Tuesday, May 26, 2009

SAHARA EROPA TERANCAM PUNAH

GURUN pasir juga disebut sahara diketahui terdapat di Afrika Utara dan Selatan, Timur Tengah, di Asia (China, Iran), bahkan di benua Amerika (utara dan selatan) dan Australia. Tetapi di Eropa? Sulit percaya bahwa Eropa juga mempunyai sahara, tepatnya di Polandia.

Di bagian selatan negeri in, tepatnya di Pustynia Bledowska (baca: pustinia blendovska) memang sejak ribuan tahun yang lalu ditemukan sahara terbesar di seluruh Eropa, dan dijuluki the "only natural desert in Europe".

Rasa ingin tahu dan penasaran inilah yang membawa saya, dan beberapa teman, mengunjungi tempat ini pada akhir April 2009 yang lalu. Sahara ini terletak di pebukitan di antara Slaska and Olkuska di Propinsi Slaskie.

Bukan tanggung-tanggung, gurun pasir yang disebut juga sebagai “the Polish Sahara” ini ternyata cukup luas, kl. 32 km persegi, berdimensi sekitar 9 km x 3-4 km, dengan ketebalan pasir antara 40 – 70 meter! Jelas, ukuran ini sangat mini jika dibandingkan dengan gurun pasir atau sahara yang terdapat di benua-benua lainnya seperti di Afrika Utara yang mencapai 9 juta km persegi!

Konon, dulu padang pasir alamiah Polandia ini menyita tempat seluas 150 km persegi, kemudian menciut menjadi 80 km2 pada abad ke-13 dan menciut terus hingga kini luasnya tinggal kl. 32 km2.


Menurut sejarahnya, penduduk di sekitar wilayah ini awalnya menanam pohon-pohon sejenis Caspian willow untuk menahan pasir agar tidak berterbangan pada saat angin kencang, bahkan adakalanya badai pasir (sandstorms). Tetapi ternyata jenis pohon ini tumbuh dengan subur mengikis pebukitan pasir pada kawasan yang lebih tinggi.

Pencarian biji besi, perak, dan batubara pada abad pertengahan di masa lalu telah mendorong tumbuhnya industry pertambangan, dan selanjutnya pemukiman di sekitar sahara itu. Kebutuhan bahan makanan selanjutnya mendorong pertanian yang mengepung sahara itu.


Proses penghijauan yang berkembang itu pula yang menjadi kecemasan rakyat Polandia bahwa tanpa upaya konservasi maka sahara ini akan lenyap. Kini, seluas 85% permukaan sahara telah dipenuhi tumbuhan yang mengancam punahnya padang pasir ini.

Untuk itu ada LSM yang bergerak untuk memelihara padang pasir ini yang menyebut dirinya "Polish Sahara Association”. Organisasi ini aktif menggalang upaya dan dana demi mempertahankan padang pasir ini.

“Bila tidak dilakukan langkah-langkah penyelamatan, maka sahara kebanggaan rakyat Polandia ini pun terancam punah“, ujar seorang aktivis lingkungan Polandia.

Pada era penghijauan dan kecemasan terhadap peningkatan pemanasan global, sepertinya upaya para naturalis Eropa berjalan dengan logika terbalik.


Terbentuk Alamiah


Setelah menempuh jalan sekitar 350 kilometer dari Warsawa ke arah selatan, kami pun tiba di Pustynia Bledowska. Tetapi tidak terlihat padang pasir seperti dibayangkan dalam foto-foto padang pasir di Mesir, misalnya. Kawasan sekitarnya rimbun.

Masuk di akal jika diperkirakan, tanpa koservasi, sahara ini akhirnya akan lenyap dari Eropa. Para ahli dan politisi di Brussels pun sibuk bagaimana ‘menyelamatkan’ sang sahara. Berbeda dengan di Timur Tengah yang sibuk ‘menghijaukan’ padang pasir, di Polandia justru sahara ini ingin dipertahankan. Mungkin untuk wisata, mungkin juga untuk penyelidikan ilmiah.

