Wednesday, February 11, 2009

DEMO PEMEKARAN BERDARAH: SOR SENDIRI

Meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat di awal Pebruari dikeroyok demonstrasi anarkis pendukung pembentukan propinsi Tapanuli, sebagai pemekaran dari Propinsi Sumut, telah membuka mata kita untuk meninjau kembali (review) kebijakan pemekaran wilayah.

Sebagai warga Sumatera Utara yang bermukim di luar negeri namun senantiasa mengikuti perkembangan daerah asalnya, saya tergelitik untuk membuat catatan ini, merespons komunikasi dengan beberapa teman di Jakarta dan Medan.

Saya bukan seorang ahli dalam ilmu perwilayahan atau pemekaran, dan bukan pula seorang praktisi yang berkecimpung di bidang ini. Saya ingin berbagi kepada pembaca beberapa poin.

Kesimpulan saya, kita terlalu banyak berbicara mengenai ‘pohon’ dan lupa melihat ‘hutan’ nya. Kita terlalu banyak bicara pemilu, suatu kemutlakan dalam proses demokrasi seiring dengan pemberdayaan (empowerment) via otonomi daerah sebagai bagian penting dalam memberi arti nyata agar pilihan demokratis menjadi democratic dividends. Tetapi, semua masih berkisar di aspek-aspek statis seperti prosedural, teknis, yang semangatnya baru tahap membagi-bagi (lawan dari kontibutif), belum menyentuh persoalan mendasar dan substantif.

Demonstrasi pemekaran di Medan, lebih dari tindakan anarkis yang bisa mengarah kepada separatisme, menurut saya sudah melenceng jauh berada di luar mainstream agenda nasional untuk penguatan infrastruktur dan budaya demokrasi (democratic culture, values). Singkatnya kawan-kawan di Medan ini berfikir sejurusan saja, istilah Medan ‘sor sendiri’, tanpa berfikir panjang dampak yang ditimbulkannya terhadap image dan trust terhadap orang-orang Batak di mata nasional, yang selama ini sangat setia mendukung bahkan rela berkorban demi Republik.

Mohon maaf, if I call a spade, a spade. Saya tidak berniat melukai perasaan siapapun.


Reaksi Awal

Begitu peristiwa anarkis berdarah terjadi, saya menulis kepada seorang teman dari Medan, sebagai warga sumut saya sangat terpukul dengan kejadian yang memalukan ini. Saya katakan:

‘Bikkin malu halak kita saza itu, seakan-akan kita ini baru turun dari hutan. Tidak sadar kalau Republik telah bertransformasi menuju negara modern. Kawan-kawan kita lupa, Indonesia di mata internasional sudah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga dunia. Tampaknya, membudayakan demokrasi itu dalam sikap kita sehari-hari a long way to go for us. Kejadian di Sumut itu anarkis; demokrasi jalanan apalagi sampai membunuh politisi itu namanya demokrasi untuk menang-menangan! Aku sekarang berjalan tertunduk-tunduk, tidak berani menatap wajah orang....”

Memang, sejak diluncurkannya Bali Democracy Forum akhir Desember 2008 yl, Indonesia mencuat peranannya dalam mendorong proses demokratisasi, terutama di wilayah di Asia Pasifik yang masih banyak menyimpan masalah. Teman-teman di kalangan diplomatik menyampaikan ucapan selamat bagi prestasi Indonesia itu. Selama ini Indonesia dipuji karena perkembangan yang pesat di bidang demokrasi, sejak era reformasi dan berjalan lancar dan aman.

Indonesia telah menjadi harapan dunia. Kita sekarang dalam proses perjuangan berat untuk memperoleh tempat terhormat di dunia internasional, that we legitimately deserve.

Tiba-tiba, bak petir di siang bolong, terjadi demo berdarah itu. Awak pun menjadi malu kali! Sakik na tak seberapa, malu na ini bah!, kata saya kepada teman asal Medan itu.

Tepat seperti kata Presiden SBY, peristiwa meninggalnya Ketua DPRD Sumut telah mencoreng reputasi Republik di mata internasional, yang membuat kita kembali ke zaman kegelapan (dark ages).

Saya berkomentar kepada seorang teman asal Siantar, ”ini akal-akalan Djaultop”. Orang Sumut lama tahu siapa tokoh Djaultop yang culun namun konyol, sebenarnya otaknya sedang-sedang saja, tetapi sok pintar. Dulu, kalau tidak salah, tokoh ini menjadi bintang kartun yang dimuat di Koran Mimbar Umum. Saya bisa membaca motivasi tokoh-tokoh penggeraknya.

Kacau tuh, para Djaultop di Medan.


Root Causes?

Kepada seorang teman warga Sumut yang sejak dulu tinggal di AS, saya menulis email:

“I suggest you need to address the root causes of the tragic event, the crux of the matters, which is the wrong direction, wrong time and for wrong causes, of expressing democratic rights in the name of a proposal to create a new province called "Tapanuli". Instead, they should have come up with a genuine expression in the name of autonomy for the causes of the betterment of the people. But, I’m afraid, those proponents are only interested in power, a reflection of sahwat kekuasaan and nepotism, as always were the cases in many newly created local governments in many parts of the country.

I condemn it in the strongest possible term when they took the law into their hands in expressing their democratic rights, killing a fellow countryman, a councilor. Democracy may be new thing for us. But, the incident shows that there is a long way to go for Indonesians, as long as the ethics, rule of laws, and respect for differing views are not honored. The development of a democratic culture: a necessity for us. I feel ashamed of the tragic event to the international society, because it occurred when they admire us for our being the third largest democracy in the world.”

Banyak pihak menyatakan otonomi daerah kita kebablasan, saya tidak setuju pendapat ini secara keseluruhan.. Dalam perjalanan saya ke daerah-daerah saya banyak bertemu dengan tokoh-tokoh muda yang cerdas dan memiliki komitmen tinggi untuk membangun daerahnya. Dan banyak pula yang berhasil, apabila ukurannya adalah kemajuan ekonomi dan tingkat kesejahteraan penduduk.

Di Sumut tampaknya lain, yang bertarung dalam pilkada adalah tokoh yang itu-itu saja. I question their track records in the past! Saya bilang sama teman, saya sangat khawatir dalam beberapa tahun Sumut akan ketinggalan dengan daerah-daerah lainnya karen lamban dalam membangun institusi dan bahkan budaya demokrasi dalam arti seluasnya, termasuk ekonomi. Topik pembicaraan di sana juga tidak jauh-jauh amat, masih berkisar pada semangat ‘membagi-bagi’ bukan kontributif.

Tidak jauh, gagasan pembentukan Propinsi Tapanuli adalah ide-ide ‘cemerlang’ dari segelintir Djaultop, dengan semangat bagi-membagi atau ‘siapa mendapat apa’. Ironisnya, ‘ide Djaultop’ ini didukung pula kalangan oportunis yang tidak menyadari mereka telah keluar dari ‘mainstream’ bahkan mengarah ke arah memecah belah kesatuan bangsa, dan lebih jauh lagi bermimpi untuk separatisme! Bah, apa-apaan ini.

Di Tapanuli (Utara, Selatan dan Tengah) dan daerah sekirtarnya (Simalungun, Karo, Dairi) kalau tidak salah bermukim setidaknya 8 sub-etnis Batak. Di antara masyarakat di sini, agama bukanlah menjadi faktor pemisah, karena di masyarakat ini adat yang dijunjung. Tanpa semangat inklusif (suku apapun, agama apapun semua berdiri sama tinggi, duduk sama rendah) tidak ada yang namanya ide “‘Tapanuli”, dan usul apapun yang keluar dari mainstream ini, saya bilang kepada teman “a non-starter”. Semangat ini, kan, pada dasarnya menjadi prinsip di Republik kita pasca reformasi!

Saya ingat, beberapa tahun di awal reformasi teman saya juga dari Sumut mewacanakan pembentukan propinsi Tapanuli bahkan merdeka!. Saya bercanda, terus kita-kita ini pulang dong diusir orang kembali ke kampung. Bukankah kita ini suku yang bertemper-tinggi, malah nanti kita berantam satu dengan lainnya? Semua kita PSMS yang di Jakarta ini pulang semua?

Lalu, by definition, Tapanuli itu apa, sih? Bingung, karena berapa banyak sih orang Batak yang mengenal baik daerahnya. Misalnya, ayah saya lahir di Asahan, saya lahir di Pematang Siantar, anak-anak lahir di luar negeri, apa kami ini masih dianggap Batak? Kalau tidak gimana?

Saya bilang, sudahlah Bung. Kita aman-aman kok berada di Republik Indonesia, dan bukankah Republik ini telah menjadi milik kita bersama dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tidak kurang kontribusi kita dalam membangun Republik ini. Jangan dirusak gara-gara ide-ide cemerlang si Djaultop!

Memang setelah saya selidiki, tenyata, ide Propinsi Tapanuli hanya dibeli oleh kabupaten yang itu-itu saja, yang lain menolak. Sebagai bagian demokrasi sah-sah saja. Mungkin perlu waktu, tetapi jangan main paksa, seakan-akan berkata “do not stand on my way, of you are perished”.

Apa pulak cara main seperti ini.


Budaya Amuk?

