Tuesday, February 24, 2009

MENGAPA PENTING BERDIRINYA PUSAT BUDAYA INDONESIA

Pengantar

Penggunaan softpower dalam hubungan internasional kini kian menonjol. Konsep softpower yang diperkenalkan oleh Profesor Joseph Nye dari Harvard University adalah penonjolan cara-cara non-militer dalam mempengaruhi negara lain atau memoles citra (image polishing) melalui kekuatan politis, ekonomi dan kebudayaan.

Pemerintah suatu negara memproyeksikan softpower tersebut ke luar melalui cara-cara diplomasi publik (public diplomacy campaign).

Dalam tulisan ini saya menyarankan untuk penggunaan amunisi budaya nasional dalam diplomasi publik untuk memaksimalkan capaian pelaksanaan politik luar negeri RI. Budaya nasional kita sangat berpotensi dalam mengokohkan citra bangsa. Yang kita lakukan bukan image polishing, seperti di jaman orde baru, tetapi lebih merupakan good image projection, melalui medium budaya.

Negara-negara besar menggunakan diplomasi publik untuk memperoleh dukungan internasional terhadap kebijakannya. Contoh paling aktual adalah Amerika Serikat yang sangat proaktif di dalam melaksanakan diplomasi publik dengan menggunakan berbagai medium to win the hearts and minds of the Muslim World. Bahkan China, hanya untuk media saja, rela membelanjakan USD. 6,6 milyar untuk membiayai kantor berita Xinhua dan siaran CCTV yang akan dipancarkan dalam berbagai bahasa-bahasa internasional ke seluruh penjuru dunia.

Pada dasarnya diplomasi publik ditujukan kepada masyarakat di luar negeri, melalui instrumen dan cara-cara yang masuk dalam kelompok second track diplomacy, melalui kegiatan pertukaran kebudayaan, dialog antar-bangsa, kerjasama organisasi kemasyarakatan.

Namun, di berbagai negara demokrasi baru seperti di negara kita, euforia di alam politik yang baru juga mendorong aktifnya masyarakat di dalam proses penyusunan kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, sebagian kegiatan diplomasi publik juga ditujukan kepada unsur-unsur masyarakat di dalam negeri, sebagai medium komunikasi dengan para elit politik, mengenai berbagai kebijakan pemerintah terhadap isu-isu global tertentu.

Semakin luas pemahaman dan partisipasi masyarakat, di luar dan dalam negeri, dalam pengambilan keputusan mengenai isu-isu prioritas tersebut, maka semakin besar pula dukungan kepada Pemerintah dalam memaksimalkan capaian politik luar negeri.

Departemen luar negeri RI sebagai institusi yang paling bertanggungjawab dalam pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri dewasa ini gencar mengadakan pertemuan tokoh-tokoh untuk membicarakan isu-isu luar negeri melalui foreign-policy breakfast, dialog interfaith, melibatkan kelompok akademisi dan think-tank dan pemangku kepentingan lainnya dalam perumusan kebijakan. Medium ini dinilai sangat berhasil.

Tidak kurang pentingnya, kegiatan diplomasi publik pemerintah RI juga dilaksanakan di luar negeri. Kepentingan kita di luar negeri adalah jangka panjang, yaitu memproyeksikan Indonesia sebagai negara besar di dunia. Kita masih perlu memberikan perhatian lebih besar di bidang ini.

Dalam tulisan ini saya menyarankan, agar lebih efekti diplomasi publik melalui diplomasi kebudayaan dilaksanakan melalui pusat-pusat kebudayaan (cultural center) di luar negeri. Saya menyarankan istilah atau nama yang digunakan berikutnya adalah Pusat Budaya Indonesia (PBI).

Meskipun bangsa Indonesia telah berusia 100 tahun, dan telah merdeka 64 tahun, namun kita belum memiliki satu pun PBI. Kita adalah negara terbesar ke-4 di dunia, namun kurang dikenal. Dengan potensi budaya tidak-terbatas, Indonesia juga berhak mengklaim, setidaknya, sebagai superpower di bidang kebudayaan.


Apa Urgensinya?

Urgensi pembentukan PBI berada di tempat tertinggi dalam sistem perundang-undangan nasional. Tidak kurang, Undang Undang Dasar 1945, khususnya pada Pasal 32(1) menggarisbawahi tanggungjawab Negara dalam memajukan kebudayaan nasional di dalam pergaulan antar-bangsa dan antar-negara. Kemudian pada Pasal 32(1) lebih lanjut ditegaskan ”Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan mesyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

Ironisnya, sampai saat ini kita belum membentuk satupun Pusat Budaya Indonesia dengan status hukum (nasional) yang jelas dan terdaftar sesuai dengan hukum di negara setempat. Memang, telah banyak kegiatan-kegiatan promosi budaya yang dilakukan oleh KBRI bekerjasama dengan berbagai kelompok kesenian dari Indonesia atau dari masyarakat pencinta Indonesia setempat. Namun, kegiatan-kegiatan dan lembaga non-permanen ini belum dapat disebut Pusat Budaya Indonesia, sesuai dengan parameter hukum nasional.

Kegiatan-kegiatan kebudayaan Indonesia di luar negeri yang selama ini telah dikenal al. friendship society, grup tari tradisional, pencak silat, gamelan, kursus Bahasa Indonesia, dan Sekolah Indonesia dalam berbagai naungan KBRI di berbagai negara. Namun, keberadaan dan aktifitas kelompok-kelompok seperti ini selalu dilandaskan kepada kebijakan Duta Besar. Kecuali untuk Sekolah Indonesia, pada dasarnya kelompok-kelompok kegiatan ini tidak mendapat arahan dan dukungan anggaran dari Pusat. Oleh karena itu, keberadaan dan aktifitasnya sering timbul tenggelam.

Statusnya belum mencapai kualifikasi sebagaimana Prancis menggunakan CCF, Inggeris dengan British Council, Amerika Serikat melalui USIS atau PPIA, Jerman dengan Goethe Institute, dan berbagai cultural center dari negara-negara lainnya seperti India, Rusia, China, dan bahkan Nigeria.

Negara-negara tersebut telah menjadikan pusat-pusat budaya sebagai cultural arms dan bagian dari pelaksanaan diplomasi.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kegiatan-kegiatan budaya berkaitan langsung dengan peningkatan citra RI (sebagai negara yang kaya dengan kebudayaan), sambil promosi pariwisata dan meningkatkan perdagangan dan investasi. Ini merupakan nilai-tambahnya.


The Paradox of Plenty

Pepatah nenek moyang kita “ayam mati di lumbung padi” bisa terjadi bagi diri kita, bilamana kita tidak menyadari sebenarnya nenek-moyang telah memberikan warisan secara eksklusif berbagai produk-produk budaya kepada anak cucunya. Mungkin kita belum menyadari, Indonesia adalah "superpower" di bidang kebudayaan.

Mengapa? Indonesia memiliki khazanah yang luar biasa di dalam budaya nasional. Bayangkan, negeri ini terbentuk dari lebih 300 suku bangsa dengan berbagai kelengkapan budayanya: agama dan kepercayaan, bahasa, kesusasteraan, seni tari, musik dan perlengkapannya, seni beladiri, seni-ukir, pakaian, dan makanan dan bakat-bakat beragam pada masing-masing etnis anak-bangsa.

Ratusan suku bangsa nusantara ini dengan bahasa sendiri-sendiri dan kelengkapan budayanya selama ratusan tahun telah berinteraksi, berakulturasi, satu dengan lainnya. Hasil akhirnya, ribuan jenis ukiran, tarian, musik, nyanyian, pakaian, jenis makanan dan berbagai produk budaya lainnya telah mengisi khazanah budaya nasional.

Coba cari, apakah ada di muka bumi ini suatu bangsa yang memiliki kekayaan budaya melebihi bangsa Indonesia?

Warisan nenek-moyang Ini juga dapat menjadi sumber inspirasi para artis, seniman, kalangan industri, yang tidak akan pernah kering. Bila dikemas baik, produknya mungkin mencapai puluh ribuan, atau malah jutaan jenis produk! "The sky is the limit", kata orang. Berbagai industri kreatif kita juga bisa meminjam dari inspirasi karya-karya agung nenek-moyang kita.

Sulit bagi kita untuk mengadakan pameran kebudayaan untuk menggambarkan Indonesia lengkap dan utuh! Terlalu besar, terlalu luas, terlalu kaya! Agar lebih focus, cultural performance kita ditampilkan dengan satu tema atau per provinsi saja. Jangan terlalu ambisius, nanti seperti gado-gado, pesannya tidak sampai.

Jika kita tidak mampu mengembangkan warisan nenek-moyang kita, mengemasnya ke dalam berbagai produk budaya termasuk menjadikannya sebagai kegiatan ekonomi yang menghidupi rakyat, ini menjadi skandal! The paradox of plenty.

Sementara negara-negara lain ada yang megap-megap berupaya mencari dan menemukan budaya sebagai identitas nasionalnya. Bila saya menyaksikan traditional cultural performance di luar negeri, jarang yang impresif, mungkin tidak terlalu signikan, atau mirip-mirip budaya milik bangsa lain. Bagi Indonesia? Tinggal pungut saja, dia ada di mana-mana.

Cultural deficit terdapat di mana-mana. Dan mereka terus-menerus akan berupaya mencari identitas, jika perlu mengklaim, menjiplak atau meniru-niru milik kita. Sering-sering mereka mencoba mengklaim “ini kami punya”, dan bahkan lebih nekad: mendaftarkannya sebagai produk budaya mereka.

Ada pula, seperti AS yang sangat kuat dalam budaya kontemporer, namun budaya ini ada di mana-mana. Sulit diklaim sebagai identitas. Atau menjadi nekad, identitas itu dikaitkan dengan berbagai produk missal, seperti coca cola, popcorn, Starbuck, pizza, breakdance, blues dan jazz, dan berbagai produk teknologi lainnya.

Tetapi produk budaya ini terbatas dalam melahirkan nilai-nilai spiritual, hanya hiburan dan kesementaraan. Dia seperti mode, selalu berganti dan digantikan dengan yang baru. “Budaya” ini lebih terkait dengan gaya hidup saja.

Oleh karena itu, saya yakin jika komponen budaya nasional ini kita masukkan ke dalam paket diplomasi melalui wadah permanen maka hasilnya akan lebih maksimal dalam meningkatkan citra-positif RI di luar negeri.

Semakin banyak bangsa asing mengenal dan mencintai budaya RI, dengan sendirinya semakin kuat pendukung kita di luar negeri. Seperti saya katakan semula, peningkatan aktifitas budaya ini pada akhirnya akan memberikan nilai-tambah untuk tujuan-tujuan ekonomi: pariwisata, perdagangan dan investasi.


Dari Mana Kita Memulai?

Dewasa ini sangat disadari penting segera menyusun strategi nasional dalam mengefektifkan penggunaan jalur diplomasi kebudayaan sebagai “softpower” tadi.

Sekarang, sudah waktunya Pemerintah RI membentuk Pusat-Pusat Budya Indonesia (Indonesian Cultural Center) di luar negeri.

Untuk mengawali pembentukan insitutusi baru ini, saya menyarankan pembentukan pilot project di masing-masing kawasan regional, seperti misalnya Eropa Barat, Eropa Tengah dan Timur, Amerika Utara, Amerika Selatan, Timur Tengah, Afrika, Asia dan Pasifik. Pada tahap berikutnya, secara ideal pusat-pusat budaya ini telah terbentuk di semua negara-negara penting di dunia.

Pembentukan proyek percontohan (pilot project) cukup di 2 atau 3 tempat terlebih dahulu sehingga tidak memerlukan dana yang besar. Setiap proyek percontohan memerlukan waktu sekitar 5 tahun untuk menjadi lembaga yang mandiri, dan kemudian dapat dibiakkan ke Perwakilan-Perwakilan RI di kawasan sekitarnya. Dalam proses pembentukannya, KBRI-KBRI se kawasan dapat pula memberikan dukungan/kontribusi di bidang materi kebudayaan untuk pematangan pembentukan Indonesian Cultural Center tersebut.

Sebagai instrumen Pemerintah RI di negara akreditasi, PBI menjadi lembaga non-profit yang memperoleh dukungan dana, tenaga penyelenggara termasuk pelatih, alat-alat kelengkapan/material dari Pemerintah RI serta bantuan tidak-mengikat dari pihak-pihak lainnya.

