Monday, February 22, 2010

BERZIARAH KE MESJID NIUJIE BEIJING



TIDAK banyak diketahui orang di Indonesia bahwa umat Islam di China berjumlah hampir 22 juta umat Islam, atau 1,6% dari jumlah penduduk 1,3 milyar jiwa. Bahkan ada yang mengklaim jumlahnya lebih dari 60 juta.

Umat Islam China tersebar di berbagai daerah, yang terbesar di propinsi Xinjian, Gansu, Qinghai dan Ningxia (the Quran Belt), serta di Yunnan dan Henan. Kelompok terbesar, Hui berjumlah hampir 10 juta, Uyghur 8,5 juta, Kazakh 1,3 juta, dan berbagai etnis dari Dongxiang, Kyrgyz, Salar, Tajik, Uzbek, Bonan dan Tatar.

Maka mesjid turut memainkan peranan di dalam pengembangan Islam sejak dahulu kala di China, di awal-awal masuknya Islam ke China pada abad ke-7. Menurut catatan, di seluruh China terdapat sekitar 3500 mesjid, dan terus bertambah seiring era keterbukaan.

Pada tahun 610 M Khalifah Usman mengirim utusan untuk penyebaran dakwah ke China, seorang duta besar Islam pertama di China, yang tidak lain paman Rasulullah saw sendiri Sa’ad Ibn Abi Waqqas. Selanjutnya, umat Islam memegang peranan penting di berbagai pemerintahan dan penggerak ekonomi, filosof bahkan militer. Muslim selalu dipercaya memegang jabatan tertinggi di kementerian perdagangan. Beberapa jenderal termashur di kerajaan China juga Muslim, seperti Admiral Cheng Ho (1371-1435) yang mampir di Semarang. Memang Islam tidak terlepas dari sejarah modern China.

Masa suram Islam di China terjadi pada masa Dinasti Manchu, bahkan genocide dan politik adu-dumba antar-etnis terjadi pada zaman itu. Baru setelah pemerintahan Sun Yat Sen yang mendirikan Republik China pada tahun 1912, pengakuan sama diberikan kepada semua etnis: Han, Man (Manchu), Meng (Mongol), Hui (Muslim), dan Tsang (Tibet).

Pada masa gila-gilaan pada Revolusi Kebudayaan, institusi Islam dan penduduk Muslim juga diuber-uber. Tetapi tidak separah terhadap penganut agama lainnya. Islam, karena sejarah, menjadi native di China. Karena itu, terutama sekarang, Muslim memperoleh kelonggaran.




Ketika transit di Beijing, saya dan isteri berkunjung ke rumah Mayerfas, teman yang tinggal di sana. Salah satu tujuan penting adalah berziarah ke Mesjid Niujie. Ditemani staf protokol Yulianto kami menyempatkan berziarah ke tempat bersejarah ini.

Mesjid Raya Niujie

Mesjid Niujie ini dibangun orang-orang Arab pada tahun 996, pada zaman Dinasti Liao (916-1125), namun mengalami renovasi berkali-kali yang diawali oleh Dinasti Ming pada tahun 1442 menjadi bentuk sekarang ini. Renovasi terbesar terjadi pada masa Maharaja Kangxi, pada dinasti Qing (1622-1722) dan pada abad ke-20 setelah kemerdekaan China 1949, yakni tahun 1955, 1979 dan 1996.

Menduduki area 6000 m, Mesjid Niujie terdiri dari bangunan kayu bergaya arsitektur dan gabungan seni China dan Arab.

Mesjid itu terletak di daerah pemukiman Muslim China di Cow Street. Tidak heran, di sana banyak restoran Muslim. Kami pun menikmati makan siang di salah satu restoran itu. Menurut catatan di kawasan Muslim itu terdapat sekitar 10 ribu penduduk Muslim, dari sekitar 200 ribu di seluruh Beijing.

Pada masa Revolusi Kebudayaan, mesjid dan umat Islam tidak luput menjadi sasaran Pengawal Merah, seperti dialami oleh semua agama di China. Naik haji juga dilarang. Baru setelah 1978 kelonggaran beribadah diberikan kepada umat Islam. Kini, tercatat sekitar 10 ribu jemaah dari China melaksanakan ibadah haji setiap tahun. Mesjid itu kurang lebih mampu bertahan pada Revolusi Kebudayaan yang hancur-hancuran.

Ketika kami masuk dari dari pintu gerbang Cow Street, rumah Allah ini tidak terlihat. Namun, setelah berjalan sekitar 40 meter barulah mesjid unik berbentuk simetris ini terlihat. Tadinya saya kira bangunan itu kelenteng, karena memang mirip. Di tembok menuju ke mesjid tergambar beberapa relief yang melukiskan kebahagiaan dan keberuntungan. Tentu relief tidak melukiskan hewan atau patung manusia, karena Islam melarangnya.

Di depan bangunan mesjid –dipisahkan oleh pelataran yang cukup luas— terdapat 6 menara setinggi 10 m yang disebut Menara Pemantau Bulan, karena fungsinya demikian untuk memastikan waktu berbuka puasa di bulan Ramadhan.

Salah satu bukti sejarah mesjid, maka di bagian belakang terdapat kuburan 2 imam berasal dari Persia (Iran) yang mengembangkan Islam pada abad ke-13 di China.
Di bagian luar mesjid terdapat prasasti yang menceritakan sejarah mesjid, dan tentang umat di China. Islam tidak terpisahkan dari sejarah China itu sendiri. Maka, tidak heran jika Nujie Mosque penting menjadi tujuan bagi pengunjung China.



Kami tiba menjelang maghrib. Tak lama kemudian beberapa belas jamaah mengambil wudhu dan bilal mengumandangkan azan di pelataran, di luar mesjid. Jamaah kebanyakan berpakaian jubah dan berjanggut. Mereka warga China asli. Seusai shalat, saya melihat para jemaah mendengarkan penjelasan seorang ulama atau kuliah tentang keislaman. Mereka ramah menyapa kami. Sayang, perbedaan bahasa tidak menolong untuk berdialog dengan mereka.

Interior mesjid indah, penuh dengan kaligrafi kutipan ayat-ayat Quran, diukir dalam seni lukis China yang kaya dengan warna dasar merah, putih, biru, dan hitam.
Tempat shalat wanita berada terpisah, tidak jauh dari bangunan utama. Interiornya juga sama indahnya. Seusai shalat, isteri saya Ade, mencoba untuk berkomunikasi dengan jemaah wanita, namun terhalang bahasa. Tidak urung, keramah-tamahan dan kenikmatan bersilaturahmi dengan saudara Muslim dari Indonesia memancarkan ekspresi yang hangat di wajah Muslimah China.

Beijing, 12 Februari 2010

No comments:

Post a Comment