Kejadian anarkis itu juga menarik pengamatan para sosilog, atau bahkan psikolog (mungkin juga dukun!) yang mencoba menelusuri darimana sumber budaya amuk (run amok) dalam konteks demokrasi. Saya berkomentar:

“Mengamuk merupakan ekspresi frustrasi, Why? Karena komunikasi nggak nyambung, Why? Karena tertutup atau ditutup (dengan sengaja) sehingga building up (meluap). Tsunami bertatap tembok. Why anarkis?: Karena tidak mampu menguasai diri atau mengekspresikan dengan baik tuntutan, tidak artikulatif (articulate) karena bahasanya (termasuk yg tersirat, dan bahasa tubuh) tidak dipahami, dan tidak kontekstual, terlalu lokal: ‘sor sendiri lah’, kata orang Medan.

Layaknya anak kecil yang marah dan frustrasi karena maunya tidak dimengerti dan kita juga mungkin tidak berusaha memahaminya, atau menganggap tidak relevan, mengada-ada. Lalu dia mengamuk.

Di dalam sistem demokrasi dikenal aturan main dan tata-cara. Seandainya tata-cara dan aturan main tidak dijadikan referensi dalam bertindak, maka anarkis, chaos: when everyone is taking the laws into their hands, ini namanya menang-menangan.

Saudara sebangsa (di tingkat nasional) nggak ngerti, karena ide Propinsi Tapanuli itu terlalu lokal. Mereka para penggagas dan demonstran juga nggak ngerti bahwa tindakan anarkis itu merusak bangsanya, reputasi negaranya, di mata internasional. Jadi, jangan sor sendiri-lah, Lae”.

Menanggapi aksi anarkis di Medan, menjadi pitam pulak awak ini!


A Panacea?

Dalam komunikasi saya dengan salah seorang politisi nasional saya menyatakan perasaan malu sebagai orang Batak atas perilaku saudara-saudara saya di sana yang mencederai nama Republik. Saya lebih lanjut mengatakan:

“Tentu biang keladi peristiwa berdarah itu bukan etnis Batak secara keseluruhan. Tetapi saya bertanya what a coincidence, yang ditahan polisi etnis Batak dan yang menjadi kausa adalah pembentukan Propinsi Tapanuli, artinya ya, Batak. Saya melancarkan otokritik terhadap segelintir tokoh-tokoh dari etnis saya sendiri, atau mengklaim menjadi tokohnya karena meng-entertain ide-ide konyol itu. Saya melihat, gagasan ini hanya menjadi penyaluran sahwat kekuasaan segelintir orang saja, dan saya tidak melihat merit apapun dalam konsep itu pembentukan propinsi Tapanuli. Meskipun sudah berlangsung pemekaran dan pemekaran, rakyat di Sumut tetap saja sengsara. Masyarakat kami juga perlu belajar, pengalaman menunjukkan bahwa beberapa kabupaten atau kotamadya yang baru dimekarkan tidak lebih sebagai pabrik penampungan lapangan kerja bagi keluarga dan teman-teman saja, nepotisme. Mudah-mudahan saya salah, tetapi saya tidak melihat adanya peningkatan kesejahteraan rakyat di sana.

Pembentukan propinsi Tapanuli tidak akan menyembuhkan penyakit kronis, tidak akan menjadi panacea. Gagasan itu tidak mengobati penyakit yang berurat-berakar di sana. Karena itu, obatnya yang lain saja.

Mungkin saya berlebihan, tetapi menurut saya kami orang Batak sebagai bagian dari bangsa ini, wajar meminta maaf kepada bangsa dan negara. Saya mengutuk kejadian yang telah mencoreng wajah Republik di mata international.


Non-Democratic Euphoria

Rakyat Indonesia menyambut gembira Indonesia memasuki era demokrasi. Tetapi, apabila euforia demokrasi diwujudkan dalam bentuk pembentukan local governments yang baru tanpa perlu memperhatikan ‘hutan’ nya, adalah keliru.

Oleh karena itu tepat jika kebijakan ini ditinjau ulang. Apalagi sampai membahayakan NKRI. Ketua Panja Pemekaran DPR RI Chozin Chumaidy menyatakan meskipun masih akan diputuskan pada tingkat DPR, namun pihaknya setuju dengan pendapat pemerintah untuk menghentikan sementara seluruh proses pemekaran wilayah di tanah air (Jurnal Nasional, 7 Pebruari).

Chumaidy juga menganalisis ada 3 pihak yang selalu getol mengupayakan pemekaran wilayah, yakni eksekutif, politisi dan pengusaha. Katanya, kalangan eksekutif berkepentingan untuk mendapat posisi-posisi baru di pemerintahan di daerah otonom baru politisi berharap mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan kursi di lembaga-lembaga legislatif yang otomatis harus dibentuk setelah pemekaran wilayah disetujui, sedangkan pengusaha melihat peluang berinvestasi di daerah yang baru saja dimekarkan. Saya kira, gejala ini juga ada di balik ide Propinsi Tapanuli. Sor sendiri saja!

