Thursday, January 6, 2011

GENERASI HIBRIDA TELAH LAHIR (1)



PAGI ITU di Warsawa menjelang akhir tahun 2009 saya dikejutkan dengan dering telpon berkali-kali. Bunyi dering yang panjang dan tidak biasa membangunkan firasat saya itu telpon penting.

Benar, di seberang berbicara dari Jakarta Dr. Dino Patti Djalal yang penasehat politik luar negeri Presiden RI. Sesama pegawai di Deplu atau kini Kemlu, kami memang pernah sama-sama di Direktorat Jenderal Amerika, dan akrab.

Fakta bahwa beliau ‘orang dekat’ Presiden, saya pun serius mendengarkan instruksi. Beliau mengatakan, laporan di pers Indonesia ramai memberitakan tentang keberhasilan anak-anak kita pada olimpiade sains di Polandia pada bulan April 2009 dan menjadi juara dunia.

“Tolong mas Pohan buatkan catatan singkat dan lengkap tentang keberhasilan anak-anak kita itu. Kehebatan anak-anak kita itu patut dicatat sebagai prestasi besar dan pantas dimasukkan ke dalam buku yang sedang saya rancang”, demikian Dino.

Intinya saya diminta menjadi kontributor dalam buku ketiga beliau, yang telah diterbitkan dengan judul “ENERGI POSITIF: Opini 100 Tokoh Indonesia di Era SBY (2009)”, dengan editornya beliau sendiri.

Sejenak saya termangu, pasti saya bukanlah menjadi 100 tokoh pilihan karena memiliki prestasi yang hebat. Tetapi mereka, anak-anak kita yang menjadi juara dunia di bidang sains itu, karena mereka telah mengalahkan berbagai superpower di bidang keilmuan. Saya hanya saksi belaka.

Saya mengangkat tema ‘generasi hibrida’ yang diam-diam telah lahir di sekeliling kita. Maklum, dalam berbagai kompetisi keilmuan tingkat dunia anak-anak kita selalu memenangkan medali emas. Hanya, kemenangan menjadi juara dunia di Polandia itu patut dicatat, karena untuk pertama kalinya. Dan tentu harapan untuk seterusnya anak-anak Indonesia akan membukukan berbagai prestasi yang membuka mata dunia.

Orang-orang Eropa dan Amerika memang kagum pada sumberdaya manusia kita. Dikatakan, kita bangsa yang berusia muda. Dengan rating lebih dari 60 persen berusia muda (berusia 1-20 tahun), Indonesia memiliki tenaga kerja yang produktif yang mendukung kemajuan ekonomi.

Berbeda misalnya jika suatu negara, seperti di Eropa atau di China dan Jepang dengan komposisi penduduk lebih banyak berusia tua (senior), maka lebih banyak dana diperlukan untuk pemeliharaan kesehatan dan berbagai fasilitas lainnya. Di sisi lain, mereka berada dalam posisi ‘menikmati’ masa tua dan kurang bersemangat untuk mengisi sector produksi.


Sang Juara

SAYA mencatat baik pada Rabu malam, 29 April tahun 2009, di Wisma Duta KBRI Warsawa. Anak-anak pelajar yang baru saja menjulangkan nama Indonesia di kalangan elit sains dunia saya undang untuk syukuran bersama masyarakat Indonesia di Polandia.

Mereka adalah ilmuwan remaja kita yang memenangkan perolehan medali emas terbanyak pada International Conference of Young Scientists (ICYS) ke-16 yang berlangsung di Pszczyna, Polandia pada akhir pekan sebelumnya, mengalahkan raksasa sains seperti Jerman, Belanda, AS, Rusia, Hongaria, Polandia, Brazil, bahkanTurki.

Selama 4 hari, 24-28 April 2009, 12 siswa SMP dan SMA dari Surabaya, Tangerang, Magelang dan Jakarta bertarung mempertahankan 10 hasil penelitian mereka di bidang fisika, matematika, informatika, dan lingkungan hidup.