Bagaimana prosedur pembentukannya? UU No. 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang juga mengakui pentingnya peranan budaya dalam diplomasi, dan menetapkan bahwa kompetensi pembentukan PBI berada di tangan Menteri Luar Negeri. Melalui PBI, sebanyak mungkin masyarakat pencinta budaya Indonesia dan friends of Indonesia dilibatkan. Pemerintah RI menjadi fasilitator saja.


Rencana Pembentukan PBI di Warsawa

Sejak 2 tahun terakhir, kami gencar melakukan persiapan untuk pembentukan Pusat Budaya Indonesia di Warsawa. Sudah beberapa kali kami mengadakan sarasehan mengundang semua pekerja budaya, baik WNI maupun WN Polandia untuk berbagi pendapat.

Beberapa faktor yang mendukung untuk pembentukannya, saya mencoba simpulkan berikut ini.

Faktor pertama adalah politis. Polandia adalah negara-menengah ukuran Eropa yang berpenduduk hampir 40 juta, anggota NATO dan Uni Eropa, meskipun mayoritas (95%) penduduknya beragama Katolik namun paling toleran dibanding negara-negara lainnya di kawasan, serta sejak dahulu kala memiliki berbagai center of excellence di bidang pendidikan dan kebudayaan setara dengan negara Eropa lainnya.

Hubungan bilateral RI - Polandia telah berusia lebih dari 50 tahun, dan akhir-akhir ini telah mencapai puncaknya melalui kunjungan kenegaraan timbal-balik antara kedua kepala negara. Presiden RI melakukan kunjungan kenegaraan dalam tahun 2003, dan dibalas oleh kunjungan kenegaraan Presiden Aleksander Kwasniewski (2004) dan Perdana Menteri Marek Belka (2005).

Faktor kedua merupakan pertimbangan ekonomi. Dalam tahun 2007, Polandia telah menjadi pasar terpenting di seluruh kawasan Eropa Tengah dan Timur dengan angka perdagangan timbal-balik kl. USD. 600 juta dan ekspor RI kl. USD. 450 juta. Dewasa ini sejumlah investor Polandia bermaksud menanamkan modalnya di Indonesia kl. Senilai USD. 1,2 milyar dalam berbagai proyek infrastruktur di bidang pertambangan dan industri tenaga listrik batubara. Di samping itu, terdapat prospek yang potensial untuk kerjasama bilateral dalam industri strategis, seperti misalnya dalam kerjasama industri pesawat terbang (dengan PT Dirgantara Indonesia), kapal patroli (dengan PT PAL) dan modernisasi radar (PT LEN).

Faktor ketiga menyangkut landasan hukum. Indonesia dan Polandia telah memiliki Agreement on Cultural and Education Cooperation yang ditandatangani pada tahun 2003. Persetujuan bilateral dengan Polandia, dalam format baru sesuai perkembangan sekarang, merupakan pertama kalinya dimiliki Indonesia dari seluruh negara kawasan Eropa Tengah dan Timur.

Kedua negara telah pula menandatangani Protocol on Cultural and Educational Exchanges between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Poland for the Years 2008 – 2011, yang berisikan berbagai rencana aksi.

Dalam Agreement dan Protocol tersebut, pemerintah Indonesia dan Polandia telah menyepakati untuk pembentukan pusat kebudayaan mereka di masing-masing ibukota negara.

Faktor keempat merupakan jaminan kontinuitas dan keberlanjutan (sustanaibility) yang berkaitan dengan infrastruktur yang tersedia dan minat di kalangan masayarakat Polandia terhadap kebudayaan Indonesia.

Sejak beberapa tahun yang lalu, telah terbentuk Warsawa Gamelan Group di bawah naungan KBRI Warsawa dan di Institut Musikologi Universitas Warsawa beranggotan mahasiswa-mahasiswa Polandia. Grup ini telah memiliki status Badan Hukum di Polandia. Selain itu, kini menjamur kegiatan-kegiatan promosi budaya lainnya melalui program pendidikan Bahasa Indonesia di Institut Linguistik pada Universitas Adam Mickiewicz di Poznan, kelompok tari tradisional Indonesia di Gdansk, dan kelompok pencak-silat di Poznan, seni lukis batik, dan berbagai pameran kebudayaan Indonesia di Museum Asia Pasifik di Warsawa.

Di bidang makanan, restoran “Galeria Bali” mulai dikenal baik di Warsawa. Untuk persiapan pembentukannya, Dubes RI Warsawa telah memperoleh komitmen dari Menteri Luar Negeri, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, dan Menteri Pendidikan Nasional.

Tidak kurang, Ketua DPR RI Agung Laksono ketika bertemu dengan tokoh-tokoh masyarakat Indonesia dalam kunjungannya ke Polandia pada bulan Desember 2007 yang lalu dan berbagai delegasi dalam rangka kunjungan DPR RI, termasuk Komisi Anggaran, serta DPD RI menyambut baik dan mendukung pembentukan PBI di Warsawa.


Action Plan

Dewasa ini KBRI Warsawa sedang mengintensifkan penguatan infrastruktur al. melalui pendataan/pemetaan potensi seluruh cabang-cabang kebudayaan Indonesia di kalangan masyarakat/institusi di Polandia, serta mengupayakan adanya gedung (sementara) PBI, baik disewa sesuai dengan kemampuan keuangan KBRI Warsawa, atau mencari dukungan dari masyarakat Polandia, terutama di kalangan usahawan yang memiliki kedekatan hubungan dengan Indonesia.

Dalam rangka persiapan pembentukan PBI, KBRI mulai mempersiapkan infrastrukturnya, antara lain, PBI sebagai pusat informasi budaya dan umum, termasuk penyediaan layanan perpustakaan buku-buku tentang Indonesia, sekaligus sebagai sarana untuk workshop, seminar/diskusi, latihan seni budaya tari, nyanyian, musik, film dan teater baik tradisional maupun modern, kulinari, dan sebagai padepokan pencak-silat.

PBI melalui program-program KBRI Warsawa gencar pula melakukan kegiatan promosi kebudayaan Indonesia, seperti pertunjukan budaya, kegiatan rutin pemutaran film-film Indonesia, dan mendorong peningkatan minat warga Polandia untuk belajar bahasa Indonesia.

KBRI Warsawa juga sedang memperkaya koleksi buku-buku tentang budaya dan informasi umum lainnya, memperbanyak kegiatan penampilan budaya baik sendiri maupun bekerjasama dengan berbagai sanggar yang terdapat di Polandia, menyelenggarakan festival film Indonesia, kegiatan latihan-latihan tari, musik tradisional, persiapan pembukaan kursus Bahasa Indonesia.

Kapan PBI akan diresmikan? Pembentukan PBI merupakan pekerjaan besar yang melibatkan banyak pihak sebagai stakeholders. Idealnya, PBI bisa diresmikan dalam tahun 2009, atau setidaknya dalam tahun ini kami telah mempersiapkan berbagai kelengkapan infrastruktur termasuk memulai kegiatan secara teratur.

Peresmian itu seremonial, menjadi soal kedua. Yang penting, jalan dulu. Bilamana telah terbentuk dan berjalan secara permanen, barulah PBI pertama di dunia itu diresmikan. Dengan terbentuknya PBI, maka kita telah melaksanakan amanat UUD 1945 sekaligus kita akan memiliki cultural arms yang efektif dalam mendukung politik luar negeri bebas dan aktif.

Warsawa, 24 Februari 2009

Sunday, February 22, 2009

OBAMABAD

“With one stroke, the Americans have changed the world’s attitude towards them”, kata saya kepada seorang diplomat dalam suatu diplomatic cocktail. Dunia memang berpaling kembali menatap Amerika Serikat, karena kini penghuni Gedung Putih adalah presiden baru seorang yang memiliki nama unik: Barack Hussein Obama. Dia memiliki credentials yang sangat meyakinkan: mantan seorang aktivis masyarakat yang telah meluluhlantakkan mesin politik terbesar di Washington, penguasa Partai Demokrat dan Partai Republik.

Dia muncul dari puing-puing George W. Bush, tokoh yang menurut seorang kartunis Amerika hanya memiliki satu-satunya keberhasilan dalam seluruh masa dua periode kepresidenannya: mengelakkan lemparan sepatu dalam suatu konperensi pers di Baghdad.

Orang mengatakan sejarah baru telah terukir di Amerika, dan dunia pun goncang. Abad Obama telah lahir, atau Obamabad, seperti judul tulisan saya. Ketika Pakistan merdeka, mereka memberi nama ibukotanya Islamabad, merefleksikan harapan kaum Muslim Pakistan munculnya abad Islam di dunia.

Obama adalah pemimpin yang lahir pada saat dunia menghadapi resesi ekonomi terberat, kerusakan lingkungan, marah karena kegagalan masyarakat internasional mencegah Israel dengan sesuka hati, bak memiliki ‘a blank check’, membunuh ribuan anak-anak, wanita, dan orangtua di Jalur Gaza.

Dunia frustrasi karena rakyat Palestina tidak dapat melindungi dirinya menghadapi serangan agresi Israel, meskipun Pasal 51 Piagam PBB memberi hak yang sah untuk bertempur membela diri (self-defense). Ironisnya, Israel malah menggunakan Pasal 51 yang sama, menyerang membabi-buta dan sangat intrusif ke rumah-rumah penduduk, rumah ibadah sekolah dan rumah sakit di Jalur Gaza, dibiarkan.

Makanya, harapan meninggi bahwa Obama akan memimpin dunia kembali ke jalurnya yang benar. Hah! Terlalu banyak masalah-masalah penting di dunia, namun terlalu kecil daya yang dimiliki oleh AS sekarang ini. Bukankah resesi ekonomi dunia sekarang dimulai dari Amerika in the first place? Apa bisa? Nyatanya, negara adikuasa ini hampir lumpuh menghadapi masalah-masalah berskala mammouth!

Di belahan dunia lain, di Indonesia, masyarakat kita bak tersengat menyambut kemenangan Obama. Anak kecil periang berkulit gelap berambut keriting bernama Barry Soetoro yang tinggal pada tahun 1960-an dengan ayah tirinya Lolo Soetoro di Menteng pinggiran, sangat disenangi teman-teman sekolahnya di SD Negeri No. 1 Menteng. Wajar dia banyak memiliki teman dan pengagum di sini.

Obama Mania ada di mana-mana di sudut belahan dunia. Di Berlin, bak seorang superstar, Obama membuat ‘konser’ yang dihadiri sekitar 300 ribu orang, terpana menyaksikan langsung orator ulung abad ke-21. Seperti di AS, Obama dalam kampanye itu hanya menjual tema sederhana: hope and change! Hadirin kesurupan menyampaikan koor “Yes We Can!”.

Dalam konsernya di Berlin, Obama bukan seorang penyanyi meski tampil, seperti biasanya, rapi bak seorang pemain orkes simponi. Dan orang memenuhi Berlin Tiergarten hanya untuk merasakan ‘efek’ Obama.

Heran. Bukannya orang sekarang sudah bosan dengan pidato-pidatoan? Orang sekarang maunya ‘action’! Tidak usah jauh-jauh bisa memecahkan masalah dunia, jika Anda bisa menyelesaikan masalah di rumah tangga pada zaman sekarang Anda wajar terpilih menjadi “Man of the Year”. Jadi, tidak usahlah berambisi mencoba atasi masalah dunia yang menggunung itu.

Dunia Islam pun berharap besar pada Obama karena dia tidak memandang perbedaan agama, etnis dan bahkan peradaban untuk menentukan siapa lawan, siapa kawan. Menurut seorang kolumnis di International Herald Tribune yang menjenguk SD No. 1Menteng, di sekolah itu terpampang coat of arms Garuda, dengan semboyan jelas yang berarti dalam bahasa Inggeris “Unity in Diversity”. Jadi, perbedaan itu rahmat. Obama pun tidak setuju dengan AS mendiktekan kemauannya kepada dunia, mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukan AS di masa lalu. Dia berjanji akan mengubah tabiat buruk itu.


Diplomasi Global

Para diplomat adalah populasi segelintir manusia elit yang ada di setiap negara. Komunitasnya bak Mafia, jejaringnya mendunia. Mereka ini adalah orang yang paling berbahagia menyambut Obama. Kaum profesional lain yang paling bersemangat menyambut Obama Mania adalah politisi. Obama menjadi species baru, menjadi contoh bahwa pada saat bersamaan orang bisa menjadi diplomat sekaligus politisi. Dia top di dua profesi ini. Siapa yang membantah, presiden Amerika itu kini telah menjadi the powerful politician on earth! Nanti saya uraikan, dia juga telah menjadi the most effective diplomat on earth.

Politisi membuat kebijakan. Diplomat menjalankan. Obama sekaligus membuat kebijakan dan melaksanakannya. Dia memang beda. Dan itu yang menggoda, seperti kata Bing Slamet menggambarkan senyum seorang gadis bernama seperti judul lagunya “Nurlela”.

Para diplomat pun bersemangat. Ada titik terang untuk penyelesaian masalah Timur Tengah dan berbagai konflik regional, non proliferasi, degradasi lingkungan, dan penataan ekonomi dunia post capitalism! Wah kerjaan kita bakal seru, ramai, kata seorang diplomat Italia yang pernah bertugas, seperti saya, di PBB New York. You wish!, kata saya kepada teman itu.

Harapan Dunia Islam memiliki satu agenda yang ditawarkan ke Obama: bantulah memecahkan the mother of world’s conflict: masalah Palestina!

Ada juga yang sinis, meragukan kemampuannya untuk melahirkan kebijakan baru bagi terciptanya perdamaian langgeng di Timur Tengah. Dia akan address apa yang menjadi ‘the root cause of the conflict’ bagi saudara sepupu Arab dan Israel di sana. Bukankah konflik dimulai ribuan tahun yang lalu? Apakah masalah ini bisa diselesaikan dalam satu atau dua periode kepresidenannya?

Tidak kurang. Di kalangan diplomatik teman-teman saya yang mengetahui Obama pernah tinggal 4 tahun di Jakarta mencoba mencari informasi seperti:”rumahnya sekarang milik siapa?”. Saya juga tidak tahu. Tapi itu tak penting, bak penggemar menemui artis yang disukainya apapun jawaban sang artis itu info yang penting. Kalau perlu diplintir! Kawan saya wartawan dengan bangga mengklaim “kita ini memang ahli-plintir, spinmaster!”. Bah!

Saya pun bak artis menjawab: “Oh, sekarang rumah itu sedang direncanakan akan menjadi museum, tetapi telah dibeli oleh pemilik baru dari pemilik lamanya, bukan Lolo Soetoro, karena keluarga Obama itu dulu hanya mampu mengontrak. Saya juga turut berspekulasi bahwa nanti di akhir masa jabatannya (saya bilang 2 periode), rumah itu akan bernilai ratusan kali lipat dari harga ril sekarang. Karena, kata saya, Barry itu orang luar biasa, dia mungkin akan menjadi presiden terbesar yang dimiliki oleh bangsa Amerika!

Celakanya, teman saya itu percaya, menganggukkan kepada serius. Atau, memang kelakuan diplomat di mana-mana. Berpura-pura serius, tetapi di dalam hati menertawakan lawan bicaranya. Atau bergossip? Oh, jangan dikira diplomat itu hanya bisa negosiasi bertarung urat leher siang dan malam saja. Saya tahu dan mendengar gossip-gossip di kalangan diplomatik, terutama menyangkut rekan-rekan sendiri atau mengenai politisi penting di negara akreditasinya.

Diplomat juga ahli berbusa-busa. Bak penjual obat, dia akan ngomong terus. Sepanjang didengerin, apalagi audiens-nya banyak sang diplomat akan bersemangan, sering-sering membumbui 'jualannya' supaya laku. Dalam abad IT ini memang sama pentingnya antara kuantitas dan kualitas informasi. Oleh karena itu, para diplomat di mana-mana perlu yakin bahwa sooner or later orang akan percaya omongannya. Oleh karena itu, kawan-kawan mari kita bicara terus, berbusa-busa!

Tidak ada manusia yang lebih hebat dari Obama dalam pembusaan. Bedanya, dia hampir menjadi messiah, mengajak manusia untuk berubah. Celakanya, kita semua percaya itu.

Politisi terbesar abad ke-21 ini telah ber-metafor menjadi diplomat terhebat pula.

Konstituen di dalam negeri selalu mencurigai diplomat itu hanya asyik ber cocktail, travelling, menghabiskan uang yang dikumpulkan rupiah demi rupiah yang disetor rakyat si pembayar pajak. Ini juga kelompok manusia yang sor sendiri!

Rakyat kita juga nggak ngerti, ngapain diplomat berseliweran dengan mobil CD di Jakarta, dan mengapa mereka dengan gampang menemui pejabat-pejabat kita, yang biasanya naudzubillah sombongnya.

“They are sent by the capital to tell lies abroad” demikian kata para senior kami di Pejambon dulu.

Sekarang sulit berbohong, kita bisa ditinggalkan orang. Sekarang dengan gampang orang mengecek info apapun di Google via Blackberry. I do that, too. Makanya, sekarang para diplomat itu harus bener omongannya. Atau dia menjadi tidak efektif lagi!


Konstituen Obama di Indonesia

Menlu Hassan Wirajuda ketika menerima Menlu Hillary Clinton mengatakan Obama memiliki konstituen yang sangat besar di Indonesia. Bedanya, menurut Menlu, konstituen ini tidak memiliki hak-pilih.

Saya berteman luas dengan para politisi, bisa mengerti kecemburuan mereka terhadap fenomena Obama. Dan ini bukan hanya di Indonesia. Prancis, Jerman, bahkan Inggeris atau Rusia sama. Pers di sana berharap dan sedang menggadang-gadang jika figur seperti Obama lahir di sana. Seorang politisi efektif memiliki konstituen yang besar, dan berharap omongannya didengarkan oleh mereka. Di kita terdapat juga begitu.

Sebagai petarung hijau Obama awalnya diremehkan. Dulu, banyak yang tidak yakin pada apakah Obama bisa mengalahkan Hillary Clinton. Dan kalaupun polling membenarkan trend itu, orang-orang Partai Demokrat di AS juga belum yakin apakah nantinya Obama mampu menghancurkan mesin politik Partai Republik?

Obama itu fenomena baru. Orang Amerika itu sangat reseptif terhadap ide-ide baru. And yet, meskipun dia berkulit gelap tetapi ayah (kandung) dan ibunya, juga ayah (tiri) nya memegang gelar PhD seperti dirinya sendiri. Cara berfikirnya juga tidak terbeban dengan stereotype yang dikenakan terhadap warga berkulit hitam di AS. Dia praktis dibesarkan pada lingkungan orang-orang putih dan Asia yang begitu menyayanginya. Coba cari di mana di dunia ini kita memastikan anak-anak terasuh dengan baik, melebihi Obama. Obama memang sangat fenomenal di AS.

Dan, jangan lupa dia seorang intelektual yang dikelilingi setiap harinya oleh ratusan intelektual. Di bidang ekonomi, dia memiliki 400 penasehat top dari berbagai universitas dan pusat-pusat kajian unggulan! Begitu sama di bidang luar negeri, keamanan internasional (international security), sampai kepada masalah lingkungan! Coba lihat, tidak kurang pemegang nobel Al Gore yang sangat getol berkampanye untuk mengatasi perubahan iklim juga menjadi penasehatnya.

Pada waktu melepas teman saya Dubes AS yang akan kembali ke tanah airnya dalam suatu jamuan malam di Wisma Duta di awal Januari yl, saya membayangkan peningkatan intensitas hubungan dan kerjasama bilateral Indonesia dan AS yang lebih substantif, terutama setelah pelantikan presiden baru di Washington DC yang tidak lain adalah Barack Obama, mantan residen di Jakarta yang tidak berlebihan jika dikatakan memiliki keterikatan emosional dengan Indonesia. Seperti saya sendiri, kata saya, yang pernah 6 tahun tinggal di AS juga memiliki perasaan yang sama. “Kami sekeluarga juga menganggap Amerika sebagai rumah kami”, ujar saya kepada sang Dubes Amerika. Dia senang.

Kunjungan Menlu Amerika Clinton di bawah administrasi Obama dimulai ke Asia: Jepang, Indonesia, China dan Korea Selatan. Kita tersanjung, dan berharap era baru telah lahir: comprehensive partnership yang menjadi indikasi ke arah intensitas hubungan bilateral. Tiba-tiba Indonesia telah ditempatkan sebagai negara penting dalam radar AS. Kita tunggu, seperti harapan Menlu, kunjungan resmi, sambil napak tilas, Presiden Obama ke Indonesia.


New Tone From Washington

Bagaimana hubungan Amerika - Iran di era Obama? Saya katakan kepada teman Iran pekan lalu bahwa sekarang ini ada positive tone di Washington yang harapan saya akan mengarah kepada dialog yang substantif, karena 30 tahun tidak ngomongan itu terlalu lama. Saya menyambut baik trend baik ini. Tidak mesti kita setuju dalam negosiasi kita terhadap semua hal. Kita bisa bersetuju untuk tidak-setuju, kata saya. Dia bilang, mengulangi Ahmedinejad, Iran menunggu kapan words will match the deeds, the real one. Tetapi dia juga menggarisbawahi, ada perubahan tone yang positif dari DC.

Pada waktu saya bertamu ke Presiden COP-14 Professor Nowicki di kantornya di tengah kota Warsawa di awal Januari 2009, kami juga berkesimpulan agenda pemerkuatan upaya global untuk mencegah perubahan iklim akan lebih hidup. Karena faktor Obama. Indonesia bersama Polandia dan Denmark memiliki taruhan besar dalam soal lingkungan ini. Ketiganya menjadi troika yang ditugasi oleh PBB untuk menggantikan Kyoto Protocol.

Harapan yang sama muncul dalam soal-soal non-proliferasi. Ada dorongan untuk menghidupkan kembali proses disarmament, peredaan ketegangan dengan Rusia, dan bahkan pemecahan masalah nuklirisasi Iran. Guliran proses G-20, di mana RI duduk di dalamnya, juga merupakan inisiatif AS, untuk menata kembali ekonomi dunia yang sudah porak-poranda akibat ulah para CEO pasar modal dan perbankan di AS.

Begitu pula soal-soal HAM, demokratisasi, penutupan penjara di Guantanamo, Cuba, Korea Utara, Sudan, Kosovo, Zimbabwe, sampai pengungsi Rohingya. Dunia pasca 11/9 dan administrasi Presiden Bush meninggalkan warisan yang sangat berat bagi dunia. Jam berhenti pada waktu itu. Unilateralisme dan semangat crusade meninggi. Either you are with us, or against us. Bush tidak mengenal wilayah abu-abu, padahal dunia ini sudah sangat sophisticated!

Sudah cukup alasan untuk ber-euphoria? Belum. Cairnya situasi, munculnya trust merupakan iklim yang mutlak ada untuk memulai pembicaraan serius dalam perundingan. Tetapi, kata orang hati-hati “ the devil lies in the detail”. Proses diplomasi memang selalu tidak transparan, para diplomat sangat defensif menghadapi pers atau politisi di Senayan yang ingin kita buka-bukaan. Orang bilang, zaman IT semua terbuka, jangan ada rahasia di antara kita. Abad informasi yang terbuka memang sexy, apalagi di era demokrasi. Namun jangan lupa, era informasi bak seorang gadis berbikini, semua yang terbuka sexy tetapi harus ada bagian yang tertutup, dan ini vital!


Genuine and Sincere Leadership?

Tidak ada, sampai saat ini, yang meragukan adanya genuine intentions dari Washington, ada semangat activism di sana. Washington menyadari tanpa leadership dari AS dunia ini tidak semakin aman. Mereka ingin tampil, seperti kata Obama, akan banyak mendengarkan daripada mendikte. AS akan menjadi ‘part of solution’ tidak lagi sebagai ‘part of the problem’. Tentu, tidak setiap pundit (pakar) setuju dengan pendapat itu.

Dari awal kampanye, dimulai tampil pada Konvensi Partai Demokrat tahun 2004 yl, orang terkesima melihat figur yang satu ini. Jika diamati apa yang diucapkannya ketika itu dan dilanjutkan pada saat kampanye sampai terpilihnya Obama, tone, tema-nya kurang lebih sama. Yang tetap adalah kemampuan orator-nya. Orang terkesima, bak seorang pemimpin dari dunia ketiga yang lantang, seperti Soekarno, Nelson Mandela, Castro atau Chavez, Obama sangat memukau!