Mengapa setelah terjadi pemekaran kesejahteraan rakyat tidak kunjung meningkat? Karena para penguasa-penguasa baru masih sibuk bertahun-tahun memikirkan pembangunan gedung, penyusunan organisasi pemerintahan (jabatan eselon 1,2,3, dan 4), rekrutmen pegawai, anggaran, pembentukan badan legislatif, pembuatan perda tentang pungutan pajak, dsb. Menjadi jelas, pemekaran bukan panacea.

Ada yang lukratif di sana (fulus), tanpa tahu bahayanya (memecah-belah kesatuan bangsa).Ada satu gejala yang menurut saya aneh dalam pelaksanaan otonomi daerah. Lucunya, bilamana otonomi daerah berdasarkan UU diberikan kepada pemerintah lokal di tingkat kabupaten atau kota, sebenarnya apa fungsi gubernur? Di negara yang menganut otononomi serupa dengan kita, kantor gubernur cuma kecil saja dengan pegawai tidak lebih dari 100 orang. Di kita? Pilkada gubernur seperti pertaruhan hidup dan mati (kalau perlu, mengerahkan massa bayaran), dan meskipun sudah reformasi jumlah pegawai di kantor gubernur tetap saja puluhan ribu pegawai! Saya tidak mengerti apa saja yang dikerjakan sehingga perlu jumlah puluhan ribu pegawai! Anggarannya juga mammouth!

Untuk melaksanakan fungsi apa, pekerjaan apa? Koordinasi? Ini juga gejala yang memalukan bangsa, masak untuk urusan koordinasi kita memerlukan puluhan ribu pegawai! Masya Allah, ini mah business as usual, atau masih dengan semangat ‘sor sendiri’ itu. Atau, saya gagal memahami bahwa materi yang menggiurkan (lucrative) ini sebenarnya yang menjadi the bone of contention?

Di negara yang menganut sistem serupa dengan Indonesia, misalnya Polandia, gubernur berfungsi sekadar mengawasi apakah undang-undang negara dijalankan dengan benar dan koordinasi pembangunan ekonomi (termasuk manajemen alokasi APBN untuk daerah) di antara semua daerah tingkat-2 di wilayahnya. Yang powerful adalah walikota, langsung mengurus kepentingan rakyat di daerahnya.

Jadi wajar, kantor gubernur dan pegawainya kecil saja.


The Way to the Future

Jika kita berbicara tentang pemekaran wilayah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, mungkin perlu kita sepakati terlebih dahulu apa parameternya. Sejumlah para ahli berbicara mengenai persyaratan adiminstratif dan prosedural, tetapi saya lebih tertarik pada penjelasan substantif dan politis. Ini seharusnya yang menjadi threshold.

Parameter pertama yang perlu kita bicarakan sebelum membicarakan pemekaran wilayah menurut saya adalah parameter viability: mampukah daerah itu hidup secara ekonomis dan memiliki prospek yang lebih baik untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya? Kalau tidak terpenuhi, saya bilang kepada teman: “proposalnya a non-starter”, alias masuk keranjang sampah.

Parameter kedua berkaitan dengan NKRI dan kesatuan bangsa: apakah usul pemekaran itu akan memperlemah atau memperkuat NKRI dan rasa kebangsaan? Kalau tujuannya memecah-belah bangsa dan memperlemah NKRI, lupakan saja. Kenapa kita mesti hidup terkotak-kotak dalam etnis kesukuan atau agama pada saat Republik telah bertransformasi menjadi Negara inklusif di mana semua orang memiliki hak yang sama. Republik ini telah menjadi milik kita bersama, kok.

Setelah lulus dari kedua parameter di atas, barulah kita berbicara pada aspek-aspek hukum dan prosedural dan administratif. Menurut saya, pada tingkat ini kita perlu pengamanan prosedural untuk memagari integritas NKRI, bahwa pemekaran harus mendapat persetujuan mayoritas dari DPRD setempat, atau jika perlu pada tingkat MPR (DPR plus DPD). Aman, deh.

This is my bottom line!

Tanpa melihat “hutan” nya, banyak Djaultop-Djaultop yang frustrasi berkumpul dan bermimpi menjadi orang berkuasa dengan menggagas ide-ide konyol. Jangan ‘sor sendiri’ lah. Dan, jangan dibiarkan mereka mendiktekan agendanya kepada kita!.

Mari kita berdiskusi terbuka di era demokrasi, sementara emosi tinggal di belakang.

Warsawa, 8 Pebruari 2009

*Catatan/Pendapat pribadi penulis.

No comments:

Post a Comment