Kami agak kecewa karena di bagian timur ini hanya terlihat hanya sedikit warna pasir putih, yang terletak agak di tengah-tengah belukar dan pepohonan cemara, dan hampir tak terpantau dari kejauhan. Datar, membosankan, sekilas orang berkomentar begitu. Tetapi di sana tentulah daerah ini menarik bagi ilmuwan atau orang-orang penasaran seperti kami.

Kami juga tidak lupa membawa jaket, karena arus angin yang relatif kencang di sana, apalagi jika udara agak dingin. Memang tempat kami masuk ini agak tinggi, sehingga dengan mudah memandang ke hamparan luas di bawah kami. Daerah perbukitan di sini ideal untuk olahraga paragliders dan terbang layang atau sejenisnya. Dari tempat yang tinggi itu, seakan-akan kita berada di langit, memandang ke kaki bumi, begitulah.

Kekecewaan kami tidak berlangsung lama. Untung, polisi yang patrol di sana memberitahukan agar kami masuk dari sisi barat dan utara. Di bagian ini, kata pak polisi, masih terdapat konsentrasi pasir yang luas, tidak tertutupi oleh berbagai pohon. Kami pun bergegas tidak sabar melihat tempat unik ini.

“Jika anda ingin menyaksikan suasana Sahara hanya di dekat Klucze di bagian barat dan di bagian utara di Dabrowko dekat Chechlo terdapat timbunan pasir yang lumayan luas”, kata pak polisi.

Pustynia Bledowska, seperti disebut orang Polandia menyebut sang sahara, memang memesona. Pasir halus di sana mengandung quartz bermutu tinggi, dan disekitarnya terdapat batu karang dan fossil-fossil peninggalan zaman Jurassic. Menurut orang di sana, bila hujan turun maka petir menyambar ke arah kawasan yang mengandung mineral, dengan sendirinya mengundang listrik, menghunjam bumi, dan menimbulkan percikan dari segala penjuru. Ini menjadi tontonan menarik.

Berada di bukit-bukit pasir di sana memang serasa berada di pantai. Pasirnya pun sama seperti yang terdapat di pantai. Ada juga turis lokal yang berjemuran di terik matahari di sana, sementara pengunjung lainnya tak lama mulai bermunculan lengkap dengan kamera untuk mengabadikan tempat unik ini.

Alkisah, lautan pasir di sana berasal dari air laut yang mencair dari berbagai lautan pada zaman glacial, mencairnya es dari kutub puluhan ribu tahun yang lalu, dan mengalir ke lembah Przemsza. Pasir lautan pun mengendap di sana. Setelah pemanasan global yang dimulai kira-kira 10 ribu tahun yang lalu, mulailah kawasan itu ditumbuhi pepohonan, terus berkembang sampai abad ke-13.

Berbeda dengan sahara-sahara di belahan bumi lainnya yang selalu mengalahkan proses penghijauan buatan manusia, Pustynia Bledowska yang berada di iklim Eropa, dengan curah hujan yang cukup alam melakukan penghijauan sendiri. Jika proses alamiah ini dibiarkan berlanjut, maka diprediksi tidak lama lagi sang sahara pun lenyap. Maka, para ahli pun dengan dana terbatas bekerja untuk ‘memulihkan’ sang sahara. Paling tidak memertahankannya pada tingkat sekarang.

Katanya, dulu (sekitar tahun 1950-60 an) kita masih bisa menyaksikan beberapa karakter padang pasir, seperti fatamorgana, padang rumput(pasture), badai pasir (sandstorms), dan bukit pasir di pantai (dunes). Kini kawasan pinus di belahan barat merambah cepat. Itu sebabnya, ketika memasuki wilayah ini dari sudut timur kami hampir tidak melihat bekas-bekas sahara. Sangat hijau.


Snow on Sahara

Bila Anggun, mantan penyanyi remaja Indonesia yang populer di Eropa, kini warganegara Prancis, dianggap melantunkan bual melalui hit-nya “Snow on Sahara“, maka Pustynia Bledowska tempat pembuktian yang sahih. Wilayah, seperti wilayah Polandia di musim dingin tertutup oleh salju, termasuk di sahar ini. Maka, Snow on Sahara adalah suatu realitas. Betapa uniknya.

Kontradiksi lainnya jika dibandingkan dengan sahara-sahara di berbagai benua lainnya adalah kehijauannya. Karena di sini, juga terdapat kehidupan flora dan fauna.

Menurut catatan ilmuwan Polandia, di kawasan itu kini terdapat kl. 350 jenis tumbuhan, kebanyakan dengan karakter padang pasir dan pohon-pohon di pinggir pantai. Bagi ahli botani, di sana terdapat tumbuhan unik seperti stemless carline thistle (Carlina acaulis), broadleaf helleborine (Epipactis helleborine), dark red helleborine (Epipactis atrorubens), prince's pine (Chimaphila umbellate), whorled Solomon's seal (Polygonatum verticillatum), Doronicum austriacum, dan fescue grasses (Festuca). Jenis-jenis rumput yang tumbuh di sana seperti, gray clubawn grass (Corynephorus canescens), blue lyme grass (Elymus arenarius), couch-grass (Triticum repens) menghiasi dataran rendahnya.

Pepohonan yang tumbuh juga memberi kehidupan bagi fauna, di sini terdapat sekitar 150 jenis serangga dan burung. Burung seperti woodlarks (Lullula arborea) atau tawny pipits (Anthus campestris), stone curlews (Burhinus oedicnemus) – burung padang pasir yang bertelur di pasir ada di sana. Ada juga muskrats, beavers, sejenis binatang langka serta reptil sand lizard dan ular.

Yang menarik, padang pasir ini pernah digunakan sebagai markas tempur pada saat Perang Dunia II, oleh Pasukan Jerman dari satuan
Afrika Korps untuk latihan dan percobaan alutsista sebelum digunakan di Afrika. Sekarang sesekali digunakan oleh Pasukan Operasi Perdamaian (peace-keeping) Polandia, terutama untuk menguji-cobakan tank-tank buatannya sebelum diterjunkan di Irak dan Afghanistan.

Ketika kami memasuki tempat ini, masih terdapat papan peringatan: “Daerah Militer, Dilarang Masuk”. Ini juga obyek menarik yang kami abadikan, seperti juga kelakuan para pengunjung lainnya.

Saya telah membuat foto-foto di kawasan indah di sini. Sebagian telah saya muat di Facebook, di bawah account nama yang sama: Haz Pohan. Silahkan visit.


Warsawa, 21 Mei 2009

THE SAXON GARDEN (1727 AD): PART II

TIDAK banyak lagi yang perlu saya ceritakan mengenai taman kota yang indah ini.

Dalam tulisan saya Bagian Pertama, saya melukiskan proses pencarian identitas atau sukma bangsa Polandia. Salah satu jalan untuk napak tilas itu adalah via the Saxon Garden, atau orang Polandia menyebut Saski.

Sejujurnya, beban sejarah terberat di tempat ini berada di bangunan-bangunan yang dulu pernah berjaya tegak perkasa di tempat ini. Semuanya hancur lebur, ketika dinamit yang dipasang oleh Nazi Jerman pada tahun 1944 meledakkan bangunan-bangunan bersejarah itu, sebelum meninggalkan Warsawa karena dikejar-kejar Tentara Merah.

Bangunan-bangunan bersejarah di tempat hening dan luas itu berfungsi menjembatani masa lalu negara yang telah berusia lebih dari 1000 tahun, meskipun pernah pupus dari peta politik Eropa selama 123 tahun, dengan masa sekarang.

Di sini dulu 3-serangkai berjaya: The Saxon Palace, The Saxon Square, dan The Saxon Garden, menjadi bagian dari ‘The Saxon Axis’. Ketiganya paralel menuju ke Sungai Vistula, yang menghadirkan Polandia dalam sejarah Eropa, juga menyimpan muatan sejarah dan kejiwaan mereka.

Sejarah meninggalkan bercak-bercak yang tidak mudah dihapus. Kadang-kadang, karena situasional, manusia terpaksa tidak berani jujur meneropong sejarah mereka. Apalagi bilamana sejarah yang berdarah-darah itu melibatkan negara-negara di sekitarnya. Kepentingan ke depan pula yang membatasi manusia untuk mau melakukan full-account terhadap masa lalu. Dan sejarah itu, bisa berbeda-beda muatan dan tafsirannya. Tergantung Anda berdiri di mana, kata seorang teman. Karena itu, banyak sejarawan takut disebut revisionis, bila fakta-fakta baru bermuatan tafsiran-tafsiran yang bisa mengundang kontroversi.

Begitu pula dengan karya monumental seorang scholar bernama Norman Davies. Dia terkenal ahli sejarah berkebangsaan Inggeris yang menulis buku sejarah Polandia dan mengungkapkannya dalam bukunya yang terkenal: God’s Playground (1979). Buku ini mengungkapkan apa yang dialami oleh orang-orang Polandia dalam sejarah seribu tahun di masa lalu. Terbit dalam 2 jilid lebih dari 1000 halaman, buku Pak Norman itu kaya dengan data, tetapi baru setelah 1989 dijadikan bahan bacaan di Polandia, setelah perubahan di sana.

Suatu insiden pula yang menghantarkan Norman Davies mendalami sejarah Polandia. Pada zaman Perang Dingin, dia ingin belajar ke Uni Soviet tetapi visanya ditolak. Dia lalu belajar di Jagiellonian University di Krakow, dan memperoleh Ph.D pada tahun 1968. Padahal, Polandia sebenarnya ketika itu masih menjadi wilayah pengaruh Uni Soviet. Ingat saja: Pakta Warsawa, pakta militer yang mengambil nama ibukota Polandia (zaman modern) itu.

Tak urung, saya juga mengungkap catatan tersisa. Taman Saxon ini dulu sedemikian dihormati rakyat Polandia karena merupakan taman milik raja yang didedikasikan untuk publik. Pada zaman keemasannya, pengunjung untuk sekadar melepas lelah di taman yang pasti dulunya indah sekali tetap berpakaian lengkap resmi, layaknya menghadiri konser di gedung opera. Kaum wanita-pun harus mengenakan topi.

Pada kesempatan kedua ini saya juga membuat foto-foto yang indah, dan telah saya muat sebagian di Facebook, di bawah account saya dengan nama yang sama: Haz Pohan. Saya menjanjikan akan kembali membuat foto-foto pada saat yang tepat, tatkala bunga berkembang di musim panas nanti. Pasti lebih indah dan dramatis!

Foto-foto diambil dengan kamera NIKON D 90, tanggal 1 Mei 2009, ketika matahari mencorong hangat.

THE SAXON GARDEN (1727 AD) : SOUL SEARCHING (PART I)

JIWA Polandia modern ada disini, di tempat luas yang dihancurkan membabi-buta oleh Hitler Jerman pada tahun 1944 yang mundur dari wilayah Polandia, ketika kalah perang pada akhir Perang Dunia II.

Saya bercerita tentang the Saxon Garden, atau disebut orang Polandia sebagai Taman "Saski", terletak di tengah kota dan telah hadir di hati orang-orang Polandia selama ratusan tahun.

“Kami membanggakan masa lalu, kejayaan Polandia di tengah-tengah bangsa-bangsa Eropa”, kata seorang teman saya, seorang professor di Warsaw University, yang mengajar tak jauh dari tempat saya membuat foto-foto.

Alkisah, The Saxon Garden, taman yang indah peninggalan dinasti Saxon itu, selama ratusan tahun sebelum PD II melekat dengan Istana dan alun-alun. Tetapi, taman ini juga memiliki sejarah yang panjang, kelam dan berdarah-darah. Di sini dulu 3 Serangkai berjaya: The Saxon Palace, The Saxon Square, dan The Saxon Garden, menjadi bagian dari ‘The Saxon Axis’. Di kawasan ini telah dilakukan ekskavasi untuk membangun kembali ”The Saxon Palace”, maket-nya sudah jadi, unveiled by the President, kata teman saya itu.

Jiwa Polandia modern ada di sana, ujar sang professor. Komponis dunia Fryderyk Chopin (nama Polandianya: Frycek), tinggal disini selama 7 tahun (mulai 1810), bersama ayahnya yang menjadi guru di Istana. Dari Istana ini Kepala Negara memerintah Polandia yang demokratis, berdasarkan Konstitusi 1791. yang hampir sama tuanya dengan Konstitusi AS tahun 1787.

“Makam Pahlawan Tak-Dikenal”, the tomb of the unknown soldiers, itu dulu adalah 3 arkad yang dulu menghubungkan wing kiri-kanan Istana Saxon, satu-satunya yang selamat dari kebengisan Nazi Jerman. Istana ini dibangun oleh seorang bangsawan Jan Andrzej Morsztyn, dan pada tahun 1713 dibeli oleh King Augustus II.

The Saxon Square, di depan plaza itu kini dinamai the Pilsudski Square, dari nama seorang jenderal dan negarawan Poland era modern yang mengalahkan pasukan Rusia, seusai PD I.Maka, dari Axis --Tiga Serangkai-- yang tersisa adalah The Saxon Garden.

Taman ini dibuka untuk public pada tahun 1727, tertua kedua di dunia, bahkan lebih tua daripada Istana Versailles (1791). Dulu dibangun dengan gaya Prancis dan pada abad ke-19 diberi nuansa Inggeris. Orang Polandia menamakannya “the Saski Palace”. Saxon dalam bahasa Slav diubah penyebutannya menjadi “Saski”. Di sana juga terdapat jam matahari (the sundial), yang dibangun tahun 1863.

Yang utuh tersisa dari kebengisan orang-orang Nazi Jerman adalah Taman itu. Di sana banyak patung-patung menyimpan cerita, al. karya Rococo, air-mancur bergaya empire hasil karya seniman besar Marconi pada tahun 1855, patung Stefan Starzyński, Gereja St. Anthony, dan pohon-pohon tua saksi sejarah.

Tak urung, patung-patung pun berpindah tangan, dibawa orang-orang Rusia ke St. Petersburg. Di wing kanan yang berbatasan dengan Jalan Senatorska, masih berdiri the Blue Palace, dinamai sesuai warna atapnya yang direkonstruksi sehabis perang. Gedung ini dibeli oleh King Augustus II untuk anak perempuannya Anna Karolina Orzelska. Istana ini dibangun pada tahun 1726 oleh Joachim Daniel von Jauch dan Johann Sigmund Deybel.

Stefan Strazynski, adalah walikota pada masa perang yang kemudian di kirim ke kamp konsentrasi di Dachau, dekat kota Munich, Jerman. Jiwa raganya menambah hitungan jutaan orang yang dibunuh, tanpa masuk-akal, oleh Nazi Jerman di kam-kamp konsentrasi. Dan itu masih belum lama, baru 65 tahun yang lalu.

Alkisah, The Saxon Garden dulu menjadi bagian dari benteng yang dibangun tahun 1766 oleh aristokrat Jan Andrzej Morsztyn, yang diperluas oleh Raja, untuk mempertautkan secara fisik antara Taman, Istana, dan bagian kota di sungai Vistula, Wisla, kata orang Polandia. Sungai Vistula juga menjadi saksi sejarah panjang bangsa Polandia.

Di alun-alun yang kini dinamai kembali the Pilsudski Square dulu terdapat the Brühl Palace, persis berhadapan dengan Makam PahlawanTak-Dikenal sekarang. Bangunan yang didisain pada tahun 1713 oleh Joachim Heinrich Schultze dan selanjutnya Gothard Paul Thörl mulai tahun 1735, pernah menjadi kantor Kemlu (1932-37), sekarang rata, dibasmi Jerman.

Juga, pada zaman keemasannya, Gereja St. Anthony didirikan pada tahun 1623, dan pada tahun 1734, dan menjadi gereja di Istana (parish church). Pada masa the Warsaw Uprising 1944 sebagian bangunan gereja rusak dan tempat bersejarah ini juga ramai dikunjungi.

Maka, rekonstruksi tempat-tempat bersejarah di Kompleks Saxon, merupakan upaya untuk menemukan kembali semangat guna membangkitkan kejayaan bangsa Polandia di Eropa. Soul searching, untuk menyambung eksistensinya ke masa depan.

Soul-searching bukanlah upaya menemukan identitas; dia sudah ada, namun sejarah kelam telah meninggalkan lubang hitam yang besar. The Saxon Garden berjasa untuk napak tilas Bangsa Polandia untuk ‘soul-searching’.

Saya banyak membuat foto-foto di Taman ini dengan kamera NIKON D 90, sebagian telah saya muat di Facebook, dengan nama account yang sama: Haz Pohan. Foto-foto pada tulisan Bagian Pertama diambil pada tanggal 12 April 2009, di awal musim semi. Silahkan berkunjung.

Warsawa, 26 Mei 2009

PADA SUATU HARI DI BATAVIA BULAN APRIL 1935

MESKIPUN resminya sudah di musim semi, tetapi tak urung Gdynia, kota yang bersaudara dengan Gdansk dan Sopot di wilayah utara Polandia – disebut juga troimiasta atau 3 kota – cuaca masih dingin. Angin bertiup kencang pada udara sekitar 10 derajat membuat wilayah di dekat laut Baltik itu dingin sekali, seakan-akan 0 derajat!

Kami mengadakan kegiatan di 2 kota sekaligus: di Gdynia untuk promosi kopi dan di Gdansk untuk pameran wisata, 17-19 April 2009 yang lalu. Meskipun akibatnya saya perlu bolak-balik di kedua kota ini, tidak masalah. Kota ini bergandengan, dipisahkan hanya sekitar 10 km. Saya dan teman-teman ingin memanfaatkan peluang strategis di kedua kota ini, meskipun harus menempuh perjalanan darat hampir 400 km, dalam waktu sekitar 7 jam berkendaraan, menempuh terjangan angin yang cukup kencang!

Pada saat acara pembukaan pameran kopi tanggal 17 April sore, setelah pembukaan pameran wisata di Gdansk pada siang hari, saya pun bergegas menuju Gdynia. Meskipun jarak 2 event ini tidak terlalu jauh, namun hari Jumat seperti di mana-mana di Eropa: jalan macet!

Saya tiba tepat pada waktunya di pameran kopi di Gdynia. Kopi kiriman PT Kapal Api pun laris manis, bukan karena gratis tetapi memang unik. Pada saat pameran promosi, semua jenis kopi yang ditawarkan oleh berbagai perusahaan di stand-stand pameran disediakan gratis.

Seusai berpidato memperkenalkan kopi Indonesia, saya dihampiri seorang pria berpakaian rapi. Tampaknya seperti panitia, tetapi dia membisikkan sesuatu.

“Mumpung Anda ada di sini”, katanya. Dia adalah Bogdan Kwiatkowski, otoritas pariwisata di Gdynia. Dia mengundang saya untuk mengunjungi museum unik, di sebuah kapal yang tidak jauh – sekitar 100 m – dari mall tempat berlangsungnya festival kopi. Kapal itu tidak besar, sebuah kapal latih (tall ship) bernama ” Dar Pomorza ” yang berada di bawah supervisi oleh institusi Pak Bogdan ini: Tourism Association of Gdynia.

“Itu terlihat Museum saya, kapal yang sedang bersandar di pinggir pelabuhan”, kata pria itu, menunjukkan lokasi sebuah kapal mungil dengan anggun berjangkar di dermaga. Tetapi, sejujurnya, tampaknya tidak ada yang istimewa pada kapal itu. Namanya pelabuhan, tidak aneh jika banyak kapal-kapal lain sedang sandar di sana.

Namun, keramahtamahan orang Polandia sulit ditolak. Mereka tulus, dan rendah hati. Karena hari pun mulai senja, saya pun menjanjikan akan datang besok, tanggal 18 April sore, setelah menyaksikan anak-anak penari asuhan Ibu Jadwiga Mozdzer pada pertunjukan di pameran wisata di Gdansk.


Batavia 1935

Tepat pada waktu yang dijanjikan, Pak Bogdan datang menjemput saya di stand kopi Indonesia. Saya dan isteri pun mengikuti langkahnya, menuju ”Dar Pomorza”.

Di pintu gerbang memasuki kapal, seorang pria kira-kira berusia 70 tahun, berpakaian lengkap resmi kapten kapal datang menyambut dan menghormat kami. Dia adalah Mr. Józef Kwiatkowski, mantan kapten kapal terakhir yang bertugas di kapal itu, dan seperti Dar Pomorza diapun telah pensiun pada tahun 1982.