Indonesia berhasil menggondol medali terbanyak 6 emas, 1 medali perak, 3 medali perunggu, unggul jauh dari Jerman (3,4,2), Belanda (3,1,2), Amerika Serikat (3,0,0), Rusia (2,3,3), Hongaria (2,2,2), Polandia (2,2,1) Belarus (1,1,0), Georgia (0,3,2), Ukraina (0,1,2), Ceko (0,0,2), dan Kroasia (0,0,1). Peserta lainnya Turki dan Brazil pulang dengan tangan hampa.

Hasil itu menjadi prestasi terbesar yang pernah diraih oleh Indonesia. 3 medali emas didapat dari penelitian lingkungan hidup yang disumbangkan oleh pasangan Jessica Karli dan Yosephine Livia Pratiknyo, pasangan Gabriella Alicia Kosasih dan Teresa Maria Karina, serta pasangan Vincentius Gunawan dan Fernanda Novelia. 2 medali emas dari penelitian fisika sumbangan pasangan Idelia Chandra dan Christopher Alexander Sanjaya, serta Guinandra Lutfan Jatikusumo, dan 1 emas dari ilmu komputer sumbangan Nugra Akbari.

Sebuah medali perak bidang lingkungan hidup disumbangkan oleh Dwiky Rendra Graha Subekti, sedangkan dari 3 medali perunggu 2 diantaranya dari bidang lingkungan hidup yang diraih oleh pasangan Lydia Felita Limbri dan Allen Michelle Wihono, serta pasangan Melissa Nadia Natasha dan Terrenz Kelly Tjong, dan satu medali perunggu diperoleh dari bidang matematika oleh pasangan I Made Rayo Putra Indrawan dan Andika Setia Budi.

Kemenangan itu lebih memantapkan rasa percaya diri Indonesia yang dipilih menjadi tuan rumah dalam penyelenggaraan ICYS ke-17 berikutnya pada bulan April 2010. Indonesia akan menjadi negara Asia yang pertama dipercaya menjadi tuan rumah sejak ICYS diselenggarakan pada tahun 1994.

Maka, Indonesia tidak saja dikenal dunia memiliki angkatan kerja berusia muda, tetapi juga pintar!

ICYS adalah lomba presentasi karya ilmiah remaja bergengsi tingkat dunia di bidang penelitian ilmu fisika, matematika, ilmu komputer, dan ekologi yang diselenggarakan setiap tahunnya mulai 1994. Pertemuan tahunan ilmuwan remaja pada tingkat dunia itu dimaksudkan untuk menggali potensi peneliti muda yang kelak dapat berperan dalam penemuan dan pengembangan keilmuan untuk meningkatkan kualitas hidup seluruh umat manusia di dunia.

ICYS berdiri pada tahun 1994 diprakarsai oleh Eotvos Lorand University, Budapest Hungaria, dan Belarussian State University, Minsk, Belarus. Indonesia yang bersama India dan Jepang mewakili Asia di ICYS, mulai mengirimkan delegasi untuk pertandingan ilmiah tersebut mulai tahun 2005. Prof. Yohanes Surya, Ph.D ditunjuk menjadi representatif ICYS untuk Indonesia sejak tahun 2004.


Berbicaralah Kepada Dunia

TIDAKLAH berlebihan untuk menyatakan era kebangkitan nasional telah memasuki tahap baru. Partisipasi siswa-siswa Indonesia dalam berbagai kompetisi sains tingkat dunia, sebenarnya baru diawali pada tahun 1993.

Setelah bekerja keras selama 6 tahun, tepatnya pada tahun 1999 kita baru mulai mendulang medali emas, untuk pertama kalinya, ketika I Made Agus Wirawan, siswa SMAN 2 Bangli Bali, di Padova Italia.

Selanjutnya, 3 medali emas berikutnya diperoleh dalam tahun 2002 pada kompetisi di Bali kontribusi dari Agus Peter Sahanggamu (SMAN 8 Jakarta), Widagdo Setiawan (SMA 1 Denpasar) dan Fajar Ardian (SMA Insan Cendekia Serpong), serta 2 medali emas sumbangan Widagdo Setiawan (SMA 1 Denpasar) untuk kedua kalinya pada tahun 2003 di Taiwan, dan oleh Yudistira Virgus di Pohang, Korea Selatan, dalam tahun 2004.