Dia seperti memberikan pencerahan, mengguyurkan air segar yang membuat orang siuman, melalui pesan-pesan sederhana. Herannya, semua pidatonya yang dimuat di Utube diakses puluh jutaan orang! Ada kharisma di sana. Atau orang telah menjadikan Obama sebagai selebriti dan obyek infotainment?

Tetapi dia tampaknya jujur (sincere). Ini menarik. Bukankah, dunia yang sudah bosan dengan tokoh-tokoh yang berbicara bak tape recorder, pengulangan after pengulangan?. Klise.

Di era pemilu di tanah air, banyak tokoh yang kemampuannya sedang-sedang saja tetapi nekad. Dan begitu yakin orang akan memilihnya. Dalam euphoria demokrasi di negeri kita, memang banyak orang yang sor sendiri. Rakyat mumet? Biarin!. Lagi enak, nih. Dia lupa, dalam split seconds orang bisa mengecek track record mereka via internet.

Banyak juga tokoh di tanah air bak diplomat, bergerak kayak setrikaan, kemana-mana. Tetapi, saya mengamati, mereka cuma asyik dengan proses. Muatan substansinya mane, Om? Kalau sekadar menghadiri acara di sono sini, ane mah biasa. Ini sih mentalitas selebritis. Bagi kita rakyat, yang penting tunjukkan kontribusi Anda untuk kemajuan bangsa, sebagai problem solver!

Etika atau fatsoen politik? Oh ya, ini perlu kita bangun untuk menghasilkan politik yang elegan dan santun. Jangan lupa, kita negara terbesar keempat di dunia. Kita memang perlu behave, accordingly!

Obama memang lain. Dan itu yang menggoda, bak “Nurlela” nya Bing Slamet.


A World Class Diplomat

Salah satu bagian terpenting pidato Obama pada saat pelantikannya ditujukan kepada Dunia Islam. A charm offensive! Kata-kata yang diucapkannya sangat persuasif. And yet, jenis vokal yang dimilikinya juga top. Bak penyanyi kelas dunia seperti Frank Sinatra, Stevie Wonder, Louis Armstrong, Elton John dan Bono digabungkan bersama. Berlebihan? Ya, paling tidak par lah. Dia berpidato bak bersenandung, naik dan turun. Suara bariton tetap! Itulah Obama.

Saya yakin, jika waktunya tidak sibuk dia akan menerima tawaran rekaman suaranya yang dahsyat. Kenapa tidak? Madame Carla Bruni Sarkozy juga telah meluncurkan rekamannya, meski kurang berhasil. Suara Obama yang serak-serak basah bakal menjadi incaran perusahaan rekaman pula. Memang, dia berpidato dengan intonasi yang indah, bak penyanyi.

Suaranya indah melantunkan kata-kata yang indah, sarat dengan pesan, energik. Itu yang menggoda, bak Nurlela tadi itu.

Pada saat Obama disepelekan lawan-lawannya bahwa dia hanya hebat memainkan kata-kata, dia balik bertanya: “ada yang bilang ah, itu hanya kata-kata belaka. Anda bilang words do not matter. Jika Dr. Martin Luther King mengatakan ‘I have a dream’, it’s only words? And Words do not matter, you are wrong!”

Katanya lagi, “that the language we use matters!”. Memang manusia ini hebat dalam persuasi. Sebelum menjadi presiden dia menulis dua buku, salah satunya kenangan tentang kehidupannya di Jakarta bersama aya tirinya, Lolo Soetoro, yang menurut Obama menjadi teman yang baik sekali.

Sulit memprovokasinya jika dimaksudkan untuk membuat Obama marah. He is very cool. Artinya, memiliki temperamen rendah, bukan cool-nya anak-anak muda sekarang yang mengartikan cool sebagai modis, gaya.

Sebagai mantan community organizer, dia berbicara dengan bahasa tubuh yang akrab. Dia berpotensi mengalahkan Ronald Reagan yang terkenal di AS sebagai “the great communicator”. Dia yang memperkenalkan gaya berpakaian ‘santai’, hanya berdasi. Sesekali dia tidak memanggil staf Gedung Putih menemuinya di Oval Office. Suatu ketika dia datang ke ruangan staf Gedung Putih, ketika anak buahnya sedang angkat kaki bersepatu di atas meja. Sang staf gugup, Obama santai. Ketika staf berdiri karena melihat Obama datang, sang presiden malah menyuruh staf duduk kembali. Presiden yang mantan the new kid on the block di Menteng ini belum menyadari, dia telah menjelma menjadi pemegang amanah kekuasaan politik terbesar di dunia. He is now the most powerful man on earth!

Dia memiliki jutaan teman, dari anak remaja sampai ke tokoh-tokoh berusia lanjut. Dia mengalahkan mesin politik terbesar Clinton dan GOP (Partai Republik), tidak saja dari ide-ide cemerlang tetapi juga uang yang berlimpah ruah untuk membiayai kampanye yang massif! Dia memiliki jejaring yang sangat luas, termasuk di Indonesia. Dia menjawab semua pesan yang masuk.

Banyak tokoh-tokoh kita yang ingin meniru Obama, terutama capaiannya. Tetapi, mereka tidak mengikuti proses komunikasi Obama dengan puluhan juta jejaringnya. Obama memiliki tim yang senantiasa menjawab pesan yang dikirim oleh (atau berpotensi menjadi) pendukungnya.

Jika anda mengirim pesan kepada (atau sudah merasa menjadi) tokoh nasional melalui SMS atau via Facebook, tidak usah menunggu jawaban karena memang tidak dijawab, mungkin memang tidak dibaca. Komunikasi se jurusan saja, atau sekadar mengumpulkan pendukung-pendukung untuk mewujudkan suatu ketika agenda politiknya. Ini budaya selebritis!

Di era IT sekarang, banyak cara dan alat yang bisa digunakan untuk memelihara link dengan konstituen atau bakal pendukung. It's important, you talk to them!, pesan Obama kepada staf medianya. Jika Anda tidak merespons pendukung atau pengagum, maka konstituen Anda akan mencari tokoh idolanya yang lain. Tokoh yang santun penuh etika, akrab dan rajin bersilaturahmi di dunia maya itu adalah fenomena Obama.

Menjadi tokoh sekarang memang harus menjadi cool guy!, pesan putra saya. Jangan kaget, acapkali intelektualitas rakyat jelata tidak lebih buruk daripada kita-kita ini lho! Rakyat Banting Tulang (RBT, kata orang Tanjung Balai), jangan disepelekan.

Di dunia anonim maya sekarang, rakyat adalah siapa saja yang bukan pemimpin, do not underestimate them, pesan teman wartawan kepada saya. Jika rakyat bertanya, jawablah. Beri respons, meskipun itu hanya SMS atau dari FB.

Obama bukan hanya menjawab pesan anda. Dia juga sarat substansi. Setiap hari dia berdiskusi dengan ratusan staf Gedung Putih menggunakan berbagai medium. Blackberry juga masih OK punya. Setiap hari dia meng-update pendukungnya, secara personal pula.

Sebagai manusia, dia bukan tidak memiliki kelemahan. Pada waktu dansa di acara inaugurasi dia kedapatan sering menginjak gaun isterinya, Michelle yang anggun. Memang Obama terkenal dengan prowess-nya di olahraga, basket. Dia memang bukan pedansa.

Seperti saya yang tidak pandai berdansa, Obama mungkin akan berdalih “tough guys don’t dance”! He’s a tough guy, too.

Semua kualitas yang dipunyainya: gaya persuasif, teman bicara yang menarik, penulis yang baik, temperamen rendah, cool, menguasai teknik-teknik komunikasi, menguasai substansi, dan memiliki jejaring luas adalah syarat mutlak untuk melaksanakan diplomasi. Obama memang diplomat yang hebat.

Menurut saya, seorang diplomat yang efektif mutlak memiliki kualitas yang dipunyai Obama. Bilamana efektif, dengan mudah diplomat memperjuangkan muatan substansi yang disebut sebagai “the national interest”, kepentingan nasionalnya. Jika diplomat tidak bisa berkomunikasi, memiliki jejaring, menggunakan 'bahasa' yang tepat dengan berbagai lapisan masyarakat, termasuk dengan bangsa asing, sulit menjamin efektifitasnya.

That is what diplomacy is all about.

Kita perlu belajar dari Bapak Obama.

Warsawa, 22 Februar1 2009

Friday, February 13, 2009

Islam di Negeri Asal Paus Johanes Paulus II

Secara kasat mata, Islam tidak menonjol di Polandia. Maklum, negeri ini berpenduduk mayoritas Katolik.

Umat Nasrani di negeri asal mendiang Paus Johannes Paulus II itu mencapai 95 persen dari hampir 40 juta penduduk.

Namun Islam telah berada di Polandia sejak 600 tahun silam dan memiliki tempat dalam sejarah panjang di negeri yang pernah hilang 123 tahun dari peta politik Eropa itu.

Jumlah umat Islam di Polandia berkisar antara 25-30 ribu, umumnya penganut aliran Sunni, di antaranya sekitar 3.000 - 5.000 berdarah Tartar.

Seiring berkembangnya ekonomi, banyak kaum muda yang dinamis pindah dan menetap di wilayah utara, terutama di Gdansk. Kaum tua Tartar kebanyakan bertahan di permukiman asli mereka di kota-kota kecil di sekitar Byalistok.

Tidak banyak terdapat masjid di Polandia, cuma dalam bilangan jari. Namun seiring dengan berkembangnya jumlah penganut Islam dari Timur Tengah, Afrika dan Asia Selatan, rumah-rumah ibadah Muslim dalam bentuk mushalla juga berkembang pesat.

Di kota-kota besar seperti Krakow, Wroclaw, dan Gdansk yang memiliki masjid, tempat ibadah itu memiliki multifungsi, sekaligus sebagai Pusat Kebudayaan dan Informasi Islam.

Gdansk menjadi tempat yang khusus karena memiliki menara, meskipun azan tidak dikumandangkan. Namun, dalam peta Islam kota kecil Kryszyniany dan Bohoniki, di dekat Byalistok, memiliki tempat khusus bersejarah, karena di tempat itu terdapat dua mesjid tua yang kurang lebih sama tuanya dengan yang terdapat di Lithuania maupun Belarus.

Di Wroclaw, menurut Imam Ali Abi Issa yang menjadi Ketua sekaligus imam pada Pusat Kebudayaan Islam, suasana Ramadhan diisi dengan shalat tarawih, pengajian, dan shalat Ied bersama umat Islam setempat.

Imam Ali sangat aktif menggerakkan dialog antar-agama, termasuk antara Islam dan Yahudi berkembang baik. Mayoritas kaum Muslim berasal dari negara-negara Arab.

TKI yang berjumlah sekitar 15 orang juga sering hadir beribadah di mesjid. Dewan Kota Wroclaw sangat mendukung keberagaman dan toleransi yang pada gilirannya akan membentuk citra kota Wroclaw sebagai kota budaya internasional.

Maklum, Wroclaw ingin mengimbangi kedudukan unggul Krakow sebagai kota budaya yang banyak menarik wisata dan investasi, dan keduanya terletak di bagian selatan Polandia.

Iedul Fitri 1429 H merupakan kesempatan ketiga berlebaran bagi penulis sekeluarga selaku Duta Besar Republik Indonesia di Warsawa. Lebaran yang jatuh hari Rabu, 1 Oktober 2008, berdasarkan pengumuman dari Masjid Warsawa. Shalat Ied dimulai jam 0900 pagi, dipimpin oleh Imam Emir Poplawski. Sang imam ini berdarah etnis Tartar, bangsa yang gagah berani dan telah bermukim di Polandia selama 600 tahun.

Masjid Warsawa yang terletak di daerah pemukiman elit di bilangan Wilanow di Jalan Wiertnicza dan umat Islam bolehlah berbangga. Di Polandia tak gampang menemukan masjid. Lebih dari 95 persen rakyat Polandia beragama Katolik, sisanya Protestan, Ortodoks, Yahudi dan Muslim.

