Lombok and North Sulawesi, which are the world's best places for diving and snorkeling. Java and Komodo islands also offer many tourist attractions. And Poles are becoming more interested in Sumatra as a destination for holidays. Our potential in the eco-tourism industry is unlimited.
We also organize familiarization trips for Polish tour operators and travel journalists, and we expect to see more offers for Polish tourists in the future.
Indonesian culture is promoted in Warsaw by institutions such as the Museum of Asia and the Pacific.
Are there any cultural events planned in the near future in which the embassy is taking part?
On Dec. 14 , we shall mark Indonesia Day at the Institute of Middle and Far East at the Jagiellonian University in Cracow [with] traditional Indonesian dances.
And in 2007 the embassy will conduct exhibitions and performances in arts, Batik exhibition and fashion shows, martial arts, food festivals, an Indonesian movie festival and many more.
In addition, since 1995 the Indonesian government has granted annual scholarships for young Polish people to study the Indonesian language and arts in Indonesia for one year. So far 50 Polish young people have accepted the scholarships, and they contribute in the development of Indonesian arts and culture in Poland.
We are also committed to the implementation of our new bilateral Agreement on Cultural and Education Cooperation. And, in this regard, I believe it is urgent for us to establish an Indonesian Cultural Center in Warsaw within two years.
Hazairin Pohan:
Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary of the Republic of Indonesia to the Republic of Poland; Born: Pematang Siantar, 12 November 1953; Education: Master of Law, University of North Sumatra, Medan, Indonesia, 1980; Foreign Service Course, 1982; Master of Arts in Political Science, University of Washington, Seattle, U.S., 1985; Foreign languages: English, Russian, French; Foreign Service Assignments: Staff, Directorate of International Law and Treaties, Department of Foreign Affairs (DFA) 1980-1985; Second Secretary, Embassy of the Republic of Indonesia in Moscow 1986-1989; Deputy Director, Research and Development Bureau, DFA 1989-1992; First Secretary, Embassy of the Republic of Indonesia in Sofia 1992-1996; Deputy Director/Counselor, Legal and Organizational Bureau, DFA 1996-1998; Minister Counselor, Indonesian Permanent Mission to the United Nations in New York 1998-2002; Director, Directorate for Central and Eastern European Affairs, DFA 2002-2006; Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary of the Republic of Indonesia to the Republic of Poland; Marital Status: Married with four children; Hobbies: Reading, music (playing guitar), traveling, golf.
Hazairin Pohan, Indonesia's ambassador to Poland, talks with Leslie Sheldon of Warsaw Voice (http://www.warsawvoice.pl/view/13239)
What is the state of bilateral relations between Jakarta and Warsaw? In which areas do the two countries cooperate closely politically? And where do positions differ significantly?
We enjoy excellent relations with Poland which have been deepened and made stronger by democratic changes in both countries and the exchange of visits by our respective presidents. President Megawati visited Poland in 2003. President Kwaśniewski visited Indonesia in 2004 and Prime Minister Belka in 2005.
During this time, Indonesia and Poland have signed 10 different agreements in defense, military-technical and economic fields of activity. We have established a mechanism for the exchange of views on major global issues through the Bilateral Consultation Forum. The first such meeting took place in 2005. Poland is a large country and a very important player in the region, therefore, we welcome the exchange of views on a range of subjects from security and organized crime to reform of the United Nations and the non-proliferation of weapons of mass destruction (WMD), among others. We also welcome Poland to ASEAN where countries in Europe and Asia discuss issues that affect both continents. Now Poland has an opportunity to raise its own agenda in ASEAN.
Of course, we differ on some issues such as Iraq but this does not present an obstacle to even further cooperation between the two countries in the future. In fact, Poland's experience in dealing with new threats in its peacekeeping missions in Afghanistan and Iraq would add to our own knowledge.
In which branches of the economy is Indonesian-Polish cooperation most intense?
Trade relations between the countries are good and growing. The current turnover of trade between Poland and Indonesia is 425 million dollars. Poland is now Indonesia's second-largest market in Central and Eastern Europe, after Russia.
Indonesian companies export hi-tech products, telecommunications equipment, fabrics, clothes, footwear, furniture and paper. Poland supplies us with machinery, civil engineering equipment, steel products and electrical goods. But Poland has even more competitive goods to offer us.
We also see very good opportunities for Polish companies looking to supply mining, electrical, agricultural and food processing equipment. And, with its advantages in technology and know-how, as well as financial support, Poland may easily become an important player in Indonesia, especially in steel and shipbuilding, underground and opencast mining equipment, chemical industry, building and construction machinery, food processing plants and environment protection equipment and know-how.
The two countries benefit from very strong cooperation in the area of military technology know how and products. Indonesia receives assistance in the building of small aircraft (skytrucks) and we buy helicopters from Poland as well as patrol ships from the Gdynia shipyards. And we have new investment projects in the pipeline, around 1.2 billion dollars for coal reserve exploration in mining and coal-based power plants in Kalimantan that is being developed with Polish knowledge and expertise.
In order to facilitate easy trade and communications, the Indonesian government has granted Visa on Arrival for Poles. It is valid for 30 days and easily obtained at any international airport and ports in Indonesia.
We are also going to revitalize the bilateral Joint Economic Sessions for addressing all issues related to trade and economic matters. And we shall launch an Indonesian-Polish Business Council to complement these sessions and which we believe will help us improve business relations between the two countries.
Global terrorism is a key issue for international security. How is this problem tackled by Indonesia, with a majority Muslim population which has radical and separatist tendencies?
Let me begin by saying that Indonesia strongly condemns acts of terrorism in all its forms and manifestations. We believe that the most important task to deal with terrorism is to construct a legal foundation that protects the interest of the public but at the same time defends human rights. A number of very high profile and public trials have taken place in Indonesia and those found guilty have received very severe sentences, including the death sentence. The Indonesian National Police has also done an excellent job in arresting the perpetrators of terrorist activity and uncovering terrorist networks.
On an international level, Indonesia takes part in UN conventions and ministerial meetings. We also take part in bilateral discussions with countries such as Australia, the United States and now Poland. Poland has good knowledge of dealing with weapons of mass destruction which is very important for our counter-intelligence units, and first-hand experience of combating terrorist activities in the theater of war, having provided troops in Iraq.
Poles are increasingly willing to travel. And, Indonesia, especially places such as Bali, are very popular. Do you see Poles becoming important for Indonesian tourism?
The number of Poles visiting Indonesia is on the increase, 5,000 per year at present, but it has some room for growth.
The most popular destinations for Polish tourists are Bali, Lombok and North Sulawesi, which are the world's best places for diving and snorkeling. Java and Komodo islands also offer many tourist attractions. And Poles are becoming more interested in Sumatra as a destination for holidays. Our potential in the eco-tourism industry is unlimited.
We also organize familiarization trips for Polish tour operators and travel journalists, and we expect to see more offers for Polish tourists in the future.
Indonesian culture is promoted in Warsaw by institutions such as the Museum of Asia and the Pacific.
Are there any cultural events planned in the near future in which the embassy is taking part?
On Dec. 14 , we shall mark Indonesia Day at the Institute of Middle and Far East at the Jagiellonian University in Cracow [with] traditional Indonesian dances.
And in 2007 the embassy will conduct exhibitions and performances in arts, Batik exhibition and fashion shows, martial arts, food festivals, an Indonesian movie festival and many more.
In addition, since 1995 the Indonesian government has granted annual scholarships for young Polish people to study the Indonesian language and arts in Indonesia for one year. So far 50 Polish young people have accepted the scholarships, and they contribute in the development of Indonesian arts and culture in Poland.
We are also committed to the implementation of our new bilateral Agreement on Cultural and Education Cooperation. And, in this regard, I believe it is urgent for us to establish an Indonesian Cultural Center in Warsaw within two years.
Hazairin Pohan:
Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary of the Republic of Indonesia to the Republic of Poland; Born: Pematang Siantar, 12 November 1953; Education: Master of Law, University of North Sumatra, Medan, Indonesia, 1980; Foreign Service Course, 1982; Master of Arts in Political Science, University of Washington, Seattle, U.S., 1985; Foreign languages: English, Russian, French; Foreign Service Assignments: Staff, Directorate of International Law and Treaties, Department of Foreign Affairs (DFA) 1980-1985; Second Secretary, Embassy of the Republic of Indonesia in Moscow 1986-1989; Deputy Director, Research and Development Bureau, DFA 1989-1992; First Secretary, Embassy of the Republic of Indonesia in Sofia 1992-1996; Deputy Director/Counselor, Legal and Organizational Bureau, DFA 1996-1998; Minister Counselor, Indonesian Permanent Mission to the United Nations in New York 1998-2002; Director, Directorate for Central and Eastern European Affairs, DFA 2002-2006; Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary of the Republic of Indonesia to the Republic of Poland; Marital Status: Married with four children; Hobbies: Reading, music (playing guitar), traveling, golf.
Subscribe to:
Posts (Atom)