Friday, January 14, 2011

MEMBANGUN KAPASITAS ASEAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA

KEBERHASILAN ASEAN dalam memelihara perdamaian dan stabilitas merupakan capaian terbesar bagi organisasi sub-regional itu. Memang, sejak berdirinya ASEAN di tahun 1967 kawasan Asia Tenggara tidak mengalami konflik-konflik besar sehingga Dewan Keamanan PBB perlu turun tangan. Tidak ada yang meragukan hal ini.

Di usianya ke 43 ASEAN juga telah membukukan sejumlah keberhasilan yang tangible, terutama di bidang ekonomi. Banyak persetujuan di bidang perdagangan, investasi, keuangan, maupun ketenagakerjaan yang telah dihasilkan. Begitu pula di bidang sosial budaya, seperti perlindungan HAM, anak-anak dan wanita, pendidikan, dan penanganan bencana alam.

Seperti dikatakan oleh Sekjen ASEAN Surin Pitsuwan, kedudukan Indonesia menjadi Ketua ASEAN tahun 2011 menjadi harapan kepemimpinan Indonesia untuk memajukan organisasi sub-regional itu setingkat lebih tinggi. Sebagai negara terbesar dari segi ekonomi, penduduk dan wilayah di Asia Tenggara, wajar jika rakyat di Asia Tenggara berharap banyak. Bukan hanya rakyat Indonesia yang masih menunggu hasil-hasil nyata ASEAN, tetapi juga bagi separuh penduduk ASEAN yang kini berjumlah 500 juta yang berdiam di 9 negara anggota lainnya. Banyak agenda yang menjadi kepentingan nasional kita untuk diperjuangkan bersama.

Keketuaan Indonesia di tahun 2011 mempunyai visi “ASEAN Community in a Global Community of Nations”. Visi itu bisa direalisasikan apabila ASEAN telah memiliki kapasitas yang viable dalam menyelesaikan masalah-masalah internal di antara negara-negara anggotanya. Masalah cross border, territorial claims bahkan konflik sosio kultural masih menghambat cohesiveness ASEAN. Jangankan menyelesaikan masalah internal ASEAN melalui sistem penyelesaian sengketa dengan mekanisme yang sudah, negosiasi saja belum pernah ada.

Keberhasilan negara-negara ASEAN untuk memperkuat kelembagaan dan mekanisme penyelesaian sengketa (dispute settlement mechanism/DSM) menjadi salah satu agenda terpenting di dalam memperkuat pilar politik keamanan, dalam konsepsi menyeluruh secara bersama dan seimbang dengan upaya pembentukan 2 pilar lainnya, yakni di bidang ekonomi dan sosial budaya.

Dalam periode keketuaan 2011, Indonesia ingin memastikan penguatan ketiga pilar guna mendorong lebih lanjut proses perbentukan ASEAN Community di tahun 2015, sebagaimana disampaikan oleh Menlu Marty Natalegawa dalam pernyataan akhir tahunnya di awal Januari 2011 yang lalu.

Memperkuat institusi dan ketentuan tentang DSM juga memiliki arti di bidang penguatan masyarakat ekonomi ASEAN.

Manakala kita berbicara untuk memastikan kokohnya pilar ekonomi di tahun 2015, maka ASEAN harus memastikan pula penguatan infrastruktur hukumnya. Penguatan rejim dan infrastruktur hukum, termasuk hukum ekonomi, juga menjadi prasyarat bagi penyelesaian sejumlah kasus-kasus hukum, yang tidak terbatas hanya di ranah keperdataan (kebanyakan soal-soal perdagangan dan investasi) tetapi juga ke ranah hukum publik, seperti ketenagakerjaan, pencurian ikan dan berbagai kejahatan trans-nasional. Tidak tertutup pula kemungkinan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa wilayah dan perbatasan melalui mekanisme ASEAN.

Dalam bahasa akademis orang bertanya mengapa penting penguatan mekanisme penyelesaian sengketa dalam konteks menuju ASEAN Community 2015? Jawabannya jelas, sejak pengesahan Piagam ASEAN maka organisasi regional itu telah menjadi entitas hukum yang mensyaratkan agar semua keputusan atau perselisihan diselesaikan dengan berdasar pada hukum pula.

Catatan berikut ini disarikan dari pokok bahasan pada diskusi yang berlangsung di Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri, pada tanggal 10 Januari 2011 yang lalu.

Two Corridors One Direction?

SEJAK DINI para pendiri ASEAN pada tahun 1967 telah mengutarakan visi untuk pembentukan DSM di sesama anggotanya. Jangan lupa, ASEAN terbentuk di tengah berkecamuknya Perang Vietnam di bawah bayang-bayang Perang Dingin di Asia Pasifik dan konflik-konflik panas di sesama negara Asia sendiri.

Oleh karena itu, ketika Dokumen Treaty of Amity and Cooperation (TAC) yang dihasilkan pada KTT di Bali Concord I tahun 1976 disetujui, para pendiri ASEAN juga meletakkan norma-norma dasar bagaimana perilaku ideal jika terjadi konflik di antara anggota-anggotanya, yakni pada Pasal 13-17 TAC.

Belakangan TAC juga menjadi code of conduct yang wajib dipatuhi oleh negara-negara kawasan yang berminat masuk menjadi anggota ASEAN (ketika itu ASEAN hanya memiliki 5 anggota) dan bagi negara di luar kawasan bilamana mereka menginginkan engagement dalam proses ASEAN , seperti menjadi dialog partners atau berpartisipasi dalam status bukan anggota di berbagai fora ASEAN, misalnya dalam ASEAN Regional Forum (ARF).

TAC secara spesifik mengatur bahwa negara-negara anggota ASEAN ataupun di luarnya “shall refrain from threat or use of force and settle such disputes through friendly negotiations”.

Untuk menjamin proses penyelesaian melalui negosiasi itu maka akan dibentuk lembaga dengan anggota setingkat menteri, yang disebut sebagai High Council (HC). Produk dari HC adalah rekomendasi mengenai mekanisme yang disarankan sebagai modalitas penyelesaian sengketa, yakni apakah melalui jasa baik (good offices), mediasi (mediation), penyelidikan (inquiry) atau rujuk (conciliation).

Pada TAC inilah nosi pertama kali muncul mengenai kelembagaan High Council. Para pempin menyadari magnitude konflik-konflik yang ada dan mungkin mekanisme HC kurang memadai. Oleh karena itu, HC juga merujuk pada mekanisme yang terdapat di PBB, sesuai dengan Pasal 33 Piagam PBB, sekiranya mekanisme ASEAN belum berhasil.

Lebih lanjut, untuk memastikan proses acara (prosedur) maka disahkan pula Rules of Procedure TAC yang disahkan pada tahun 2001.

Yang menjadi persoalan, entah kenapa lembaga HC ini belum pernah terbentuk, meskipun di antara anggota-anggota ASEAN terdapat berbagai konflik ataupun potensi konflik.
Tidak ada penjelasan mengapa hal itu bisa terjadi.

Dugaan dari berbagai pakar adalah karena masa lalu di kawasan memang penuh kecurigaan (animosity), pembentukan saling-percaya (confidence building) masih memerlukan waktu, atau memang karena ada perbedaan mendasar dari Anglo-Saxon system yang dianut sebagian anggotanya (Malaysia, Singapore) dengan continental system yang dianut Indonesia.

Satu yang pasti adalah kuatnya kemauan politik ternyata tidak cukup untuk menghadapi realitas yang ada. Agar supaya semua pihak merasa ‘convenient’ perlahan-lahan upaya pembentuka DSM yang kredibel di ASEAN pun meluntur atau dilupakan sejenak.

“Rather than solving them (cases), they shelve them!”, kata seorang pengamat yang diplomat senior.

“We solve them in a ASEAN way”, tanggap pengamat lainnya. Atau lebih tepat didiamkan saja, sehingga negara-negara bersengketa mencoba menyelesaikan secara bilateral saja, bukan dalam kerangka mekanisme ASEAN.

Setelah terbentur pada koridor pertama untuk mengaktifkan HC, para pemimpin ASEAN menyepakati untuk memperkuatnya melalui proses pembentukan ASEAN Charter (Piagam), tanpa spesifik merujuk pada kelembagaan HC. Tidak ada pula penjelasan, misalnya, mengapa Piagam ASEAN yang berlaku sejak 15 Desember 2008 tidak menyebut referensi kepada mekanisme “High Council”.

Apakah ASEAN memiliki 2 sistem penyelesaian sengketa yang bertentangan? Apakah HC telah superceded by Charter? Ini bukan kesimpulan yang disepakati.

Mari kita lihat klausul-klausul terkati DSM pada Piagam ASEAN khususnya pada Bab VIII.

Pertama, pembentukan norma bahwa amekanisme penyelesaian perselisihan dilakukan melalui dialog, konsultasi dan negosiasi, khusus tentang dispute yang tidak terkait dengan perbedaan interpretasi terhadap sejumlah instrumen hukum yang dikeluarkan ASEAN. Tidak perlu diatur umum (lex generalis) karena masing-masing instrument yang dikeluarkan ASEAN telah mengatur tersendiri klausul prosedural di salah satu pasalnya (lex specialis).

Kedua, bagaimana prosedur (acara) bagi kasus-kasus di luar soal penafsiran instrument ASEAN? Piagam menentukan beragam jalan pula, tergantum jenis case-nya.

Jika kasus tentang sengketa hukum, penyelesaiannya memakai rujukan TAC dan Rules of Procedure-nya, sedangkan di luar penafsiran instrument atau tentang penerapan berbagai persetujuan di bidang ekonomi maka akan digunakan Protocol on Enhanced DSM, yang pada dasarnya mengacu pada model penyelesaian WTO.

Ketiga, untuk mengantisipasi kasus-kasus hukum rumit yang sulit Lebih rumit, Piagam membuka ruang untuk diputuskan pada tingkat KTT (summit) yakni para kepala Negara/pemerintahan dari anggota ASEAN. Mekanisme procedural (acara) untuk kasus-kasus tak terselesaikan (unresolved disputes) ini belum dibuat. Penyelesaian hukum acara untuk kasus-kasus sedemikian dapat menjadi kontribusi Indonesia sebagai ketua ASEAN 2011.

Sebagai tindak lanjut pada Pasal 25 Piagam, para Menlu ASEAN telah menugaskan kelompok pakar yang telah menghasilkan protocol yang memuat 4 annex tentang rules of consultation, good offices, mediation, conciliation, dan arbitration. Piagam lebih maju karena memasukkan “arbitrasi” di dalam modalitas penyelesaian sengketa, dan dengan keputusan yang mengikat (binding).

Keempat, Piagam juga memberikan kewenangan kepada Ketua (setiap tahun berganti) dan Sekjen ASEAN. Ini juga masih belum jelas. Secara konseptual masih sulit mencerna bagaimana organ eksekutif Kepala Negara/Pemerintahan dan Sekjen ASEAN juga dibebani dengan masalah-masalah yudikatif.

Di samping itu, kedudukan Sekjen yang memiliki kapasitas eksekutif yang terbatas di ranah administratif masih tergantung pada 'mandat' atau kepercayaan yang diberikan oleh negara anggota ke padanya. Jangankan memadankan dengan Presiden UE, mengimbangi mandat dan otoritas Sekjen ASEAN dengan Sekjen PBB masih belum pas.


Layak Diusulkan

MESKIPUN tidak menjadikan lagi HC sebagai referensi dalam Piagam, namun Piagam juga merujuk pada TAC dan rules of procedures yang implisit menunjukkan bahwa pembentukan High Council (HC) masih dimungkinkan.

Tidak terdapat konflik di antara koridor I (TAC) dan koridor II (Piagam). Bahkan, ketentuan yang terdapat pada Piagam tidak bertentangan dan bahkan melengkapi mekanisme yang kurang efektif seperti terdapat pada TAC.

Menurut hemat saya Indonesia masih dapat menggagas untuk pembentukan lembaga High Council. Di samping tidak bertentangan dengan Piagam, kedudukan HC akan membantu penangangan berbagai konflik yang telah atau berpotensi untuk muncul.

Dalam era perdagangan bebas ASEAN, dan pembentukan Komunitas 2015 akan secara drastik menguatkan interaksi dagang baik di antara negara-anggota maupun dengan negara di luar ASEAN, termasuk semakin meningkatnya kasus-kasus keperdataan maupun berbagai peristiwa di lapangan yang memungkinkan atau berpotensi pada gesekan di tingkat pemerintah. Belum lagi akan munculnya intensitas bilamana konflik wilayah atau perbatasan di Laut China Selatan masih belum berujung untuk diselesaikan.

Manfaat lain yang dirasakan oleh pemerintah maupun rakyat ASEAN dengan pembentukan sistem peradilan internal adalah biaya yang relatif lebih murah, daripada pergi ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice) yang mahal dan lama.
Dengan terbentuknya sistem dan kelembagaan DSM ASEAN, niscaya iklim ekonomi ASEAN akan semakin kredibel bagi dunia luar, yang pada gilirannya akan memperkuat komunitas ekonomi sebagaimana telah diikrarkan.

ASEAN Court of Justice: Wacana ASEAN Post 2015

BILA melihat kondisi negara-negara di Asia Tenggara dan stabilitas kawasan pada tahun 1960-an, sulit membayangkan akan lahir ASEAN. Visi para pemimpin inilah yang terbukti mampu melampaui zaman inilah menginspirasi kita untuk berfikir lebih jauh dari sekadar Komunitas 2015.

Jika membayangkan kondisi HAM di Indonesia maupun di seluruh Negara anggota ASEAN sebelum era reformasi di tahun 1989, sulit membayangkan bahwa pada suatu hari ASEAN akan memiliki Badan HAM. Namun semua kini menjadi realita.

Indonesia, seperti dikatakan Menlu Marty Natalegawa, juga perlu memikirkan ASEAN beyond 2015. Artinya, meskipun pada tahun 2015 Komunitas ASEAN telah terbentuk kita tidak boleh berdiam diri dan puas. Indonesia harus mulai menyumbangkan gagasan lebih lanjut.

Maka, muncul pula pemikiran kenapa Indonesia tidak melemparkan gagasan dan mendorong untuk terbentuknya ASEAN Court of Justice?

Karena sama-sama maju dan menjadi contoh di dunia, ASEAN dikatakan menempuh jejak Uni Eropa. Pengesahan Piagam ASEAN 2008 diumpamakan dengan tercapainya Maastrichat Treaty di tahun 1993.

Namun, di Uni Eropa debat mengenai ‘kedaulatan negara’ dalam diskursus apakah UE merupakan badan ‘supra nasional’ atau badan intra-pemerintah? Pada kenyataannya, elemen-elemen ‘state soveregnty’ sudah semakin terkikis di Eropa. Mereka sudah memiliki ‘common foreign and security policy’, economic laws, mata-uang tunggal, Parlemen Eropa (kompetensi sebagai mitra Presiden), persetujuan visa Schengen, dan berbagai badan pada tingkat ‘federal’ yang dipatuhi oleh Negara-anggota, bahkan dengan sanksi!

Tentu, pada saat terbentuknya The European Coal and Steel Community pada tahun 1951 para pemimpin Eropa tidak membayangkan suatu proses integrasi yang berjalan begitu cepat dan dahsyat di tengah-tengah puing kehancuran Eropa pada akhir Perang Dunia II. Visi para pemimpin dan tekad mengiimplementasikannya menjadi faktor kunci. Tidak ada lagi konflik terjadi di sesama Negara di Eropa . Tidak ada lagi konflik Prancis-Jerman yang selalu mengawali perang dunia yangmenghancurkan Eropa ke titik nadirnya. Mereka, rakyat Eropa, yakin itu.

Jika pada saat sekarang ASEAN masih ‘reluctant’ berbicara tentang lembaga supra nasional di bagaimana di masa depan?

Jika Eropa telah memiliki “European Court of Justice” mengapa pula ASEAN tidak mungkin memiliki lembaga serupa? Apakah hal ini akan bertentangan dengan statute International Court of Justice yang diakui menjadi organ utama sistem peradilan PBB?
Sebagai anggota PBB memang Indonesia belum menjadi pihak pada Statuta ICJ, tetapi bersama Malaysia kita bersepakat membawa kasus Sipadan Ligitan ke Mahkamah Internasional. Hal ini bisa diartikan bahwa secara asasi Indonesia sudah tidak berkeberatan dengan kehadiran ICJ.

Siapa pula bisa menduga, Indonesia pada suatu ketika akan menjadi pihak pada Rome Statute of International Criminal Court? Indonesia telah menandatangani statuta ICC meskipun masih belum meratifikasinya. A matter of time, kata seorang pakar.

“Kita perlu meredefinisi konsep-konsep ‘state sovereignty’ , ‘non-inteference’ sesuai dengan perkembangan di dunia, maupun di ASEAN sendiri”, ujar seorang pakar mantan dubes di beberapa Negara kepada saya.

“Keputusan membawa perkara ke Mahkamah berada pada domain pemerintah, sehingga tidak perlu ada notion yang meletakkan Mahkamah sebagai lembaga supra nasional”, kata pakar yang lain.

Saya fikir, sekiranya Indonesia sebagai Negara terbesar dan paling berpengaruh di ASEAN merintis jalan ke depan, sebagaimana dilakukan dalam pembentukan Komisi HAM ASEAN dan the Bali Cemocracy Forum, maka leadership dalam memelopori kemajuan dan kapasitas ASEAN dalam penyelesaian konflik juga memiliki merit untuk diajukan.

Menggagas pembentukan ASEAN Court of Justice dapat dipertimbangkan dalam rangka menempatkan ASEAN dalam status sama seperti Uni Eropa, terhormat dalam pergaulan antar-bangsa.

Kemajuan dalam pembentukan institusi dan mekanisme penyelesian sengketa pada gilirannya akan memperkuat terbentuknya komunitas politik dan keamanan ASEAN, sebagai suatu merupakan keniscayaan.

Tentu saja, kita lakukan dengan “ASEAN way” dengan pendekatan baru pula.

Jakarta, 15 Januari 2011

No comments:

Post a Comment