Kehidupan beragama pada zaman Komunis menjadi pengamatan intelijen, dan tidak dianjurkan. Pada era keterbukaan, kehidupan beragama menjadi lebih bergairah, dan Islam semakin berkembang.


Idul Fitri di Byalystok

Ketika Mufti Tomasz Miskiewicz, Ketua Dewan Persatuan Agama Islam Polandia menyampaikan undangan beridul fitri di Byalystok, wilayah timur Polandia, penulis langsung menyatakan akan datang, bersama isteri.

Tidak saja karena berteman baik dengan Mufti Polandia itu, tetapi lebih khusus lagi karena Byalistok merupakan kota bersejarah, di mana selama 600 tahun umat Islam bermukim di kota itu.

Masyarakat Muslim di kota itu adalah keturunan dari prajurit Tartar yang gagah-berani ketika berperang melawan Kerajaan Tetonik dalam pertempuran Grunwald di Malbork, utara Polandia pada tahun 1410.

Nenek moyang mereka turut berperang membantu Jan Sobieski, panglima perang yang kemudian menjadi raja Polandia, melawan pasukan Ottoman dalam mempertahankan kerajaan Austro-Hongaria sebagai bastion kerajaan Kristen, pada pertempuran Wina pada tahun 1683, sehingga Sobieski diberi gelar oleh Paus dan pemimpin Eropa sebagai "the Savior of Vienna and Western European civilization".

Itulah sebabnya, para pemimpin perang Tartar diberikan gelar kebangsawanan dan memperoleh tempat khusus di hati rakyat Polandia. Panglima-panglima perang dan perajurit Tartar juga dengan gagah berani membela Polandia, tanah air baru mereka, dalam pertempuran menghadapi serbuan Jerman dan Uni Soviet menjelang Perang Dunia II pada tahun 1939.

Mufti Tomasz selalu diundang oleh Presiden Polandia pada saat menerima tamu-tamu negara Muslim, dalam kunjungan ke Polandia. Beliau juga rajin mengunjungi acara-acara resepsi yang diselenggarakan oleh KBRI Warsawa. Mufti yang juga keturunan Tartar itu berusia 30 tahun, cukup berwibawa, lulusan Fakultas Hukum di Arab Saudi dan sangat aktif dalam memajukan masyarakat Muslim di Polandia.

Dia membangun tempat wisata agro di Byalistok, tempat tinggalnya.


Disambut meriah

Setelah menempuh perjalanan dari Warsawa sejauh 200 km diiringi hujan sepanjang hari pada hari Sabtu (4/9), kami tiba di Byalistok berkumpul dengan sekitar 500 masyarakat Muslim Tartar, tua-muda, termasuk anak-anak, yang datang dari berbagai penjuru Polandia, dan bahkan dari luar negeri.

Mereka memadati gedung Pusat Kebudayaan Bialystok, tempat acara berlangsung.

Masyarakat Muslim di Polandia keturunan Tartar menyebut Idul Fitri sebagai Hari Ramadhan Bayram (Dni Bayram Ramadan), mungkin bayram diambil dari bahasa Turki yang berarti perayaan. Orang asing yang hadir barangkali kami dari Indonesia dan Dubes Azerbaijan, yang datang menyumbang konser lagu-lagu Islam oleh grup kesenian dari negerinya.

Etnis Tartar, sebagaimana saudara-saudara mereka dari Asia Tengah dan Kaukasus, sangat ramah dan bersahabat. Semua hadir mengenakan pakaian terbaik, berwarna-warni. Sebagian ibu-ibu dan wanita muda berkerudung.

Demikian pula kaum pria Tartar. Kami bertukar salam. Tidak tertinggal kesan, bahwa kakek-moyang mereka adalah pasukan perang berkuda bersenjata panah dan pedang yang gagah berani. Sayang, cuma dua duta besar dari negara-negara OKI yang hadir, Indonesia dan Azerbaijan.

Delegasi Indonesia dan Azerbaijan diberi kehormatan untuk duduk di barisan depan, dan diperkenalkan kepada hadirin sambil mempersembahkan seperangkat kembang yang indah dan diberi kesempatan berpidato, memperkenalkan Indonesia, negeri yang jauh dan indah di mana sekitar 220 juta umat Islam di sana juga sedang merayakan Idul Fitri.

Penulis katakan, meskipun berjumlah kecil di Polandia namun jangan berkecil hati, karena umat Islam Indonesia adalah saudara-saudara kalian.

Mereka menunggu kedatangan saudara-saudara Muslim dari Polandia. Sangat ramah, dan mereka memberikan tepukan meriah. Beberapa kaum ibu berbincang-bincang dengan Ny. Pohan yang senantiasa berjilbab untuk bertukar informasi mengenai tradisi Idul Fitri di berbagai suku-bangsa di Indonesia.

Mereka terkesan dengan kemajuan umat Islam di Indonesia dan tradisi Idul Fitri yang dimulai dengan berziarah ke makam leluhur, makan pagi dan berdoa bersama keluarga sebelum shalat Ied, dan saling-berkunjung dan memaafkan, termasuk dengan teman dan tetangga. Suasana Ied berlangsung selama satu bulan penuh.


Di kota lain

Suasana Idul Fitri juga bergema di kota-kota lainnya seperti Wroclaw, Krakow, Lublin, Poznan dan Gdansk pada pusat-pusat kebudayaan Islam sekaligus berfungsi sebagai tempat ibadah. Di samping berfungsi sebagai pusat ibadah, tempat-tempat ini juga bermanfaat untuk dialog dan pertemuan dengan masyarakat yang ingin tahu tentang Islam serta dengan penganut agama lainnya untuk menguatkan citra toleransi beragama yang tinggi di Polandia.

Shalat Ied di Warsawa, misalnya, dilakukan di pagi hari dengan suhu dingin 10 derajat celsius. Sebagaimana di Indonesia, dilaksanakan dua rakaat, dan dilanjutkan dengan khotbah dalam bahasa Arab dan Polandia. Imam fasih berbahasa Polandia karena memang lahir dan besar di Polandia.

Imam mengumumkan, sebelum shalat dimulai, umat dipersilahkan untuk membayar zakat fitrah dan bersedekah.

Jam 8.30 pagi mesjid telah penuh sesak, sekitar 400 jamaah pria dan wanita dengan ruang terpisah telah mengambil tempat. Ada pula yang mengabadikan suasana bersukacita itu dengan kamera telepon genggam.

Masjid Warsawa itu terdiri dari dua lantai: wanita beribadah di lantai atas sedangkan pria di lantai bawah. Sebagian ruangan dijadikan kantor, dan ruang depan dijadikan toko koperasi yang menjual berbagai keperluan umat Islam serta makanan kecil halal.

Pada hari-hari kerja, ruangan digunakan untuk pendidikan dan pertemuan sosial termasuk melayani tamu-tamu yang menginginkan informasi mengenai Islam.

Sudah lama masyarakat Muslim di Warsawa, berkeinginan untuk memiliki Masjid Raya, khususnya sejak zaman keterbukaan setelah runtuhnya Tembok Berlin, namun belum terwujud. Apalagi, di beberapa negara Eropa Barat tidak mudah urusan administratif untuk membuat rumah ibadah Islam, meskipun di berbagai kota besar Eropa terdapat ratusan ribu jamaah Muslim.

Ibadah dijalankan di rumah-rumah bahkan di bekas-bekas gudang. Masjid Warsawa itu baru dalam beberapa tahun terakhir berfungsi, karena sebelumnya merupakan rumah vila yang dibeli umat Islam dari warga setempat.

Di Polandia sekarang ini, umat Islam bebas menjalankan ibadah tanpa tekanan ataupun diskriminasi.

Menurut Emir Poplawski, imam pada mesjid di Warsawa, Islam tidak bermasalah dan bahkan disambut baik dengan hak dan kewajiban sosial yang sama dengan warga lainnya. Bahkan, karena peran yang bersejarah, Konstitusi Mei 1791 mengakui kedudukan etnis minoritas Tartar yang kebanyakan Muslim dengan posisi menjadi anggota parlemen (Sejm).

ANTARA
COPYRIGHT © 2008
Published: 07/10/08 14:33

Thursday, February 12, 2009

REPUBLIK INI MILIK KITA BERSAMA

Prolog

Reformasi di tanah air baru berusia sekitar sepuluh tahun. Dalam kurun waktu singkat, transformasi mendasar telah mengubah postur republik ke dalam bentuknya yang sekarang. Wajah baru "The New Indonesia" telah muncul dalam bentuk dan format yang tepat.

Menurut saya, bentuk ini telah final, dan akan terus berlanjut dalam satu generasi (kurang lebih 20 tahun) ke depan.

"We are on the right track now". Dengan bangga, kita dapat mengklaim kepada anak dan cucu nanti di kemudian hari. Bisa dibilang, kita telah membuat suatu keputusan yang sangat krusial dan benar dalam kurun 10 tahun, dengan apa yang saya sebut "reinventing Indonesia".

Dalam sejarah dunia, bangsa-bangsa timbul dan tenggelam. Pada jamannya, ada yang pernah berjaya, bahkan menjadi superpower, namun kemudian kehilangan elan-nya, tenggelam dan bahkan hampir pupus dari sejarah dan ingatan.

Ada pula bangsa yang tadi tidak terdaftar di sejarah, seperti bangsa Amerika, yang kemudian menjelma pada abad ke-20 (terutama setelah PD II) sebagai negara adikuasa.

Ada bangsa-bangsa yang bangkit dan menemukan identitasnya pada abad pertengahan dan dalam sejarahnya mengalami masa turun dan naik, bahkan sempat ternista karena, seperti kata Obama “on the wrong side of history”, dan membuat keputusan yang salah seperti Jerman, Jepang, Italia, Spanyol.

Bersama Inggris, Prancis, Rusia dan Polandia, tiga negara Eropa yakni Jerman, Italia, Spanyol pada masa kini menjadi penentu masa depan Eropa. Negara Polandia pernah hilang dari peta politik Eropa selama 123 tahun, tetapi bangsa itu tidak punah bahkan bangkit kembali setelah PD I dan meletakkan batas-batas negerinya kurang lebih di tempat asalnya.

Ada yang membawa peradaban (civilization) baru seperti China, India, Mesir, Irak, Syria, Persia, Ottoman Turki, dan menguasai dunia. Ada juga yang sedang-sedang saja seperti Austro-Hongaria, Prussia, atau sekadar hidup bertahan terombang-ambing ke kiri ke kanan di bawah tekanan negara-negara tetangganya.

Polandia pernah menjadi ibukota pakta militer "The Warsawa Pact" dalam Perang Dingin, dikuasai rejim komunis sampai akhir 1980-an yang ditumbangkan oleh Lech Walesa, seorang tokoh buruh Solidarnosc, yang kemudian mengawali runtuhnya Tembok Berlin diikuti oleh berbagai dampak perubahan pada political landscape di Eropa dengan ramifikasinya.

Muncullah bangsa-bangsa "baru" di Eropa yang sebenarnya dari dulu sudah ada, seperti Croatia, Serbia, Montenegro, Slovenia, Bosnia, Latvia, Lithuania, Estonia, Georgia, Armenia, dan puluhan etnis baru di bekas Uni Soviet dan di Eropa (seperti di Belgia, ternyata ada etnis Flanders yang berbahasa Belanda, dan Wallonia yang berbicara Prancis).

Semua berujung pada konfigurasi atau rekonfigurasi entitasnya. Ada yang berhasil membentuk kesatuan "negara" sebagai entitasnya, sedangkan yang lainnya masih dalam perjalanan, seperti Kosovo, Abkhazia, Tatar, atau masih giat memperjuangkan separatisme seperti Basque (Spanyol), Quebec (Kanada).

Ada pula, seperti Rusia, selalu terombang-ambing apakah mereka bangsa Eropa atau Eurasia, karena daratannya lebih banyak di Asia daripada Eropa. Negara ini pernah menjadi adikuasa, pada saat bernama Uni Soviet dengan atribut komunisme-nya.

Pada saat saya tinggal di sana (1986-1989), negara ini mengalami proses transformasi luar biasa, tidak saja tercerai berai dari 15 republik menjadi 1 republik, tetapi juga meninggalkan ideologi komunisme yang telah mengubah peta Eropa dari calon teater PD III menjadi zona kerjasama politik dan ekonomi.

Transformasi di Eropa masih belum final, masih menyisakan soal-soal etnis, politis, tetapi lebih kurang, situasi di sana sudah terkendali. Mereka sudah bisa tidur nyenyak.

Bangsa-bangsa dapat bangkit kembali bilamana menemukan kembali jati-dirinya, apabila berani melakukan proses "reinventing", dalam menetapkan formatnya ke depan. Semua bangsa-bangsa senantiasa menghadapi ujian-ujian yang terus beruntun datang.

Ujian terberat dan paling krusial, adakalanya menentukan daya juang suatu bangsa. Jika berhasil, bangsa-bangsa ini disebut telah lulus dan bolehlah duduk dalam pergaulan bangsa-bangsa, atau masuk ke dalam kategori "college of the graduates".


Crisis is over?

Indonesia bagaimana? Menurut saya, kita sudah melampaui masa-masa kritis dan telah berada "on the right track". Mungkin saya berbeda pandangan dengan pakar, pengamat atau mengaku pakar yang masih menggambarkan potret Indonesia yang hancur-hancuran. Seakan-akan "the very concept of Indonesia" sudah usang, dan oleh karena itu semua komponen bangsa dipersilahkan mengambil jalan sendiri masing-masing.

Menurut saya, krisis terberat yang telah kita atasi sebagai bangsa adalah dalam kurun waktu 10 tahun yang lalu. Krisis moneter di tahun 1998 yang melahirkan gerakan reformasi dan kejatuhan Soeharto setelah menggenggam Republik selama 32 tahun, berkuasa dengan segala penyakit kronis warisannya.

Situasi chaos terjadi di tanah air, diikuti dengan semangat separatisme kedaerahan dan konflik terbuka kesukuan, politisasi agama, terorisme dsb. Enough is enough!

Menurut pengamatan saya, seperti bangsa-bangsa besar lainnya di dunia kita telah lulus, tidak sekadar mampu melewatinya dengan baik tetapi menghasilkan berbagai prestasi yang membanggakan. Dengarlah pendapat internasional dari berbagai pakar keilmuan yang menyimpulkan setelah menganalisis data (hard facts).

Dengarlah pendapat para generasi muda kita dan tokoh-tokoh yang berfikir kritis tetapi positif.

Keterpurukan "now belongs to history! Things of the past". Di mata internasional kita telah bangkit. Sudah cukup alasan untuk berbangga-bangga? Belum juga. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dibereskan.

Pelayanan publik kita masih parah. Menurut saya, yang terpenting sekarang adalah jaminan bahwa ke depan bangsa ini tidak akan mengalami situasi sampai ke titik nadir, seperti pada era reformasi 1998. Saat itu, seakan-akan kita sendiri tidak bisa melindungi diri sendiri secara fisik. Malang benar.

Sekarang kita menjadi bangsa yang telah lulus ujian berat. Suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa membuat keputusan nasional secara tepat pada waktu yang tepat.

Lihat Amerika Serikat, dengan memilih Obama, citra negara adikuasa ini melambung jauh di mata internasional. Dia memiliki sumber legitimasi terbesar dari seluruh pemimpin AS, karena lahir di saat krisis terberat menimpa bangsanya.

Kita juga telah membuat keputusan terbesar pada saat yang tepat: yakni menjadi negara demokratis. Untuk melihat betapa berharganya demokrasi, sulit kita membayangkan bagaimana China menghadapi arus arus demokratisasi.

Tidak satupun pakar tingkat dunia yang bisa memprediksi situasi China dalam 5-10 tahun ke depan. Tetapi, semua ahli bisa memprediksi seperti apa Indonesia dalam 20-30 atau bahkan 50 tahun ke depan. Potretnya, positif sekali.

Mari saksikan negara-negara tetangga di sekitar kita dan juga di kawasan Asia Pasifik lainnya masih mengalami "democratic deficit", belum memenuhi persyaratan sebagai negara demokrasi. Bentuk akhirnya juga sulit diramalkan, sedangkan, bagi Indonesia "democratic path" telah menjadi hasil terbesar karya anak bangsa, setelah Sumpah Pemuda dan Proklamasi.


Indonesia Reinvented

Indonesia baru saja merayakan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. "We are a very young nation" yang baru memperoleh bentuk entitasnya sebagai Negara pada tahun 1945.

Bandingkan dengan negara-negara atau bangsa-bangsa yang telah berusia lebih 1000 tahun (Polandia, Bulgaria, Rusia etc), atau bahkan 5000 tahun seperti Mesir, China, India, Mongolia dsb.

Bangsa-bangsa muda seperti Amerika (belum mencapai 250 tahun), Australia, dan Indonesia adalah Negara yang dibentuk berdasarkan konsep negara modern, bukan ethnic-based, seperti Jerman, Italia, Inggeris, Prancis, Rusia, Polandia, atau berdasarkan agama. Nama negara-negara ini diambil dari nama etnis utamanya.

Indonesia? Saya kira tidak ada ahli antropologi dunia berani meng-klaim adanya etnis Indonesia. Lebih dari 300 etnis yang membentuk bangsa Indonesia. Menurut Menlu Hassan Wirajuda, keliru jika orang mengatakan Indonesia adalah Jawa, karena etnis Jawa itu hanya sekitar 40 persen, karena di Jawa masih ada etnis Sunda, Banten, Madura dan sebagainya.

Menlu Wirajuda memang secara konsisten berupaya untuk menampilkan wajah Indonesia di "Indonesian Foreign Service", dengan merekrut semua potensi bangsa, kalau perlu, dari suku-suku terasing sekalipun! Tidak relevan kayaknya berbicara diplomasi di luar negeri atas nama Indonesia tetapi perspektifnya etnis dan lokal. Indonesia itu hanya satu: yakni Indonesia yang menjadi milik kita bersama.

Kembali ke pokok persoalan, "statement" saya di awal tulisan yang mengajak kita semua bersama-sama mendeklarasikan "Indonesia Milik Kita Bersama", yang didasari oleh beberapa argumen pokok.

Pertama, klaim ini bisa saya cetuskan untuk menggambarkan transformasi luar biasa yang terjadi di tanah air. Bahwa kita memiliki Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, dari dulu memang begitu. Semua sudah tahu. Bahwa negeri ini memiliki luas wilayah sekitar 7 juta km2, 17 ribu pulau, sedikitnya 300 etnis yang juga memiliki sub-etnis dengan ribuan bahasa, semua juga sudah tahu.

Kita sudah menjadi negara demokratis dengan sistem partisipasi yang inklusif, dan berani berbicara tentang HAM pada tingkat global. Kita berani karena memiliki prestasi. Pada zaman orde baru, pada isu ini kita tiarap, menjadi sasaran tembak. Sial betul!

Sulit menjelaskan, bagaimana transformasi berlangsung dari Indonesia yang dikenal sebagai bangsa perusak lingkungan (di jaman era order baru kita juga tiarap) menjadi bangsa yang dipercaya dalam troika perubahan lingkungan (bersama Polandia dan Denmark).

Saya tidak mengatakan bahwa kita tidak memiliki masalah di sini. Yang ingin saya katakan adalah bahwa kerusakan lingkungan di tanah air lebih banyak berkaitan dengan kemampuan kita dalam penegakan hukum dan undang-undang. Kerusakan yang bukan merupakan bagian dari kebijakan pemerintah (part or inherent in the policy), seperti di negara-negara lainnya.

Sekarang, muncul "perasaan" yang kuat bagi kita sebagai bangsa setelah melalui proses reinvention, di kancah pergaulan antar-bangsa (bukan chauvinisme). Argumen saya pada poin pertama ini, berkaitan dengan atribut (identitas) dan semangat baru. Indonesia tidak lagi menganut paham "low profile", kita harus duduk di "driving seat", meminjam istilah Menlu Wirajuda.

Ada perasaan kebanggaan yang menguat sebagai "orang Indonesia", tidak perlu ada perasaan minder atau keterpurukan. Ada kebanggaan bahwa dalam kurun 10 tahun ini kita telah berkembang menjadi negara demokratis dengan segala kelengkapan institusi dan normanya.

"Indonesia reinvented" telah dilengkapi dengan semangat inklusivitas, semua untuk semua. Kita tidak memiliki etnis minoritas, semua adalah warganegara. Selebihnya warga negara asing. Kita telah menjadi Negara demokrasi ke-3 terbesar di dunia.

Ini lahan yang sangat luas bagi orang yang menetapkan karirnya di politik, karena banyak lowongan dengan berbagai jaminan-jaminan. Banyak penduduk yang perlu diurus, sehingga bakal tidak ada pengangguran!

Kita dapat berjalan dengan kepala tegak sekarang karena Indonesia telah menjadi negara yang menghormati hak asasi manusia. Bahkan menurut saya, UU Kewarganegaraan kita yang baru adalah sistem yang paling maju di antara seluruh negara di dunia. Bayangkan, di banyak negara di Asia dan Eropa, banyak orang asing (etnis minoritas) yang sudah lahir turun-temurun masih belum memperoleh kewarganegaraan di tempat dia lahir dan mati!


Economic Downturn: A New Crisis?

Ada kebanggaan, ketika negara-negara di dunia menghadapi krisis pangan, krisis energi dan bahkan krisis ekonomi keadaan di tanah air tidak separah itu. Pada saat kelesuan ekonomi melanda dunia, ekspor turun drastis sehingga negara yang mengandalkan pertumbuhan domestiknya berdasarkan ekspor sekarang ketar-ketir.

Ekspor cuma menyumbang sekitar 30 persen dari seluruh kegiatan ekonomi di dalam negeri (PDB). Turunnya permintaan di pasar dunia tentu akan berdampak pada tingkat ekspor, tetapi saya kira situasinya berbeda dibandingkan dengan negara-negara yang sangat tergantung dari ekspor seperti Singapura dan Vietnam, misalnya. Kedua negara ini sekarang terancam resesi.

Dalam situasi resesi, negara-negara dengan jumlah penduduk yang besar seperti Indonesia sebenarnya tidak perlu khawatir. Jumlah penduduk besar menjadi pasar yang besar.

Bayangkan, tukang sepatu kita memiliki order 250 juta pasang sepatu, toke sembako perlu berfikir keras untuk mengupayakan stok sembako untuk 250 juta mulut. Sektor transportasi harus menyediakan angkutan untuk 250 juta orang. Pengusaha hiburan harus memikirkan bagaimana menyiapkan paket hiburan bagi 250 juta orang! Ini pekerjaan massif!

Dalam situasi resesi ekonomi dunia, kita konsentrasi ke dalam negeri saja sementara ini. Amerika dapat hidup sendiri karena penduduknya besar, tetapi seperti Indonesia mereka tidak dapat menghasilkan sendiri kebutuhannya. Mereka manja. Kita?

Berbagai lembaga ekonomi internasional dan pers telah menampilkan wajah Indonesia yang penuh pengharapan. Data-data yang dilampirkan oleh majalah Economist, misalnya menempatkan potret Indonesia yang tidak jelek jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik lainnya.

Indonesia telah menjadi satu diantara 20 negara dunia yang bertanggungjawab terhadap perekonomian dunia merupakan fakta tak-terbantahkan. Saya kira ini porsi ekonom untuk menjelaskannya.

Alasan kedua, secara diam-diam dan pasti kita telah menciptakan sistem kenegaraan yang terbuka, atau transparan. Saya sepakat dengan para pengamat, kita masih jauh dari memiliki sistem yang sempurna. Di mana-mana begitu. Amerika saja baru sadar bahwa supervisi di pasar modal oleh Pemerintah itu perlu. Bahwa Pemerintah AS juga perlu prudent dalam mengelola ekonomi keuangan. Hah!

Kampanye anti-korupsi dengan efek jera yang `kejam’ menurut saya berhasil. Saya kira, pejabat negara yang waras pada jaman sekarang tidak berani main-main dengan harta negara.

Pada jaman orba kita selalu dicibir pada saat sidang IGGI: para pengutang (kreditor) datang ke rapat naik sepeda atau naik metro/subway dari apartemen mereka yang sederhana dan kecil, sementara yang diutangi (RI), yakni pejabat-pejabatnya datang naik limusin, menginap di president suite pada hotel-hotel bintang 5! Dan, kita selalu bangga bahwa kepercayaan luar negeri meningkat dengan peningkatan "bantuan luar negeri" yang notabene "hutang" yang dibayar oleh rakyat si pembayar pajak!

Saya akui, memang orang bilang, "It's one thing that you have established the system, it's another when it comes to implementation". Kita masih perlu membudayakan demokrasi ke dalam sistem nasional. Kita masih buruk dalam pelayanan publik dan terlalu banyak ruang-ruang yang harus ditata.

Memang perlu kesabaran karena menyangkut budaya, "It takes a generation", kata orang. Membudayakan kebersahajaan dan anti-korupsi dalam keseharian memang masih perlu. Saya setuju harus ada "time-frame".

Masyarakat kita juga tampaknya perlu dipersiapkan, bahwa pekerjaan di sektor negara itu pekerjaan pengabdian, bukan untuk menjadi kaya. Seyogianya pengelola negara itu tidak kaya. Memang susah, misalnya jika menghadapi permintaan sumbangan dari sanak-saudara atau teman dalam rangka pernikahan.

Saya inginnya menyumbang besar (karena memang besar biayanya), tetapi tidak punya uang. Menyumbang sedikit? Masih ada rasa malu, sungkan. Saya yakin ini hanya sebentar saja.

Dalam poin ini, kayaknya sekarang aneh jika seorang pegawai negara (dari jabatan atau eselon berapa pun!) mampu mengadakan pesta pernikahan anaknya bak bangsawan Eropa, di hotel-hotel berbintang dengan mengundang ribuan tamu berdasi!"

New mentality is required". Jangan hanya di permukaan kita mengklaim pola hidup sederhana ala orde baru. Kita masih perlu membudayakannya dalam sikap dan tindakan sehari-hari.

Alasan ketiga, pernyataan bahwa kita bangga menjadi negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia harus dibaca dari segi potensi SDM-nya.

Tahun 2009 telah dicanangkan sebagai tahun industri kreatif. Indonesia memiliki SDM yang berusia muda, sekitar 60-70 persen pada tingkat usia di bawah 40 tahun. Sekarang ini menjamur bakat-bakat anak muda Indonesia di segala bidang industri kreatif: berkaitan dengan teknologi informasi dan seni budaya.

Positif bahwa beberapa anak muda kita telah memiliki bagian dalam produksi film di Hollywood dan di bidang pembuatan "software". Sayangnya, Indonesia juga tercatat menjadi "hackers" kelas dunia!

Sudah lama diketahui, kekurangan SDM unggul di banyak negara, termasuk AS, dipecahkan melalui kebijakan imigrasi. Berapa banyak anak-anak muda kita, terutama lulusan terbaik, yang dirayu dan kini bekerja di negara-negara tetangga di Asia Pasifik?

Keempat, saya selalu bangga mengatakan dalam berbagai kuliah, ceramah dan presentasi di luar negeri bahwa Indonesia adalah "superpower" di bidang kebudayaan. (jangan dulu berdebat definisi apa itu kebudayaan?).

Argumen saya singkat, kita terdiri dari lebih 300 suku bangsa dengan berbagai kelengkapan budayanya: agama dan kepercayaan, bahasa, kesusasteraan, seni tari, musik, instrument, seni-ukir, pakaian, dan makanan dan keunggulan-keunggulan di bidang genetika dan karakter positif masing-masing etnis anak-bangsa.

Itu sebabnya, sulit bagi saya untuk memberikan ceramah umum mengenai keseluruhan aspek Indonesia. Terlalu besar, terlalu luas! Saya harus memilih tema-tema dari daerah tertentu saja.

Saya katakan, bayangkan 300 suku bangsa dengan segala kelengkapan budayanya berinteraksi, berakulturasi, satu dengan lainnya. Hasil akhirnya, ratusan jenis ukiran, tarian, musik, nyanyian, pakaian, jenis makanan dan sebagainya.

Ini menjadi sumber inspirasi para artis, seniman, kalangan industri, yang tidak akan pernah kering. Produknya bila dikemas ke dalam industri mungkin ribuan, atau malah jutaan jenis produk! "The sky is the limit", kata orang.

Perbedaan itu rahmat dan indah. Kita lebih mengenal diri kita karena mengetahui orang lain. Kita lebih menghargai diri kita sendiri, karena kita juga harus menghargai orang lain dan sudi hidup berdampingan dengan tetangga kita, apapun atribut etnis atau sosial budayanya.

Hasil akhirnya, apakah telah tercapai toleransi dan penghargaan atas sesama secara substantif! Belum. Jangan biarkan nilai-nilai ini langgeng berada pada di tingkat normatif, atau bahkan semata-mata hanya menjadi statemen politik.

Kejadian di Medan, wafatnya Ketua DPRD Sumut dalam demo berdarah di awal Februari telah menunjukkan bahwa masih ada unsur-unsur di masyarakat kita yang, meminjam pernyataan Obama, "On the wrong side of history". Di sini pekerjaan rumah menumpuk.


The Way Forward

Orang bisa mengatakan, dengan selesainya transformasi mendasar berarti sudah final, "dong". Perjuangan telah selesai, tetapi baru dalam mencapai format barunya. Substansinya? 10 tahun masih kurang cukup waktu.

Ini baru "a new milestone", tahapan baru. Baru merupakan awal melangkah ke depan di jalan yang tepat. Pas: Indonesia modern, berbudaya, demokratis, sejahtera yang menghormati perbedaan (inklusif), dengan sistem partisipatif dan terbuka. "A new Indonesia" sudah berbentuk dan masih "in the making".

Ke dalam masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dilakukan pada masing-masing bidang dan bagi semua kita, komponen bangsa. Mari kita pupuk kebersamaan di antara kita dalam membereskan berbagai agenda domestik guna mendukung kejayaan bangsa dan negara kita di dalam pergaulan antar-bangsa.

My bottom line: mentalitas keterpurukan "is over".


COPYRIGHT © 2009 ANTARA
PubDate: 12/02/09 17:36

Wednesday, February 11, 2009

DEMO PEMEKARAN BERDARAH: SOR SENDIRI

Meninggalnya Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Aziz Angkat di awal Pebruari dikeroyok demonstrasi anarkis pendukung pembentukan propinsi Tapanuli, sebagai pemekaran dari Propinsi Sumut, telah membuka mata kita untuk meninjau kembali (review) kebijakan pemekaran wilayah.

Sebagai warga Sumatera Utara yang bermukim di luar negeri namun senantiasa mengikuti perkembangan daerah asalnya, saya tergelitik untuk membuat catatan ini, merespons komunikasi dengan beberapa teman di Jakarta dan Medan.

Saya bukan seorang ahli dalam ilmu perwilayahan atau pemekaran, dan bukan pula seorang praktisi yang berkecimpung di bidang ini. Saya ingin berbagi kepada pembaca beberapa poin.

Kesimpulan saya, kita terlalu banyak berbicara mengenai ‘pohon’ dan lupa melihat ‘hutan’ nya. Kita terlalu banyak bicara pemilu, suatu kemutlakan dalam proses demokrasi seiring dengan pemberdayaan (empowerment) via otonomi daerah sebagai bagian penting dalam memberi arti nyata agar pilihan demokratis menjadi democratic dividends. Tetapi, semua masih berkisar di aspek-aspek statis seperti prosedural, teknis, yang semangatnya baru tahap membagi-bagi (lawan dari kontibutif), belum menyentuh persoalan mendasar dan substantif.

Demonstrasi pemekaran di Medan, lebih dari tindakan anarkis yang bisa mengarah kepada separatisme, menurut saya sudah melenceng jauh berada di luar mainstream agenda nasional untuk penguatan infrastruktur dan budaya demokrasi (democratic culture, values). Singkatnya kawan-kawan di Medan ini berfikir sejurusan saja, istilah Medan ‘sor sendiri’, tanpa berfikir panjang dampak yang ditimbulkannya terhadap image dan trust terhadap orang-orang Batak di mata nasional, yang selama ini sangat setia mendukung bahkan rela berkorban demi Republik.

Mohon maaf, if I call a spade, a spade. Saya tidak berniat melukai perasaan siapapun.


Reaksi Awal

Begitu peristiwa anarkis berdarah terjadi, saya menulis kepada seorang teman dari Medan, sebagai warga sumut saya sangat terpukul dengan kejadian yang memalukan ini. Saya katakan:

‘Bikkin malu halak kita saza itu, seakan-akan kita ini baru turun dari hutan. Tidak sadar kalau Republik telah bertransformasi menuju negara modern. Kawan-kawan kita lupa, Indonesia di mata internasional sudah menjadi negara demokrasi terbesar ketiga dunia. Tampaknya, membudayakan demokrasi itu dalam sikap kita sehari-hari a long way to go for us. Kejadian di Sumut itu anarkis; demokrasi jalanan apalagi sampai membunuh politisi itu namanya demokrasi untuk menang-menangan! Aku sekarang berjalan tertunduk-tunduk, tidak berani menatap wajah orang....”

Memang, sejak diluncurkannya Bali Democracy Forum akhir Desember 2008 yl, Indonesia mencuat peranannya dalam mendorong proses demokratisasi, terutama di wilayah di Asia Pasifik yang masih banyak menyimpan masalah. Teman-teman di kalangan diplomatik menyampaikan ucapan selamat bagi prestasi Indonesia itu. Selama ini Indonesia dipuji karena perkembangan yang pesat di bidang demokrasi, sejak era reformasi dan berjalan lancar dan aman.

Indonesia telah menjadi harapan dunia. Kita sekarang dalam proses perjuangan berat untuk memperoleh tempat terhormat di dunia internasional, that we legitimately deserve.

Tiba-tiba, bak petir di siang bolong, terjadi demo berdarah itu. Awak pun menjadi malu kali! Sakik na tak seberapa, malu na ini bah!, kata saya kepada teman asal Medan itu.

Tepat seperti kata Presiden SBY, peristiwa meninggalnya Ketua DPRD Sumut telah mencoreng reputasi Republik di mata internasional, yang membuat kita kembali ke zaman kegelapan (dark ages).

Saya berkomentar kepada seorang teman asal Siantar, ”ini akal-akalan Djaultop”. Orang Sumut lama tahu siapa tokoh Djaultop yang culun namun konyol, sebenarnya otaknya sedang-sedang saja, tetapi sok pintar. Dulu, kalau tidak salah, tokoh ini menjadi bintang kartun yang dimuat di Koran Mimbar Umum. Saya bisa membaca motivasi tokoh-tokoh penggeraknya.

Kacau tuh, para Djaultop di Medan.


Root Causes?

Kepada seorang teman warga Sumut yang sejak dulu tinggal di AS, saya menulis email:

“I suggest you need to address the root causes of the tragic event, the crux of the matters, which is the wrong direction, wrong time and for wrong causes, of expressing democratic rights in the name of a proposal to create a new province called "Tapanuli". Instead, they should have come up with a genuine expression in the name of autonomy for the causes of the betterment of the people. But, I’m afraid, those proponents are only interested in power, a reflection of sahwat kekuasaan and nepotism, as always were the cases in many newly created local governments in many parts of the country.

I condemn it in the strongest possible term when they took the law into their hands in expressing their democratic rights, killing a fellow countryman, a councilor. Democracy may be new thing for us. But, the incident shows that there is a long way to go for Indonesians, as long as the ethics, rule of laws, and respect for differing views are not honored. The development of a democratic culture: a necessity for us. I feel ashamed of the tragic event to the international society, because it occurred when they admire us for our being the third largest democracy in the world.”

Banyak pihak menyatakan otonomi daerah kita kebablasan, saya tidak setuju pendapat ini secara keseluruhan.. Dalam perjalanan saya ke daerah-daerah saya banyak bertemu dengan tokoh-tokoh muda yang cerdas dan memiliki komitmen tinggi untuk membangun daerahnya. Dan banyak pula yang berhasil, apabila ukurannya adalah kemajuan ekonomi dan tingkat kesejahteraan penduduk.

Di Sumut tampaknya lain, yang bertarung dalam pilkada adalah tokoh yang itu-itu saja. I question their track records in the past! Saya bilang sama teman, saya sangat khawatir dalam beberapa tahun Sumut akan ketinggalan dengan daerah-daerah lainnya karen lamban dalam membangun institusi dan bahkan budaya demokrasi dalam arti seluasnya, termasuk ekonomi. Topik pembicaraan di sana juga tidak jauh-jauh amat, masih berkisar pada semangat ‘membagi-bagi’ bukan kontributif.

Tidak jauh, gagasan pembentukan Propinsi Tapanuli adalah ide-ide ‘cemerlang’ dari segelintir Djaultop, dengan semangat bagi-membagi atau ‘siapa mendapat apa’. Ironisnya, ‘ide Djaultop’ ini didukung pula kalangan oportunis yang tidak menyadari mereka telah keluar dari ‘mainstream’ bahkan mengarah ke arah memecah belah kesatuan bangsa, dan lebih jauh lagi bermimpi untuk separatisme! Bah, apa-apaan ini.

Di Tapanuli (Utara, Selatan dan Tengah) dan daerah sekirtarnya (Simalungun, Karo, Dairi) kalau tidak salah bermukim setidaknya 8 sub-etnis Batak. Di antara masyarakat di sini, agama bukanlah menjadi faktor pemisah, karena di masyarakat ini adat yang dijunjung. Tanpa semangat inklusif (suku apapun, agama apapun semua berdiri sama tinggi, duduk sama rendah) tidak ada yang namanya ide “‘Tapanuli”, dan usul apapun yang keluar dari mainstream ini, saya bilang kepada teman “a non-starter”. Semangat ini, kan, pada dasarnya menjadi prinsip di Republik kita pasca reformasi!

Saya ingat, beberapa tahun di awal reformasi teman saya juga dari Sumut mewacanakan pembentukan propinsi Tapanuli bahkan merdeka!. Saya bercanda, terus kita-kita ini pulang dong diusir orang kembali ke kampung. Bukankah kita ini suku yang bertemper-tinggi, malah nanti kita berantam satu dengan lainnya? Semua kita PSMS yang di Jakarta ini pulang semua?

Lalu, by definition, Tapanuli itu apa, sih? Bingung, karena berapa banyak sih orang Batak yang mengenal baik daerahnya. Misalnya, ayah saya lahir di Asahan, saya lahir di Pematang Siantar, anak-anak lahir di luar negeri, apa kami ini masih dianggap Batak? Kalau tidak gimana?

Saya bilang, sudahlah Bung. Kita aman-aman kok berada di Republik Indonesia, dan bukankah Republik ini telah menjadi milik kita bersama dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tidak kurang kontribusi kita dalam membangun Republik ini. Jangan dirusak gara-gara ide-ide cemerlang si Djaultop!

Memang setelah saya selidiki, tenyata, ide Propinsi Tapanuli hanya dibeli oleh kabupaten yang itu-itu saja, yang lain menolak. Sebagai bagian demokrasi sah-sah saja. Mungkin perlu waktu, tetapi jangan main paksa, seakan-akan berkata “do not stand on my way, of you are perished”.

Apa pulak cara main seperti ini.


Budaya Amuk?

Kejadian anarkis itu juga menarik pengamatan para sosilog, atau bahkan psikolog (mungkin juga dukun!) yang mencoba menelusuri darimana sumber budaya amuk (run amok) dalam konteks demokrasi. Saya berkomentar:

“Mengamuk merupakan ekspresi frustrasi, Why? Karena komunikasi nggak nyambung, Why? Karena tertutup atau ditutup (dengan sengaja) sehingga building up (meluap). Tsunami bertatap tembok. Why anarkis?: Karena tidak mampu menguasai diri atau mengekspresikan dengan baik tuntutan, tidak artikulatif (articulate) karena bahasanya (termasuk yg tersirat, dan bahasa tubuh) tidak dipahami, dan tidak kontekstual, terlalu lokal: ‘sor sendiri lah’, kata orang Medan.

Layaknya anak kecil yang marah dan frustrasi karena maunya tidak dimengerti dan kita juga mungkin tidak berusaha memahaminya, atau menganggap tidak relevan, mengada-ada. Lalu dia mengamuk.

Di dalam sistem demokrasi dikenal aturan main dan tata-cara. Seandainya tata-cara dan aturan main tidak dijadikan referensi dalam bertindak, maka anarkis, chaos: when everyone is taking the laws into their hands, ini namanya menang-menangan.

Saudara sebangsa (di tingkat nasional) nggak ngerti, karena ide Propinsi Tapanuli itu terlalu lokal. Mereka para penggagas dan demonstran juga nggak ngerti bahwa tindakan anarkis itu merusak bangsanya, reputasi negaranya, di mata internasional. Jadi, jangan sor sendiri-lah, Lae”.

Menanggapi aksi anarkis di Medan, menjadi pitam pulak awak ini!


A Panacea?

Dalam komunikasi saya dengan salah seorang politisi nasional saya menyatakan perasaan malu sebagai orang Batak atas perilaku saudara-saudara saya di sana yang mencederai nama Republik. Saya lebih lanjut mengatakan:

“Tentu biang keladi peristiwa berdarah itu bukan etnis Batak secara keseluruhan. Tetapi saya bertanya what a coincidence, yang ditahan polisi etnis Batak dan yang menjadi kausa adalah pembentukan Propinsi Tapanuli, artinya ya, Batak. Saya melancarkan otokritik terhadap segelintir tokoh-tokoh dari etnis saya sendiri, atau mengklaim menjadi tokohnya karena meng-entertain ide-ide konyol itu. Saya melihat, gagasan ini hanya menjadi penyaluran sahwat kekuasaan segelintir orang saja, dan saya tidak melihat merit apapun dalam konsep itu pembentukan propinsi Tapanuli. Meskipun sudah berlangsung pemekaran dan pemekaran, rakyat di Sumut tetap saja sengsara. Masyarakat kami juga perlu belajar, pengalaman menunjukkan bahwa beberapa kabupaten atau kotamadya yang baru dimekarkan tidak lebih sebagai pabrik penampungan lapangan kerja bagi keluarga dan teman-teman saja, nepotisme. Mudah-mudahan saya salah, tetapi saya tidak melihat adanya peningkatan kesejahteraan rakyat di sana.

Pembentukan propinsi Tapanuli tidak akan menyembuhkan penyakit kronis, tidak akan menjadi panacea. Gagasan itu tidak mengobati penyakit yang berurat-berakar di sana. Karena itu, obatnya yang lain saja.

Mungkin saya berlebihan, tetapi menurut saya kami orang Batak sebagai bagian dari bangsa ini, wajar meminta maaf kepada bangsa dan negara. Saya mengutuk kejadian yang telah mencoreng wajah Republik di mata international.


Non-Democratic Euphoria

Rakyat Indonesia menyambut gembira Indonesia memasuki era demokrasi. Tetapi, apabila euforia demokrasi diwujudkan dalam bentuk pembentukan local governments yang baru tanpa perlu memperhatikan ‘hutan’ nya, adalah keliru.

Oleh karena itu tepat jika kebijakan ini ditinjau ulang. Apalagi sampai membahayakan NKRI. Ketua Panja Pemekaran DPR RI Chozin Chumaidy menyatakan meskipun masih akan diputuskan pada tingkat DPR, namun pihaknya setuju dengan pendapat pemerintah untuk menghentikan sementara seluruh proses pemekaran wilayah di tanah air (Jurnal Nasional, 7 Pebruari).

Chumaidy juga menganalisis ada 3 pihak yang selalu getol mengupayakan pemekaran wilayah, yakni eksekutif, politisi dan pengusaha. Katanya, kalangan eksekutif berkepentingan untuk mendapat posisi-posisi baru di pemerintahan di daerah otonom baru politisi berharap mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendapatkan kursi di lembaga-lembaga legislatif yang otomatis harus dibentuk setelah pemekaran wilayah disetujui, sedangkan pengusaha melihat peluang berinvestasi di daerah yang baru saja dimekarkan. Saya kira, gejala ini juga ada di balik ide Propinsi Tapanuli. Sor sendiri saja!

Mengapa setelah terjadi pemekaran kesejahteraan rakyat tidak kunjung meningkat? Karena para penguasa-penguasa baru masih sibuk bertahun-tahun memikirkan pembangunan gedung, penyusunan organisasi pemerintahan (jabatan eselon 1,2,3, dan 4), rekrutmen pegawai, anggaran, pembentukan badan legislatif, pembuatan perda tentang pungutan pajak, dsb. Menjadi jelas, pemekaran bukan panacea.

Ada yang lukratif di sana (fulus), tanpa tahu bahayanya (memecah-belah kesatuan bangsa).Ada satu gejala yang menurut saya aneh dalam pelaksanaan otonomi daerah. Lucunya, bilamana otonomi daerah berdasarkan UU diberikan kepada pemerintah lokal di tingkat kabupaten atau kota, sebenarnya apa fungsi gubernur? Di negara yang menganut otononomi serupa dengan kita, kantor gubernur cuma kecil saja dengan pegawai tidak lebih dari 100 orang. Di kita? Pilkada gubernur seperti pertaruhan hidup dan mati (kalau perlu, mengerahkan massa bayaran), dan meskipun sudah reformasi jumlah pegawai di kantor gubernur tetap saja puluhan ribu pegawai! Saya tidak mengerti apa saja yang dikerjakan sehingga perlu jumlah puluhan ribu pegawai! Anggarannya juga mammouth!

Untuk melaksanakan fungsi apa, pekerjaan apa? Koordinasi? Ini juga gejala yang memalukan bangsa, masak untuk urusan koordinasi kita memerlukan puluhan ribu pegawai! Masya Allah, ini mah business as usual, atau masih dengan semangat ‘sor sendiri’ itu. Atau, saya gagal memahami bahwa materi yang menggiurkan (lucrative) ini sebenarnya yang menjadi the bone of contention?

Di negara yang menganut sistem serupa dengan Indonesia, misalnya Polandia, gubernur berfungsi sekadar mengawasi apakah undang-undang negara dijalankan dengan benar dan koordinasi pembangunan ekonomi (termasuk manajemen alokasi APBN untuk daerah) di antara semua daerah tingkat-2 di wilayahnya. Yang powerful adalah walikota, langsung mengurus kepentingan rakyat di daerahnya.

Jadi wajar, kantor gubernur dan pegawainya kecil saja.


The Way to the Future

Jika kita berbicara tentang pemekaran wilayah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, mungkin perlu kita sepakati terlebih dahulu apa parameternya. Sejumlah para ahli berbicara mengenai persyaratan adiminstratif dan prosedural, tetapi saya lebih tertarik pada penjelasan substantif dan politis. Ini seharusnya yang menjadi threshold.

Parameter pertama yang perlu kita bicarakan sebelum membicarakan pemekaran wilayah menurut saya adalah parameter viability: mampukah daerah itu hidup secara ekonomis dan memiliki prospek yang lebih baik untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakatnya? Kalau tidak terpenuhi, saya bilang kepada teman: “proposalnya a non-starter”, alias masuk keranjang sampah.

Parameter kedua berkaitan dengan NKRI dan kesatuan bangsa: apakah usul pemekaran itu akan memperlemah atau memperkuat NKRI dan rasa kebangsaan? Kalau tujuannya memecah-belah bangsa dan memperlemah NKRI, lupakan saja. Kenapa kita mesti hidup terkotak-kotak dalam etnis kesukuan atau agama pada saat Republik telah bertransformasi menjadi Negara inklusif di mana semua orang memiliki hak yang sama. Republik ini telah menjadi milik kita bersama, kok.

Setelah lulus dari kedua parameter di atas, barulah kita berbicara pada aspek-aspek hukum dan prosedural dan administratif. Menurut saya, pada tingkat ini kita perlu pengamanan prosedural untuk memagari integritas NKRI, bahwa pemekaran harus mendapat persetujuan mayoritas dari DPRD setempat, atau jika perlu pada tingkat MPR (DPR plus DPD). Aman, deh.

This is my bottom line!

Tanpa melihat “hutan” nya, banyak Djaultop-Djaultop yang frustrasi berkumpul dan bermimpi menjadi orang berkuasa dengan menggagas ide-ide konyol. Jangan ‘sor sendiri’ lah. Dan, jangan dibiarkan mereka mendiktekan agendanya kepada kita!.

Mari kita berdiskusi terbuka di era demokrasi, sementara emosi tinggal di belakang.

Warsawa, 8 Pebruari 2009

*Catatan/Pendapat pribadi penulis.