Dalam kompetisi ICYS, Indonesia pertama kali mengikuti lomba ini pada ICYS ke-12 pada tahun 2005 di kota Katowice, Polandia, dengan menampilkan penelitian di bidang Fisika yang berjudul "The Physics of Badminton" karya Dhina Pramita Susanti (SMAN 1 Semarang) bersama Chrisanthy Rebecca Surya (SMA Dian Harapan Tangerang) yang berhasil memperoleh satu medali perunggu.

Penelitian bidang Fisika lainnya "Chaos in The Experimental Problem of The IPHO 35", karya pasangan Anneke Nelce Bowaire (SMAN 1 Serui, Papua) bersama Diatra Zulaika Husodo (SMA Al Izhar Pondok Labu, Jakarta.) yang memperoleh Special Award.

Dalam kompetisi ICYS ke-13 tahun 2006 di Stuttgart, Jerman, Tim Indonesia mengirimkan enam peserta (lima bidang Fisika dan satu bidang Ekologi) berhasil meraih dua perunggu dalam bidang penelitian fisika. Pada penyelenggaraan ICYS ke-13 ini untuk pertama kalinya Indonesia mendapat kehormatan menjadi juri bidang fisika, yakni Monika Raharti, M.Si. yang juga sebagai team leader memimpin kontingen Indonesia di Pszczyna.

Sebuah medali perak dalam bidang Fisika berhasil diraih oleh Tim Indonesia pada ICYS ke- 14 pada tahun 2007 yang diadakan di kota Saint-Petersburg, Rusia.

Prestasi Tim Indonesia meningkat terus, pada tahun 2008 ICYS ke-15 yang diselenggarakan di kota Chernivtsky, Ukraina, Tim Indonesia meraih satu perak di bidang Ekologi, satu perunggu di bidang Ekologi, dua perunggu di bidang Fisika, empat Special Award yaitu untuk Best Performance bidang Fisika, untuk Teaching in Physics bidang Fisika, untuk Most Creative Research bidang Computer Science dan untuk Best Research bidang Matematika.


Juara Dunia!

PENYELENGGARAAN ICYS ke-16 di Pszczyna mendapat tempat yang paling istimewa dalam sejarah keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kompetisi sains dunia pada tingkat pelajar. Berdasar catatan Tim Olimpiade Fisika Indonesia, dengan demikian Indonesia telah mengoleksi sekitar 48 medali dari berbagai jenis kategori.

Malam syukuran di Wisma Duta juga menjadi catatan khusus bagi Andrzej Rosanoff, 70 tahun, seorang pegawai lokal berkebangsaan Polandia yang telah bekerja di KBRI dalam kurun waktu kurang lebih 45 tahun, hadir pada malam itu. Rosanoff tidak mampu menahan diri, mendatangi saya. Dalam bahasa Inggeris dia menyatakan dirinya terkesima menyaksikan perubahan besar yang belum pernah dilihatnya selama dia berada di lingkungan Indonesia, sejak mulai tahun 1960-an.

“Selama saya bekerja di KBRI saya bertemu dengan banyak orang Indonesia, tetapi anak-anak ini sangat mengesankan. Mereka cerdas, santun, percaya diri, mahir berbahasa Inggeris, tetapi tetap ceria seperti anak-anak lainnya bercengkerama dengan sesama. Saya percaya dan optimis masa kejayaan Indonesia sudah diambang pintu. Dan, maaf jika saya mengatakan bahwa generasi Anda berbeda dengan anak-anak itu”, ujarnya.

Menurut Rosanoff, anak-anak itu luar biasa mampu mengalahkan siswa-siswa dari negara-negara superpower di bidang sains yang telah memenangkan ratusan hadiah Nobel. Yang lebih mengagumkan Rosanoff adalah bahwa anak-anak Juara Dunia kita itu bukanlah bersekolah di Amerika atau di negara-negara Eropa, tetapi di Indonesia. Dan, mereka adalah anak-anak daerah dari berbagai provinsi!

