Tuesday, October 12, 2010

IN THE AFTERMATH

BANYAK terjadi kesalah-tafsiran atau mispersepsi mengapa kunjungan Presiden SBY ke Belanda dibatalkan dalam situasi yang sangat tidak menyenangkan. Ketika pesawat kepresidenen Garuda telah siap lepas landas, delegasi dan staf pendukung sudah on board, mendadak Presiden SBY setelah peringatan HUT TNI 5 Oktober dengan wajah tegang menyampaikan pengumuman penundaan kunjungan.

Berbagai argumen telah disampaikan oleh para pakar bukan baik pro maupun kontra. Jarang sekali saya membaca analisis atau tanggapan yang tepat.

Sebagaimana diberitakan, Presiden SBY mendadak membatalkan kunjungan kenegaraan ke Belanda karena pengadilan setempat menggelar pengadilan pelanggaran HAM di Maluku dan Papua, dengan tuntutan agar kekebalan diplomatik Presiden SBY dicabut sehingga dapat ditangkap dengan tuduhan pelanggaran HAM.

Akhirnya, kunjungan kenegaraan yang direncanakan berlangsung pada 5-9 Oktober 2010 dengan muatan substansi yang sangat berbobot terpaksa ditunda.

"Ini menyangkut harga diri dan kehormatan bangsa," ujar Presiden dalam jumpa pers di ruang VIP landasan udara Halim Perdanakusumah, Jakarta, Selasa (5/10).

Pada saat keputusan tragis itu diambil, saya tersentak, tidak percaya dengan apa yang saya baca. Namun, segera terbayang diplomasi kita sedang menghadapi krisis baru.

Saya fikir tidak terlalu mudah bagi Presiden Indonesia untuk mengambil keputusan dramatis pada menit-menit yang menentukan. Apalagi untuk kunjungan sepenting ke negeri Belanda.

Pernyataan Presiden SBY “Ini menyangkut harga diri dan kehormatan bangsa" tidak segera dipahami oleh publik. Kemudian, Presiden dalam dua kali kesempatan memberi penjelasan yang lebih jelas apa yang dimaksud beliau dengan ‘harga diri’ dan ‘kehormatan bangsa’. Memahami nuansa ini maka kita menangkap substansi dan reasoning dalam pernyataan Presiden SBY.

Pernyataan Presiden SBY konsisten. Meskipun demikian, muncul berbagai kalkulasi untung-rugi dan spekulasi.

Seberapa pentingkah ‘harga diri’ dan kehormatan bangsa’ di dalam penyelenggaraan hubungan diplomatik, apalagi dengan Belanda.

Ini yang menjadi pokok persoalan, atau yang menjadi bones of contention!


Bones of Contention


PADA saat Presiden menyampaikan keputusannya, saya mencoba berulang-ulang mencermati (reading between lines) pertimbangan Presiden RI, seperti saya tuliskan dalam komentar saya di Twitter pada hari naas itu. Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia diplomasi selama 30 tahun, saya terpanggil untuk berbagi perspektif melalui akun Twitter yang saya lakukan dari siang hari sampai tengah malam.

Reaksi awal saya (dan ternyata memang benar) isu pokok bukanlah soal RMS, bukan pula soal imunitas atau masalah keamanan Presiden yang terancam. Tetapi adalah perkara harga diri (dignity) dan kehormatan Republik yang dipertaruhkan ketika kondisi sudah dinilai tidak favorable atau kondusif untuk melanjutkan muhibbah itu. Setidaknya untuk sementara ini.

Menurut saya, peradilan Belanda sebagai institusi negara (Presiden SBY: sebagai state system) gagal menghormati aspek kemuliaan (gloriousness) yang menjadi muatan dalam kunjungan kenegaraan Presiden Republik Indonesia. Mahal, karena kunjungan ini bisa terlaksana setelah vakum 40 tahun, dan Presiden Indonesia dengan berbagai atribut kenegaraan Republik Indonesia akan menjadi tamu kehormatan Ratu Beatrix dari Kerajaan Belanda.

Sebagai warganegara, menjadikan Presiden atau lembaga-lembaga kenegaraan kita sebagai subyek dalam peradilan di luar negeri –apalagi oleh Negeri Belanda yang pernah menjajah Bumi Pertiwi dan sampai sekarang belum mengakui secara formal kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945—bagi saya ‘unacceptable, atau’ sedikitnya ‘pelecehan’ kalau bukan penghinaan secara substantif.

Penerimaan gugatan RMS dan kemudian keputusan pengadilan untuk memenuhi penjadwalan persidangan, meskipun dengan alasan procedural yang cukup (sesuai KUHPerdata Belanda) dan apalagi dengan percepatan proceeding sehingga bersamaan dengan jadwal waktu kunjungan kenegaraan jelas walaupun bukan keputusan politis tetapi tidak terlepas dari nuansa politis.

Melalui perspektif hukum tatanegara dengan gampang kita membantah argumen bahwa “pemerintah Belanda tidak campur tangan soal-soal peradilan, karena institusi ini bebas (independen) dari pengaruh pemerintah”.

Apa bedanya dengan di Indonesia? Setidaknya secara konstitusional lembaga peradilan kita terletak di bawah Mahkamah Agung, jelas berdiri sendiri dan tidak berada di ranah eksekutif.

Kita juga sangat paham, bahwa meskipun peradilan bukan bagian pemerintah tetapi kekuasaan yudikatif merupakan pemegang saham di dalam kedudukan sebagai ‘institusi negara’ dalam konteks trias politika. Oleh karena itu, peradilan merupakan bagian dari system governance dalam kehidupan kenegaraan.

Maka, kegagalan peradilan Den Haag mempertimbangkan bahwa kunjungan kenegaraan yang sudah ditunggu sekian lama itu memiliki bobot politis yang sangat tinggi –apalagi dilatarbelakangi nuansa kesejarahan yang sangat sensitif— menjadi kelalaian yang memang patut disesalkan.

Saya fikir, peradilan Den Haag kurang mempertimbangkan kepentingan dan kehormatan Ratu Beatrix yang telah mempertaruhkan jabatan dan kehormatannya. Pengiriman undangan kepada Presiden SBY untuk kunjungan kenegaraan menjadi salah satu event utama di Kerajaan Belanda. Apalagi telah disepakati untuk peningkatan hubungan kemitraan kedua bangsa sampai pada tingkat strategis.

Dalam kegalauan yang saya ekspresikan pada Twitter, saya menilai sebagai institusi negara lembaga peradilan wajib menjaga etiket dalam hubungan antar-negara, dengan sendirinya menghindar jangan sampai menyentuh pride kita sebagai bangsa berdaulat. Presiden SBY menyebut poin ‘etika’ dalam penjelasan beliau di Istana Negara.

Sebagian pengamat mengaitkan ‘arogansi peradilan Den Haag’ dalam konteks ‘mentalitas kolonial’, atau kurang siapnya mereka memperlakukan Indonesia dalam kedudukan setara di dalam pergaulan antar bangsa. Mereka lupa mempertimbangkan aspek kesejarahan kedua bangsa yang asimetris dan sangat pahit masih berbekas kuat di sanubari rakyat Indonesia.

Perdebatan legal juga terjadi dalam soal imunitas. Ini saya anggap penting karena menyangkut ‘substansi’ yang akan diputus oleh peradilan Den Haag. Bagi saya, apapun keputusan substantif peradilan –menerima gugatan RMS untuk pencabutan kekebalan diplomatik Presiden RI, atau menolak—tetap unacceptable. Alasannya sama, bahwa ini sangat menyentuh secara intrusif dignity yang melekat dengan institusi kepresidenan kita.

Saya katakan di Twitter, it goes without saying bahwa presiden dari negara manapun dalam perjalanan ke luar negeri memiliki imunitas yang melekat secara hukum internasional. Ini norma umum dan berhak dimiliki oleh presiden negeri Indonesia yang dipahami dunia sebagai negara demokratis yang tidak lebih rendah kedudukannya (standing) dibandingkan Belanda. Kita tidak mengemis memohon belas kasihan agar Kepala Negara kita diberikan oleh Belanda kekebalan diplomatik.

Secara hukum internasional, ‘kekebalan diplomatik Presiden RI’ adalah given, inherent dalam jabatan kepresidenan Indonesia. Jadi, bukan diperoleh Presiden RI karena jaminan (granted) dari Pemerintah Belanda.

Saya menilai kedua isu legal utama tadi yang menjadi bones of contention yang gagal dipahami oleh sebagian kita. Justru di sinilah persoalannya yang menimbulkan 'kemarahan' Presiden SBY.

Aspek prosedural yang mengganjal adalah keputusan pengadilan mengabulkan pengajuan tanggal persidangan bersamaan dengan jadwal kunjungan Presiden RI. Dari segi substansi, keputusan hakim bersalah atau tidak-bersalahnya Presiden RI tidak menguntungkan Indonesia di mata dunia secara politis, artinya menempatkan Kepala Negara sebagai pesakitan di dalam sistem peradilan asing. Siapa pun tidak dapat menerima ini.

Keputusan prosedural pemajuan tanggal persidangan adalah keputusan majelis hakim. Kita tidak mencampuri pertimbangan mereka dalam menerima tuntutan RMS. Yang mengganjal bagi kita adalah bahwa meskipun peradilan tidak berada di bawah pemerintah, tetapi peradilan adalah institusi negara. Aspek kenegaraan dan kelembagaannya diwakili oleh Ratu Beatrix yang justru mengundang tamu terhormat, Presiden RI.

Karena itu kita berhak berharap bahwa peradilan Belanda sebagai institusi Negara juga wajib menjaga etiket bernegara dan dlm berhubungan dengan nilai-nilai kebangsaan dari suatu bangsa yang berdaulat. Keputusan pengadilan Den Haag yang menyetujui pemajuan tanggal persidangan bersamaan dengan jadwal acara kunjungan Presiden RI tidak mencerminkan rasa hormat dengan harga diri bangsa. Maka keputusan pengunduran kunjungan ke Belanda langsung oleh Presiden SBY merupakan reaksi yang harus dipertimbangkan sebelumnya oleh Belanda.

Kegagalan memahami sensitivitas permasalahan itu di pihak Belanda tidak harus dipikulkan kepada Indonesia, yang berarti mempermalukan Ratu sendiri. Sikap pers Belanda yang membela Ratu dan mencela Presiden RI juga tidak menolong. Bagi kaum nasionalis sah untuk berpendapat bahwa di pihak politiisi Belanda, termasuk media dan penyelenggara Negara masih terdapat cultural imperialism yang memaksakan kita untuk mengikuti keinginan mereka dan menerima kesalahan yang dipikulkan kepada sebuah bangsa yang berdaulat.

Hak bagi tuan rumah untuk menyatakan mereka tidak dapat mencampuri atau mengaitkan proses peradilan dengan kunjungan. Kita pun berhak menyatakan bahwa kehormatan, harkat, dan kedudukan terhormat RI dalam acara yang telah lama dipersiapkan mutlak tidak boleh digadaikan (trade off). Sebagai Negara besar di dunia, Indonesia berhak atas kehormatan yang bukan diperoleh dari belas kasihan dari Negara yang paling powerful sekalipun.

Juga, adalah hak bagi Indonesia untuk menyampaikan penilaian (assessment) bahwa situasi kunjungan sudah tidak kondusif. Pada saat semangat kedua Negara untuk peningkatan hubungan ke tahap strategis, terdapat unsur-unsur di Belanda yang mengandung ketidakpastian (uncertain), berkaitan dengan tuntutan untuk menggiring Presiden RI ke pengadilan, memertanggungjawabkan terjadinya pelanggaran HAM di Ambon maupun Papua. Kita berdaulat, termasuk menentukan sikap.

Bagaimana mungkin alam bawah sadar kita sebagai bangsa berdaulat yang memperjuangkan kemerdekaannya dengan darah dan airmata dapat menerima lambing kenegaraan kita dijadikan subyek di negeri yang pernah tidak rela melepaskan tanah air kita dari cengkeramannya?


Kalkulasi Pragmatis

FRASA hubungan yang saling-menguntungkan memang harus dikualifikasi. Hubungan dan kerjasama yang kita lakukan harus pula nyaman bagi kita.

Memang patut disesalkan banyak substansi baru dan baik sekali yang kita harapkan tercapai dalam kunjungan kenegaraan Presiden RI. Tetapi bilamana menyentuh ‘pride’ atau ‘dignity’ bangsa maka hasil-hasil substantive itu tidak harus diperoleh at all cost, dan tidak dapat di trade-off. Ada threshold yang perlu kita perhatikan, kapan kita toleran terhadap suatu intoleransi. Ada yang tidak bisa kita ukur dari konteks pragmatis.

Orang mengatakan: you need two to tango, alias timbal-balik, maka kepentingan peningkatan hubungan bilateral juga untuk kepentingan kedua pihak.

Sah saja jika Pemerintah Kerajaan Belanda berkeinginan untuk pembentukan era baru hubungan bilateral RI – Belanda, menuju ke tingkat kemitraan strategis. Keinginan itu tinggal keinginan bila suasana tidak kondusif.

Alih-alih mempermalukan RI, peradilan Den Haag telah ‘mencederai' reputasi Ratu Beatrix di mata rakyat Indonesia.

Pelajaran yang ditarik dari peristiwa ini ialah bahwa meskipun pelaksanaan politik luar negeri merupakan domain pemerintah (eksekutif), tetapi apabila menyangkut hubungan antar-negara maka tanggungjawab berada di semua lembaga negara, termasuk parlemen maupun insitusi yang terdapat di dalamnya.


In the Aftermath

MASALAH perlakuan mantan negara penjajah kepada bekas Negara jajahannya bukan eksklusif terjadi dalam konteks hubungan Indonesia dan Belanda. Jepang, dalam pengalaman di masa lalu sangat berhati-hati menyikapi perkembangan di China, Korea, Indonesia yang pernah menjadi jajahannya. Seperti juga antara Jerman dan Polandia, atau Rusia dan Polandia, hubungan di masa lalu yang buruk menimbulkan kompleks tersendiri bagi negara yang pernah diduduki atau bekas jajahan.

Tidak tertutup kemungkinan mentalitas superiority complex yang berasal dari kejayaan penjajah di masa lalu ingin direfleksikan kembali oleh segelintir warganegara yang berada dalam kedudukan pembuat keputusan, Sayangnya, segelintir pejabat negara tidak menyadari pada era sekarang hubungan kesetaraan menjadi doktrin dalam pergaulan antar-bangsa.

Oleh karena itu, pembatalan atau pengunduran kunjungan kenegaraan sampai waktu dan kondisi memungkinkan serta kondusif adalah sikap bijaksana Presiden RI. Tindakan itu sudah tepat.

Situasi yang dihadapi Presiden RI adalah unfortunate, sedangkan keputusan penundaan berfungsi sebagai ‘damage control’, sebagai sesuatu yang unavoidable.

Berapapun ongkos bagi penegakan martabat bangsa harus rela kita bayar, apalagi sekadar logistik yang telah dipersiapkan untuk perhelatan besar bagi kedua bangsa yang memiliki sejarah kelam dulu yang asimetris di zaman penjajahan. Kita juga sudah banyak keluar biaya.

The bottom line adalah kita tidak akan membiarkan lambang-lambang kenegaraan kita menjadi sandera di dalam suatu perseteruan politik internal di Belanda. Sampai kapan? Sampai situasinya menjadi kondusif.

Jakarta, 12 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment