Sunday, February 27, 2011

Indonesia dan Reformasi

MESKI sulit menumbangkan rejim Orde Baru yang berkutat selama 32 tahun, namun success story telah menghantarkan Indonesia ke dalam suasana terbuka yang melegakan dada.

Tetapi jangan dulu berpuas. Setelah melakukan reformasi dasar di dalam negeri, pada saat bersamaan Indonesia pun mulai tampil berperan di tingkat regional bahkan potensial di tingkat global. Ini kewajiban konstitusi.

Reformasi juga membawa ‘penumpang gelap’, yakni unrest di dalam negeri. Ini inti pesan majalah terkemuka Economist kepada kita. Majalah bergengsi ini menurunkan analisis tentang “Indonesia and its place in the world” dalam artikel berjudul “Feet of clay: Religious intolerance at home thwarts ambitions abroad”, edisi 17 Februari 2011.

Di tengah-tengah berita gembira bahwa GDP Indonesia mencapai prestasi tertinggi, 6,9% y-o-y di kuartal akhir 2010 memang menimbulkan optimisme bahwa target GDP 7% pada akhir pemerintahan Presiden SBY di tahun 2014 akan tercapai. Bahkan, Menko Perekoniomian Hatta Rajasa memperkirakan dalam tahun 2015 Indonesia akan menjadi kekuatan 10 ekonomi dunia.

Tetapi awas! Peristiwa kekerasan yang menimpa Jamaah Ahmadiyah secara beruntun dengan berbagai kekerasan bertema agama mulai mengancam Indonesia. Ada kelompok-kelompok agama yang mencoba mendiktekan tujuan mereka kepada kita.

Ketika 1500 orang menyerbu desa Ahmadiyah yang menjatuhkan 3 korban jiwa dan disusul dengan pengrusakan gereja di Temanggung, seolah-olah terjadi pembiaran oleh negara. Penegak hukum tampak bingung.

Indonesia juga dipermalukan di panggung internasional ketika video yang merekam peristiwa naas 7 Februari 2011 itu diungguh masyarakat internasional melalui YouTube. Kita dan masyarakat internasional dipaksa untuk menyaksikan peristiwa mengerikan itu.

Indonesia seakan-akan dipaksa untuk kembali ke situasi represif! Juga peristiwa penganiayaan masyarakat di Papua oleh perajurit TNI mencoreng wajah kita. Seolah-olah reformasi TNI dalam kerangka demokratisasi belum jalan.

Sebenarnya TNI telah melakukan transformasi luar biasa seperti tidak terbayangkan akan diikuti di banyak negara, seperti Mesir, Filipina, bahkan Thailand! Di negeri-negeri ini ‘budaya milter’ sangat kuat berakar. Perubahan memang terjadi, tetapi kurang fundamental.

Economist menyimpulkan kegairahan ekonomi dibarengi kejahatan atas nama agama menjadi bukti semakin meluasnya disparitas antara ambisi global Indonesia dengan masalah di dalam negeri. Benar.

Negara terbesar dari segi ekonomi, luas, jumlah penduduk di Asia Tenggara yang telah memproklamirkan diri menjadi demokrasi terbesar ke-3 dunia dan memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia itu perlu merapikan rumah-tangganya jika ingin bermain di tataran global.

Banyak harapan, ketika Indonesia menjabat ketua ASEAN maka organisasi sub-regional ini akan maju pesat.

Di dalam era informasi peristiwa lokal bisa menjadi perhatian global. Banyak contoh yang masih dalam ingatan kita. Salah satunya adalah peristiwa yang menimpa jamaah Ahmadiyah, perusakan gereja, tawuran massal antar-warga, bentrokan preman di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, demo yang berujung tewasnya Ketua DPRD Sumatra Utara, dan sebagainya.

Capaian-capaian bangsa kita dan diplomasi Indonesia yang unprecedented seakan pupus.

Ketika Indonesia pada tahun 2009 masuk ke dalam G 20 dan berpontensial, seperti diungkap Menko Perekonomian Hatta Rajasa, menjadi 10 kekuatan ekonomi dunia di tahun 2015 (4 tahun lagi!) pada saat bersamaan tampak kesadaran internasional kita keteteran.

Sebagai kekuatan demokrasi dunia, kita boleh berbangga telah mendirikan the Bali Democracy Forum. Pada saat bersamaan, di negeri kita masih banyak democratic deficit yang perlu dituntaskan, bilamana kita ingin meraih democratic dividends.

Memang jelas ada keterkaitan antara performance global dengan harapan di masyarakat agar keadaan semakin membaik. Ini tantangan bagi semua kita. Tidak hanya bagi Pemerintah.

Di kawasan kita Asia Pasifik, China dan India telah maju pesat. Jangan lupa, masalah-masalah fundamental di 2 negeri raksasa ini juga dahsyat. Sebagian besar masalah-masalah itu tidak hadir di negeri kita. Kita seyogianya lebih maju.
Di mata internasional, negeri kita dipandang memiliki advantage luar biasa. Tidak hanya dikenal secara klasik sebagai negeri yang kaya dengan mineral dan sumber daya-alam, jangan lupa kita juga memiliki kekuatan lain yakni di bidang sumberdaya manusia dan sumberdaya budaya!

Maka kita jangan lalai, mengambil kesempatan untuk maju terus ke depan.

Jakarta, 28 Pebruari 2011

No comments:

Post a Comment