Wednesday, October 6, 2010

ANATOMI KUNJUNGAN PRESIDEN RI KE LUAR NEGERI

SEORANG teman di Twitter mencoba merasakan kekecewaan KBRI dan masyarakat, seperti saya alami ketika bertugas di Warsawa, bilamana kunjungan Presiden RI yang sudah dipersiapkan lama tiba-tiba dibatalkan. Pada bulan Desember 2009 yang lalu Presiden SBY menunda kunjungan kenegaraan ke Polandia karena Presiden Lech Kaczynski (alm) menderita sakit berkepanjangan.

Dia menulis pesan itu, menyikapi pembatalan sekaligus untuk penjadwalan kembali kunjungan Presiden RI ke Belanda, seperti dinyatakan langsung oleh Presiden menjelang detik-detik keberangkatan di Bandara Halim Perdanakusumah, 5 Oktober yang lalu.

Memang, kunjungan Presiden RI di suatu Negara akreditasi merupakan peristiwa yang luar biasa. Jarang-jarang terjadi, seperti di Belanda kunjungan kenegaraan Presiden RI terakhir 40 tahun yang lalu. Dubes dari Negara mana pun di dunia tetap berikhtiar untuk kunjungan kepala negaranya. Jarang-jarang berhasil.


Kunjungan Presiden: The Crown

SETELAH kunjungan Presiden Soeharto pada tahun 1970, artinya dalam kurun waktu 40 tahun atau kl 10-12 dubes RI yang bertugas Presiden belum berkunjung. Dan, bagi Belanda 25 tahun kemudian kunjungan Presiden Soeharto itu dibalas oleh Ratu Beatrix dalam kunjungannya ke Indonesia di bulan Agustus 1995.

Dulu pada tahun 2000 Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga melakukan kunjungan ke Belanda. Tetapi kunjungan ini tidak dikategorikan sebagai state visit, mungkin official atau working visit.

Presiden SBY, setelah menerima undangan Ratu Beatrix 4 tahun yang lalu baru kali ini bermaksud memenuhinya, sebagai balasan terhadap kunjungan Ratu Beatrix, 15 tahun yang silam itu.

Jika Presiden SBY jadi melaksanakan kunjungan itu, maka ada rentang waktu 15 tahun terlampaui. Betapa langkanya dan mahalnya kunjungan Kepala Negara di suatu negara. Wajar jika dianggap “a crown of the mandate” oleh para duta besar dari negara mana pun dia berasal.

Kenapa? Kunjungan presiden menjadi indikator pentingnya negara akreditasi sang dubes dalam perspektif politik luar negeri negaranya. Artinya, atribut itu juga melekat pada gengsi sang dubes. Juga, kunjungan kenegaraan bukan saja menandakan tahapan baru hubungan diplomatik tetapi memang selalu banyak terobosan positif yang dibuat, untuk kepentingan kedua negara tentunya.

Bisa dibayangkan, di dunia ini terdapat 192 negara (statistic anggota PBB), maka kunjungan pada tingkat presiden dilakukan dengan sangat selektif.

Pada tingkat menlu sekalipun, atau Ketua DPR, kunjungan juga dilakukan sangat selektif. Bisa 10-20 tahun Menlu atau Ketua DPR tidak melakukan kunjungan bilateral, apalagi di negara-negara yang dipandang kurang strategis dan penting.

Dalam kedudukan dubes selalu berada di sisi presiden, sering kesempatan itu memungkinkan bagi presiden mengenal lebih dekat orang yang mewakilinya di negara akreditasi. Artinya, ada kans untuk promosi jabatan, walaupun ada juga cerita negatif jika dubes ternyata konyol.

Pak Fanny Habibie hampir beruntung memperoleh “the crown”. Tetapi, at the last minutes, keputusan pembatalan kunjungan ke Belanda disampaikan oleh Presiden SBY.

Meskipun gagal kunjungan Presiden SBY karena Presiden Kaczynski sakit, tetapi saya masih beruntung. Karena, keputusan untuk melaksanakan kunjungan ke Polandia diputuskan langsung oleh Presiden, dan sudah memiliki nilai plus tersendiri.

Memang, kesibukan KBRI dalam mempersiapkan kunjungan itu luar biasa. Semua dilibatkan, termasuk masyarakat. Komunikasi dengan Jakarta menjadi intensif, baik hal-hal keprotokolan maupun substansi. Ada kegairahan di sana.

Selama bekerja di Kemlu dan di Pewakilan RI, saya sudah belasan kali menangani atau bertugas untuk persiapan kunjungan kenegaraan. Karena kunjungan presiden adalah ‘crown’ maka ilmu yang diperoleh dalam pengalaman ini juga bernilai emas.


Perspektif Diplomasi

Kunjungan kenegaraan menjadi peristiwa terpenting dalam hubungan bilateral. Karena itu, muatan substansi, pengaturan keprotokolan dan sekuriti, sangat sensitif. Dia menjadi bagian terpenting dari keseluruhan kerangka hubungan dan kerjasama bilateral.

Diplomasi membuka jalan baru, memelihara dan bahkan meningkatkan spirit kerjasama, atau juga meredam jika diperkirakan akan terjadi gejolak. Maka, pembatalan suatu kunjungan perlu dilakukan sedemikian rupa agar tidak counter-productive.

Hubungan khusus kita dengan negara sahabat, misalnya karena bertetangga atau memiliki sejarah unik berpotensi untuk menimbulkan krisis karena itu mendapat perhatian ekstra.

Masalah yang terjadi antara Indonesia dengan beberapa negara mencuat akhir-akhir ini dan sering out of control. Contohnya, peristiwa penahanan 3 pegawai Kementerian Kelautan dan Perikanan baru-baru ini dekat Riau.

Penundaan kunjungan di saat delegasi sudah berada di bandara memang tidak pernah terjadi dalam sejarah diplomasi RI. Situasi itu menjadi istimewa (extra ordinary), karena tidak ada preseden, dan sensitif karena menyangkut sejarah di masa lalu yang sarat politis.

Presiden sebagai Kepala Negara menilai jika iklim belum kondusif, berkaitan dengan persidangan di pengadilan Den Haag yang menempatkan Presiden RI sebagai terdakwa, sebaiknya menunda kunjungan itu. Ramai di mana-mana, karena keputusan penundaan menjadi politically sensitive.

Sebelumnya, beberapa masalah hubungan bilateral yang sensitif juga terjadi dengan Singapura, Australia, atau dengan Vanuatu yang terletak di tengah Samudera Pasifik Selatan dan bahkan dengan Amerika Serikat. Memang tugas diplomasi untuk merapikan kembali jalinan hubungan yang indah sebelumnya.


Praktik Diplomasi

KUJUNGAN bilateral merupakan means dalam diplomasi. Diplomasi sekarang tidak hanya melibatkan pemerintah, institusi kenegaraan seperti DPR, MPR, DPD, BPK, KPK, MK dan sebagainya juga turut memainkan peran diplomasi. Kecenderungan ini menguat pada era reformasi di tanah air.

Pada tingkat pemerintah selain presiden, terdapat kunjungan pada tingkat menteri luar negeri, menteri-menteri teknis dan pejabat yang lebih rendah di bawahnya.
Kunjungan adalah salah satu cara untuk tingkatkan hubungan dan kerjasama bilateral.

Pada dasarnya kunjungan bilateral dibagi atas 3 tingkatan, yakni: (1) state visit, atau kunjungan kenegaraan, (2) official visit, atau kunjungan resmi, dan (3) working visit, atau kunjungan kerja. Ketiga jenis kunjungan ini menjadi praktik internasional dan dipahami sama oleh semua negara-negara di dunia.

Kunjungan Presiden SBY ke Belanda yang tertunda merupakan state visit, atau kunjungan kenegaraan. Hanya presiden yang menyandang hak dan status kunjungan jenis ini.

State visit merupakan tingkat tertinggi dari semua jenis, karena itu wajar jika kunjungan tersebut dikaitkan dengan pertemuan bilateral yang disebut summit meeting, atau pertemuan puncak, atau KTT.

Karena tertinggi, maka state visit dilengkapi dengan berbagai acara keprotokolan seperti courtesy calls, pidato di parlemen, jamuan malam resmi (state banquette), peletakan karangan bunga di makam pahlawan, dilengkapi pula dengan elemen kebesaran, seperti penyambutan dengan tembakan meriam 21 kali, defile parade tamu kehormatan (kadang-kadang dengan kereta kuda tradisional) dan sebagainya. Ini juga menjadi praktik di dunia internasional.

Tentu saja persiapan substansi menjadi lebih penting. Untuk persiapan substansi ini ada kalanya menyita waktu bertahun-tahun, terutama apabila banyak persetujuan baru yang perlu dirundingkan, agar dapat ditandatangani pada saat kunjungan. Untuk persiapan kunjungan Presiden SBY ke Belanda saya kira sejak Ratu Beatrix mengirimkan undangannya kepada Presiden SBY maka Kemlu dan KBRI telah memulai bekerja untuk persiapan substansi, yakni sejak 4 tahun yang lalu.

Maka, penundaan kunjungan pada detik-detik keberangkatan tidak menjadi biasa. Pasti ada hal-hal yang sangat luar biasa dan menjadi crucial bagi Presiden SBY yang akhirnya dengan berat hati memutuskan tidak berangkat.

Kerugian logistik, waktu dan energi pada kedua pihak sudah pasti. Kerugian politis lebih mahal harganya karena menyangkut hubungan kedua negara. Kerugian politis lainnya, antara lain, tertundanya penandatanganan dokumen dan berbagai kesepakatan strategis baru, atau kesempatan untuk membuat komitmen-komitmen kerjasama baru yang positif bagi kedua pihak.

Kenapa? Karena dalam salah satu program perundingan bilateral kedua pemimpin bangsa akan mengambil keputusan politis, mengenai perkara-perkara besar.

Mekanisme ini lazim di dunia. Seperti dulu di zaman Perang Dingin, dalam summit AS – Rusia selalu diharapkan muncul breakthrough, setelah para perunding tingkat menteri mentok, untuk member kesempatan bagi para pemimpin membuat keputusan atau kesepakatan baru, misalnya mengenai jumlah hulu ledak nuklir, atau tentang senjata strategis yang diatur secara parity (seimbang).

Disebut juga summit, karena memang puncak dari berbagai perundingan pada tingkat lebih rendah secara bilateral, yang mungkin puluhan bahkan ratusan kali, adalah pertemuan puncak antara kedua kepala negara/pemerintah.

Perencanaan kunjungan presiden –terutama state visit-- pengaturan dilakukan dalam hitungan detik. Begitu ketat pengaturan protokol dan sekuriti pada kunjungan kenegaraan presiden, tidak demikian halnya pada tingkat kunjungan yang lebih rendah, official atau working visits. Pengaturan program dan keprotokolan diatur lebih praktis dan fungsional saja.

Presiden sebagai Head of State sekarang ini sering menggunakan kedua jenis kunjungan ini, apalagi di Eropa yang memiliki berbagai macam pertemuan di tingkat tertinggi. Official atau working visits digunakan karena tidak ada persyaratan protokol dengan asas resiprositas (timbal-balik), artinya siapa saja berkepentingan dan punya waktu dapat berinisiatif untuk melakukan kunjungan ke negara sahabat.

Pejabat pada tingkat dirjen hanya diperkenankan menggunakan mekanisme kunjungan kerja saja yang lebih teknis, jauh dari politis.


Muatan Substansi

Dalam persiapan kunjungan, dilakukan pembicaraan sampai ke tingkat teknis mengenai berbagai aspek kunjungan itu: keprotokolan dan sekuriti, logistik, akomodasi maupun substansi. Tentu substansi menjadi core terpenting secara politis.

Setelah persiapan diselesaikan biasanya kedua Nngara memilih waktu tertentu untuk mengumumkan secara resmi ke public dan dunia internasional. Jubir Istana, Dr. Teuku Faizasyah telah mengumumkan resmi rencana kunjungan Presiden SBY pada pekan lalu. Tim aju (advance) baik keprotokolan, sekuriti, maupun substansi masing-masing bekerja memenuhi deadline, sehari sebelum Hari-H (D-Day).

Dalam kaitan kunjungan Presiden SBY ke Belanda, telah disepakati substansinya a.l. kesepakatan untuk pengakuan kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan tahun 1949 seperti tertera dalam dokumen Kerajaan Belanda, dokumen Joint Communique tentang Kemitraan Komprehensif, persetujuan teknis bilateral di berbagai bidang, seminar business, termasuk proyeksi kebijakan Pemerintah RI melalui pidato-pidato Presiden RI berbagai forum akademis dan parlemen.

Presiden RI juga akan dianugerahi tanda kehormatan "Order of The Dutch Lion", dan penghargaan "Willem Van Orange" dari Universitas Leiden.

Semua kegiatan dan capaian substantif yang menandakan peningkatan hubungan dan kerjasama bilateral, termasuk berbagai isu-isu terpenting regional dan global dituangkan di dalam Press Statement di akhir kunjungan, untuk konsumsi dan rujukan publik.


Pelaksanaan

APABILA telah diasumsikan semua persiapan telah tuntas, maka delegasi pun bersiap-siap. Data delegasi, program acara, waktu keberangkatan, route dan detil penerbangan juga dikomunikasikan kepada negara sahabat.

Bahkan, Selasa siang itu (5/10) Presiden dan Ibu Negara telah berada di bandara Halim Perdanakusuma, sementara semua delegasi telah on board.

Pada saat yang krusial menjelang keberangkatan, Presiden RI mengumumkan langsung sendiri pembatalan kunjungannya. Saya tidak ulangi lagi isinya karena telah dipublikasi meluas. Presiden juga telah mengirim surat kepada mitranya, baik Ratu Beatrix yang mengirimkan undangan, maupun kepada Perdana Menteri.

Memang tidak biasa, hanya karena situasi yang extra ordinary (luar biasa) dilakukan pembatalan kunjungan di tempat beberapa menit sebelum berangkat. Biasanya dilakukan dalam hitungan beberapa hari, dan hanya karena alasan yang legitimate. Presiden Obama memutuskan penundaan kunjungannya ke Indonesia sekitar 1-2 hari sebelum Hari H, ketika badai Katrina melanda AS.

Lazimnya persiapan kunjungan dilakukan lebih awal. Memang penjadwalan kunjungan adalah yang paling sulit, karena menyangkut agenda VVIP. Sering tertunda-tunda tetapi publik tidak mengetahui adanya penundaan karena belum disiarkan secara resmi. Berbagai pertimbangan pembatalan, atau tepatnya dalam istilah diplomasi ‘penundaan’ adalah krisis politik di dalam negeri atau di negara tujuan, ancaman keamanan, atau seperti kasus penundaan kunjungan ke Polandia karena tuan-rumah sakit parah.

Dalam peristiwa kemarin, pengumuman sudah disampaikan oleh pengambil keputusan di Jakarta yang aware adanya dinamika internal di Belanda berkaitan tuntutan menghadirkan Presiden RI sebagai terdakwa pada pengadilan Den Haag berkaitan dengan pelanggaran dan kejahatan HAM di Ambon dan Papua.

Sebelumnya media juga menyiarkan kemungkinan pembatalan kunjungan Presiden RI pada saat Dubes Fannie Habibie mengecam Geert Wilders, seorang politisi ekstrim kanan anti-Islam dari Party for Freedom (PVV).

Dalam tulisan berikutnya saya akan mengulas repercussions (gelombang reaksi) dari keputusan politis penundaan kunjungan Presiden SBY.


Jakarta, 7 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment