Wednesday, January 12, 2011

THE SPIRIT OF TOLIKARA: GENERASI HIBRIDA TELAH LAHIR (3)

“Republik ini terlalu besar, terlalu kaya, terlalu indah: banyak ruang-ruang yang terbuka lebar bagi kita untuk membuatnya menjadi lebih indah, lebih berjaya, lebih bermartabat di tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa”

SAYA mengawali tulisan ini dengan kalimat yang saya susun sendiri di atas untuk mengajak semua lapisan bangsa bersikap optimis dan mau memberikan kontribusi, melalui bidang-bidang profesi yang dikuasai di manapun dia berada.

Laskar-laskar Pelangi yang tidak pernah mau berhenti bermimpin dari Tolikara, dari pedalaman Papua, akan membuat Republik Indonesia menjadi lebih indah, lebih berjaya, lebih bermartabat di tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa.

The Spirit of Tolikara saya ambil dari pelajaran yang dipetik dari keberhasilan anak-anak kita itu pada pentas sains dunia, pada saat mereka berpartisipasi dalam Olimpiade Astronomi Tingkat Asia-Pasifik atau Asian Pacific Astronomy Olimpiad (APAO) VI yang diselenggarakan nun jauh di pegunungan Papua di Kabupaten Tolikara, 24 November-5 Desember 2010.

APAO adalah salah satu jenis olimpiade internasional dalam bidang astronomi. Olimpiade yang dikhususkan bagi siswa SMP dan SMA (14-18 tahun) ini bertujuan mempromosikan pendidikan Astronomi dan menekankan pentingnya pendidikan sains di negara-negara Asia, Oseania, dan Pasifik. Olimpiade tersebut dibagi dalam tiga tahap, yaitu Theoritical Round, Observation Round, dan Practical Round. Perwakilan APAO untuk Indonesia dipegang oleh Chatief Kunjaya.

Event yang digagas oleh Prof. Yohanes Surya dari Surya Institute, dengan dukungan orang-orang yang memiliki idealisme dan semangat berkontribusi untuk kejayaan Indonesia, berlangsung sukses. Tidak mudah, berliku-liku, dan hanya dengan kemauan keras serta dukungan berbagai pihak maka event ini dapat terlaksana.

Catatan ini menjadi bagian ke-3 dari 2 tulisan sebelumnya tentang “Generasi Hibrida Telah Lahir”.

Hasil-Hasil

DALAM tulisan-tulisan sebelumnya, saya menggambarkan peranan seorang motivator utama dalam memajukan minat sains di kalangan pelajar dan menampilkan mereka di event-event bergengsi internasional. Sering menjadi juara dunia, dan bahkan menjadi juara umum seperti yang terjadi di Polandia pada tahun 2009 yang lalu, maka anak-anak Indonesia sudah diperhitungkan di kalangan negara-negara maju, berkat Profesor Yohanes Surya.

Begitu pula di Tolikara. Putra-putri Indonesia kembali mengharumkan nama bangsa dengan mengantongi 1 (satu) medali emas, 2 (dua) medali perak, 7(tujuh) medali perunggu sekaligus memperoleh 3 (tiga) predikat “Best Observational” dan “Best Host Territory”. Putra-putri dari Papua sendiri juga turut menyumbang terhadap prestasi tersebut, yaitu dengan diraihnya tiga medali perunggu dan satu predikat “Best Host Territory”.

Selain Indonesia, negara peserta yang ikut berpartisipasi Rusia, Korea Selatan, Kazakhstan, Cambodia, China, Bangladesh, Nepal dan Kyrgyztan. Untuk tahun ini Kyrgyzhtan hanya mengirimkan peninjau (observer). Dari 9 negara anggota Olimpiade Astronomi Asia Pasifik, hanya Singapura dan Thailand yang tidak datang.

Dalam event itu, Indonesia sebagai tuan-rumah boleh mengirimkan 2 Tim, yakni satu tim nasional dan satu tim daerah (dari Tolikara), masing-masing beranggotakan peserta junior yakni siswa sekolah menengah pertama (SMP) dan siswa sekolah menengah atas (SMA).

Anggota tim nasional Indonesia adalah Hendrik Lewu Medlama (SMAK BPK Penabur Gading Serpong), Ramadino Athaariq (Mentari International School Jakarta), Cliff Alvino Wijaya (SMP Karangturi Semarang), Lidya Pertiwi Suhandoko (SMPN 1 Blitar), Siti Fatima (SMAN 1 Sampang), Muhammad Wildan Gifari (SMA Semesta), Dedy Arianto Runting (SMAN 5 Palangkaraya), dan Yahdi Isnu Miftahuddin (SMAN 1 Taliwang).

Sedangkan tim Tolikara beranggotakan Tower Bogum (SMP YPPG I Karubaga), Betty Angelina Kogoya (SMP YPPG I Karubaga), Erfince Wanimbo (SMPN 1 Karubaga), Echo Yikwa (SMPN 1 Karubaga), Ramli Wanimbo (SMA YPPG I Karubaga), Mendi Weya (SMAN 1 Karubaga), dan Itha Yikwa (SMAN 1 Karubaga).

Selama Februari hingga November 2010, kedua Tim dilatih di Pusat Pelatihan Ganesha Astromedia dan observatorium Boscha, Bandung, serta di Planetarium, Jakarta, baik oleh tim Surya Institute maupun dari ITB dan Universitas Pendidikan Indonesia.

Dukungan Wakil Presiden

WAKIL Presiden Boediono ketika melepas 15 peserta APAO VI di Kantor Wakil Presiden, Jl Medan Merdeka Selatan 22 Nopember 2010, menyatakan bangga dengan keikutsertaan Indonesia. Wapres menggarisbawahi pentingnya menggunakan momen olimpiade itu untuk menaikkan nama baik bangsa, dan mengharapkan anak-anak menimba pengalaman sebanyak-banyaknya, yang mungkin bermanfaat bagi mereka jika ingin menempuh karir di dunia astronomi.

"Ini bidang yang sangat sulit. Namun, dengan bimbingan sejak dini, saya kita akan membantu. Gunakan kesempatan ini untuk menunjukkan kemampuan dan bekal pengalaman selanjutnya untuk menjadi astronom atau yang lain," kata Wapres.

Wapres Boediono melanjutkan, Indonesia sangat kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA), namun mempunyai mutu Sumber Daya Manusia (SDM) yang minim. Padahal kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh SDA yang dimilikinya, bukan SDM.

"Maka strateginya yang terbaik adalah memanfaatkan SDA untuk dikonversikan menjadi SDM dengan waktu tidak terlalu lama. Saya sangat menaruh harapan agar anak-anak ini menjadi elemen yang bisa konversikan SDA menjadi SDM," ungkapnya.

Mengapa Tolikara?

Mengapa di Tolikara, suatu kabupaten baru yang mungkin baru didengar namanya.

Pertama, memberikan kesempatan kepada provinsi Papua melalui pendidikan berpartisipasi pada event memberikan kesempatan kepada provinsi Papua melalui pendidikan untuk berpartisipasi pada event Internasional. Alasan kedua kondisi alam yang ideal untuk observasi jagad raya yang didukung oleh langit yang bersih; dan ketiga, karena Kabupaten inilah yang pertama kali memberikan komitmen untuk mendukung acara APAO VI 2010. Ini dikatakan langsung oleh Profesor Yohanes Surya kepada saya.

Panitia juga berharap, penyelenggaraan Olimpiade di Papua akan menjadi pemicu (trigger) untuk merangsang minat belajar anak usia sekolah di Papua umumnya, sekaligus membuka mata pemerintah untuk mendukung kemjuan pendidikan di daerah tertinggal.

Tolikara adalah kabupaten baru hasil pemekaran Kabupaten Jayawijaya pada 2002 dengan luas wilayah 4. 500 km2, berpenduduk 248.000 jiwa tinggal di 46 distrik kecamatan serta 541 desa. Ibu kota Tolikara di Karubaga hanya dapat dijangkau dengan pesawat kecil dari Jayapura atau transportasi darat yang melintasi jalan tidak beraspal sepanjang 96 kilometer dari Wamena, ibu kota Jayawijaya.

Seperti diceritakan oleh Ir Sri Setiowati pada saat makan siang di Hotel Niko pada pertengahan November 2010, salah satu alasan mengapa olimpiade astronomi diselenggarakan di Tolikara adalah karena dukungan John Tabo, pada saat itu menjabat bupati. Tidak ada kepala daerah yang berminat kecuali Bupati di daerah terpencil itu.

Tidak menjadi halangan bagi panitia untuk menempuh ke lokasi yang terisolir, meskipun harus menempuhnya dengan pesawat kecil dari Jayapura ke Wamena dan masih memerlukan mobil yang siap bertarung di jalan-jalan darurat selama kl. 4 jam, melintasi daerah-daerah di mana rakyatnya belum mengenal pakaian!

John Tabo sadar untuk suatu upaya luhur memerlukan pengorbanan. Dia bersedia menjadi sponsor pelaksanaan APAO, sekaligus mendanai seluruh biaya persiapan selama hamper 1 tahun tim olimpiade Indonesia yang datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk dari Papua.

John Tabo juga sadar sebagai pemimpin di daerah terisolir tentulah banyak biaya diperlukan untuk membangun prasarana yang menunjang ekonomi. Tetapi dia yakin, terobosan perlu dilakukan dengan suatu ‘trigger’ yang tidak lain adalah jalur pendidikan. Bagaimana upaya membangkitkan semangat rakyat di daerahnya, dimulai dari anak-anak yang nanti menjadi harapan bangsa.

John Tabo mendengarkan nuraninya, dan bahkan membuat terobosan ‘gila’, dengan mengambil dana penyelenggaraan APBD! Dia tahu, dalam system keuangan Negara sekarang dia rawan dengan jeratan KPK atau BPK! Tetapi dia jalan terus, mendengarkan nuraninya.

High Spirit

TIDAK MUDAH untuk merealisasikan Olimpiade astronomi di Tolikara. Tidak kurang dari Ketua APAO Michael Gavrilov pada mulanya meragukan kesiapan panitia, terutama dengan fasilitas daerah yang terbatas.

Setelah berlangsung dengan sukses, Ir Sri Setiowati Seiful mengungkapkan kegembiraannya karena mengalamai berbagai "keajaiban" sehingga mimpi Surya Institute untuk menyelenggarakan Olimpiade Astronomi Asia-Pasifik di Tolikara, Papua, berhasil. Meski tanpa dukungan dana dari Kemendiknas!

"Kegilaan yang disebutkan dibawah, itulah yang aku anggap berbagai "keajaiban" sehingga mimpi yang semula terlihat "impossible mission" bisa terlaksana. Hidup negeriku... dan orang2 terbaik di negeriku”, tulis Ir Sri Setiowati Seiful.

Saya menyambut baik kabar gembira itu, dan mengirimkan balasan pada tanggaal 12 Desember 2010 sebagai berikut:

Bu Sri yang baik,

Terima kasih atas update dan hasil-hasil maksimal diperoleh. Kerja keras Ibu dan teman-teman di Surya Institue paid off.
Saya senang turut memberikan kontribusi dlm prosesnya, tetapi yg terpenting saya berjanji dlm diri sendiri untuk tetap memberikan dukungan moral bagi para pejuang yg mengangkat nama Indonesia di mata dunia, seperti olimpiade astronomi yg telah berlangsung sukses.

Spirit Tolikara telah mengilhami kita semua.

Kapan-kapan kita ngopi lagi bareng Prof Yohanes Surya. Salam hangat



Ir Sri Setiowati juga mengirim-lanjut (forward) kepada saya laporan pandangan mata dari personil UKP4 (Unit Kerja Presideng Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto yang hadir dan mengungkapkan ‘kegilaan’ secara positif bagaimana antusiasme semua pihak telah memungkinkan tampilnya anak-anak Indonesia, khususnya dari Papua, dalam olimpiade astronomi itu.

Laporan staf UKP4 kepada boss-nya yang tidak lain adalah Prof. Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto intinya ungkapan kegembiraan atas keberhasilan anak-anak kita di urutan ke-2 dari 9 negara, dan terutama keberhasilan pelajar-pelajar Tolikara dalam merebut 3 medali perunggu,meskipun mereka dari daerah terpencil.

Upaya mengumpulkan anak-anak untuk direkrut menjadi tim olimpiade juga tidak mudah. Lebih lagi, bagaimana merekrut 1 tim yang berasal dari Tolikara sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi anak-anak di daerah terpencil Papua, apalagi jika mereka diharapkan akan menguasai matematika dan berbagai ilmu dasar yang dipersyaratkan untuk mempelajari astronomi!

Astronomi adalah kumpulan dari berbagai ilmu science: matematika, fisika, kimia dan biologi sebagai dasar untuk mempelajari fenomena jagad raya.

Begitupun, Profesor Yohanes Surya berhasil membentuk tim Tolikara. Beliau juga sangat menyadari anak-anak itu perlu dipersiapkan dengan serius dan baik, karena bekal matematika mereka sangat rendah.

Di akhir cerita tentu happy ending! Sulit bagi saya tadinya berhayal bahwa salah satu dari anak-anak Papua itu ternyata menjadi salah seorang anak terpandai dalam bidang astronomi tingkat dunia hanya dalam waktu 10 bulan! Seperti saya tulis di email kepada Ibu Sri: upaya Surya Institute paid off. Selamat!

Semangat Laskar Pelangi, jangan pernah berhenti bermimpi!

Menerobos Birokrasi

BAGAIMANA menembus jejaring birokrasi semua kita mempunyai pengalaman (buruk). Berbagai izin yang diperlukan, termasuk dari Kemendiknas, termasuk mengurus visa bukanlah hal gampang di Republik ini. “Jika bisa dipersulit mengapa harus dibuat gampang?” seru sebuah iklan pelayanan masyarakat.

Ibu Sri lebih lanjut berkomentar, selain UKP4 dan Kantor Wakil Presiden, beliau juga berupaya melalui jejaring teman-temannya di Kementerian Luar Negeri.

“Sebenarnya Deplu amat sangat banyak membantu dalam proses perolehan visa, tapi memang terganjal sana-sini karena perlunya "teamwork" dengan Imigrasi dan Hankam. Kalau tidak karena "surat sakti" dari Ketua UKP4 ke Dirjen Imigrasi, dan lobby via teman2 mantan dubes ke dubes-dubes di KBRI masing-masing lokasi, berbagai kesulitan tidak akan teratasi dengan begitu cepatnya.”

Saya mengingat dengan baik, persoalan visa ini muncul ketika saya sedang berada di Makassar untuk suatu seminar ASEAN. Saya memang mengontak teman-teman di Perwakilan untuk memperlancar urusan pemberian visa bagi negara-negara tergolong rawan, atau pada saat mereka menghadapi keterbatasan waktu. Alhamdulillah, semua berjalan dengan baik.

Ada 2 negara yang menjadi tanggungjawab Dubes RI Tashkent M Asruchin, yakni Kazakhstan dan Kyrgyzhtan. Teman baik saya ini sangat instrumental sehingga tim dari kedua Negara ini bisa berpartisipasi di Tolikara. Begitu pula kerjasama baik dengan KBRI Bangkok yang telah memungkinkan wakil-wakil dari Nepal dapat mengambil visa Indonesia mereka di Bangkok.

Menurut Ir Sri Setiowati dalam emailnya, mengklarifikasi permasalahan yang dihadapi dalam kaitan dengan Kemendiknas yang bukan tidak memberi ijin, tetapi Kemendiknas "kurang meng-endorse". Karena kegiatan ini tidak diselenggarakan oleh Kemendiknas dengan cara yang ditetapkan dalam Juklak Kemendiknas, Kemendiknas tidak bertanggung jawab, antara lain, atas tidak diperolehnya beasiswa negara oleh para pemenang olimpiade.

“Kemendiknas juga menilai bahwa penyelenggaraan olimpiade internasional di Papua tidak direkomendasikan karena faktor keamanan”, tulis Ibu Sri.

“Barulah setelah Ketua UKP4 "turun tangan", Mendiknas akhirnya bersedia duduk menjadi Pelindung Panitia, dan kondisi itulah yang kami gunakan untuk meyakinkan Imigrasi untuk melancarkan proses pemberian visa, serta Pemda-Pemda Kabupaten di luar Tolikara untuk meloloskan siswa-siswi terbaiknya untuk mengikuti pembinaan Tim Nasional ke Olimpiade Astronomi ini”, demikian tambahnya.

Pada email berikutnya menjawab surat saya, Ir Sri Setiowati Seiful mengirimkan penjelasan tambahan bahwa dia ingin menyampaikan terima kasih pada Deplu (Kemlu) dan teman-teman, sehingga bisa melancarkan proses masuknya SEMUA delegasi sesuai konfirmasi kehadiran (bahkan Bangladesh pun akhirinya tiba).

“Sekali lagi saya ingin ucapkan banyak terimakasih pada Bu Kusuma, pada pihak Deplu dan seluruh jajaran di KBRI yang memproses visa maupun visa "dadakan" seperti untuk Nepal di Bangkok, pada P Haz Pohan yang begitu banyak memberikan jalan keluar dengan menghubungkan ke teman2 di KBRI-KBRI ybs., semoga hasil kerjasama ini berbuah baik untuk semua pihak.”

Dia menutup email dengan kata-kata:

Mohon doa, dan mohon bantuan untuk mem forward berita di bawah ke teman-teman di KBRI mana saja, barangkali untuk memberi semangat kerja :)

Salam hormat,
Sri


Saya menuliskan the Spirit of Tolikara ini untuk menjadi catatan bagi teman-teman yang bertugas di Perwakilan RI di luar negeri, untuk senantiasa bersemangat dalam menjalankan tugas-tugas, sekaligus memberi perhatian untuk Laskar-Laskar Pelangi berikutnya yang akan membuat Republik Indonesia menjadi lebih indah, lebih berjaya, lebih bermartabat di tengah-tengah pergaulan bangsa-bangsa.

Jakarta 13 Januari 2011

No comments:

Post a Comment