Dar Pomorza adalah kapal layar latih (tall ship) seperti ”Dewaruci”. Setelah melewati berbagai lorong di kapal, kami berhenti di kabin kapten. Mewah, dilengkapi bar, kantor, dining room, dan ruang rekreasi. Sang Kapten, ternyata adalah ayah kandung Pak Bogdan. Pantas, nama keluarganya sama, Kwiatkowski, dan raut mukanya juga mirip. Pak Józef tua ditemani seorang anak laki-laki sekitar 9 tahun. Cucunya, dan anak dari Pak Bogdan sendiri.

Dia bercerita tentang sejarah kapal yang memiliki tempat di sanubari orang-orang Polandia. Tidak hanya di kota Gdynia, tetapi seluruh Polandia. Kapal ini telah mengharungi dunia, termasuk Indonesia, katanya. Saya pun tertarik. Ini mungkin yang menjadi alasan mengapa Pak Bogdan begitu antusias mengundang saja.

Katanya, pada tahun 1935 kapal ini telah mengunjungi Batavia. Oh, jaman yang telah berlalu, masa kolonialisme di tanah air pada masa malaise!

Sang Kapten kemudian menyerahkan buku karangannya untuk saya, “DAR POMORZA” REJSY I ZALOGA (“Dar Pomorza” Voyages and Crew) setebal 600 halaman. Di halaman depan, saya membaca tulisan tangan:

Szanownemu Panu Ambasadorowi Republiki Indonezji w Polsce Hazairin Pohan z okazji pobytu na "Darze Pomorza" na mila pamiatke z najlepszymi zyczeniami. Autor: Józef Kwiatkowski. Gdynia, dnia 2009.04.18.




[Terjemahan : For Dear Ambassador of the Republic of Indonesia to Poland Mr. Hazairin Pohan on the occasion of His stay on the board of "The Gift of Pomerania" as a token of remembrance and with best wishes. Author: Józef Kwiatkowski. Gdynia, April 18, 2009.]

Sang Kapten, Pak Józef Kwiatkowski tidak bisa berbahasa Inggeris, maka pembicaraan saya dengannya diterjemahkan oleh Pak Bogdan, anaknya.

Menurut Pak Józef Kwiatkowski, sejak dia pensiun dari dinas laut, dia mengumpulkan semua catatan yang ada di kapal, dan menuliskan semua pengalaman sang kapal “Dar Pomorza” ke dalam buku karangannya tadi.

Menurut Pak Józef, “Dar Pomorza” pertama sekali diluncurkan ke laut pada tahun 1909 dan dibeli oleh rakyat Pomerania di kawasan laut utara itu pada tahun 1929. Setelah mengharungi berbagai samudera, mengunjungi berbagai benua, kapal ini pensiun pada tahun 1982. Buku ini memuat semua catatan dan pengalaman yang ada dalam perjalanan hidup sang kapal.

Menarik, karena dalam Bab berjudul “Perjalanan Keliling Dunia Dar Pomorza 1934 – 35” tertulis pengalaman kapal ini mampir ke Batavia, Nederlands Indie, yang sekarang menjadi ibukota tanah air tercinta, Indonesia.

Di halaman 41 terekam:

Pada tanggal 12 April 1935 kami meninggalkan Hong Kong dan bersiap untuk kembali ke Polandia. Di kapal ini pula kami merayakan Easter Holidays di tengah lautan. Tidak lama, pada hari Senin, kami memasuki pelabuhan Singapore. Di kota ini kami memperoleh izin untuk berlayar ke Broome di Australia. Setelah 3 hari berada di Singapura, pada tanggal 25 April kamipun berangkat menuju Batavia di Pulau Jawa. Untuk ketiga kalinya kapal kami ”Dar” telah melintasi khatulistiwa dalam berbagai pengembaraan dunia.

Kami pun lempar jangkar di Batavia. Di kota indah ini kami dibantu seorang insinyur berbangsa Polandia Mr. Jozef Zwierzycki, yang telah menetap di sana. Dari Jawa maka kamipun berlayar ke Australia, menuju pelabuhan kecil di Broome, selanjutnya setelah 3 hari berada di sana kamipun melanjutkan pelayaran ke arah Lautan Hindia menuju Port Louis, yang terletak di kepulauan Mauritius, tiba di sana tanggal 3 Juni 1935. Di tempat ini kami mendengar kabar meninggalnya Marshal Jozef Pilsudski. Maka, bendera kapal pun turun setengah tiang. Tanggal May 18, 1935, di Polandia diselenggarakan upacara penguburan sang Marshal, dan kamipun di kapal mengalungi pita hitam pada potret sang Marshal.



Baru saya menyadari, dalam beberapa hari mendatang di bulan April ini kapal latih Dar Pomorzi akan memperingati tahun ke-74 kunjungannya ke Batavia.


“White Frigate”

Buku Pak Józef mencatat, Dar Pomorza dibuat oleh Blohm und Voss di Hamburg pada tahun 1909, dengan bobot mati 1561 ton, muatan 525 ton, panjang 80 met er (93 m total), lebar 12,6 m, tinggi layar 41,4 m, 1900 atau 2100 m2 (3 tiang layar), dan dengan kecepatan berlayar 5 knot – 17 knots. Kapal ini dilayani oleh kru 28 orang dan antara 1 50-200 kadet.

Kapal ini dipesan oleh Deutscher Schulschiff-Verein kemudian digunakan sebagai kapal latih dengan nama Prinzess Eitel Friedrich. Pada tahun 1920 seusai PD I, kapal ini disita oleh Inggeris dan dibawa ke Prancis, digunakan oleh kadet di sekolah pelayaran St-Nazaire dan diberi nama "Colbert". Karena biaya pemeliharaannya yang mahal, akhirnya pada tahun 1929 kapal ini dijual kepada masyarakat pencinta laut Polandia di Gdynia. Masyarakat Gdynia berhasil mengumpulan dan sebesar 7000 Poundsterling , sesuai harga yang ditawarkan.

Setelah dibeli, kapal ini kemudian dikirim ke Denmark untuk perbaikan. Dicatat, dalam perjalanan berbahaya menuju Denmark karena kondisi kapal yang payah dikhawatirkan tidak sampai tujuan, bahkan hampir tenggelam. Sekembali dari galangan kapal Denmark dan tiba Polandia, kapal ini diberi nama "Dar Pomorza" (berarti 'Gift of Pomerania'), dan dipasang mesin diesel tambahan. Maka, seperti tercatat di buku, untuk pertama kalinya pada tanggal 13 Juli tahun 1930 kapal ini mengibarkan bendera Polandia: Putih-Merah. Dan, mulai saat itu Dar Pomorza bertugas sebagai kapal-latih di bawah pengawasan the Polish Naval Academy.

Mulai tahun 1934-1935 Dar Pomorza memulai pengembaraannya ke ujung dunia, antara lain ke New York (1932), Brazilia dan Afrika Selatan (1933), dan mulai tahun 1934, termasuk call ke Pelabuhan di Batavia (1935 transit di Terusan Panama (1936) dilanjutkan dengan perjalanan kedua ke Pasifik, serta pada tahun 1937 berhasil melewati Cape Horn di Amerika Selatan.

Pada masa PD II kapal diperbaiki di Stockholm , negara netral pada masa itu, dan seusai perang dibawa kembali ke Polandia, ke fungsi semula sebagai kapal-latih. Seusai perang pada tahun 1945 dia kembali ke Gdynia, berlayar ke Laut Tengah dan Atlantik sebelum berangkat menuju West Indies.

Pada tahun 1970-an kapal ini turut berkompetisi dalam Operation Sail dan Cutty Sark Tall Ships' Races, memenangkan tempat pertama pada tahun 1972 (negara pertama dari Eropa Timur yang menjadi peserta), juara ke-3 pada tahun 1973 dan juara pertama pada Cutty Sark Trophy tahun 1980, yang merupakan hadiah terbesar, sehingga dijuluki the 'White Frigate' oleh para kru kapal.

Dar Pomorza terakhir kali bertarung dalam bulan September 1981, karena pada tanggal 4 August 1982 kapal ini dipensiunkan, dan sejak 27 May 1983 dijadikan museum di Gdynia. Kapal tua ini bak prajurit yang telah memenangkan berbagai pertempuran, menikmati hari tuanya, menceritakan berbagai pengalaman dan wisdom yang berarti bagi para pengunjungnya, termasuk saya dan isteri.

Warsawa, 26 Mei 2009