” Ini mencerminkan dua hal, pertama siswa-siswa cemerlang adalah produk dari sistem pendidikan yang sudah baik. Kedua, memang pada dasarnya anak-anak Indonesia sangat potensial di bidang sains”, ujarnya.

Dia mengaku ‘miris’ dan berbahagia karena hadir dalam malam bersejarah itu. Sebagai orang asing yang telah menjadikan Indonesia sebagai bagian dirinya, sukma Rosanoff, sama seperti kita semua, bergetar.


Bangsa Unggul

KARENA itu, acara syukuran malam itu merupakan pernyataan kegembiraan dan kebahagiaan masyarakat Indonesia di Polandia, seperti juga masyarakat di tanah air.

Saya dan masyarakat Indonesia di Polandia malam itu mengucap syukur pada akhirnya anak-anak Indonesia berhasil mengerek bendera Merah Putih di tempat tertinggi. Team leader Ibu Monika Raharti, yang ditugasi Prof Yohanes Surya untuk memimpin delegasi ke Polandia, tidak urung berlinang-linang bahagia. Padahal, katanya siswa-siswa kita berlatih sendiri, dengan fasilitas sekolah yang minim, tanpa laboratorium yang canggih seperti dimiliki Jepang, Jerman, bahkan Amerika Serikat. Dan, tim dengan biaya minim dan dukungan orangtua dan sponsor terbatas, para siswa berangkat bermodalkan semangat Merah Putih.

”Dulu menjadi pertanyaan saya ketika memulai bekerja untuk tim, mampukah anak-anak didik kita bersaing dengan dunia. Hari ini terbukti bahwa kita bisa!", katanya.

Dan ibu-ibu dan masyarakat Indonesia di Polandia tidak bosan-bosannya menciumi anak-anak yang polos itu, dan bersama mengajak berfoto dengan para Juara Dunia!
Bangsa unggul telah berada di sekitar kita!

Saya ingat betul, pada hari Jumat, 24 April, kami baru bisa berangkat menuju kota Pszczyna, di selatan Polandia, yang jaraknya sekitar 350 kilometer dari Warsawa agak siang. Saya sangat khawatir terlambat untuk menghadiri acara pembukaan memenuhi undangan panitia. Ketika kami terjebak kemacetan di kota, maklumlah pada akhir pekan, dan tertahan pula sepanjang 50 kilometer di dipinggir kota, kecemasan saya memuncak.

Saya bilang kepada isteri yang setia menemani perjalanan, kehadiran kita penting untuk memberikan semangat juang bagi anak-anak. Maka, mobil van Mercy Viano milik KBRI pun dikebut dengan kecepatan 180 km/jam, hampir maksimal! Setelah lolos dari jepitan kemacetan, Alhamdulillah dalam 2 setengah jam kami pun tiba di Istana Pszczyna. Anak-anak sudah tiba 5 menit lebih awal, dan mulai masuk ke aula tempat acara pembukaan. Kami tiba tepat waktu.

Pembukaan ICYS) ke-16 dilakukan di Museum Istana Pszczyna, bekas Istana bergaya gothic yang dibangun pada abad ke-13, direnovasi berkali-kali: bergaya renaissance di abad ke-17, bergaya barok pada abad ke-18 dan klassik pada abad ke-19, sehingga tampak anggun.

Acara pembukaan dihadiri oleh Presiden ICYS dan pejabat pemerintahan Polandia, pada dewan juri dan seluruh peserta dari berbagai penjuru dunia. Tetapi, ternyata hanya saya sendiri dari undangan dubes negara peserta yang hadir, membuat kontingen lainnya iri karena mereka hanya didampingi oleh ketua tim masing-masing. Dan, saya pun diundang berpidato.

Saya mengenalkan delegasi Indonesia, dan menjelaskan bahwa kehadiran Indonesia dalam kompetisi ICYS di Polandia adalah untuk kedua kalinya di Polandia. Pada tahun 2005 yang lalu Delegasi Indonesia telah turut dalam pertandingan di Katowice. Saya mengharapkan, dengan tim yang lebih siap Indonesia akan meningkatkan prestasinya dalam kompetisi kali ini.

Tidak lupa, saya juga mengambil kesempatan untuk mengundang bagi peneliti muda dari seluruh dunia untuk ambil bagian dalam pertemuan ICYS ke-17 yang akan dilangsungkan di Bali pada bulan April 2010. karena Indonesia terpilih menjadi tuan-rumah kompetisi berikutnya.

Sebelum kembali ke Warsawa, saya berpesan kepada kontingen Indonesia, agar para siswa bertanding dengan percaya diri dan menajamkan kemampuan artikulasi dalam mempresentasikan temuannya di depan juri internasional. Ini menjadi kunci keberhasilan, karena semua presentasi dan tanya-jawab dilakukan dalam bahasa Inggeris.

Mulai malam itu sampai kompetisi berakhir tanggal 28 April di kota yang indah itu, anak-anak Indonesia bertarung dengan gigih mempertahankan 10 makalah ilmiah mereka di depan juri internasional. Dalam perjalanan kembali ke Warsawa, kami berdoa untuk keberhasilan putera-puteri bangsa itu.

Saya merasa turut berbahagia, meskipun dengan kontribusi kecil sebagai ‘pengawal’ generasi hibrida saya telah menjadi bagian dari pekerjaan besar kita semua dalam mempersiapkan mereka.

Pendidikan adalah pekerjaan besar mulia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, sekaligus mempersiapkan munculnya generasi hibrida, manusia-manusia unggul berikutnya. Anak-anak kita itu telah memberikan inspirasi kepada teman-teman mereka jutaan anak Indonesia usia sekolah lainnya.

Sebagai orangtua dari anak-anak yang juga bersekolah di Indonesia, saya menyadari betapa pentingnya arti kemenangan itu untuk mereka sendiri, orangtua, guru dan teman-teman, dan sekolah. Kemenangan itu memberi makna dan menumbuhkan rasa percaya diri, sekaligus menginspirasi jutaan teman-teman mereka di tanah air untuk tidak menyia-nyiakan bakat yang dimiliki.

Dalam acara syukuran di Wisma Duta, di depan Delegasi Indonesia dan masyarakat hadirin, saya mengungkapkan perasaan saya.

”Setua ini saya belum pernah menyumbang satu medali pun kepada Republik”, kata saya. ”Jadi, anak-anak kita ini manusia luar biasa jasanya kepada bangsa dan negara”, kata saya ketika mengawali sambutan.

Adalah suatu tradisi yang baik bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan perhatian khusus kepada para siswa yang berhasil meraih medali emas dalam berbagai kompetisi sains internasional. Kepada mereka Presiden telah menjanjikan untuk membiayai pendidikan mereka sampai pada tingkat Ph D, baik di dalam maupun di luar negeri.

Saya mengekspresikan kebanggaan kami masyarakat Indonesia yang bermukim di luar negeri, bahwa para anak-anak kita telah berbicara kepada dunia sains dalam bahasa yang terhormat. Keberhasilan ini telah menempatkan Indonesia dalam peta sains dunia, dan bilamana prestasi ini dipupuk terus dan ditingkatkan oleh para juara dunia ini, maka tidak lama lagi bangsa Indonesia akan memperoleh Nobel di bidang sains, dan juga di bidang kesusasteraan, seni dan sebagainya.

”Kita patut menghargai prestasi ini. Saya yakin, Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan masuk dalam jajaran negara penerima hadiah nobel, dan ini menjadi tugas dari anak-anak para generasi muda yang telah direpresentasikan dengan baik oleh para pemenang ICYS 2009”, ujar saya.

“Enam makalah tentang bidang lingkungan hidup adalah pilihan yang selaras dengan peranan global Indonesia untuk memecahkan masalah-masalah lingkungan. Indonesia telah dipercaya PBB menjadi salah satu troika dalam mengatasi perubahan iklim global”, kata saya bersemangat.

Saya juga membuat catatan khusus, bahwa medali emas juga diraih oleh Vincentius Gunawan dan Fernanda Novelia yang notabene adalah pelajar pada tingkat SMP. Ini menunjukkan minat keilmuan yang bahkan telah tumbuh pada tingkat pelajar SMP di tanah air juga telah mendapat mendapat pengakuan dunia.

Tidak lupa, saya berpesan agar anak-anak jangan cepat berpuas diri dan terus bekerja keras guna mempersiapkan diri dalam menghadapi kompetisi berikutnya yang akan diselenggarakan di Bali pada tahun 2010.

Mewakili pimpinan rombongan, Ir Srisetiowati Seiful MBA, Director External Affairs the Surya Institute, menyatakan syukur dan sukacita karena berkat dukungan dan doa masyarakat Indonesia di Warsawa dan di tanah air para anak-didik dapat tampil luar biasa, sehingga menjadi juara dunia.

Acara ramah-tamah diisi dengan berbagai makanan Indonesia yang disiapkan sesuai dengan permintaan anak-anak setelah hampir satu minggu berada di Eropa. Di Pszczyina, isteri saya telah berjanji kepada mereka untuk menyediakan makanan kegemaran mereka di Warsawa, setelah pertandingan sebelum kembali ke tanah air: lontong sate, bakso, soto rawon, dan berbagai jajanan pasar.

Mereka menari-nari, menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Para ibu-ibu rumahtangga di Warsawa tidak henti-hentinya memeluk dan mencium mereka, bernyanyi bersama-sama sampai tengah malam. Di Buku Tamu resmi, anak-anak kita itu menuliskan perasaan mereka dengan kata-kata yang tulus, dihiasi pula dengan gambar-gambar lucu-lucu.

Saya fikir, observasi Pak Andrzej Rosanoff, staf lokal KBRI Warsawa itu benar. Mereka adalah anak-anak bangsa, anak-anak kita sendiri yang menjadi representasi munculnya generasi baru, hibrida baru, yang pintar, percaya diri, dan santun.

Ketika mereka diminta pimpinan rombongan mengenalkan diri, mereka semuanya berpidato dalam bahasa Inggeris dengan lancar.

Dan, anak-anak ini rendah hati, dan dengan ceria menyanyikan lagu-lagu yang mengekspresikan rasa cinta mendalam kepada bangsa yang sedang mengelu-elukan mereka di tanah; seakan mereka berada dalam karnaval, kembali dengan kemenangan terhormat dari medan pertempuran di kancah internasional.

Mereka baru saja berbicara kepada dunia, bahwa di belahan dunia sana ada sebuah bangsa bernama Indonesia yang patut diperhitungkan! Mereka telah menjadi contoh bagi kita semua. Tanpa mereka sadari, dalam usia dini mereka telah menjadi berbicara mewakili bangsanya kepada dunia. Mereka telah membuat sejarah bagi negerinya.

Malam itu, Wisma Duta pun menjadi milik anak-anak kita itu. Mereka, dengan mengalungkan di dada masing-masing medali yang diperoleh pada acara yang berlanjut sampai tengah malam itu, menjadi tamu-tamu terhormat saya dan isteri.



Diterima Presiden

PESTA medali emas boleh berakhir, tetapi saya tetap memelihara komunikasi dengan anak-anak jenius itu, sampai sekarang.

Maka, ketika kapten tim Indonesia, Guinandra Lutfan Jatikusumo, peraih medali emas dari bidang fisika, bahwa dia dan teman-temannya para juara dunia dari ICYS 2009 itu telah diterima dan berdialog dengan Presiden RI dan Ibu Ani Yudhoyono pada upacara peringatan Hari Kebangkitan Nasional, tanggal 20 Mei 2009 yang lalu di Surabaya, saya terharu. Itu doa saya.

Kerjasama dengan team the Surya Institute dalam partisipasi Indonesia pada ICYS ke-16 di Polandia ini yang menghantarkan saya bertemu langsung dengan Prof. Yohanes Surya dalam suatu acara makan siang di Hotel Niko Jakarta. Bu Sri Setyowati sebagai motor juga hadir bersama, sekaligus menyampaikan informasi mengenai rencana Olimpiade Astronomi di Tolikara, Papua.

Cerita mengenai the spirit of Tolikara, akan saya muat dalam bagian ke-2 tulisan.

Jakarta, 8 Januari 2010

1 comment: